Anda di halaman 1dari 2

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKR

H. Asep Saefullah, S.Pd.I., M.Pd.

A. Pendahuluan
Melacak akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljama’ah (aswaja), bahwa aswaja
sudah terkenal sejak zaman Muhammad Rasulullah SAW (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu
Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Sebagai konfigurasi sejarah, maka
aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap
embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah
satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap
konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M).
Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’i (w.205
H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an
dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang
teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni,
disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam
memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh dua tokoh di tempat yang
berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di
Mesopotamia, dan Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand. Pada zaman
kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang
dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap
Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh al-Asy’ari sudah keluar dari
paham yang semestinya.
Aswaja dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikembangkan oleh Nahdlatul
Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bahwa aswaja bukan
hanya sekedar faham/madzhab, tetapi aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al fikr)
keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip
keseimbangan dalam akidah, penengah dan perekat dalam sistem kehidupan sosial serta
keadilan dan toleransi. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr
dalam landasan gerak
B. Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang
dipelaporii oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis yang dihidupkan dan
dipertahankan oleh aliran salaf yang dimunculkan oleh Ibnu Taimiyah. Ketiga, kelompok
yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili
oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Di dalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan
dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep
yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada
banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam
mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Prof. Dr. Said Aqil
Siradj, MA pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk
intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse
panjang dan mendalam. Dalam perkembangannya, rumusan baru Kang Said (panggilan
akrab Said Aqil Siradj) diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip utama
dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi; tawasuth (moderat), tasamuh (toleran),
tawazzun (seimbang) dan ta’adul (keadilan). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah
bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun
tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia
terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada
sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga
kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya,
dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan
mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak
dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang
lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan
keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan
hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai
manhajul fikri. Dan yang berikutnya adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip
tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat
sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan
atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat
dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit
atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali,
minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya
masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena
itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.

C. Penutup
Secara sederhana dapat dimabil benang merahnya bahwa substansi aswaja sebagai
manhaj al fikr adalah tawasuth (moderat: berdiri tengah-tengah), tawazun (seimbang),
tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil). Berarti, yang menjadi Standarisasi aswaja adalah
nilai-nilai kemoderatan.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfa’at dan memberikan angin
segar untuk kader PMII agar bisa bertambah moderat, sehingga bisa mengayomi dan
berdiri secara adil di tengah-tengah golongan yang ada. Dan yang penting lagi adalah bisa
menjadi pioner terwujudnya misi Islam sebagai rahmataallil alamin. Yaitu Islam yang
menebarkan kemaslahatan, kasih sayang dan kedamaian bagi seluruh alam, bukan Islam
yang galak, menakutkan, dan mudah memuncratkan darah orang lain.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Tharieq

Anda mungkin juga menyukai