SUNDA WIWITAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Studi Agama
Kontemporer
DOSEN PENGAMPU:
Dr. Syafwan Rozi, M. Ag
Disusun Oleh:
KELOMPOK 9
1444 H/2022 M
A. Pendahuluan
Indonesia adalah satu bangsa untuk semua suku bangsa dan bangsa yang
ada dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan
berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama itu. Aspek
berkebudayaan di dalamnya mengandung aspek religius atau aspek
berkepercayaan terhadap “Tuhan” yang diyakininya. jika merujuk pada
keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara,
kita akan melihat keanekaragaman kepercayaan kepada Tuhan dengan
berbagai ekpresi budaya spiritual dan dalam berbagai ritual yang
dilakukannya. Semua bentuk kehidupan berkepercayaan itu dijadikan
landasan bersama sebagai bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai
kepercayaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.1
1
Ira Indrawardana, Berketuhanan Dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, dalam
e-jurnal MELINTAS, 2014. Hal, 2.
2
Deni Miharja, Sistem Kepercayaan Awal Masyarakat Sunda, dalam e-jurnal Al
AdYaN/Vol.X,.N0.1/Januari-Juni/2015,hal.20.
1
B. Pengertian dan Sejarah Munculnya Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam
dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat
asli suku sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di
provinsi Banten dan Jawa Barat. Menurut penganutnya sunda wiwitan
merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang sunda sebelum
datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Istilah Sunda sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yakni sund atau
suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. (Dalam bahasa Jawa Kuno
Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang
sama yakni bersih, suci, murni, tidak bercela atau bernoda, air, tumpukan,
pangkat, dan waspada.3
Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam
Carita Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda, diketahui bahwa Sunda
Wiwitan dianut di beberapa wilayah di Indonesia, diantaranya di wilayah
Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat dan di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
3
Jagat Rayana, dkk. Tatanan Keyakinan Masyarakat Sunda Wiwitan Di Era 4.0, dalam
Jurnal Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 18 No. 1, 2021, hal. 5
benua India, kedua, Kebudayaan Islam yang datang dari jazirah Arab, ketiga,
kebudayaan Jawa yang datang dari tetangga dekat satu pulau Pulau Jawa,
keempat, kebudayaan Barat yang datang dari benua Eropa, dan kelima,
kebudayaan nasional karena Tatar Sunda terintegrasi dan menjadi bagian
Negara Republik Indonesia dan kebudayaan global karena makin cepatnya
kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi yang
memperpendek jarak dan meningkatkan mobilisasi manusia.4
4
Ibid, Sistem Kepercayaan Awal…, hal. 22
3
ajarannya yang dianggap radikal. Pada tahun 1926 semua petugas Belanda
di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun diperbolehkan lagi
melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927 tata cara
perkawinan ADS diakui secara hukum.
Pada tahun 1940, Pangeran Madrais meninggal dunia, jenazahnya di
makamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di bawat
Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh putranya Pangeran
tedjabuana Widjaja Ningrat.5 Di masa kepemimpinan yang kedua ini, ADS
banyak mendapat tekanan dari kelompok sosial, pihak-pihak yang
berkuasa khususnya dari penjajah Jepang hingga Orde lama, karena
tekanan dari dua periode ini ADS resmi dibubarkan pada tahun 1964.
Di tahun 1964 perkembangan ADS benar-benar berhenti sama sekali.
Pergeseran rezim ke Orde Baru sangat berbeda pun turut memperumit
keadaan Pemerintahan Soeharto yang hanya mengakui beberapa agama,
menekan para penganut agama lokal “yang dianggap tidak resmi” untuk
menentukan pilihan secara jelas, akhirnya penganut ADS memeluk agama
resmi pemerintah, namun tidak sedikit sedikit dari mereka yang tetap
memelihara keyakinan mereka terhadap ajarah ADS.6
Tedjabuana wafat di tahun 1978, lalu perjuangan ADS ini dilanjutkan
oleh anaknya laki-laknya yaitu Djatikusuma, ia menghadapi banyak
macam hal yang melintag ketika ingin melestarikan ajaran dan tuntutan
yang di wariskan olehkakeknya tersebut, oleh karena itu, Djatikusumah
pun mulai merintis cara dan strategi agar bisa membangun kembali ADS.
Setelah melalui pelbagai hambatan dan rintangan, usaha keras
Djatikusumah pun mulai terlihat ketika ia dapat mendirikan Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).7
Djatikusumah berjuang untuk mempertahankan keyakinan yang telah
5
Ahmad Muttaqien, SPIRITUALITAS AGAMA LOKAL, Al-AdYaN/Vol.VIII,
N0.1/Januari-Juni/2013 dalam e-jurnal, hlm. 91-93
6
Rakhmat Hidayat, PhD, Eksistensi dan Resistensi Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan,
Penerbit Labsos, Jakarta, 2017, hlm. 12-13
7
Ibid, hlm. 14
diturunkan oleh kakek dan ayahnya. Ia merintis dan menggali kembali
sejumlah nilai dan seni kultural masyarakat, sama seperti yang dilakukan
oleh kakeknya. Pada masa Orde Baru, langkah yang diambil oleh
pemimpin ADS yang tidak memiliki pendidikan formal tinggi ini begitu
berat karena simpul-simpul kebebasan berkespresi dan berkeyakinan masih
terikat dengan sangat kuat. Meskipun undang-undang negara menjamin
akan keluwesan aspek religius masyarakat, nyatanya di masa ini kebebasan
untuk beragama tidak terlihat sama sekali. Mengingat usianya yang
semakin menua, maka di tahun 1990- an Djatikusumah mulai
mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki, yaitu Gumirat
Barna Alam, untuk melanjutkan pengembangan ajaran ini. Anaknya itu
digembleng dengan nilai dan ajaran ADS secara komprehensif.
Saat ini Pangeran Gumirat Barna Alam atau yang sering dipanggil
Rama Anom sudah mulai menggantikan posisi ayah nya dikarenakan
Pangeran Djatikusumah kondisi fisiknya sudah melemah. Rama Anom
sudah sering kali menghadiri acaraacara yang tidak bisa dihadiri oleh
ayahnya. Masyarakat sekitar pun sudah banyak mengenal sosok Rama
Anom yang kelak akan menggantikan Pangeran Djatikusumah.
Dalam hal pergantian kepemimpinan setelah Pangeran Gumirat
Barna Alam, ia telah mempersiapkan anak laki-lakinya yang kelak akan
menggantikan ia ketika ia sudah wafat. Anak laki-laki dari Pangeran
Gumirat Barna Alam bernama Kukuh Djati Swara Tedja Ningrat berumur
13 tahun, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Anak rama
yang ketiga ini sudah disiapkan diajarkan dengan proses Mulai dari kecil
sudah diberikan pemahaman sesaui dengan umurnya. Dia sudah diberi
tahu bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin. Bentuk pendidikan
kepimpinan yang diberikan Rama Anom berupa wejengan atau nasihat –
nasihat.8
8
Ibid, hlm. 15
5
C. Pengikut dan Organisasi
Pada tahun 1955, pangeran Tedjabuana dan beberapa tokoh aliran
kepercayaan lainnya seperti Mei Kartawinata, Wongsonegoro, O
Romodjati, R Rumuwisit, R Sukamto, mengorganisir aliran-aliran
kepercayaan dengan mendirikan sebuah organisasi Badan Koordinasi
Kebatinan Indonesia (BKKI), gabungan dari seluruh aliran kepercayaan
atau kebatinan di Indonesia. Tahun 1964 dilarang kembali oleh pemerintah
RI, pada saat itu P. Tedjabuana dan sebagian besar pengikutnya konversi
masuk ke agama Katolik. Konversi agama ini bukan didasari oleh
keyakinan akan kebenaran ajaran Katolik, tetapi dalam rangka
mengamankan diri dari tindakan mayoritas agama resmi yang ingin
menyudutkan ADS seperti tuduhan sesat, kafir, dan tindakan diskriminatif
lainnya.
Bubarnya ADS menandai masuknya fase ketiga bagi agama Djawa
Sunda, yang biasa disebut sebagai periode Djatikusumah. Pada tanggal 11
Juli 1981, Pangeran Djatikusumah bersama pengikut ADS mendirikan
organisasi PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). Pendirian
PACKU secara implisit adalah usaha menghidupkan kembali ADS yang
telah dilarang karena dianggap telah menyimpang. Dengan menggunakan
Paguyuban yaitu PACKU, Pangeran Djatikusumah mencoba meyakinkan
pemerintah bahwa yang diusahakan adalah sekedar menghidupkan adat
Sunda. Lalu , Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan SK.No.44
Tahun 1982 tertanggal 25 Agustus 1982 tentang pelarangan organisasi dan
kegiatan PACKU. Meski Organisasi PACKU sudah terdaftar pada
Direktorat Jenderal Bina Hayat No.192/R.3/N.1/1982, akhirnya
dibubarkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Sejak dilarangnya PACKU tahun 1982 tersebut, Pangeran
Djatikusuma dan para pengikutnya mengedentifikasi diri komunitasnya
sebagai Adat Karuhun Urang (AKUR), sebagai masyarakat adat yang
terkadang mereka sebut dengan Sunda Wiwitan. Dengan pernyataan
tersebut, keberadaan mereka dapat diterima oleh masyarakat sampai saat
ini. Pada masa sekarang, masyarakat adat Cigugur secara resmi menyebut
ajarannya dengan sebutan Adat Karuhun Urang (adat nenek moyang kita),
disingkat AKUR. Akan tetapi apapun label yang dibuat komunitas ini,
masyarakat di luar komunitas biasanya menyebut pemikiran dan kegiatan
(kepercayaan dan adat) tersebut dengan sebutan sebelumnya, yaitu
penghayat ajaran Madrais, karena memang mereka sebenarnya
meneruskan ajaranajaran yang telah dirintis oleh Kyai Madrais.9
7
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Sunda terkandung dalam kitab
Sanghyang Siksa Kandang Karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman
kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan
dan pembelajaran budi perkerti. 11
13
Dalam pandangan hidup Agama Djawa Sunda, tentunya tidak
terlepas dari pandangan hidup dari pangeran Madrais selaku pendisi dari
ADS tersebut, pada awalnya sebagia pedoman filsafat atau pedoman
teologis Pangeran Madrais mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk
sebagai berikut:
11
Ekadjati, Edi S., "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya,
Jakarta, 1995, halaman 72-73
12
Pohaci dimaksudkan kepada roh nenek moyang atau leluhur
13
Husnul Qodim, Strategi Bertahan Agama Djawa Sunda (ADS) Cigugur, Jurnal Kalam,
Vol 11, No.2, Desember 2017, hlm. 339
a) Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-wiji (percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa)
b) Ngaji Badan (mawas diri/intropeksi diri/retropeksi)
c) Akur Rukun Jeung Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama)
d) Hirup Ulah Pisah ti Mufakat (mengutamakan musyawarah untuk
mencapai mufakat)
e) Hirup Kudu Silih Tulungan (hidup harus tolong menolong)
‘Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6’, madep berati mengarah kepada
tujuan ratanya diatas 3, 2, 4, 5, lilima enam yang mengandung arti:
a) Ratu-raja 3: Cipta rasa dan karsa atau Sir, Rasa dan Pikir.
Dalam hidup kita selalu diselubungi oleh macam ragam
kehendak atau keinginan oleh karena itu kita harus selalu
waspada terhadap jalannya Sir, Rasa dan Pikir, sesuai dengan
kehendak sang Pencipta atau tidak
b) Ratu-raja 2: hukum keseimbangan dalam hidup atau adanya
sifat berpasangan. Kita harus sadar jangan sampai tergerak
14
Ibid, hlm. 340
9
oleh pengaruh nafsu yang tidak selaras dengan sifat manusia
dan sifat bangsa
c) Ratu-raja 4: aktifitas sepasang tangan dan sepasang kaki.
Ketika kita menggunakan kedua tangan dan kedua kaki
hendaklah waspada dan sadar dalam gerak dan tingkah laku
serta tindakan, Karena harus sesuai dengan sifat dan cara-ciri
sebagai manusia
d) Ratu-raja 5: disebut dengan panca indera. Kita harus waspada
suatu menggunakan panca indera, karena panca indera
merupakan jembatan penghubung antara kita dan alam sekitar
e) Ratu-raja lilima: sifat dari fungsi indera artinya walaupun
dalam sifat panca indera kita sama, tetapi sifat-sifat bangsa
yang satu dengan yang lain berbeda cara-cirinya
f) Ratu-Raja 6: tunggal wujud manusia seutuhnya. Wujud kita
adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang diberi tugas
untuk mewujudkan kedamaian di alam lahir sesuai dengan
sifat dan kodrat yang diberikan kepada manusia yaitu peri
kemanusiaan.
15
Untuk melengkapi ajaran tentang ‘Pikukuh Tilu’, komunitas ADS
dianjurkan melakukan olah rasa. Dalam kegiatan olah rasa penganut
Madrais melakukannya sehari dua kali, yaitu sebelum tidur dan sesudah
bangun tidur. Olah rasa atau samadi dilakukan dalam sikap duduk
sempurna yang baik, dengan rasa penyerahan diri, serta merasakan bahwa
“tiada kekuasaan lain kecuali Tuhan adanya. Tiada asal akan segala asal
kecuali Tuhan Yang Maha Pencipta”. Dalam mengolah rasa, di samping
mengatur napas dan merasakannya, disertai pula berusaha melihat wajah
sendiri dalam penglihatan rasa, sambil mengucapkan do’a sebagai berikut:
11
beras dimaksudkan bahwa hidup manusia sangat tergantung
pada beras sebagai bahan makanan sehari-hari. 16
16
Ibid, hlm. 342
1. Orde Lama
Di masa awal kemerdekaan, ketika kondisi negara mulai aman,
Pangeran Tedjabuana mendeklarasikan kembali lagi kepada kepercayaan
ADS. Namum kemudian, pada tahun 1951, Pangeran Tedjabuana konversi
masuk Islam saat putrinya menikah dengan Raden Subagiaraharja. Setelah
itu, pangeran Tedjabuana kembali lagi ke mengembangkan ADS.
Peristiwa berulang kali pangeran Tedjabuana keluar masuk agama Islam
membuat marah para pemeluk Islam. Di sisi lain, kelompok Mayoritas
agama resmi (Islam) mulai menyejajarkan ADS dengan ajaran keagamaan.
ADS dianggap sebagai bentuk agama baru di luar agama-agama yang
sudah ada di Indonesia, seperti yang dianggapkan terhadap Ahmadiyah
saat ini.
Berbagai konflik sering terjadi antara komunitas ADS dengan
mayoritas Islam Cigugur, sampai pada akhirnya pada tanggal 12 Februari
1964, secara resmi Agama Djawa Sunda (ADS) dilarang oleh pemerintah
melalui SK No 001/KPTS/DK 1964 51. Atas saran pemerintah, dan
desakan masyarakat Islam Kuningan, pada tanggal 21 September tahun
1964 P. Tedjabuana membuat surat pernyataan diatas materai tentang
pembubaran ADS. Dalam surat tersebut juga disarankan agar pengikutnya
memeluk salah satu dari lima agama resmi dan yang dinyatakan dalam
surat tersebut. Pangeran Tedjabuana sendiri yang beristri penganut
Katolik, kemudian memilih konversi ke agama Katolik, maka sebagian
besar pengikutnya mengikuti jejaknya masuk agama Katolik. Sebagian
pengikutnya masuk agama Protestan, dan hanya sebagian kecil yang
masuk Islam.17
Setelah dibubarkan oleh pemimpin Pangeran Tedjabuana di tahun
1964, perkembangan ADS benar-benar berhenti sama sekali. Pergeseran
rezim ke Orde Baru yang sangat berbeda pun turut memperumit keadaan
karena masa ini adalah masa yang sangat keras terhadap pelbagai macam
bentuk perlawanan. Pemerintahan Soeharto yang hanya mengakui
17
Ibid, hlm. 343
13
beberapa agama, menekan para penganut agama lokal "yang dianggap
tidak resmi" untuk menentukan pilihan secara jelas. Pada akhirnya, banyak
dari para penghayat ADS yang beralih keyakinan ke agama- agama besar
yang diakui negara, terutama agama Katolik yang dianggap memiliki
banyak kesamaan ajaran dan juga memiliki sejumlah jasa terutama
terhadap pemimpin komunitas ADS. Meskipun memeluk agama resmi
pemerintah, tidak sedikit dari mereka yang tetap memelihara keyakinan
mereka terhadap ajaran ADS.
2. Orde Baru
18
Pada masa Orde Baru, langkah yang diambil oleh pemimpin ADS
yang tidak memiliki pendidikan formal tinggi ini begitu berat karena
simpul-simpul kebebasan berkespresi dan berkeyakinan masih terikat
dengan sangat kuat. Meskipun undang-undang negara menjamin akan
keluwesan aspek religius masyarakat, nyatanya di masa ini kebebasan
untuk beragama tidak terlihat sama sekali.19 Agama-agama lokal yang ada
tidak diakui sebagai sebuah sistem kepercayaan layaknya agama- agama
besar Nusantara, kesemua kepercayaan yang bersumber dan berkembang
dari akar peradaban masyarakat setempat itu hanya dikelompokkan
sebagai aliran kepercayaan yang berada di bawah lindungan Direktorat
Bina Hayat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena dianggap
sebagai kekayaan kultural bangsa, bukan sebagai sistem kepercayaan yang
posisinya berada di bawah Departemen Agama. Kondisi ini tetap dijaga
karena bisa menetralisir pelbagai macam pengaruh negatif eksternal yang
seringkali tiba-tiba datang dan mengganggu eksistensi ADS serta
menghancurkan perkembangannya. Mengingat usianya yang semakin
menua, maka di tahun 1990-an Djatikusumah mulai mempersiapkan anak
laki-laki satu-satunya yang ia miliki, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk
melanjutkan pengembangan ajaran ini. Anaknya itu digembleng dengan
nilai dan ajaran ADS secara komprehensif.
18
Tendi, Tesis Sejarah Agam Djawa Sunda Di Cigugur Kuningan 1939-1964, hlm. 193
19
Pangeran Djatikusumah,Pamaparan Budaya Spritual ,hlm. 27.
Setelah melalui perjuangan yang hebat di era Orde Baru, ADS benar-
benar kembali ke tengah masyarakat secara terang-terangan pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hingga saat ini, masyarakat adat
Sunda tersebut hidup damai di Cigugur Kuningan bersama para penganut
agama-agama lainnya.
3.Masa Reformasi Hingga Sekarang
20
Agama Djawa Sunda adalah nama sebuah ageman yang dirintis
oleh Kyai Madrais sejak abad ke-19. Di masa Belanda, saat Madrais
memimpin, ajaran ini dikenal sebagai Igama Djawa Pasoendan, sedangkan
di masa kepemimpinan Tedjabuana sebagai penerusnya, ajaran ini disebut
dengan Agama Djawa 42 Sunda. Adapun di masa periode yang ketiga,
ketika Djatikusumah berdiri sebagai pemimpin dari tahun 1981 sampai
sekarang, apa yang dimulai oleh Madrais ini kembali berubah nama
menjadi Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan. Meskipun
begitu, istilah Djawa Sunda tetap menjadi trademark dari kepercayaan ini,
penamaan tersebut sangat terkenal di tengah masyarakat luas. Sekilas,
penamaan atas ajaran Madrais ini seakan menjurus ke arah suku dan
budaya tertentu, yaitu ke arah suku Jawa dan Sunda, seolah-olah
menunjukkan bahwa aliran kebatinan ini hanya mengkhususkan diri pada
kedua suku tersebut. Kenyataannya, nama Djawa Sunda berasal dari suatu
singkatan. Kata Djawa, jika diurai lebih panjang berasal dari kata andjawat
dan andjawab, yang artinya adalah menyaring atau menampung dan
melaksanakan. Sementara itu, kata Sunda berasal dari kata roh susun kang
den tunda, sun diambil dari kata susun dan da diambil dari kang den tunda
sehingga jika digabungkan menjadi kata Sunda yang memiliki arti
pelbagai macam zat hidup yang terdapat dalam segala sesuatu yang
dihasilkan oleh Roh Hurip Tanah Pakumpulan atau bumi.
Ketika reformasi sudah digulirkan dan rezim berganti dari yang
awalnya bersifat tertutup menjadi terbuka, masyarakat penghayat ADS
mulai menaruh harapan yang tinggi kepada komunitas spiritual dan
20
Ibid, hlm, 194-196
15
budaya tersebut agar bisa berkembang dengan lebih pesat. Meskipun
begitu, tantangan yang menghampiri tidak pernah berhenti dan tetap ada
dari waktu ke waktu. Bahkan, tantangan itu selalu lebih maju dan lebih
kompleks ketimbang di masa-masa sebelumnya.
Hingga dasawarsa kedua dari tahun 2000-an ini, cobaan yang paling
penting bagi perkembangan ADS adalah penguatan aspek internal
kelompok, seperti soliditas dan kreativitas para penganutnya. Hasse
menambahkan bahwa “keberadaan agama lokal di masa depan sangat
ditentukan oleh kreativitas internal dalam merespons berbagai perubahan
yang terjadi di sekitarnya. Dalam lingkup lingkungan internal, soliditas
semacam itu adalah salah satu hal penting yang bisa mempertahankan
keutuhan kelompok agar terus dapat bertahan melawan terpaan zaman."
Dengan demikian, keberhasilan para pengikut Madrais untuk
mempertahankan eksistensinya bergantung pada kebersamaan anggota
dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran ADS di dalam pelbagai aspek
kehidupan masyarakat yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
F. Penutup
Kesimpulan
17
Daftar Pustaka