KEAGAMAAN
(As-Sunnah Al-Hayyah Pada Masa Nabi, Ihya’ As-Sunnah Pada
Masa Sahabat, Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Tabi’in, Ihya’ As-
Sunnah Pada Masa Pasca Mazhab, Dan Living Qur’an-Hadis Di Era
Kontemporer)
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Living
Al-Qur’an
Dosen pengampu: Zuhrupatul Jannah, M. Ag.
Segala puji kita bagi allah swt yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat
serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad saw yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya diakhir nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas kelimpahan nikmatnya, baik itu
secara fisik maupun akal pikiran sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah yang berjudul “Sejarah Living Qur’an-Hadits
Sebagai Fenomena Sosial Keagamaan”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran kepada pembaca untuk makalah ini,supaya nanti makalah ini menjadi makalah yang
lebih baik lagi.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
1
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan
Umat, cet 9, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 13.
2
Muhammad Syauman ar-Ramli, Keajaiban Membaca Al-Qur’an, terj. Arif Rahman
Hakim (Solo: Insan Kamil, 2007), hal. 27.
B. Rumusan Masalah.
Tujuan Penulisan.
3
Muhammad Mansur dkk, Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah al-Qur‟an, dalam
Metodologi Penelitian Living Qur‟an, Syahiron Syamsuddin (ed), Yogyakarta: TH Press, 2007), hal.
5
4
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 21.
5
Alamsyah, Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum Al-Hadits), (Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2015), hal. 14.
6
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 88.
َب َعنِّي َغي َْر ْالقُرْ آ ِن َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اَل تَ ْكتُبُوا َعنِّي َو َم ْن َكت َ ِ ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِريِّ أَ َّن َرسُو َل هَّللا
ْ
ِ َّي قَا َل هَ َّما ٌم أَحْ ِسبُهُ قَا َل ُمتَ َع ِّم ًدا| فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِم ْن الن
ار َ فَ ْليَ ْم ُحهُ َو َح ِّدثُوا َعنِّي َواَل َح َر َج َو َم ْن َك َذ
َّ َب َعل
Sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menulis hadis. Karena
dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa:
Dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Aku menulis segala sesuatu yang aku
dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, agar aku bisa
menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata,
'Apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang engkau dengar, sementara
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang manusia yang berbicara
dalam keadaan marah dan senang? ' Aku pun tidak menulis lagi, kemudian hal itu
aku ceritakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lalu
berisyarat dengan meletakkan jarinya pada mulut, lalu bersabda: "Tulislah, demi
jiwaku yang ada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut) kecuali
kebenaran.".10
Dapat dilihat bahwa ada dua kelompok riwayat yang kelihatannya terjadi
kontradiksi, kelompok pertama melarang penulisan hadis, sedang kelompok yang
kedua membolehkannya. Menurut An-Nawawi dan An-Suyuthi, larangan tersebut
dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran
akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat
hafalannya, maka diperbolehkan mencatatnya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar Al-
Asqalani, bahwa larangan Rasulullah menuliskan hadis adalah khusus ketika Al-
Qur’an turun dikarenakan ada kekhawatiran tercampurnya naskah Al-Qur’an
dengan hadis. Kemudian menurutnya larangan itu dimaksudkan juga untuk tidak
menuliskan Al-Qur’an dalam satu suhuf. Ini artinya, bahwa ketika wahyu tidak
turun dan dituliskan bukan pada suhuf untuk mencatat wahyu, maka
diperbolehkan menulis hadis.11
9
Muhajirin, Ulumul Hadis II, (Palembang: Noerfikri offset, 2016), hal. 56-58
10
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980)
11
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 71-72.
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatian yang serius
dalam memelihara hadis, demikian juga Umar bin Khatthab. Keduanya sangat
berhati-hati dalam menerima hadis. Dalam beberapa atsar disebutkan bahwa Abu
Bakar dan Umar tidak menerima hadis jika tidak disaksikan benarnya oleh seseorang
yang lain. Abu Bakar juga pernah menghimpun hadis, tetapi kemudian membakarnya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat yang disebut bersumber dari Aisyah radhiyallahu
‘anha ia berkata: “Ayahku mengumpulkan hadis Rasul sebanyak 500 buah. Di suatu
malam beliau tampak resah. Akhirnya saya bertanya, Apakah ayah sedang sakit atau
ada sesuatu ? Pagi harinya, beliau menyuruhku mendatangkan hadis yang ada
padaku. Setelah aku menyerahkannya, beliau membakarnya. Saya bertanya, kenapa
ayah membakarnya? Beliau menjawab, “Saya khawatir, bila saya mati hadis itu
masih ada padaku…”. Abu Bakar juga pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada
mereka ia berkata: “Kalian meriwayatkan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi
12
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 35.
13
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 29.
Demikian juga halnya dengan Umar bin Khaththab, dia tidak mudah
menerima suatu hadis sebagaimana yang terlihat dalam sebuah riwayat bahwa Ketika
Abu Musa al-Asy'ari bertamu ke rumah Umar, dia mengucapkan salam sampai tiga
kali. Umar mendengarnya, namun tidak menjawab karena ia mengira Abu Musa akan
masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata meleset, karena dilihatnya Abu Musa
kembali pulang. Ketika Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia berbalik
pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah bersabda, “Apabila seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak
juga dijawab oleh si pemilik rumah, maka hendaklah dia pulang kembali.” Umar
tidak puas atas keterangan Abu Musa tersebut, bahkan Umar mengancarnnya dengan
hukuman apabila dia tidak dapat menghadirkan saksi atas hadis yang disampaikan
Abu Musa tersebut. Dan pada saat itu tampillah Ubay bin Ka'ab memberikan
penjelasan tentang kebenaran riwayat tersebut, sehingga akhirnya Umar menerimanya
dan seraya berkata, “Aku tidak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku
khawatir kalau orang-orang berbicara tentang Rasul dengan mengada-ada.”
Menurut Ibnu Qutaibah, Umar bin Khatthab adalah orang yang paling keras
menentang sahabat memperbanyak periwayatan Hadis. Hal itu dimaksudkan untuk
menghindari kekeliruan dalam periwayatan Hadis.15
Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Usman bin Affan juga sangat teliti
dan hati-hati dalam menerima Hadis. Ia pernah mengatakan dalam suatu khutbahnya,
agar para Sahabat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah
mendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar. Demikian juga Ali ibn Abi Thalib yang
tidak dengan mudah menerima Hadis dari orang lain. Ali mengatakan, “Aku tidak
ragu-ragu dalam menerima Hadis yang langsung aku terima dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi jika orang lain meriwayatkannya maka aku akan
mengambil sumpah orang tersebut.”16
14
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 77.
15
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 111-112
16
Ibid.
17
Ibid, hal. 114.
18
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 36.
Pada masa tabi’in juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadis. Banyak
riwayat yang menunjukkan betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang
menghafal hadis, para tabi’in seperti: Ibnu Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibnu Shihab az-
Zuhri, Urwah bin Zubair dan alqamah adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sangat
menekankan pentingnya menghafal hadis secara terus menerus. Alqamah berkata:
“Dengan menghafal hadis maka hadis-hadis akan terpelihara”. Disamping
menghafal hadis diantara mereka juga menulis atau memiliki catatan hadis yang
mereka terima dari para sahabat. Di antara tabi’in besar yang menuliskan hadis-hadis
yang diterimanya, ialah Abban bin Usman bin Affan, Ibrahim bin Yazid an-Nakho’i,
Abu Salamah bin Abdurrahman, Abi Qilabah, Ummu Darda’, Junainah binti Yahya,
Jabir bin Zaid al-Asdi dan lain-lain.20
19
M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 36.
20
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 81.
a. Dengan lafaz asli, yakni menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka hafal benar lafaznya.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak
hafal lafaz asli dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.21
2. kemunculan Hadis Palsu
Pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadis palsu. Pemalsuan hadis
yang dimulai sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak,
tidak menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Adapun latar belakang
terjadinya pemalsuan hadis antara lain sebagai berikut:
a. Perpecahan umat Islam akibat pertentangan politik yang terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sangat besar berpengaruh terhadap
pemunculan hadishadis palsu. Masing-masing golongan berusaha
mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu, salah
satunya adalah membuat hadis palsu.
b. Usaha kaum zindiq, Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam,
baik sebagai agama atau pun sebagai dasar pemerintahan. Tujuan mereka
adalah menghancurkan agama Islam dari dalam. Abdul Al-Karim bin
Auja, seorang zindik, mengatakan “Demi Allah saya telah membuat hadis
palsu sebanyak 4.000 hadis.”
c. Perselisihan dalam fikih dan ilmu kalam, munculnya hadis hadis palsu
dalam masalah-masalah fikih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut
madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena didorong sifat
fanatik dan ingin menguatkan mazhabnya masing-masing.22
21
Muhajirin, Ulumul Hadis II, (Palembang: Noerfikri offset, 2016), hal. 87.
22
Alamsyah, Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum Al-Hadits), (Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2015), hal. 78-81.
3. Pengkodifikasian Hadis
Perioe ini disebut ‘Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan
pembukuan).23 Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke ll H,
yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz tahun 101 H.
Menurut Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis tersebut dilakukan karena:
Pertama, Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis
akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan
tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak berita yang diada-adakan
oleh pelaku bid’ah (al-mubtadi’) seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain
yang berupa hadis-hadis palsu. Periwayatan hadis pada masa ini, sebagaimana
masa sebelumnya, banyak diwarnai dengan hadis palsu dan bid’ah, yang berasal
dari kalangan-kalangan Khawarij, Syi’ah, orang-orang munafik, serta orang-orang
Yahudi.24
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm agar
mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Anshari
(ahli fiqh sekaligus murid Aishah radhiyallahu ‘anhai) dan al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq. Instruksi serupa ditujukan kepada
Muhammad bin Shihab az-Zuhri, seorang imam dan ulama besar di Hijaz dan
Syam. Beliau mengumpulkan hadis-hadis dan kemudian ditulisnya dalam
lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap
wilayah satu lembar.25
Perintah khalifah Umar tersebut direspon positif oleh umat Islam, sehingga
terkumpul beberapa catatan-catatan hadis. Hasil catatan dan penghimpunan hadis
berbeda-beda antara ulama yang satu dengan yang lain. Abu Bakar bin Hazm
berhasil menghimpun hadis dalam jumlah, yang menurut para ulama kurang
lengkap. Sedang ibnu Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya lebih lengkap.
Namun, kitab himpunan hadis-hadis mereka tidak ada yang sampai kepada kita.
Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab tadwîn yang bisa diwariskan
23
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 38.
24
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 36.
25
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 84.
Ulama hadis yang pertama kali menyaring dan membedakan hadis-hadis yang
sahih dari yang lemah maupun yang palsu adalah Ishaq bin Rahawaih. Pekerjaan
yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Al-
Bukhari. Kemudian usaha Imam Bukhari ini diikuti oleh muridnya, yaitu Imam
Muslim. Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ada, bermunculan imam
lain yang mengikuti jejak Imam Bukhari dan Imam Muslim, di antaranya Abu
Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang
dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan
masyarakat dengan sebutan Al-Ushul Al-Khamsah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun kitab Sunan-nya. Kitab sunan ini
kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga
kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-
Kutub As-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini, para ulama menetapkan Musnad
Ahmad.
26
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 36-37.
27
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 43.
28
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 89.
29
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 39.
30
Ibid, hal. 40.
Istilah living Qur’an atau pun living hadis sebenarnya telah dipopulerkan oleh
Barbara Metcalf melalui artikelnya, “Living Hadith in Tablighi Jamaah”. Jika
ditelusuri lebih jauh, tema ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah Living
sunnah, dan lebih jauh lagi adalah praktik sahabat dan tabiin dengan tradisi madinah
yang digagas oleh Imam Malik. jadi pada dasarnya ini bukanlah barang baru. Hanya
saja, sisi kebaruannya adalah pada frasa kata yang digunakan33
Living hadis adalah tradisi yang hidup dalam masyarakat yang didasarkan
kepada hadis. Penyandaraan kepada hadis tersebut bisa dilakukan hanya terbatas di
daerah tertentu saja atau lebih luas cakupannya. Pada prinsipnya adanya lokalitas
bentuk praktek dalam masyarakat. Kajian tentang fenomena sosial muslim yang
termasuk dalam kajian living hadis adalah aktivitas yang dikaitkan oleh si pelaku
sebagai aplikasi dari meneladani Nabi atau dari teks-teks hadis. Aktivitas ini terkait
31
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 91-95.
32
Nikmatullah, Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks Dan Konteks, Jurnal Holistic, Vol. 1,
No. 2, 2015, hal. 227.
33
Saifuddin Zuhri Qudsy dan Subkhani Kusuma Dewi, Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, Dan Transmisi,
(Yogyakarta: Q-Media, 2018), hal. 4.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hadis Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yang menjadi acuan ummat Islam telah termanifestasikan dalam
kehidupan masyarakat luas. Dalam pada itu, paling tidak ada tiga variasi dan bentuk
Nikmatullah, Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks Dan Konteks, Jurnal Holistic, Vol. 1,
34
35
Fahmi Yasin,Tesis: Tradisi “Zuwaj” Masyarakat Koja Kota Semarang, (Semarang: UIN Walisongo
Semarang, 2018), hal. 24-25.
Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Living Qur’an merupakan respon masyarakat atau pemahaman masyarakat
muslim terhadap kehadiran al-Qur’an yang difungsikan diluar kapasitasnya sebagai teks.
Dilihat dari sini sebenarnya kajian living Qur’an sudah sama tuanya dengan kehadiran al-
Qur’an itu sendiri ditengah masyarakat muslim. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan
bahwa living Qur’an adalah suatu kajian ilmiah dalam ranah studi al-Qur’an yang
meneliti dialektika antara al-Qur’an dengan kondisi realitas sosial di masyarakat. Living
Qur’an juga berarti praktik-praktik pelaksanaan ajaran al-Qur’an di masyarakat dalam
kehidupan mereka sehari-hari dimana praktik-praktik yang dilakukan masyarakat tersebut
seringkali berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an itu
sendiri.
Kajian di bidang living Qur’an memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi
pengembangan wilayah objek kajian al-Qur’an, sebab living Qur’an merupakan ranah
baru yang belum banyak disentuh oleh kebanyakan peneliti. Arti penting kajian living
Qur’an adalah memberi paradigma baru bagi pengembangan kajian Qur’an kontemporer,
sehingga studi Qur’an tidak hanya berkutat pada wilayah kajian teks. Pada wilayah living
Qur’an ini kajian tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respon dan tindakan masyarakat
terhadap kehadiran al-Qur’an, sehingga tafsir lagi hanya bersifat elitis, melainkan
emansipatoris yang mengajak partisipasi masyarakat. Di sisi lain living Qur’an juga dapat
dimanfaatkan kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga lebih
maksimal dalam mengapresiasi al-Qur’an.
Shihab M. Quraish. 1999. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat. cet 9, Bandung: Mizan.
Syauman ar-Ramli Muhammad. 2007. Keajaiban Membaca Al-Qur’an, terj. Arif Rahman
Hakim. Solo: Insan Kamil.
Muhammad Mansur dkk. 2007. Living Qur'an dalam Lintasan Sejarah al-Qur‟an, dalam
Metodologi Penelitian Living Qur’an, Syahiron Syamsuddin (ed), Yogyakarta:
TH Press.