Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-
Qur’an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-
Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian Sikap Tawassuth dan I’tidal, Sikap Tasamuh, Sikap Tawazun,
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
2. Bagaimana sikap kemasyarakatan NU

C. Tujuan Penulis
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sikap tawassuth dan i’tidal, sikap tasamuh, sikap tawazun,
Amar ma’ruf nahi munkar
2. Untuk mengetahui sikap kemasyarakatan NU

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasammuh, Tawassuth dan I’tidal


Tawassuth dan I’tidal adalah suatu sifat keberagaman yang tidak terjebak pada
titik – titik ekstrem. Sikap yang mampu menjemput setiap kebaikan dari berbagai
kelompok. Kemampuan untuk mengapresiasikan kebaikan dan kebenaran dari
berbagai kelompok memungkinkan pengikut Aswaja untuk tetap berada di
tengah-tengah.
Tasammuh adalah sebuah sikap keberagaman dan kemasyarakatan yang beragam.
Keragaman hidup menuntut sebuah sikap yang sanggup untuk ,menerima
perbedaan pendapat dan menghadapinya secara toleran. Toleran yang tetap
diimbangi oleh keteguhan sikap dan pendirian.
Tawazzun artinya seimbang. Keseimbangan adalah sebuah sikap keberagaman
dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang dan
kemdian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional.
Sebagaimana sikap tawassuth, tawazzun juga menghendaki sebuah sikap
keberagaman yang tidak terjebak pada titik-titik ektrem, misal kelompok
keagamaan yang terlalu terpaku kepada masa lalu sehingga umat Islam sekarang
kendak ditarik mentah-mentah sehingga sikap negativ terhadap setiap ikhtiar
kemajuan. Atau sebaliknya, kelompok keagamaan yang munafik seluruh kearifan
masa lalu sehingga tercabut dari akar sejarahnya. Aswaja menghendaki sebuah
sikap tengah-tengah agar tidak terjebak ke dalam ekstremitas.
Amar ma’ruf nahi munkar atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran adalah sebuah konsekuensi dari keyakinan kita terhadap kebenaran
Islam ala Ahlissunnah wa al-jama’ah. Saat ini banyak kelompok Islam yang sikap
keberagamannya tidak menunjukan moderisasi ala Aswaja tapi mengaku-aku
Aswaja, amar ma’ruf nahi munkar ditunjukan pada siapa saja, muslim maupun
non-muslim, yang melakukan kemungkaran dengan menebar perilaku destruktif,
menyebarkan rasa permusuhan, kebencian dan perasaan tidak aman, serta
menghancurkan keharmonisan hidup di tengah-tengah masyarakat.

2
Jika kita memeras kembali keempat nilai ideal tersebut,maka kita akan
menemukan satu kata, yaitu moderat yang bisa berarti seimbang, proporsional,
dan toleran. Sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang moderat ini
melandasi seluruh ajaran Aswaja sejak dulu. Oleh Karen itu maka perbedaan
sikap antara kalangan muslim keras atau ekstrem yang saat ini sedang marak
dengan sikap moderat kaum Sunni tidak hanya terjadi saat ini, tapi sudah ada
sejak dulu.
Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dianggap sebagai ajaran tauhid sunni tidak lain
adalah sebuah ikhtiar mencari jalan tengah (moderat) antara ekstrimitas Jabariyah
dan Qadariyah/Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiyah juga muncul sebagai
respon atas sikap keberagamaan Mu’tazilah yang menganggap semua musuh-
musuhnya sesat sehingga semua umat Islam harus mengikuti ajaran Mu’tazilah.
Arogansi Mu’tazilah ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan politik Negara
yang bersifat represif. Kalau saat ini ada kelompok muslim yang menganggap di
luar kelompoknya adalah sesat dan hendak memaksakan pendapatnya dengan
menggunakan kekuasaan Negara ( biasanya dengan cara mengislamkan Negara),
maka sesungguhnya nyata bahwa mereka bukanlah kaum Sunni.
Semangat moderasi juga kita temukan dalam empat ulama pendiri mazhab fiqih
Sunni (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hambali). Mereka adalah ulma yang merjuang
(ijtihad) untuk merumuskan hukum Islam dengan mencari keseimbanan antar
dalil nash dan ra’yu (rasio). Hal ini terlihat semakin jelas dalam pribadi Imam
Syafi’I, di mana dia sangat membela hadits shahih, tapi sekaligus juga meng-
anjurkan qiyus (analog) secara rasio serta merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang
bersifat logis dan rasional.
Semangat moderasi juga ditemukan dalam tasawuf Sunni, Al-Ghazali adalah
salah satu ulama Sunni besar yang brusaha dengan keras menyelaraskan antara
syari’at dengan hakikat. Bagi al-Ghazali, syariat atau fiqih tanpa ada muatan
tasawufnya menjadikan ibadah kering tanpa ruh, sementara tasawuf yang
mengabaikan syariat islam terjebak dalam kesesatan. Karena itu, maka ada
adagium yang sangat terkenal dalam masalah ini, yaitu “ man tafaqqaha wala
tashawwafa faqad tafassaqa, wa man tashawafa wala tafaqqaha faqad tazandaqa”
( orang yang mengikuti fiqih dengan mengabaikan tasawuf, bisa terperosok dalam
kefasikan orang yang mengikuti tasawuf dengan mengabaikan fiqih bisa
terperosok dalam ke-zindiq-an)

3
Sikap moderat yang diteladankan ulama Sunni itu tetap dilanjutkan oleh
Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sepanjang sejarah dakwah
Walisongo, kita menemukan sebuah upaya untuk mencari jalan tengah antara
ajaran Islam sebagaimana yang tertera dalam nash dengan kondisi riil yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Sikap moderat Walisongo tidak hanya berhasil dalam
menyebarkan Islam, tapi juga mampu menghadirkan Islam yang toleran dan
damai, buka Islam yang garang dan menghancurkan (destruktif),
Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran
Islam: al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas.
Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumber di atas, Nahdlatul
Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang menggunakan jalan
pendekatan al-Madzhab:
1. Di dalam bidang aqidah, Nahdlatul Ulama yang dipelopori oleh Imam Abul
Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Matuidi.
2. Di dalam bidang fiqih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan. (al-
Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam
Maliki bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’I dan Imam Ahmad
bin Hambal.
3. Di bidang tashawwuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bahdadi dan
Imam Ghazali serta imam-imam yang lain.
Nahdlatuh Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri
yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia.
Faham keagamaan yang dianut Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-
nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta cirri-ciri suatu kelompok
manusia seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai
tersebut.
Faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, Islam yang standar yang harus
dikembangkan untuk menjadi panutan manusia dimana saja dan kapan saja. Pintu
pengembangan itu adalah ijtihad yang terkendali dan kendali itu adalah Haluan
Bermadzab.
Nahdlatul Ulama berpendirian bahwa Faham Ahlussunnah wal Jama’ah harus
diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap
yang bertumpu pada karakter tawassuth dan I’tidal sebagaimana disebutkan
dalam naskah Khitthah NU butir 4 sebagai berikut:

4
B. Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama
Dasar-dasar pendiri faham keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut menumbuhkan
sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada:
1. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus ditengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama
dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan
bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2. Sikap Tasammuh
Sikap toleransi terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama
hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah
kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidam, menyerasikan kepada Allah SWT, khidam
kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan
kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna, dan
bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal
yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam tataran praktisnya dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan itu
membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku
perorangan maupun organisasi yang :
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.
4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta
kasih mengasihi.
5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi
kejujuran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.

5
7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah
kepada Allah SWT.
8. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa
kemaslahatan bagi manusia.
10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan
mempercepat perkembangan masyarakatnya.
11. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dari materi di atas dapat disimpulkan bahwa :
Tawassuth dan I’tidal adalah suatu sifat keberagaman yang tidak terjebak pada
titik – titik ekstrem.
Tasammuh adalah sebuah sikap keberagaman dan kemasyarakatan yang beragam.
Tawazzun artinya seimbang. Keseimbangan adalah sebuah sikap keberagaman
dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang dan
kemdian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional.

6
Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumber di atas, Nahdlatul
Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang menggunakan jalan
pendekatan al-Madzhab:
1. Di dalam bidang aqidah, Nahdlatul Ulama yang dipelopori oleh Imam Abul
Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Matuidi.
2. Di dalam bidang fiqih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan. (al-
Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam
Maliki bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’I dan Imam Ahmad
bin Hambal.
3. Di bidang tashawwuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bahdadi dan
Imam Ghazali serta imam-imam yang lain.

B. Saran
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga apa yang terdapat dalam
pembahasan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya. Dan
kususnya bagi para pembaca, apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik
dalam penulisan maupun pemaparannya, kami selaku penulis naskah mohon maaf
sebesar-besarnya. Demikian makalah ini, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf. Semoga dapat
bermanfaat. Amin.

7
DAFTAR PUSTAKA

KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta:
LKPSM, 1999)
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran;, 21-22, dan Muhammad bin
Ahmad al-Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain
(Kairo: Dar al-Hadits, tth.), cet. I, 256.
httpp://budiernawati70.blogspot.com/2015/01/prinsip-tasammuh-tawassuth-dan-
itidal.html?m=1
http://old.pcnu-pamekasan.or.id/sikap-kemasyarakatan/

Anda mungkin juga menyukai