Anda di halaman 1dari 4

Aswaja Di Antara Dua Kutub

Ekstrimitas
Ditulis Oleh KH. Husein Muhammad   
Kamis, 01 November 2007

Terma Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) pada


awalnya memiliki konotasi sebagai paham
teologis  (Kalam) dalam Islam yang dirumuskan
pertama kali oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari
(w. 324 H/936 M) dan Abu Manshur al Maturidi
(w.333 H/944 M)  Dalam perkembangan
sejarahnya kemudian istilah tersebut mencakup
paham keagamaan dalam dimensi yang lebih
luas, meliputi dimensi Islam eksoteris: hukum
atau fiqh dan dimensi esoteris (akhlaq, tasawuf). Dalam aspek
hukum Aswaja menganut system yang dirumuskan para pendiri
mazhab besar terutama: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Sementara dalam aspek tasawuf-akhlaq menganut aturan-
aturan yang disusun oleh Abu Hamid al Ghazali dan Abu Qasim
al Junaidi. 

Melihat sejarah awal pembentukannya, sistem doktrin Aswaja,


lahir dalam kerangka merespon perkembangan pemikiran umat
Islam pada masanya yang cenderung telah bersifat ekstrim baik
kanan maupun kiri terutama dalam persoalan ilmu Kalam.
Asy’ari dan Maturidi hadir untuk menengahi kedua pikiran
ekstrim itu. Misalnya ekstrimitas antara golongan Qadariyah dan
Jabariyah dalam soal kebebasan tindakan manusia, dan antara
golongan rasionalis-liberal dan konservatif tekstual tentang
sifat-sifat Tuhan. Dua tema inilah yang paling krusial dalam
perdebatan dalam Kalam.
Dalam soal kebebasan bertindak (af’al al ‘ibad) golongan
Qadariyah mempercayai kebebasan manusia. Tuhan menurut
mereka telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk
bertindak bebas dan karena itu ia harus bertanggungjawab atas
akibat-akibatnya. Sementara golongan Jabariyah meyakini
bahwa manusia tidak bebas. Seluruh tindakan manusia sudah
ditentukan dan diatur Tuhan. Jadi tindakan manusia adalah
keterpaksaan (majbur) bagaikan kapas yang ditiup angin.
Asy’ari dan Maturidi menengahi keduanya melalui teori “kasb”
(perolehan). Menurut teori ini perbuatan manusia tidak
dilakukan dalam keadaan bebas tetapi juga tidak dalam
keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap ditentukan Tuhan tetapi
manusia diberikan hak untuk memilih (ikhtiar). Dalam bahasa
masyarakat : Manusia berencana Tuhan yang menentukan”. Di
Pesantren doktrin Aswaja ini dikemukakan misalnya dalam kitab
Jauhar al Tauhid :
“Bagi kita (Aswaja) manusia terbebani oleh kasb, dan ketahuilah
bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya. Jadi manusia
bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas. Namun tidak
seorangpun mampu berbuat sekehendaknya”.

Pada sisi lain teologi Aswaja, meskipun secara umum


menempatkan naql (nash) di atas akal (taqdim al naql ‘ala al
aql), tetapi ia juga berusaha menengahi dua kubu yang
berlawanan. Yakni antara kubu rasionalis-liberal yang diwakili
oleh Mu’tazilah dan kubu tekstualis-fundamentalis yang anti
takwil yang diwakili  kelompok mujassimah. Ini misalnya muncul
dalam kajian tentang teks-teks mutasyabihat. Aswaja
mengapresiasi dua katagori : salaf dan khalaf. Golongan salaf
lebih banyak menolak takwil. Mereka memaknai ayat-ayat
mutasyabihat menurut makna harfiyahnya, sementara golongan
khalaf menerima takwil sepanjang sejalan dengan kaedah-
kaedah bahasa Arab dan tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam. Dalam dimensi fiqh, Aswaja menghargai
pandangan ahl al hadits yang lebih menekankan pemahaman
tekstual seperti pada umumnya mazhab Hambali di satu sisi dan
pandangan ahl al ra’yi yang menerima analogi atau qiyas,
seperti pada umumnya mazhab Hanafi pada sisi yang lain.
Dalam bidang tasawuf, Aswaja berada di antara tasawuf salafi
dan tasawuf falsafi. Tasawuf Sunni mainstream tidak menganut
paham ittihad (Penyatuan Eksistensi). Tasawuf Sunni berakhir
pada akhlaq dan menghargai tradisi-tradisi masyarakat seperti
ziarah kubur, muludan, marhabanan, tahlilan dan sejenisnya.
Beberapa pandangan Aswaja di atas memperlihatkan kepada
kita ciri utama Aswaja yaitu “al tawassuth” (moderat) atau jalan
tengah dan tasamuh (toleran). Inilah yang menjadikan Aswaja
dapat tetap eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang dan
menyebar luas di berbagai belahan dunia muslim. Pendekatan
keagamaan Aswaja yang moderat tersebut dewasa ini menjadi
signifikan dalam mengatasi berbagai persoalan yang
berkembang dan terutama ketika munculnya cara-cara
keberagamaan yang ekstrim atau radikal (tatharruf) baik
ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.
Dengan begitu, maka Aswaja dapat menerima perkembangan
ilmu pengetahuan yang berbasis rasionalitas dari manapun
datangnya, tetapi juga tetap menghargai pemahaman
keagamaan yang sederhana sepanjang memberikan manfaat
bagi kemajuan dan kesejahteraan mereka. Inilah yang dalam
tradisi NU dikenal dengan kaedah : “al Muhafazhah ‘ala al qadim
al shalih wa al Akhdz bi al Jadid al Ashlah” (mempertahankan
tradisi/pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau
pemikiran baru yang lebih baik (dari manapun datangnya).

Berangkat dari paradigma Aswja tersebut maka tampak jelas


bahwa kaum Aswaja tidak mudah mengkafirkan atau
mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil
atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan perilaku
sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini.
Kaum Aswaja bahkan juga tidak mudah menuduh sesat (bid’ah)
terhadap mereka yang berseberangan pendapat menyangkut
pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan.
Dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini dikemukakan dalam ucapan
para ulama fiqh : “Ra’yuna shawab yahtamil al khata’ wa ra’yu
ghairina khatha yahtamil al Shawab” (pendapat kami benar
meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi
mungkin saja benar). Pada sisi lain kaum Aswaja tidak
sepenuhnya membiarkan berkembangnya pemahaman yang
serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah). Untuk
menjembatani kesenjangan pemahaman antar umat, kaum
Sunni mengemukakan prinsip “musyawarah” atau “syura” untuk
mencapai kesepakakan dengan damai, tanpa kekerasan. 
Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki
relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia
yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan.
Aswajalah golongan yang dapat menjawab secara telak  tuduhan
“ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada Islam. Hal
ini karena Aswaja tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara
radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama
terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan
bahkan terhadap mereka yang berbeda agamanya. Aswaja juga
tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang
terhadap orang kafir/non muslim. Perang dapat dijalankan
hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika
ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja
mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”,  melalui “hikmah”
(ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat yang santun)
dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang
terbaik). Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang
adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil
adalah pilar utama bagi kehidupan bersama masyarakat bangsa.
Demikianlah, maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara
penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun
pembunuhan karakter. Dengan ungkapan lain, mereka yang
menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama, meski
dengan mengatasnamakan agama atau umat Islam bukan
bagian dari masyarakat Aswaja. Maka kita memang harus
waspada.[]

Anda mungkin juga menyukai