Artinya: ”Mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasikanhal baru yang
lebih baik”.
Kaidah ini menuntun kita untuk memperlakukan fenomena yang seimbang dalam
menyikapi tradisi atau budaya, yang dilihat bukan tradisi atau budayanya tetapi nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Seseorang harus mengapresiasi traddisi yang ada
merupakan hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu, dan bersikap kreatif
mencari terobosan baru yang lebih baik tanpa melupakan dari akar tradisinya.
2.
Artinya: “Budaya atau tradisi yang baik bisa menjadi pertimbangan hukum selama tidak
bertentangan dengan norma agama”.
Paham Ahlusunnah Waljamaah tidak apriori bahkan alergi terhadap tradisi. Fiqih
Ahlusunnah waljamaah menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan
dalam menetapkan suatu hukum. Jika sebuah produk budaya tida bertentangan dengan
ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, amak bisa diterima. Bahkan
dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti.
3.
Artinya: “Jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, makatidak harus ditinggal
semuanya”
Hal yang paling ditekankan, mungkin ditemui adanya tradisi tidak sejalan dengan ajaran
pokok Islam, namun didalamnya mungkin menyimpan butir-butir kebaikan. Contoh dalam
slametan, kondangan, kenduri yang merupakan tradisi orang jawa sebelum Islam datang.
Jika kelompok lain menganggap bid’ah yang harus ditinggalkan, kaum Ahlusunnah
waljamaah memandang secara proporsional karena di dalam slametan mengandung unsur-
unsur kebaikan seperti mempererat persatuan di masyarakat, menjadi sarana bersedekah,
dan bersyukur kepada Allah, serta mendoakan orang yang sudah meninggal sekalipun tida
pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sementara hal lain yang bertentangan misal sesajiuntuk
makluk halus, yang bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara perlahan dengan penuh
kearifan dengan meluruskan niat lillahita’ala.
4. Kaidah Fikiyahlain yang dikenal Kaum Nahdliyin antara lain:
C. AKIDAH AHLUSUNNAH WALJAMAAH
Pada masa Rasulullah persoalan–persoalan tentang agama langsung terselesaikan oleh nara
sumber utama ajaran agama Islam yaitu Nabi Muhammad saw. Berdeda dengan setelah
beliau wafat perbedaan pendapat sering mengendap di kalangan para sahabat yang akhirnya
menjadi permusuhan. Semula permasalahan sebatan pertentangan imamah dan akidah,
akhirnya merambah keranah agama. Pada masa berikutnya pembahasan meluas ke persoalan
Tuhan dan manusia, terutama terkait dengan perbuatan manusia dan kekuasaan Allah swt.
Demikian juga sifat-sifat Allah, keadilan Allah, melihat Allah, ke –Huduts –an dan ke –
Qadim-an Allah serta ke-Makhlukan Al-Qur’an. Ditengan pertentangan tersebut muncullah
kelompok moderat yang berusaha mengkompromikan pihak-pihak yang bertentangan.
Kelompok ini kemudian dinamakan Ahlusunnah waljamaah. Dua kelompok tersebut adalah
Asy’ariyah dan Maturidiyah.
1. Akidah Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Imam abu Hasan Al-Asy’ari, lahir di Basrah pada tahun
260 H/873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. Akidah Asy’ariyah
merupakan jalan tengah (tawasuth) diantara kelompok keagamaan yang berkembang pada
saat itu yaitu kelompok Jabariyah dan Qodariyah. Sikap tawasuth yang di tunjukkan oleh
Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy’ariyah perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Al-Kasb
memiliki makna usaha kebersamaan kekuasaan Allah swt dengan perbuatan manusia. Al-
Kasb juga bermakna kearifan, manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan
konsep al-Kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha kreatif
dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Allah menentukan semuanya.
2. Akidah Maturidiyah
Aliran Maturidiyah didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi lahir di Maturid,
Samarkand (sekarang Uzbekistasn) tahun kelahiran di perkirakan sekitar abad ke 3 H
danwafat pada tahun 333 H/944 M. Maturidiyah memiliki keselarasan dengan akidah
Asy’ariyah. Sedikit membedakannya keduanya adAlah Asy’ariyah fiqihnya menggunakan
Madzhab Syafi’i dan Maliki sedangkan Maturidiyah menggunakan Madzhab Imam
Hanafi. Sikap tawasuth yang di tunjukkan oleh Maturidiyah adalah uapaya penyelarasan
antara al-Naqli dan al-Aqli (Nash dan akal). Artinya menggunakan akal itu sama
pentingnya menggunakan Nash, artinya penggunaan akal itu semua diperuntukkan agar
manusia memperteguhkan iman dan taqwanya kepada Allah Swt. Sedangkan nash harus
diterima penuh, jika terjadi perbedaan nash dan akal.
D. FIQIH AHLUSUNNAH WALJAMAAH
Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis tentu tidak boleh diartikan memahami
kedua sumber hukum tersebut secara bebas, tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Diantara Mazhab bidang fiqih yang paling
berpengaruh dan dijadikan panutan serta rujukan warga Nahdliyin adalah Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sesuai dengan AD/ART. Warga NU harus menganut salah satu
dari empat mazhab tersebut.
E. AKHLAK/TASAWUF AHLUSUNNAH WALJAMAAH
Prinsip Ahlusunnah wal Jamaah, tujuan dan hakikat hidup adalah tercapainya keseimbangan
kepentingan dunia dan akhirat. Para ulama selalu memahami dan menghayati pengalaman
yang dilakukan Rasulullah Saw. Selama hidupnya demikian pengalaman para sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sekarang. Memahami sejarah Nabi dan
Waliyullah, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosialnya, misal Zuhud atau
kesederhanaanya, wara’ atau menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak jelas dan tercela,
dzikir yang dilakukan mereka, sopan santun, tawadhu’ atau andhap ashor dan lainnya yang
harus diresapi dan diteladani dengan penuh kesahabarn. Kaum nahdliyin tida menerima
tasawuf al-Hallaj dengan menyatakan “Ana al-Haq” Siti Jenar. Kita warga NU hanya
menerima ajaran tasawuf yang tida meninggalkan aqidah dan syariat yang terdapat dalam
tasawuf Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi, perilaku wargaNU bidang tasawuf
dan akhlak adalah sebagai berikut:
1. Mempercayai antara syariat, akidah, dan tasawuf mempunyai kaitan. Syariat harus
didahulukan daripada tasawuf.
2. Menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam dengan riyadhoh dan
mujahadah menurut cara-caraya yang tidak bertentangan dengan prinsip hukum dan
ajaran Islam
3. Mencegah ekstrimisme yang dapat menjerumuskan kepada penyelewengan akidah
dan syariat
4. Berpedoman kepada akhlakul karimah dan selalu memberikan jalan tengan diantara
dua kelompok yang berbeda atau tawasuth.