Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SUNDA WIWITAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Studi Agama
Kontemporer

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Syafwan Rozi, M. Ag

Disusun Oleh:
KELOMPOK 9

NANDA HUZAIFAH 4321001


NOVRALIZA 4321062

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS I SLAM NEGERI (UIN) SJECH M.DJAMIL DJAMBEK


BUKITTINGGI

1444 H/2022 M
A. Pendahuluan
Indonesia adalah satu bangsa untuk semua suku bangsa dan bangsa yang
ada dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan
berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama itu. Aspek
berkebudayaan di dalamnya mengandung aspek religius atau aspek
berkepercayaan terhadap “Tuhan” yang diyakininya. jika merujuk pada
keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara,
kita akan melihat keanekaragaman kepercayaan kepada Tuhan dengan
berbagai ekpresi budaya spiritual dan dalam berbagai ritual yang
dilakukannya. Semua bentuk kehidupan berkepercayaan itu dijadikan
landasan bersama sebagai bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai
kepercayaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.1

Agama duniawi disebut juga agama budaya yang di dalamnya terdapat


hal-hal yang bersifat religi. Koentjaraningrat, mengutip pendapat Durkheim,
mengatakan bahwa agama merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan
keyakinan dan upacara-upacara yang bersifat keramat . Timbulnya agama
danbudaya dalam pikiran manusia dikarenakan getaran jiwa yang disebut
emosi keagamaan. Dimana dalam batin manusia sendiri timbul pemikiran,
perilaku kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap mempunyai
kekuatan yang luar biasa.2

Kehadiran suatu sistem kepercayaan pada suatu masyarakat, begitu


sederhana sekali. Ketika manusia bersentuhan dengan alam semesta, maka
manusia pun segera melihat keberadaan dirinya dengan alam semesta
tersebut. Manusia begitu bergantung akan kehadiran alam semesta, sehingga
konsep tentang sistem kepercayaan tumbuh dari adanya pemahaman manusia
akan alam semesta.

1
Ira Indrawardana, Berketuhanan Dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, dalam
e-jurnal MELINTAS, 2014. Hal, 2.
2
Deni Miharja, Sistem Kepercayaan Awal Masyarakat Sunda, dalam e-jurnal Al
AdYaN/Vol.X,.N0.1/Januari-Juni/2015,hal.20.

1
B. Pengertian dan Sejarah Munculnya Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam
dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat
asli suku sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di
provinsi Banten dan Jawa Barat. Menurut penganutnya sunda wiwitan
merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang sunda sebelum
datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Istilah Sunda sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yakni sund atau
suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. (Dalam bahasa Jawa Kuno
Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang
sama yakni bersih, suci, murni, tidak bercela atau bernoda, air, tumpukan,
pangkat, dan waspada.3

Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam
Carita Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda, diketahui bahwa Sunda
Wiwitan dianut di beberapa wilayah di Indonesia, diantaranya di wilayah
Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat dan di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Kebudayaan Sunda mengalami proses, perubahan dan perkembangan


kebudayaan sebagai hasil perjalanan sejarah. Perubahan itu terjadi, baik
karena kreativitas dan dinamika pencipta dan pendukung kebudayaan Sunda
sendiri (faktor intern), yaitu orang Sunda, maupun karena pengaruh dari luar
(faktor ekstern), kebudayaan Sunda telah berulangkali mengalami perubahan.
Ditinjau dari sudut pengaruh kebudayaan luar, paling tidak kebudayaan
Sunda telah mengalami lima kali perubahan besar, yaitu secara kronologis
sebagai pengaruh, pertama, kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari anak

3
Jagat Rayana, dkk. Tatanan Keyakinan Masyarakat Sunda Wiwitan Di Era 4.0, dalam
Jurnal Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 18 No. 1, 2021, hal. 5
benua India, kedua, Kebudayaan Islam yang datang dari jazirah Arab, ketiga,
kebudayaan Jawa yang datang dari tetangga dekat satu pulau Pulau Jawa,
keempat, kebudayaan Barat yang datang dari benua Eropa, dan kelima,
kebudayaan nasional karena Tatar Sunda terintegrasi dan menjadi bagian
Negara Republik Indonesia dan kebudayaan global karena makin cepatnya
kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi yang
memperpendek jarak dan meningkatkan mobilisasi manusia.4

Pada tahun 1848 berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal


dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS yang biasa dikenal
sebagai Madraisme yang diambil dari nama pendirinya, Pangeran Madrais
Alibasa Widjaya Ningrat. Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat
pendidikan pesantren yang merupakan pengaruh dari kakek dari pihak ibu
pengasuhnya namun ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke
berbagai “paguron” yang ada di Jawab Barat. Ia berhenti dari pesantren
karena dalam kisahnya ia menerima “bisikan gaib” (ilham) yang memberi
petunjuk agar ia pergi menelusuri dusun-dusun yang terpencil dan angker
untuk melakukan pemujaan, di tempat itulah ia betapa.
Perjuangan Madrais merupakan hal yang penting yang tercatat dalam
sejarah ADS, karna perjuangannyalah ADS dan pokok-pokok ajarannya
lahir Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS
merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang
dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dalam mengembangkan
ajaranya, Indonesia saat itu masih di jajah oleh Belanda dan ADS dianggap
radikal pada masa itu, seringkali pangeran Madrais ditanggakap oleh
Belanda hingga dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa namun Pangeran
Madais tidak berhenti mengajar , meski yang diajarnya adalah pasien
penyakit jiwa. Melihat itu, Pangeran Madrais dikeluarkan dari rumah sakit
tersebut karena pemerintah khawatir pasien rumah sakit terpengaruh oleh

4
Ibid, Sistem Kepercayaan Awal…, hal. 22

3
ajarannya yang dianggap radikal. Pada tahun 1926 semua petugas Belanda
di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun diperbolehkan lagi
melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927 tata cara
perkawinan ADS diakui secara hukum.
Pada tahun 1940, Pangeran Madrais meninggal dunia, jenazahnya di
makamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di bawat
Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh putranya Pangeran
tedjabuana Widjaja Ningrat.5 Di masa kepemimpinan yang kedua ini, ADS
banyak mendapat tekanan dari kelompok sosial, pihak-pihak yang
berkuasa khususnya dari penjajah Jepang hingga Orde lama, karena
tekanan dari dua periode ini ADS resmi dibubarkan pada tahun 1964.
Di tahun 1964 perkembangan ADS benar-benar berhenti sama sekali.
Pergeseran rezim ke Orde Baru sangat berbeda pun turut memperumit
keadaan Pemerintahan Soeharto yang hanya mengakui beberapa agama,
menekan para penganut agama lokal “yang dianggap tidak resmi” untuk
menentukan pilihan secara jelas, akhirnya penganut ADS memeluk agama
resmi pemerintah, namun tidak sedikit sedikit dari mereka yang tetap
memelihara keyakinan mereka terhadap ajarah ADS.6
Tedjabuana wafat di tahun 1978, lalu perjuangan ADS ini dilanjutkan
oleh anaknya laki-laknya yaitu Djatikusuma, ia menghadapi banyak
macam hal yang melintag ketika ingin melestarikan ajaran dan tuntutan
yang di wariskan olehkakeknya tersebut, oleh karena itu, Djatikusumah
pun mulai merintis cara dan strategi agar bisa membangun kembali ADS.
Setelah melalui pelbagai hambatan dan rintangan, usaha keras
Djatikusumah pun mulai terlihat ketika ia dapat mendirikan Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).7
Djatikusumah berjuang untuk mempertahankan keyakinan yang telah

5
Ahmad Muttaqien, SPIRITUALITAS AGAMA LOKAL, Al-AdYaN/Vol.VIII,
N0.1/Januari-Juni/2013 dalam e-jurnal, hlm. 91-93
6
Rakhmat Hidayat, PhD, Eksistensi dan Resistensi Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan,
Penerbit Labsos, Jakarta, 2017, hlm. 12-13
7
Ibid, hlm. 14
diturunkan oleh kakek dan ayahnya. Ia merintis dan menggali kembali
sejumlah nilai dan seni kultural masyarakat, sama seperti yang dilakukan
oleh kakeknya. Pada masa Orde Baru, langkah yang diambil oleh
pemimpin ADS yang tidak memiliki pendidikan formal tinggi ini begitu
berat karena simpul-simpul kebebasan berkespresi dan berkeyakinan masih
terikat dengan sangat kuat. Meskipun undang-undang negara menjamin
akan keluwesan aspek religius masyarakat, nyatanya di masa ini kebebasan
untuk beragama tidak terlihat sama sekali. Mengingat usianya yang
semakin menua, maka di tahun 1990- an Djatikusumah mulai
mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki, yaitu Gumirat
Barna Alam, untuk melanjutkan pengembangan ajaran ini. Anaknya itu
digembleng dengan nilai dan ajaran ADS secara komprehensif.
Saat ini Pangeran Gumirat Barna Alam atau yang sering dipanggil
Rama Anom sudah mulai menggantikan posisi ayah nya dikarenakan
Pangeran Djatikusumah kondisi fisiknya sudah melemah. Rama Anom
sudah sering kali menghadiri acaraacara yang tidak bisa dihadiri oleh
ayahnya. Masyarakat sekitar pun sudah banyak mengenal sosok Rama
Anom yang kelak akan menggantikan Pangeran Djatikusumah.
Dalam hal pergantian kepemimpinan setelah Pangeran Gumirat
Barna Alam, ia telah mempersiapkan anak laki-lakinya yang kelak akan
menggantikan ia ketika ia sudah wafat. Anak laki-laki dari Pangeran
Gumirat Barna Alam bernama Kukuh Djati Swara Tedja Ningrat berumur
13 tahun, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Anak rama
yang ketiga ini sudah disiapkan diajarkan dengan proses Mulai dari kecil
sudah diberikan pemahaman sesaui dengan umurnya. Dia sudah diberi
tahu bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin. Bentuk pendidikan
kepimpinan yang diberikan Rama Anom berupa wejengan atau nasihat –
nasihat.8

8
Ibid, hlm. 15

5
C. Pengikut dan Organisasi
Pada tahun 1955, pangeran Tedjabuana dan beberapa tokoh aliran
kepercayaan lainnya seperti Mei Kartawinata, Wongsonegoro, O
Romodjati, R Rumuwisit, R Sukamto, mengorganisir aliran-aliran
kepercayaan dengan mendirikan sebuah organisasi Badan Koordinasi
Kebatinan Indonesia (BKKI), gabungan dari seluruh aliran kepercayaan
atau kebatinan di Indonesia. Tahun 1964 dilarang kembali oleh pemerintah
RI, pada saat itu P. Tedjabuana dan sebagian besar pengikutnya konversi
masuk ke agama Katolik. Konversi agama ini bukan didasari oleh
keyakinan akan kebenaran ajaran Katolik, tetapi dalam rangka
mengamankan diri dari tindakan mayoritas agama resmi yang ingin
menyudutkan ADS seperti tuduhan sesat, kafir, dan tindakan diskriminatif
lainnya.
Bubarnya ADS menandai masuknya fase ketiga bagi agama Djawa
Sunda, yang biasa disebut sebagai periode Djatikusumah. Pada tanggal 11
Juli 1981, Pangeran Djatikusumah bersama pengikut ADS mendirikan
organisasi PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). Pendirian
PACKU secara implisit adalah usaha menghidupkan kembali ADS yang
telah dilarang karena dianggap telah menyimpang. Dengan menggunakan
Paguyuban yaitu PACKU, Pangeran Djatikusumah mencoba meyakinkan
pemerintah bahwa yang diusahakan adalah sekedar menghidupkan adat
Sunda. Lalu , Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan SK.No.44
Tahun 1982 tertanggal 25 Agustus 1982 tentang pelarangan organisasi dan
kegiatan PACKU. Meski Organisasi PACKU sudah terdaftar pada
Direktorat Jenderal Bina Hayat No.192/R.3/N.1/1982, akhirnya
dibubarkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Sejak dilarangnya PACKU tahun 1982 tersebut, Pangeran
Djatikusuma dan para pengikutnya mengedentifikasi diri komunitasnya
sebagai Adat Karuhun Urang (AKUR), sebagai masyarakat adat yang
terkadang mereka sebut dengan Sunda Wiwitan. Dengan pernyataan
tersebut, keberadaan mereka dapat diterima oleh masyarakat sampai saat
ini. Pada masa sekarang, masyarakat adat Cigugur secara resmi menyebut
ajarannya dengan sebutan Adat Karuhun Urang (adat nenek moyang kita),
disingkat AKUR. Akan tetapi apapun label yang dibuat komunitas ini,
masyarakat di luar komunitas biasanya menyebut pemikiran dan kegiatan
(kepercayaan dan adat) tersebut dengan sebutan sebelumnya, yaitu
penghayat ajaran Madrais, karena memang mereka sebenarnya
meneruskan ajaranajaran yang telah dirintis oleh Kyai Madrais.9

Ajaran Madrais tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah di


Jawa Barat sepeti Padang Larang Bandung, Lesres Garut, Indramayu,
Ciamis, Cigugur,Majalengka, Tasikmalaya, Purwakarta, Bogor, bahkan
sampai ke DKI Jakarta. Jumlah penganutnya dipercayai mencapai lebih
dari 100.000 orang, walaupun yang terdaftar dalam catatan buku cacah
jiwa hanya sekitar 25.000 orang.

Pengaruh ADS cukup penting bagi perkembangan agama lokal di


Jawa Barat, hal itu dibuktikan dengan berdirinya satu kampung di daerah
Cireunde, Cimahi Bandung yang menjadikan ADS sebagai rujukan dalam
sistem kepercayaannya, walaupun dalam pengaplikasiannya telah di
modifikasi dan teralimiasi dengan budaya setempat. Ajaran ADS mungkin
sekarang tinggal kenangan di sebagian tempat, tetapi indikasi keberadaan
pengikutnya masih banyak terdapat di tempat asalnya Cigugur Kunigan.10

D. Ajaran Dan Ritual


Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam
dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat
asli suku sunda. Akan tetapi ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa
sunda wiwitan juga memiliki unsur monteisme purba, yaitu diatas para
Pengersa Yan Hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi
maha kuasa yang tak terwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang setara
9
Husnul Qodim, Strategi Bertahan Agama Djawa Sunda (ADS) Cigugur, Jurnal Kalam,
Vol 11, No.2, Desember 2017, hlm. 351-354
10
Roro Sri Rejeki Waliyajati, Agama Djawa Sunda (ASD), Jurnal Agama dan Lintas
Budaya, vol.1, tahun 2017

7
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Sunda terkandung dalam kitab
Sanghyang Siksa Kandang Karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman
kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan
dan pembelajaran budi perkerti. 11

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak


terpisah dari wadah tiga Buwana, yaitu (1) Buwana Nyungcung sama
dengan Buwana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang
Keresa di tempat paling atas; (2) Buwana Panca Tengah atau Ambu
Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau
Arca pada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buwana
Larang sama dengan Buwana Handap atau Ambu Handap yaitu tempatnya
neraka.

Manusia yang hidup di Buwana Panca Tengah suatu saat akan


menemui Buwana Akhir yaitu Buwana Larang, sedangkan proses
kelahirannya ditentukan di Buwana Luhur. Antara Buwana Nyungcung
dan Buwana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari
atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau
Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam12.

13
Dalam pandangan hidup Agama Djawa Sunda, tentunya tidak
terlepas dari pandangan hidup dari pangeran Madrais selaku pendisi dari
ADS tersebut, pada awalnya sebagia pedoman filsafat atau pedoman
teologis Pangeran Madrais mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk
sebagai berikut:

11
Ekadjati, Edi S., "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya,
Jakarta, 1995, halaman 72-73
12
Pohaci dimaksudkan kepada roh nenek moyang atau leluhur
13
Husnul Qodim, Strategi Bertahan Agama Djawa Sunda (ADS) Cigugur, Jurnal Kalam,
Vol 11, No.2, Desember 2017, hlm. 339
a) Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-wiji (percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa)
b) Ngaji Badan (mawas diri/intropeksi diri/retropeksi)
c) Akur Rukun Jeung Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama)
d) Hirup Ulah Pisah ti Mufakat (mengutamakan musyawarah untuk
mencapai mufakat)
e) Hirup Kudu Silih Tulungan (hidup harus tolong menolong)

Padangannya memperoleh jelas lewat ajaran pemikiran yang di sebut


dengan “Pikukuh Tilu” yang masih diterapkan dan masih dijalankan oleh
14
para penghayat ADS di Cigugur. ‘Pikukuh’ yang berarti peneguh dan
‘Tilu’ yang berarti tiga. Tiga peneguh sebagai landasan hidup untuk
mencapai kesempurnaan hidup. Isi pikukuh tilu tersebut ialah ‘ngaji
badan’, ‘tuhu mituhu kana tanah’, dan ‘madep ka ratu-raja 3-2-4-5 lilima
6’. ‘Ngaji badan’ berarti kita harus menyadari tentang adanya sifat-sifat
lain yang ada disekitar kita. ‘Tuhu kana Tanah’ adalah tuhu atau
bersikukuh kepada kebangsaan, jadi yang dimaksud dengan ‘kuhu kana
tanah’ adalalah agar kita selaku manusia yang telah diciptakan menjadi
anggota suatu bangsa harus mencintai bangsanya dengan cara melestarikan
cara ciri bangsa sendiri.

‘Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6’, madep berati mengarah kepada
tujuan ratanya diatas 3, 2, 4, 5, lilima enam yang mengandung arti:

a) Ratu-raja 3: Cipta rasa dan karsa atau Sir, Rasa dan Pikir.
Dalam hidup kita selalu diselubungi oleh macam ragam
kehendak atau keinginan oleh karena itu kita harus selalu
waspada terhadap jalannya Sir, Rasa dan Pikir, sesuai dengan
kehendak sang Pencipta atau tidak
b) Ratu-raja 2: hukum keseimbangan dalam hidup atau adanya
sifat berpasangan. Kita harus sadar jangan sampai tergerak

14
Ibid, hlm. 340

9
oleh pengaruh nafsu yang tidak selaras dengan sifat manusia
dan sifat bangsa
c) Ratu-raja 4: aktifitas sepasang tangan dan sepasang kaki.
Ketika kita menggunakan kedua tangan dan kedua kaki
hendaklah waspada dan sadar dalam gerak dan tingkah laku
serta tindakan, Karena harus sesuai dengan sifat dan cara-ciri
sebagai manusia
d) Ratu-raja 5: disebut dengan panca indera. Kita harus waspada
suatu menggunakan panca indera, karena panca indera
merupakan jembatan penghubung antara kita dan alam sekitar
e) Ratu-raja lilima: sifat dari fungsi indera artinya walaupun
dalam sifat panca indera kita sama, tetapi sifat-sifat bangsa
yang satu dengan yang lain berbeda cara-cirinya
f) Ratu-Raja 6: tunggal wujud manusia seutuhnya. Wujud kita
adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang diberi tugas
untuk mewujudkan kedamaian di alam lahir sesuai dengan
sifat dan kodrat yang diberikan kepada manusia yaitu peri
kemanusiaan.

15
Untuk melengkapi ajaran tentang ‘Pikukuh Tilu’, komunitas ADS
dianjurkan melakukan olah rasa. Dalam kegiatan olah rasa penganut
Madrais melakukannya sehari dua kali, yaitu sebelum tidur dan sesudah
bangun tidur. Olah rasa atau samadi dilakukan dalam sikap duduk
sempurna yang baik, dengan rasa penyerahan diri, serta merasakan bahwa
“tiada kekuasaan lain kecuali Tuhan adanya. Tiada asal akan segala asal
kecuali Tuhan Yang Maha Pencipta”. Dalam mengolah rasa, di samping
mengatur napas dan merasakannya, disertai pula berusaha melihat wajah
sendiri dalam penglihatan rasa, sambil mengucapkan do’a sebagai berikut:

Pun sapun ka sang rumuhun


Gusti nu murbeng jagat
15
Ibid, hlm. 341
Nu kagungan marga dumadi jisim
Nu nyangking pasti papasten
Nu nebarkeun binih urip bini pati
Maha Agung, Maha Murah, Maha Asih
Maha Kawasa, Maha Uninga tur Maha Adil
Abdi nampi cipta karsa Gusti
Teu aya daya pangawasa iwal ti pangersa Gusti
Mugi Abdi dikersakeun dina midamel
Salir puri samudaya karsa Gusti
Nudi olah karsa Gusti, nu ngolah pengersa Gusti
Abdi nampi kana keagungan sareng kajembaran Gusti
Mugi abdi pinareng rahayu
Rahayu sagung dumadi
Selain ritual samadi yang bersifat individual, dalam komunitas
penghayat ajaran Madrais terdapat pula ritual inti berupa upacara kematian
dan upacara seren taun. Upacara kematian dimaknai sebagai prosesi
penghormatan dan perpindahan alam bagi setiap orang yang meninggal,
berarti ia pulang ke ‘jagad peteng’ (alam gelap). Beberapa hal yang
dilakukan pada orang yang meninggal sebelum dikuburkan adalah:

a) dibungkus dengan kain hitam, yang berarti kematian itu


memasuki alam yang gelap
b) jenazah dimasukkan ke dalam peti terbuat dari kayu jati, yang
berarti manusia telah pulang ke alam yang sejati
c) di dalam peti kayu jati disimpan arang, kapur, dan beras.
Benda-benda itu memiliki kegunaan sendiri-sendiri. Arang
berguna untuk melumpuhkan roh atau makhluk halus yang
berada di dalam kayu jati, kapur berguna untuk mencegah agar
mayatnya tidak diganggu orang yang masih hidup, sedangkan

11
beras dimaksudkan bahwa hidup manusia sangat tergantung
pada beras sebagai bahan makanan sehari-hari. 16

Sedangkan upacara Seren Taun adalah ritual upacara yang diadakan


secara rutin satu kali dalam setahun sebagai ungkapan rasa syukur
terhadap Tuhan YME. atas karunia kehidupan dan nikmat rizki berupa
hasil panen yang diberikanNya. Madrais menetapkan tanggal 1 Syura
sebagai hari besar Seren Taun yang dirayakan secara besarbesaran antara
lain dengan dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil
bernyanyi).

E. Perkembangan Agama Djawa Sunda


Ketika Madrais mengembangkan ajarannya, Indonesia sedang berada
di bawah penjajahan Belanda. Berhubung waktu itu sedang menghadapi
penjajah Belanda yang membutuhkan persatuan, maka ajaran yang
dikembangkan oleh Madrais tidak banyak menghadapi konflik dengan
kelompok mayoritas. Bahkan mendapatkan pengakuan dari pemeritah
Belanda.
Pada masa Jepang, kebijakan pemerintah Jepang banyak merugikan
perkembangan ADS. Jepang khawatir, kalau ADS menjadi alat perjuangan
para pejuang Indonesia. Pada masa Jepang ini, Pangeran Tedjabuana
mengalami banyak tekanan dari pemerintahan Jepang, diantaranya:
dipaksa untuk membubarkan ADS kemudian masuk agama Islam, dipaksa
menyerahkan ketiga anak perempuannya kepada tentara Jepang. P.
Tedjabuana tidak menghiraukan tekanantekanan tersebut. Ia tetap
mengembangkan ADS dan menyembenyika ketiga anak peerempuannya
ke kampung Ciputri, desa Cisantana. Akhirnya pada tahun 1944,
pemerintah Jepang melarang perkembangan ADS dan pemimpinnya,
Pangeran Tedjabuana, dibuang ke Bandung Sehingga kebanyakan
pengikutnya konversi masuk agama Islam. Pada saat itu pengikut ADS
merosot hanya tersisa 30.000 orang

16
Ibid, hlm. 342
1. Orde Lama
Di masa awal kemerdekaan, ketika kondisi negara mulai aman,
Pangeran Tedjabuana mendeklarasikan kembali lagi kepada kepercayaan
ADS. Namum kemudian, pada tahun 1951, Pangeran Tedjabuana konversi
masuk Islam saat putrinya menikah dengan Raden Subagiaraharja. Setelah
itu, pangeran Tedjabuana kembali lagi ke mengembangkan ADS.
Peristiwa berulang kali pangeran Tedjabuana keluar masuk agama Islam
membuat marah para pemeluk Islam. Di sisi lain, kelompok Mayoritas
agama resmi (Islam) mulai menyejajarkan ADS dengan ajaran keagamaan.
ADS dianggap sebagai bentuk agama baru di luar agama-agama yang
sudah ada di Indonesia, seperti yang dianggapkan terhadap Ahmadiyah
saat ini.
Berbagai konflik sering terjadi antara komunitas ADS dengan
mayoritas Islam Cigugur, sampai pada akhirnya pada tanggal 12 Februari
1964, secara resmi Agama Djawa Sunda (ADS) dilarang oleh pemerintah
melalui SK No 001/KPTS/DK 1964 51. Atas saran pemerintah, dan
desakan masyarakat Islam Kuningan, pada tanggal 21 September tahun
1964 P. Tedjabuana membuat surat pernyataan diatas materai tentang
pembubaran ADS. Dalam surat tersebut juga disarankan agar pengikutnya
memeluk salah satu dari lima agama resmi dan yang dinyatakan dalam
surat tersebut. Pangeran Tedjabuana sendiri yang beristri penganut
Katolik, kemudian memilih konversi ke agama Katolik, maka sebagian
besar pengikutnya mengikuti jejaknya masuk agama Katolik. Sebagian
pengikutnya masuk agama Protestan, dan hanya sebagian kecil yang
masuk Islam.17
Setelah dibubarkan oleh pemimpin Pangeran Tedjabuana di tahun
1964, perkembangan ADS benar-benar berhenti sama sekali. Pergeseran
rezim ke Orde Baru yang sangat berbeda pun turut memperumit keadaan
karena masa ini adalah masa yang sangat keras terhadap pelbagai macam
bentuk perlawanan. Pemerintahan Soeharto yang hanya mengakui

17
Ibid, hlm. 343

13
beberapa agama, menekan para penganut agama lokal "yang dianggap
tidak resmi" untuk menentukan pilihan secara jelas. Pada akhirnya, banyak
dari para penghayat ADS yang beralih keyakinan ke agama- agama besar
yang diakui negara, terutama agama Katolik yang dianggap memiliki
banyak kesamaan ajaran dan juga memiliki sejumlah jasa terutama
terhadap pemimpin komunitas ADS. Meskipun memeluk agama resmi
pemerintah, tidak sedikit dari mereka yang tetap memelihara keyakinan
mereka terhadap ajaran ADS.
2. Orde Baru
18
Pada masa Orde Baru, langkah yang diambil oleh pemimpin ADS
yang tidak memiliki pendidikan formal tinggi ini begitu berat karena
simpul-simpul kebebasan berkespresi dan berkeyakinan masih terikat
dengan sangat kuat. Meskipun undang-undang negara menjamin akan
keluwesan aspek religius masyarakat, nyatanya di masa ini kebebasan
untuk beragama tidak terlihat sama sekali.19 Agama-agama lokal yang ada
tidak diakui sebagai sebuah sistem kepercayaan layaknya agama- agama
besar Nusantara, kesemua kepercayaan yang bersumber dan berkembang
dari akar peradaban masyarakat setempat itu hanya dikelompokkan
sebagai aliran kepercayaan yang berada di bawah lindungan Direktorat
Bina Hayat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena dianggap
sebagai kekayaan kultural bangsa, bukan sebagai sistem kepercayaan yang
posisinya berada di bawah Departemen Agama. Kondisi ini tetap dijaga
karena bisa menetralisir pelbagai macam pengaruh negatif eksternal yang
seringkali tiba-tiba datang dan mengganggu eksistensi ADS serta
menghancurkan perkembangannya. Mengingat usianya yang semakin
menua, maka di tahun 1990-an Djatikusumah mulai mempersiapkan anak
laki-laki satu-satunya yang ia miliki, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk
melanjutkan pengembangan ajaran ini. Anaknya itu digembleng dengan
nilai dan ajaran ADS secara komprehensif.

18
Tendi, Tesis Sejarah Agam Djawa Sunda Di Cigugur Kuningan 1939-1964, hlm. 193
19
Pangeran Djatikusumah,Pamaparan Budaya Spritual ,hlm. 27.
Setelah melalui perjuangan yang hebat di era Orde Baru, ADS benar-
benar kembali ke tengah masyarakat secara terang-terangan pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hingga saat ini, masyarakat adat
Sunda tersebut hidup damai di Cigugur Kuningan bersama para penganut
agama-agama lainnya.
3.Masa Reformasi Hingga Sekarang
20
Agama Djawa Sunda adalah nama sebuah ageman yang dirintis
oleh Kyai Madrais sejak abad ke-19. Di masa Belanda, saat Madrais
memimpin, ajaran ini dikenal sebagai Igama Djawa Pasoendan, sedangkan
di masa kepemimpinan Tedjabuana sebagai penerusnya, ajaran ini disebut
dengan Agama Djawa 42 Sunda. Adapun di masa periode yang ketiga,
ketika Djatikusumah berdiri sebagai pemimpin dari tahun 1981 sampai
sekarang, apa yang dimulai oleh Madrais ini kembali berubah nama
menjadi Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan. Meskipun
begitu, istilah Djawa Sunda tetap menjadi trademark dari kepercayaan ini,
penamaan tersebut sangat terkenal di tengah masyarakat luas. Sekilas,
penamaan atas ajaran Madrais ini seakan menjurus ke arah suku dan
budaya tertentu, yaitu ke arah suku Jawa dan Sunda, seolah-olah
menunjukkan bahwa aliran kebatinan ini hanya mengkhususkan diri pada
kedua suku tersebut. Kenyataannya, nama Djawa Sunda berasal dari suatu
singkatan. Kata Djawa, jika diurai lebih panjang berasal dari kata andjawat
dan andjawab, yang artinya adalah menyaring atau menampung dan
melaksanakan. Sementara itu, kata Sunda berasal dari kata roh susun kang
den tunda, sun diambil dari kata susun dan da diambil dari kang den tunda
sehingga jika digabungkan menjadi kata Sunda yang memiliki arti
pelbagai macam zat hidup yang terdapat dalam segala sesuatu yang
dihasilkan oleh Roh Hurip Tanah Pakumpulan atau bumi.
Ketika reformasi sudah digulirkan dan rezim berganti dari yang
awalnya bersifat tertutup menjadi terbuka, masyarakat penghayat ADS
mulai menaruh harapan yang tinggi kepada komunitas spiritual dan

20
Ibid, hlm, 194-196

15
budaya tersebut agar bisa berkembang dengan lebih pesat. Meskipun
begitu, tantangan yang menghampiri tidak pernah berhenti dan tetap ada
dari waktu ke waktu. Bahkan, tantangan itu selalu lebih maju dan lebih
kompleks ketimbang di masa-masa sebelumnya.
Hingga dasawarsa kedua dari tahun 2000-an ini, cobaan yang paling
penting bagi perkembangan ADS adalah penguatan aspek internal
kelompok, seperti soliditas dan kreativitas para penganutnya. Hasse
menambahkan bahwa “keberadaan agama lokal di masa depan sangat
ditentukan oleh kreativitas internal dalam merespons berbagai perubahan
yang terjadi di sekitarnya. Dalam lingkup lingkungan internal, soliditas
semacam itu adalah salah satu hal penting yang bisa mempertahankan
keutuhan kelompok agar terus dapat bertahan melawan terpaan zaman."
Dengan demikian, keberhasilan para pengikut Madrais untuk
mempertahankan eksistensinya bergantung pada kebersamaan anggota
dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran ADS di dalam pelbagai aspek
kehidupan masyarakat yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
F. Penutup
Kesimpulan

Agama duniawi disebut juga agama budaya yang di dalamnya


terdapat hal-hal yang bersifat religi. Koentjaraningrat, mengutip pendapat
Durkheim, mengatakan bahwa agama merupakan suatu sistem yang
berkaitan dengan keyakinan dan upacara-upacara yang bersifat keramat2 .
Timbulnya agama dan budaya dalam pikiran manusia dikarenakan getaran
jiwa yang disebut emosi keagamaan. Dimana dalam batin manusia sendiri
timbul pemikiran, perilaku kepercayaan terhadap suatu benda yang
dianggap mempunyai kekuatan yang luar biasa.

Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan


alam dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh
masyarakat asli suku sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di
beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat. Menurut penganutnya
sunda wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang
sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Agama Djawa Sunda (nama mutakhir-sunda wiwitan madrais)


merupakan aliran kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar
didaerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama tersebut
dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama
sunda wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Agama Djawa Sunda
(ADS) yang berdiri sekitar tahun 1925 di Cigugur, adalah salah satu agama
lokal sekaligus juga komunitas masyarakat adat yang berkembang di Jawa
Barat. Sebagai kelompok Minoritas agama lokal, ADS sering menglami
hambatan dan ancaman berupa larangan negara dan tindakan tindakan
diskriminitif dari kelompok mayoritas agama resmi yang membuat
komunitas ini semakin terpinggirkan dan terdesak secara politik dan
kultural.

17
Daftar Pustaka

Indrawardana,Ira.(2014). Berketuhanan Dalam Perspektif Kepercayaan


Sunda Wiwitan, dalam e-jurnal MELINTAS.
Miharj,. Deni. (2015). Sistem Kepercayaan Awal Masyarakat Sunda,
dalam e-jurnal Al AdYaN/Vol.X,.N0.1/Januari-Juni.
Rayana, Jagat dkk.(2021). Tatanan Keyakinan Masyarakat Sunda
Wiwitan Di Era 4.0, dalam Jurnal Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam.
Vol 18 No. 1
Wiardi, Didi.(2007). Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur”
dalam Sisi Senyap Politik Bising, Budi Susanto, S.J. (ed.), Yogyakarta: Kanisius.
Waliyajati, Roro Sri Rejeki.(2017). Agama Djawa Sunda (ASD), Jurnal
Agama dan Lintas Budaya, vol.1
Qodim,Husnul. (2017). Strategi Bertahan Agama Djawa Sunda (ADS)
Cigugur, Jurnal Kalam, Vol 11, No.2.
Tendi. (2016). Tesis Sejarah Agam Djawa Sunda Di Cigugur Kuningan
1939-1964
Djatikusumah,Pamaparan Budaya Spritual
Muttaqien, Ahmad. (2013) SPIRITUALITAS AGAMA LOKAL, Al-
AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013 dalam e-jurnal.
Hidayat, Rahmat, PhD. (2017). PhD, Eksistensi dan Resistensi Sunda
Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Penerbit Labsos, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai