Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH LIVING QUR’AN-HADIS SEBAGAI FENOMENA SOSIAL

KEAGAMAAN
(As-Sunnah Al-Hayyah Pada Masa Nabi, Ihya’ As-Sunnah Pada
Masa Sahabat, Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Tabi’in, Ihya’ As-
Sunnah Pada Masa Pasca Mazhab, Dan Living Qur’an-Hadis Di Era
Kontemporer)

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Living
Al-Qur’an
Dosen pengampu: Zuhrupatul Jannah, M. Ag.

Disusun Oleh Kelompok 04:


1. Muhammad Juaini (180601063)
2. Muhammad Labibuddin (180601073)

MAHASISWA SEMESTER VII C


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji kita bagi allah swt yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat
serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad saw yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya diakhir nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas kelimpahan nikmatnya, baik itu
secara fisik maupun akal pikiran sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah yang berjudul “Sejarah Living Qur’an-Hadits
Sebagai Fenomena Sosial Keagamaan”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran kepada pembaca untuk makalah ini,supaya nanti makalah ini menjadi makalah yang
lebih baik lagi.

Mataram, 11 Oktober 2021


Penulis
(Kelompok 4)

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 1


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. As-Sunnah Al-Hayyah Pada Masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam........................................5
B. Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Sahabat............................................................................................9
C. Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Tabi’in...........................................................................................11
D. Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Pasca Mazhab................................................................................16
E. Living Qur’an-Hadis di Era Kontemporer..................................................................................18
BAB III................................................................................................................................................21
PENUTUP...........................................................................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................22

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 2


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Kehadiran al-Qur‘an dalam kehidupan masyarakat pada umumnya,


memiliki tujuan yang terpadu dan menyeluruh, bukan sekedar kewajiban
pendekatan religius yang bersifat ritual dan mistik, yang dapat menimbulkan
formalitas dan kegersangan. Dalam hal ini, al-Qur‘an adalah petunjuk Allah
SWT yang jika dipelajari akan membantu masyarakat menemukan nilai-nilai
yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup.
Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa
mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.1

Pada dasarnya keagungan al-Qur ́an tidaklah terletak pada ekspresi


tentang fenomena alam atau beberapa kisah-kisah sejarah. Melainkan
kekuatan dan keagungan al-Qur’an terletak pada kedudukannya yang sebagai
simbol yang maknanya terus berkembang sepanjang zaman. Selanjutnya dari
makna di atas, maka manusia dapat menjadikan al-Qur’an sebagai wacana
untuk pedoman dan pegangan hidup dalam memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat. Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk selalu berinteraksi
aktif dengan al-Qur`an, menjadikannya sebagai sumber inspirasi, berpikir dan
bertindak. Anjuran membaca secara khusyuk dan bersungguh- sungguh
merupakan langkah fundamental bagi seorang muslim agar dapat mengenal
makna dan arti secara luas.2

Seiring perkembangan zaman, kajian al-Qur‘an mengalami


perkembangan wilayah kajian. Dari kajian teks menjadi kajian sosial-budaya,
yang menjadikan masyarakat agama sebagai obyek kajiannya. Kajian ini sering disebut
dengan kajian Living Qur’an. Secara sederhana Living Qur’an
dapat dipahami sebagai gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola

1
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan
Umat, cet 9, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 13.
2
Muhammad Syauman ar-Ramli, Keajaiban Membaca Al-Qur’an, terj. Arif Rahman
Hakim (Solo: Insan Kamil, 2007), hal. 27.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 3


perilaku yang bersumber dari maupun respons terhadap nilai-nilai al-Qur’an.
Studi Living Qur’an tidak hanya bertumpu pada eksistensi tekstualnya,
melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir terkait dengan kehadiran
al-Qur‘an di wilayah geografi tertentu dan masa tertentu pula.3

B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana As-Sunnah Al-Hayyah Pada Masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?


2. Bagaimana Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Sahabat?
3. Bagaimana Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Tabi’in?
4. Bagaimana Ihya’ Ad-Sunnah Pada Masa Pasca Mazhab?
5. Bagaimana Living Qur’an-Hadits di Era Kontemporer?

Tujuan Penulisan.

1. Dapat Mengetahui As-Sunnah Al-Hayyah Pada Masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi


Wasallam
2. Dapat Mengetahui Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Sahabat
3. Dapat Mengetahui Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Tabi’in
4. Dapat Mengetahui Ihya’ Ad-Sunnah Pada Masa Pasca Mazhab
5. Dapat Mengetahui Living Qur’an-Hadits di Era Kontemporer

3
Muhammad Mansur dkk, Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah al-Qur‟an, dalam
Metodologi Penelitian Living Qur‟an, Syahiron Syamsuddin (ed), Yogyakarta: TH Press, 2007), hal.
5

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 4


BAB II
PEMBAHASAN

A. As-Sunnah Al-Hayyah Pada Masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-
takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini wahyu masih turun
dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang
tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat menyadari betapa
penting kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan
pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan
celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagian.4
Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Wahyu yang diterima oleh
Nabi dijelaskan melalui perkataan, perbuatan, persetujuan dan sikap yang melekat
dalam sifat-sifat beliau. Oleh karena itu apa yang didengar, dilihat, disaksikan dan
dirasa (melalui internalisasi nilai) oleh para sahabat, dijadikan sebagai pedoman bagi
kehidupan mereka. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan
contoh dan hadis merupakan bagian penting dari wahyu yang diterima Nabi. 5
Besarnya minat para sahabat untuk memperoleh hadis Nabi dapat dilihat dari tindakan
Umar bin Khatthab, beliau berbagi tugas dengan tetangganya untuk mencari dan
mendapatkan hadis. Apabila hari ini tetangganya yang bertugas mengikuti Rasulullah,
maka hari berikutnya digantikan oleh Umar. Dan siapa pun yang bertugas lalu
membagikan hadis yang didapatkannya.
Hadis Nabi tersampaikan kepada para sahabat melalui empat jalan, yaitu
pertama, sahabat mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasulullah, beliau
selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam
kepada para sahabat. Kedua, Kadang-kadang Rasulullah sendiri menghadapi beberapa
peristiwa tertentu, kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada para Sahabat.
Ketiga, Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian
mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah dan beliau memberikan fatwa atau
penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Dan keempat, Kadang-kadang para
sahabat menyaksikan Rasulullah melakukan suatu perbuatan.6

4
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 21.
5
Alamsyah, Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum Al-Hadits), (Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2015), hal. 14.
6
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 88.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 5


1. Penyampaian Hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di tengah-tengah masyarakat dan
sahabat-sahabatnya, mereka dapat bertemu dan bergaul bersama beliau dengan
bebas setiap harinya tanpa ada pembatas atau penghalang. Hal ini memudahkan
sahabat dalam menerima hadis secara langsung dari beliau, baik melalui
pengajian, ceramah, khutbah, tanya jawab, maupun dengan memperhatikan
keseharian beliau. Sedangkan yang tidak tinggal di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bisa mendengarkan hadis beliau dari sahabat yang lain atau dari utusan,
baik dari utusan yang dikririm oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke daerah-
daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi. Para sahabat hanya
menghabiskan sedikit waktu mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena mereka juga memiliki kesibukan masing-masing, hal ini menyebabkan
hanya sedikit hadis beliau yang dapat direkam oleh sahabat.
Adapun cara yang ditempuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui majlis al-‘ilm,
yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para
jamaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri
untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan hadis melalui majelis ini dilakukan
secara reguler di mana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di majelis
ini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi
menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futûh
Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M),
Nabi menyampaikan khatbah yang sangat sejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang
Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 6
muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kmanusiaan,
persahabatan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya,
yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik
ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi
menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam. Misalnya,
suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi menyuruhnya memasukkan
tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi
bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, orang yang menipu”.7
2. Penulisan Hadis
Pada masa itu peradaban Islam semakin maju, kepandaian baca tulis di
kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena
kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan sahabat untuk menghafal, memahami, memelihara,
mematerikan, dan mengamalkan hadis dalam kehidupan sehari-hari serta
menyebarkannya kepada orang lain.8 Hadis belum ditulis secara resmi, bahkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dalam salah satu sabda belaiu
yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri, yang berbunyi:

‫َب َعنِّي َغي َْر ْالقُرْ آ ِن‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اَل تَ ْكتُبُوا َعنِّي َو َم ْن َكت‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِريِّ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ْ
ِ َّ‫ي قَا َل هَ َّما ٌم أَحْ ِسبُهُ قَا َل ُمتَ َع ِّم ًدا| فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِم ْن الن‬
‫ار‬ َ ‫فَ ْليَ ْم ُحهُ َو َح ِّدثُوا َعنِّي َواَل َح َر َج َو َم ْن َك َذ‬
َّ َ‫ب َعل‬

Dari Abu Sa'id Al Khudri, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa


Salam bersabda: "Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku
selain al-Qur'an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa.
Barangsiapa berdusta atas (nama) ku -Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid)
berkata: dengan sengaja, maka henkdaklah menyiapkan tempatnya dari neraka."

Hadis diatas adalah perintah Rasulullah untuk menyebarkan hadis dengan


media lisan sekaligus mengecam bagi siapa saja untuk tidak menyebarkan riwayat
palsu. Mengenai larangan ini adalah untuk menghindarkan kemungkinan para
sahabat menulis ayat al-Quran kemudian tercampur dengan hadis Nabi. Dan
larangan tersebut bertujuan agar masyarakat lebih memusatkan perhatianya untuk
7
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 22-25.
8
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980),

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 7


menulis ayat-ayat al-Quran yang pada saat itu proses penurunanya sedang
berlangsung.9

Sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menulis hadis. Karena
dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أُ ِري ُد ِح ْفظَهُ فَنَهَ ْتنِي‬


َ ِ ‫ت أَ ْكتُبُ ُك َّل َش ْي ٍء أَ ْس َم ُعهُ ِم ْن َرسُو ِل هَّللا‬ َ َ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو ق‬
ُ ‫ال ُك ْن‬
‫ض|ا‬
َ ‫ب َوال ِّر‬ ِ |‫َض‬ َ ‫ص|لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي| ِه َو َس|لَّ َم بَ َش| ٌر يَتَ َكلَّ ُم فِي ْالغ‬
َ ِ ‫قُ َريْشٌ َوقَ||الُوا أَتَ ْكتُبُ ُك| َّل َش| ْي ٍء ت َْس| َم ُعهُ َو َر ُس|و ُل هَّللا‬
‫|ال ا ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذي‬ ْ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَأَوْ َمأ َ بِأ‬
َ |َ‫ص |ب ُِع ِه ِإلَى فِي | ِه فَق‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ت َذلِكَ لِ َرس‬
ُ ْ‫ب فَ َذكَر‬ ِ ‫ت ع َْن ْال ِكتَا‬ ُ ‫فَأ َ ْم َس ْك‬
ٌّ ‫نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ إِاَّل َح‬
‫ق‬

Dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Aku menulis segala sesuatu yang aku
dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, agar aku bisa
menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata,
'Apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang engkau dengar, sementara
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang manusia yang berbicara
dalam keadaan marah dan senang? ' Aku pun tidak menulis lagi, kemudian hal itu
aku ceritakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lalu
berisyarat dengan meletakkan jarinya pada mulut, lalu bersabda: "Tulislah, demi
jiwaku yang ada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut) kecuali
kebenaran.".10

Dapat dilihat bahwa ada dua kelompok riwayat yang kelihatannya terjadi
kontradiksi, kelompok pertama melarang penulisan hadis, sedang kelompok yang
kedua membolehkannya. Menurut An-Nawawi dan An-Suyuthi, larangan tersebut
dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran
akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat
hafalannya, maka diperbolehkan mencatatnya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar Al-
Asqalani, bahwa larangan Rasulullah menuliskan hadis adalah khusus ketika Al-
Qur’an turun dikarenakan ada kekhawatiran tercampurnya naskah Al-Qur’an
dengan hadis. Kemudian menurutnya larangan itu dimaksudkan juga untuk tidak
menuliskan Al-Qur’an dalam satu suhuf. Ini artinya, bahwa ketika wahyu tidak
turun dan dituliskan bukan pada suhuf untuk mencatat wahyu, maka
diperbolehkan menulis hadis.11
9
Muhajirin, Ulumul Hadis II, (Palembang: Noerfikri offset, 2016), hal. 56-58
10
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980)
11
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 71-72.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 8


B. Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Sahabat.
Periode ini disebut ‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Ar-Riwayah, yang
berarti masa membatasi dan menyedikitkan riwayat. Setelah wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 11 H, kepemimpinan umat digantikan oleh
khulafa’ ar-rasyidin.12 Periwayatan hadis pada masa ini belum begitu berkembang.
Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut.
Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-
tatsâbbut wa al-iqlâl min al-riwâyah). Pada sisi yang lain, meskipun perhatian
sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak berarti mereka
tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika
Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam
meriwayatkan hadis itu.13

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadis yang


dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan
kebohongan atas nama Rasulullah, karena hadis adalah sumber ajaran setelah Al-
Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat berusaha memperketat periwayatan, penulisan
dan penerimaan hadis.

Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatian yang serius
dalam memelihara hadis, demikian juga Umar bin Khatthab. Keduanya sangat
berhati-hati dalam menerima hadis. Dalam beberapa atsar disebutkan bahwa Abu
Bakar dan Umar tidak menerima hadis jika tidak disaksikan benarnya oleh seseorang
yang lain. Abu Bakar juga pernah menghimpun hadis, tetapi kemudian membakarnya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat yang disebut bersumber dari Aisyah radhiyallahu
‘anha ia berkata: “Ayahku mengumpulkan hadis Rasul sebanyak 500 buah. Di suatu
malam beliau tampak resah. Akhirnya saya bertanya, Apakah ayah sedang sakit atau
ada sesuatu ? Pagi harinya, beliau menyuruhku mendatangkan hadis yang ada
padaku. Setelah aku menyerahkannya, beliau membakarnya. Saya bertanya, kenapa
ayah membakarnya? Beliau menjawab, “Saya khawatir, bila saya mati hadis itu
masih ada padaku…”. Abu Bakar juga pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada
mereka ia berkata: “Kalian meriwayatkan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi

12
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 35.
13
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 29.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 9


wasallam yang diperselisihkan orang-orang. Padahal orang-orang setelah kalian
akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis
tersebut”.14

Demikian juga halnya dengan Umar bin Khaththab, dia tidak mudah
menerima suatu hadis sebagaimana yang terlihat dalam sebuah riwayat bahwa Ketika
Abu Musa al-Asy'ari bertamu ke rumah Umar, dia mengucapkan salam sampai tiga
kali. Umar mendengarnya, namun tidak menjawab karena ia mengira Abu Musa akan
masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata meleset, karena dilihatnya Abu Musa
kembali pulang. Ketika Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia berbalik
pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah bersabda, “Apabila seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak
juga dijawab oleh si pemilik rumah, maka hendaklah dia pulang kembali.” Umar
tidak puas atas keterangan Abu Musa tersebut, bahkan Umar mengancarnnya dengan
hukuman apabila dia tidak dapat menghadirkan saksi atas hadis yang disampaikan
Abu Musa tersebut. Dan pada saat itu tampillah Ubay bin Ka'ab memberikan
penjelasan tentang kebenaran riwayat tersebut, sehingga akhirnya Umar menerimanya
dan seraya berkata, “Aku tidak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku
khawatir kalau orang-orang berbicara tentang Rasul dengan mengada-ada.”
Menurut Ibnu Qutaibah, Umar bin Khatthab adalah orang yang paling keras
menentang sahabat memperbanyak periwayatan Hadis. Hal itu dimaksudkan untuk
menghindari kekeliruan dalam periwayatan Hadis.15

Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Usman bin Affan juga sangat teliti
dan hati-hati dalam menerima Hadis. Ia pernah mengatakan dalam suatu khutbahnya,
agar para Sahabat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah
mendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar. Demikian juga Ali ibn Abi Thalib yang
tidak dengan mudah menerima Hadis dari orang lain. Ali mengatakan, “Aku tidak
ragu-ragu dalam menerima Hadis yang langsung aku terima dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi jika orang lain meriwayatkannya maka aku akan
mengambil sumpah orang tersebut.”16

14
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 77.
15
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 111-112
16
Ibid.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 10


Setelah Al-Qur’an selesai dikodifikasi, barulah dimulai pencarian hadis yang
dilakukan oleh para sahabat kecil, mereka berkeliling ke berbagai daerah untuk
menjumpai sahabat besar demi mendapatkan hadis.

Dengan adanya tuntutan untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat


yang baru memeluk agama Islam, maka Khalifah Utsman ibn Affan, dan demikian
juga Ali bin Abi Thalib, mulai memberikan kelonggaran dalam periwayatan hadis.
Akibatnya, para Sahabat pun mulai mengeluarkan khazanah dan koleksi hadis yang
selama ini mereka miliki, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.17

Pada masa khulafa’ Ar-Rasyidin ini, sebenarnya para sahabat bisa


membukukan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, karena
banyaknya riwayat yang berbeda-beda dan terdapat perselisihan dalam
periwayatannya, sehingga sahabat hanya membukukan hadis-hadis yang jelas
riwayatnya dan tidak ada perselisihan padanya. Dikhawatirkan setelah dibukukan,
umat lalu menjadikan buku hadis itu sebagai pegangan yang kuat, sehingga
menyebabkan hadis-hadis yang tidak masuk dalam buku itu dianggap dusta. Lalu hal
ini menimbulkan tertolaknya banyak hadis yang bisa jadi shahih.18

C. Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Tabi’in.


1. perkembangan Periwayatan Hadis
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar, yang berarti
masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis. Setelah masa Usman dan Ali
rasa ingin yang ada di hati kaum muslimin semakin kuat sehingga mereka betul-
betul berusaha untuk mencari dan meghafal hadis serta menebarkannya ke dalam
masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis.
Pada masa itu, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam (17 H), Iraq (17
H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), bahkan pada tahun 93 H,
meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat
ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis. Karenanya daerah-daerah tersebut
merupakan perguruan tempat mengajarkan Al-Qur’an dan hadis, yang banyak
melahirkan sarjana-sarjana tabi’in hadis.

17
Ibid, hal. 114.
18
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 36.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 11


Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah
Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah
tersebar di wilayah tersebut. dengan demikian, pada masa ini di samping
tersebarnya periwayatan hadis ke seluruh pelosok-pelosok daerah jazirah Arab,
perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.

Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan


lembaga-lembaga hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara
bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghafal, dan mengembangkan
atau meriwayatkan hadis adalah :

a. Abu Hurairah, menurut Ibnul Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadis,


sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
b. Abdullah bin Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
c. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 hadis.
d. Aisyah, istri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan 2.210 hadis.
e. Abdullah bin Abbas meriwayatkan 1.660 hadis.
f. Ja bir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
g. Abu Sa’id Al-Khudry meriwayatkan 1.170 hadis.19

Pada masa tabi’in juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadis. Banyak
riwayat yang menunjukkan betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang
menghafal hadis, para tabi’in seperti: Ibnu Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibnu Shihab az-
Zuhri, Urwah bin Zubair dan alqamah adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sangat
menekankan pentingnya menghafal hadis secara terus menerus. Alqamah berkata:
“Dengan menghafal hadis maka hadis-hadis akan terpelihara”. Disamping
menghafal hadis diantara mereka juga menulis atau memiliki catatan hadis yang
mereka terima dari para sahabat. Di antara tabi’in besar yang menuliskan hadis-hadis
yang diterimanya, ialah Abban bin Usman bin Affan, Ibrahim bin Yazid an-Nakho’i,
Abu Salamah bin Abdurrahman, Abi Qilabah, Ummu Darda’, Junainah binti Yahya,
Jabir bin Zaid al-Asdi dan lain-lain.20

19
M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 36.
20
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 81.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 12


Periwayatan hadis sendiri oleh para sahabat dalam praktiknya dilakukan dengan
dua cara, yakni:

a. Dengan lafaz asli, yakni menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka hafal benar lafaznya.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak
hafal lafaz asli dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.21
2. kemunculan Hadis Palsu
Pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadis palsu. Pemalsuan hadis
yang dimulai sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak,
tidak menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Adapun latar belakang
terjadinya pemalsuan hadis antara lain sebagai berikut:
a. Perpecahan umat Islam akibat pertentangan politik yang terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sangat besar berpengaruh terhadap
pemunculan hadishadis palsu. Masing-masing golongan berusaha
mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu, salah
satunya adalah membuat hadis palsu.
b. Usaha kaum zindiq, Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam,
baik sebagai agama atau pun sebagai dasar pemerintahan. Tujuan mereka
adalah menghancurkan agama Islam dari dalam. Abdul Al-Karim bin
Auja, seorang zindik, mengatakan “Demi Allah saya telah membuat hadis
palsu sebanyak 4.000 hadis.”
c. Perselisihan dalam fikih dan ilmu kalam, munculnya hadis hadis palsu
dalam masalah-masalah fikih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut
madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena didorong sifat
fanatik dan ingin menguatkan mazhabnya masing-masing.22

Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis, para ulama


melakukan beberapa langkah yaitu: Pertama, melakukan seleksi dan koreksi
tentang nilai hadis atau para periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadis
dari periwayat yang tsiqah saja. Keempat, mensyaratkan tidak adanya syadz yang
berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.

21
Muhajirin, Ulumul Hadis II, (Palembang: Noerfikri offset, 2016), hal. 87.
22
Alamsyah, Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum Al-Hadits), (Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2015), hal. 78-81.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 13


Kelima, untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-
hadîts dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.

3. Pengkodifikasian Hadis
Perioe ini disebut ‘Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan
pembukuan).23 Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke ll H,
yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz tahun 101 H.
Menurut Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis tersebut dilakukan karena:
Pertama, Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis
akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan
tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak berita yang diada-adakan
oleh pelaku bid’ah (al-mubtadi’) seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain
yang berupa hadis-hadis palsu. Periwayatan hadis pada masa ini, sebagaimana
masa sebelumnya, banyak diwarnai dengan hadis palsu dan bid’ah, yang berasal
dari kalangan-kalangan Khawarij, Syi’ah, orang-orang munafik, serta orang-orang
Yahudi.24

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm agar
mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Anshari
(ahli fiqh sekaligus murid Aishah radhiyallahu ‘anhai) dan al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq. Instruksi serupa ditujukan kepada
Muhammad bin Shihab az-Zuhri, seorang imam dan ulama besar di Hijaz dan
Syam. Beliau mengumpulkan hadis-hadis dan kemudian ditulisnya dalam
lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap
wilayah satu lembar.25

Perintah khalifah Umar tersebut direspon positif oleh umat Islam, sehingga
terkumpul beberapa catatan-catatan hadis. Hasil catatan dan penghimpunan hadis
berbeda-beda antara ulama yang satu dengan yang lain. Abu Bakar bin Hazm
berhasil menghimpun hadis dalam jumlah, yang menurut para ulama kurang
lengkap. Sedang ibnu Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya lebih lengkap.
Namun, kitab himpunan hadis-hadis mereka tidak ada yang sampai kepada kita.
Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab tadwîn yang bisa diwariskan

23
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 38.
24
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 36.
25
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 84.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 14


kepada generasi sekarang,adalah Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan
hasil karyanya bernama al-Muwaththa’ (143 H).26

4. Penyeleksian Dan Pentashihahn Hadis


Para ulama abad kedua membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni mereka
tidak hanya membukukan hadis saja, tetapi fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan
ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-hadis
marfu’, mauquf, dan hadis-hadis maqthu’. Para ulama pada mulanya menerima
hadis dari para rawi lalu menulisnya ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-
syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah
terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk
mengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan,
tempat kediaman, masa, dll.
b. Memisahkan hadis-hadis yang shahih dari hadis yang dha’if.27

Ulama hadis yang pertama kali menyaring dan membedakan hadis-hadis yang
sahih dari yang lemah maupun yang palsu adalah Ishaq bin Rahawaih. Pekerjaan
yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Al-
Bukhari. Kemudian usaha Imam Bukhari ini diikuti oleh muridnya, yaitu Imam
Muslim. Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ada, bermunculan imam
lain yang mengikuti jejak Imam Bukhari dan Imam Muslim, di antaranya Abu
Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang
dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan
masyarakat dengan sebutan Al-Ushul Al-Khamsah.

Di samping itu, Ibnu Majah menyusun kitab Sunan-nya. Kitab sunan ini
kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga
kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-
Kutub As-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini, para ulama menetapkan Musnad
Ahmad.

26
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 36-37.
27
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 43.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 15


D. Ihya’ As-Sunnah Pada Masa Pasca Mazhab.
1. Ashr Al-Tahdzîb Wa Al-Taqrîb Wa Al-Istidrak Wa Al-Jam’i (Masa Pemeliharaan,
Penertiban, Penambahan, Dan Penghimpunan)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan
sistem penyusunan kitab-kitab hadis. Usaha ulama pada abad ini dalam
mengembangkan hadis antara lain:
a. Menyusun karya-karya yang metodenya mengikuti metodemetode yang
telah dilakukan oleh ulama sebelumnya, yakni menyusun kitab shahih dan
kitab sunan.
b. Menyusun kitab mu’jam, seperti Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Ausat dan
Mu’jam al-Shagir, karya Imam Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani.
c. Menggabungkan beberapa kitab hadis yang sudah ada, seperti kitab al-
jam’u bayn al-Shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad (w.401 H).
d. Syarah, yakni penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad maupun
matan, terutama maksud dan makna matan hadis dan pemecahannya jika
terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadis lain.
e. Mustakhraj, metode penulisan istikhraj ialah seorang menghimpun hadis
mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah buku hadis seperti yang
diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri.28
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha
mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka
setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththâ’
karya Malik ibn Anas dan al-Musnad karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama
mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-kitab yang berisi
pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.29
2. ‘Ashr Al-Syarh Wa Al-Jâm’i Wa Al-Takhrîj Wa Al-bahts (Masa Pensyarahan,
Penghimpunan, Pentakhrijan, Dan Pembahasan)
Kegiatan ulama hadis pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah
kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadishadis
dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis dalam kitab tertentu,
dan membahas kandungan kitab-kitab hadis. Di antara usaha itu, misalnya,
pengumpulan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh Abdul Haq bin

28
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 89.
29
Zarkasih, Pengantar studi hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 39.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 16


Abdurrahman al-Asybili (terkenal dengan ibnu al-Kharrat (w. 583 H), al-Fayir az-
Zabadi, dan Ibn al-Atsir al-Jaziri. Juga penyusunan kitab-kitab hadis mengenai
hukum, di antaranya oleh al-Daruquthni, al-Baihaqi, Ibnu Daqiq al-Id, Ibnu Hajar
al-Asqalani, dan Qudamah al-Maqdisi.30
Lebih jelasnya, para ulama dalam priode ini berusaha untuk:
a. Mengklasifikasikan hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadis.
b. Mensharahkan dan mengikhtisarkan kitab-kitab hadis yang telah disusun
oleh ulama yang mendahuluinya.
c. Menyusun kitab hadis Athraf, yaitu tehnik pembukuan hadis dengan
menyebutkan permulaan hadisnya saja, misalnya Athraf al-Kutub al-sittah
yang ditulis oleh al-Maqdisi.
d. Mentakhrij, yaitu mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku
hadis atau buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri
sanad dan kualitasnya.
e. Zawa’id, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab-
kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, seperti : Zawa’id
Ibn Majah karya oleh al-Bashri. (w. 840).
f. Jawami’ atau jami’, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam Secara mutlaq, seperti al-Jami’ al-Kabir dan
al-Jami’ ash-Shagir karya al-Suyuthi (w. 911 H)
g. Menciptakan kamus hadis (kitab Indeks Hadis) untuk mencari pentakhrij
suatu hadis atau untuk mengetahui dari kitab h} adi>th apa suatu hadis
didapatkan.

Usaha selanjutnya adalah penyusunan ensiklopedi hadis yang telah dirintis


beberapa tahun yang lalu oleh Universitas AlAzhar di Mesir. Selain itu, dengan
adanya perkembangan tehnologi, maka para sarjana Muslim di Inggris yang
tergabung dalam Organisasi Islam Kingdom Islamic Mission (Misi Islam di
Inggris) telah mendirikan The Islamic Computing Centre. Dimana salah satu
tujuan didirikannya pusat komputer islam ini adalah menyajikan pengetahuan
tentang islam dalam bentuk digital, termasuk di dalammya hadis Nabi. Kini

30
Ibid, hal. 40.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 17


pendataan dan komputerisasi hadis telah dilaksanakan terhadap sembilan kitab
hadis standar (al-Kutub at-Tis’ah) dan kitab-kitab hadis lainnya.31

E. Living Qur’an-Hadis di Era Kontemporer.


Al-Qur’an dan hadis yang menyebar dikalangan umat Islam mengalami
akulturasi dengan tradisi setempat dimana umat muslim berada. Penelitian Theodore
Friend tentang Islam di lima negara yakni Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, Iran dan
Turki menunjukkan bahwa praktek ajaran Islam beragam dan berbeda-beda. Ia
menggambarkan keragaman tersebut dari budaya serta peran dan status laki-laki dan
perempuan misalnya tentang tata cara berpakaian, adat perkawinan, relasi antara laki-
laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Indonesia, Islam
masuk ke Nusantara dengan sangat mudah diterima oleh masyarakat karena Islam
mengakomodir budaya dan tradisi masyarakat lokal. Akomodasi budaya tersebut
menyebabkan wajah keislaman Nusantara yang variatif, unik, dan lokalistik. Sehingga
model keislaman masyarakat dikenal dengan nama-nama daerah atau suku seperti
Islam Jawa, Islam Melayu, atau Islam Sasak. Hadis dan Al-Qur’an yang menyebar
dikalangan umat Islam dan diaktualisasikan dalam konteks tradisi dan budaya local
inilah yang kemudian melahirkan term living hadis.32

Istilah living Qur’an atau pun living hadis sebenarnya telah dipopulerkan oleh
Barbara Metcalf melalui artikelnya, “Living Hadith in Tablighi Jamaah”. Jika
ditelusuri lebih jauh, tema ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah Living
sunnah, dan lebih jauh lagi adalah praktik sahabat dan tabiin dengan tradisi madinah
yang digagas oleh Imam Malik. jadi pada dasarnya ini bukanlah barang baru. Hanya
saja, sisi kebaruannya adalah pada frasa kata yang digunakan33

Living hadis adalah tradisi yang hidup dalam masyarakat yang didasarkan
kepada hadis. Penyandaraan kepada hadis tersebut bisa dilakukan hanya terbatas di
daerah tertentu saja atau lebih luas cakupannya. Pada prinsipnya adanya lokalitas
bentuk praktek dalam masyarakat. Kajian tentang fenomena sosial muslim yang
termasuk dalam kajian living hadis adalah aktivitas yang dikaitkan oleh si pelaku
sebagai aplikasi dari meneladani Nabi atau dari teks-teks hadis. Aktivitas ini terkait

31
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo:IAIN PO Press, 2018), hal. 91-95.
32
Nikmatullah, Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks Dan Konteks, Jurnal Holistic, Vol. 1,
No. 2, 2015, hal. 227.
33
Saifuddin Zuhri Qudsy dan Subkhani Kusuma Dewi, Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, Dan Transmisi,
(Yogyakarta: Q-Media, 2018), hal. 4.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 18


dengan fenomena hadis in everyday life yakni makna dan fungsi hadis yang riil
dipahami dan dialami masyarakat muslim.

Masyarakat Indonesia yang memahami dan menghampiri agamanya. Di antara


mereka ada yang menekankan dimensi intelektualnya. Sehingga dalam keberagamaan
cenderung mencari dalil yang ada dalam al-Qur’an dan hadis. Namun ada juga yang
mengedepankan dimensi mistik, sosial, dan ritual. Tentu cara dan pendekatan yang
mereka gunakan berbeda-beda. Di antara bentuk penggunaan ayat al-Qur’an atau
hadis dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan ayat al-Qur’an sebagai obat
atau jimat, ritual pembacaan ayat atau hadis tertentu pada waktu tertentu yang
berorientasi pada pengamalan misalnya al-Qur’an dilombakan. Artinya living hadis
adalah pengamalan hadis dalam kehidupan umat sehari-hari.34

Kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat mengisyaratkan adanya


berbagai bentuk dan macam interaksi ummat Islam dengan ajaran Islam kedua setelah
al-Qur’an tersebut. Penyebabnya tidak lain adalah adanya perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diaksesnya. Selain itu, pengetahuan yang terus
berkembang melalui pendidikan dan peran para juru dakwah dalam memahami dan
menyebarkan ajaran Islam. Justru di sinilah, masyarakat merupakan objek kajian dari
Living hadis. Karena di dalamnya termanivestasikan interaksi antara hadis sebagai
ajaran Islam dengan masyarakat dalam berbagai bentuknya.

Didalam masyarakat sebagai suatu tempat berinteraksi antara satu manusia


dengan manusia yang lain memiliki bentuk yang berbeda satu dengan yang lainnya
dalam merespons ajaran Islam, khususnya yang terkait erat dengan hadis. Ada tradisi
yang dinisbatkan kepada hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan
kental dilaksanakan oleh berbagai negara seperti Mesir dan sebagainya terdapat
praktik khitan perempuan. Sementara di negara Indonesia yang masuk dalam kategori
agraris masih banyak ditemukan adanya praktek magis. Di antara tradisi ada juga
yang mengisyaratkan akan tujuan tertentu.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hadis Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yang menjadi acuan ummat Islam telah termanifestasikan dalam
kehidupan masyarakat luas. Dalam pada itu, paling tidak ada tiga variasi dan bentuk

Nikmatullah, Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks Dan Konteks, Jurnal Holistic, Vol. 1,
34

No. 2, 2015, hal. 228-229.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 19


living hadis. Ketiga bentuk tersebut adalah tradisi tulis, tradisi lisan, dan tradisi
praktik. Uraian yang digagas ini mengisyaratkan adanya berbagai bentuk yang lazim
dilakukan dan satu ranah dengan ranah lainnya terkadang saling terkait erat. Hal
tersebut dikarenakan budaya praktek umat Islam lebih menggejala dibanding dengan
dua tradisi lainnya, tradisi tulis dan lisan.35

Tradisi tulis biasanya dalam bentuk tulisan yang terpampang ditempat-tepat


strategis dan diyakini bahwa isi tulisan berasal dari Nabi. Misalnya tulisan ‫النظافة من‬
‫ان‬HH‫( اإليم‬kebersihan sebagian daripada iman) yang dianggap hadis oleh masyarakat
ditujukan agar masyarakat menjaga kebersihan lingkungan. Tradisi lisan sering
muncul bersamaan dengan prakek yang dijalankan oleh masyarakat. Misalnya tradisi
di beberapa pesantren melaksanakan shalat shubuh pada hari jumat lebih panjang
daripada biasanya karena ada tradisi membaca surat Hamim al-Sajdah dan al-Insan.
Demikian juga di pesantren di Jawa ada tradisi Bukharinan pada bulan puasa dan
diartikan dengan bahasa Jawa. hadis-hadis yang dijadikan sebagai dalil dan hujjah
dalam berbagai kesempatan kegiatan keagamaan yang disampaikan oleh para
muballigh.

35
Fahmi Yasin,Tesis: Tradisi “Zuwaj” Masyarakat Koja Kota Semarang, (Semarang: UIN Walisongo
Semarang, 2018), hal. 24-25.
Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Living Qur’an merupakan respon masyarakat atau pemahaman masyarakat
muslim terhadap kehadiran al-Qur’an yang difungsikan diluar kapasitasnya sebagai teks.
Dilihat dari sini sebenarnya kajian living Qur’an sudah sama tuanya dengan kehadiran al-
Qur’an itu sendiri ditengah masyarakat muslim. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan
bahwa living Qur’an adalah suatu kajian ilmiah dalam ranah studi al-Qur’an yang
meneliti dialektika antara al-Qur’an dengan kondisi realitas sosial di masyarakat. Living
Qur’an juga berarti praktik-praktik pelaksanaan ajaran al-Qur’an di masyarakat dalam
kehidupan mereka sehari-hari dimana praktik-praktik yang dilakukan masyarakat tersebut
seringkali berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an itu
sendiri.

Kajian di bidang living Qur’an memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi
pengembangan wilayah objek kajian al-Qur’an, sebab living Qur’an merupakan ranah
baru yang belum banyak disentuh oleh kebanyakan peneliti. Arti penting kajian living
Qur’an adalah memberi paradigma baru bagi pengembangan kajian Qur’an kontemporer,
sehingga studi Qur’an tidak hanya berkutat pada wilayah kajian teks. Pada wilayah living
Qur’an ini kajian tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respon dan tindakan masyarakat
terhadap kehadiran al-Qur’an, sehingga tafsir lagi hanya bersifat elitis, melainkan
emansipatoris yang mengajak partisipasi masyarakat. Di sisi lain living Qur’an juga dapat
dimanfaatkan kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga lebih
maksimal dalam mengapresiasi al-Qur’an.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 21


DAFTAR PUSTAKA

Shihab M. Quraish. 1999. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat. cet 9, Bandung: Mizan.
Syauman ar-Ramli Muhammad. 2007. Keajaiban Membaca Al-Qur’an, terj. Arif Rahman
Hakim. Solo: Insan Kamil.

Muhammad Mansur dkk. 2007. Living Qur'an dalam Lintasan Sejarah al-Qur‟an, dalam
Metodologi Penelitian Living Qur’an, Syahiron Syamsuddin (ed), Yogyakarta:
TH Press.

Zarkasih 2012. Pengantar studi hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.


Alamsyah. 2015. Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum Al-Hadits). Lampung: CV Anugrah Utama
Raharja.
Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta : Bulan Bintang.
Muhajirin. 2016. Ulumul Hadis II. Palembang: Noerfikri offset.
Rofiah, Khusniati. 2018. Studi Ilmu Hadis. Ponorogo:IAIN PO Press.
Solahudin, M. Agus Agus Suryadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Alamsyah. 2015. Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum Al-Hadits). Lampung: CV Anugrah Utama Raharja.
Nikmatullah. 2015. Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks Dan Konteks.
Jurnal Holistic. Vol. 1, No. 2. 2015.
Qudsy, Saifuddin Zuhri dan Subkhani Kusuma Dewi. 2018. Living Hadis: Praktik, Resepsi,
Teks, Dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media.
Yasin, Fahmi. 2018. Tesis: Tradisi “Zuwaj” Masyarakat Koja Kota Semarang. Semarang:
UIN Walisongo Semarang.

Living Al-Qu’an Kelompok 4 | 22

Anda mungkin juga menyukai