Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ILMU TASAWUF

“SEJARAH MUNCULNYA ILMU TASAWUF DIKALANGAN


KAUM MUSLIMIN (ISLAM)”

DOSEN PENGAMPU : ASMAN, S.Pd.I, M.Ag

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
FEVI SUPIANTI (302.2018.052)
MARNI (302.2018.061)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS
TAHUN 2019
HALAMAN JUDU L
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tela memberikan hidayahnya kepada kita semua
khususnya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan Makalah ini dengan judul
“Sejarah Munculnya Ilmu Tasawuf Dikalangan Kaum Muslimin (Islam)” dengan baik dan tepat
pada waktunya. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas pembelajaran mata Kuliah Ilmu
Tasawuf Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiudin Sambas.
Ucapan terima kasi kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
penyelesaian tulisan makalah ini, disamping itu kami juga menyadari bahwa masih banyak
kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang
membangun. Sehingga bisa melengkapi dan menjadikan makalah ini bisa lebih baik lagi
nantinya.
Akhir dari kami tentunya kami mohon maaf sebesar-besarnya jika terjadi kesalahan dalam
penulisan ini, mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat dan menjadi referensi bagi pembaca.

Sambas, 11 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk mengetahui
keuniversalan ajaran Islam tersebut adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu
pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan dari ayat-
ayat al-Qur’an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan umat Islam agar mencari ilmu
pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam
Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf yang akan dibahas dalam isi
makalah ini. Ilmu tasawuf sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang
utama,selain ilmu Tauhid (Ushuluddin) dan ilmu Fiqih. Yang mana dalam ilmu Tauhid bertugas
membahas tentang soal-soal I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal
Ketuhanan, kerasulan, hari akhir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya. Kemudian
dalam ilmu Fiqih adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah yang bersifat dhahir (lahir),
seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf
lebih membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang
bertalian dengan masalah bathin (hati), seperti: cara-cara ihlash, khusu’, taubat, tawadhu’, sabar,
redhla (kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Sejarah Munculnya Ilmu Tasawuf ?
2. Jelaskan Peradaban Kaum Muslimin Mulai dari Zaman Umayyah Sampai Abbasiyyah ?
3. Jelaskan Gerakan Kembali Pada Tuntunan Sunnah Dalam Membenahi Kehidupan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Sejarah Munculnya Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui Peradaban Kaum Muslimin Mulai dari Zaman Umayyah Sampai
Abbasiyyah.
3. Mengetahiu Gerakan Kembali Pada Tuntunan Sunnah Dalam Membenahi Kehidupan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Ilmu Tasawuf
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia
berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu
tasauf sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah
berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah.1 Dan orang-orang Islam baru di
daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang
memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam,
hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu
mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu
pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda
bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut
paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut
disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman
Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa)2, dan pelakunya disebut dengan ahl
al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf
yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad.
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman
Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian
antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung
dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap
hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan
busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah
duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme diakses tgl 11 nov 2019
2
https://www.kompasiana.com/atlanta98/54fdd3caa33311751f510400/tasawuf-sufisme diakses tgl 11
nov 2019
pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain
seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[2]
Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman
kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw.
sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama
pada bulan ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua Hira’ inilah yang
merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Dalam aspek lain dari sisi
prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan benih-benih timbulnya tasawuf,
dimana dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah
terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw, beliau
pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan
matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan al-Hakim).
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua setelah periode Nabi saw.) ialah
periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin” yakni masa kehidupan empat sahabat besar
setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan,
dan masa Ali ibn Abi Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan
oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam segala
perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara kehidupan Nabi saw. terutama
yang bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan
yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi
saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan
kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu
ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah (Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai
baju bertambal dua belas sobekan.
Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para ahli sufi juga merujuk pada
kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di
Madinah dalam keadaan serba miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan
selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu
Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan
lain-lain.
Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat
yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada
periode ini munculah kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-
konflik politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna
menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum
Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan
yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala oleh pasukan
Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan sepenuhnya dengan
beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir
kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 H
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4
Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Pertama, cenderung
pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang
biasa di sebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-
Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-
lain.Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat, dikatakan demikian
karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf
filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan
konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk
mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun
puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain
bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial
dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing gantungan.3
Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat
telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh
utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat,
hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin
Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling

3
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), 3
keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan
tasawuf suni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya
yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.
Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, dimana
tasawuf filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu
Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni
tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in,
Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul
beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti:
Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah
yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya.
Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri
dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide
para tokoh pendahulunya.4
B. Peradaban Kaum Muslimin Mulai dari Zaman Umayyah Sampai Abbasiyyah
1. Pada Zaman umayyah
Secara umum, perkembangan peradaban islam pada masa Umayyah adalah sosialisasi
budaya Arab pada seluruh lapisann sosial budaya di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkanya.
Misi utama arabisasi ini secara tidak langsung masih berdampak, bahwa penduduk-penduduk
yang berbahasa Arab di seluruh kawasan dunia ini hampir bisa dikatakan adalah muslim, atau
minimal mereka pernah mengenal islam. Kebijakan arabisasi ini secara tidak langsung
berdampak atau berakumlasi dari dan bagi kepentingan mereka sendiri. Kebijakan Umayyah
antara lain:
a) Mengangkat orang-orang Arab sebagai orang pertama dalam mengembangkan
kepemimpinan umat islam diseluruh kawasan yang telah ditaklukkanya.
b) Bahasa Arab sebagai bahasa utama umat, baik pengembangan administrasi maupun
keilmuan.
c) Kepentingan orang-orang luar Arab (ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber isalm
(Al-Quran dan As-Sunah) dituntut menguasai struktur dan budaya Arab, sehingga telah

4
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, (Malang: UIN Malang Press, 2007), 7.
melahirkan berbagai ilmu bahasa; nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi’, isti’arah dan
sebagainya.
d) Pengembangan ilmu-ilmu agama sudah mulai dikembangkan karena terasa betapa
penduduk-penduduk diluar Jazirah Arab sangat memerlukan berbagai penjelasan serta sistematis
dan kronologis tentang Islam. Ilmu-ilmu yang berkembang saat itu diantaranya tafsir, hadis,
fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan sirakh/tarikh.
Di masa Bani Umayyah ini, kebudayaan mengalami perkembangan dari pada masa
sebelumnya. Di antara kebudayaan Islam yang mengalami perkembangan pada masa ini adalah
seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dan sebaginya.
Pada masa ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola
Romawi, Persia dan Arab. Contohnya adalah bangunan masjid Damaskus yang dibangun pada
masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, dan juga masjid Agung Cordova yang terbuat dari
batu pualam.
Seni sastra berkembang dengan pesatnya, hingga mampu menerobos ke dalam jiwa
manusia dan berkedudukan tinggi di dalam masyarakat dan negara. Sehingga syair yang muncul
senantiasa sering menonjol dari sastranya, disamping isinya yang bermutu tinggi.
Dalam seni suara yang berkembang adalah seni baca Al-Qur’an, qasidah, musik dan
lagu-lagu yang bernafaskan cinta. Sehingga pada saat itu bermunculan seniman dan qori’/
qori’ah ternama.
Perkembangan seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan khot Arab sebagai
motif ukiran atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding masjid dan tembok-
tembok istana yang diukur dengan khat Arab. Salah satunya yang masih tertinggal adalah ukiran
dinding Qushair Amrah (Istana Mungil Amrah), istana musim panas di daerah pegunungan yang
terletak lebih kurang 50 mil sebelah Timur Amman.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan
agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, filsafat, astronomi,
ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah, dan lain-lain.
Pada ini juga, politik telah mengalami kamajuan dan perubahan, sehingga lebih teratur
dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah (kepemimpinan),
dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah (Ajudan), Organisasi Keuangan,
Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha Negara.
Kekuatan militer pada masa Bani Umayyah jauh lebih berkembang dari masa
sebelumnya, sebab diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nizhamut Tajnidil Ijbary).
Sedangkan pada masa sebelumnya, yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara adalah merupakan
pasukan sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah politik Arab, dimana tentara harus
dari orang Arab sendiri atau dari unsure Arab.
Pada masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir sempurna hingga
mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau Rhodus dengan
panglimanya Laksamana Aqabah bin Amir. Disamping itu Muawiyah juga telah membentuk
“Armada Musin Panas dan Armada Musim Dingin”, sehingga memungkinkannya untuk
bertempur dalam segala musim.
Dalam bidang social budaya, kholifah pada masa Bani Umayyah juga telah banyak
memberikan kontribusi yang cukup besar. Yakni, dengan dibangunnya rumah sakit
(mustasyfayat) di setiap kota yang pertama oleh Kholifah Walid bin Abdul Malik. Saat itu juga
dibangun rumah singgah bagi anak-anak yatim piatu yang ditinggal oleh orang tua mereka akibat
perang. Bahkan orang tua yang sudah tidak mampu pun dipelihara di rumah-rumah tersebut.
Sehingga usaha-usaha tersebut menimbulkan simpati yang cukup tinggi dari kalangan non-Islam,
yang pada akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam.5
2. Pada Zaman Abbasiyah
Pada masa Dinasti Abbasiyah peradaban Islam mengalami puncak kejayaanya.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Pengembangan ilmu pengetahuan diawali dengan
penerjemahan naskah-naskah asing terutama dari bahasa Yunani ke bahasa Arab., pusat
pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait al Hikmah, dan terbentuknya madzhab-madzhab
ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah kebebasan berpikir.
Dari perjalanan rentang sejarah ternyata Bani Abbasiyah dalam sejarah lebih banyak
berbuat ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah tidak
hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah mengubah, menoreh wajah dunia
Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbasiyah
merupakan iklim pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.

5
http://yi2ncokiyute.blogspot.com/2010/12/perkembangan-tasawuf-pada-masa-daulah.html
Kontirbusi ilmu terlihat pada upaya Harun al Rasyid dan puteranya Al-Makmun ketika
mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong bintang, perpustakaan terbesar
dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.
Kemajuan peradaban Abbasiyah disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi
kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang
dibuat oleh Dinasti Abbasiyah adalah :6
1. Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyyah:
a. Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan
Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota
pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan
bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang
sangat sibuk dan ramai.
b. Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan
Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah
dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah,
sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
c. Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata
usaha Negara.
d. Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah
jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang
bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang
mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar
Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak
menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
e. Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk
menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
f. Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul
Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi

6
Munir, Amin . 2010. Sejarah Peradaban Islam . Jakarta: Amzah
kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan
perang.
g. Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal
dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan.
Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman
nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai oleh
tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
h. Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-
Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang
mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai
Pengadilan Negeri).
2. Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi cukup stabil, devisa Negara
penuh melimpah. Khalifah al-Mansur adalah tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu
meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul
Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan
Tigris yang mengalir sampai teluk Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak
terjangkau irigasi. Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan
kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus
merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar
wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah Barat seperti
Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur melalui Tanjung
Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari
wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian Barat. Di
kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra
di Suriah dan Irak, Kertas di Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri
dan Kurma dari Irak.
3. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam
Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu
lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung,
menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama serta tempat penngajian dari
ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat berdiskusi dan
Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruangan
perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu, di masjid-
masjid ini dilengkapi juga dnegan berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya.
Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-
masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah
(lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid. Maka pada
perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori oleh Nizhamul
Muluk. Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah.
Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya
mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
4. Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-
Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang
baru masuk Islam seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah
dengan baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral
seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya
Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya Euclid. Manuskrip lain
yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan),
bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh
Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan
metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini
lebih dapat memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda
dengan sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demikian
pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri,
dibantu Ishaq anaknya dan Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa,
Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di,
Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani
terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan
penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerab bahasa Asing
dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
5. Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur Academy yang ada pada masa
Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-
puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah intitusi ini diperluas kegunaannya.
Pada masa Harun ar-Rasyid intitusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi
Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu
sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan
Ethiopia dan India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset
astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di institusi ini al-Ma’mun
mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan Astronomi dan
orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli
Pahlewi Sahl Ibn Harun.
6. Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode
penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn
Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad Ibn
Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan
kronologis seperti, Shahih, Dhaif, dan Ma
dhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad, dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan
Takdil Rawi yang meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah;
Imam Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w 275
H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’ al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi
tentang Fiqh Syi’ah Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang
hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris
as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn
Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali.
Dan ilmu Kalam, Mu’tazilah pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan
al-Ma’mun. diantara ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Adh
Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan
memerlukan suatu ilmu bahsa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu,
Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah
Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208 H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara
tokoh tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-
Ghazali (w. 502 H), dan lain-lain.
7. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu
Pengetahuan, sains dan teknologi adalah:
a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah astronom muslim
pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Disamping
itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani,
al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi.
b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari
pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan
Ibn Sina.
c). Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-
Tuqrai yang hidp pada abad ke 12 M.
d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn al-
Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Kemudian ahli Bumi yang
termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H)
C. Gerakan Kembali Pada Tuntunan Sunnah Dalam Membenahi Kehidupan
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-
rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat.
Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-
amalan yang hukumnya lebih afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata
Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan
ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf
memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah,
dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari
pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-
Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan
pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”.
Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya
dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada
bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih
tergolong ajaran Akhlaq.7
Tasawuf merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia dari kotoran-kotoran
dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa takwa hadir dari hati yang bersih dan
selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawuf itu menghendaki manusia harus menampilkan
ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat yang suci bersih, agar menjadi manusia yang berakhlak baik
dan sifat yang terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu,
sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim.
Maka dengan bertasawuf, seseorang akan bersikap tabah, sabar, dan mempunyai kekuatan
iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah terpengaruh atau tergoda oleh kehidupan dunia yang

7
M. Hasyim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) , h. 55
berlebihan dengan bersikap qonaah, yaitu sabar dan tawakal, serta menerima apa yang telah
diberikan Allah walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawuf betul-betul mendapatkan perhatian
yang lebih dalam ajaran Islam, walaupun sebagian ulama fikih menentang tasawuf ini, karena
dianggap bid'ah dan orang yang mempelajarinya telah berbuat syirik, karena tidak berpedoman
kepada Al-Quran dan Sunnah.
Banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan manusia supaya bertobat,
sabar, tawakal, bersikap zuhud, ikhlas dan ridha kepada Allah swt, serta membersihkan diri
dengan berzikir kepada Allah. Sebagaimana Allah swt, berfirman:
    
    
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan Dia
ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang. (QS. Al- A'la: 14-15)
Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara
peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa
ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi:
    
    
 
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S. At-Tiin: 4-
5)
  
    
   
“Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir
yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(Q.S. Al-
Ahzab: 41-42)
Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik
kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada
tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk
menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang disebut
dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam ayat
kedua di muka, dengan kalimat “Udzkurullah Dzikran Katsiira”… Sehingga Salik (peserta suluk)
dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin
terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada
Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Bukankah kita ingin dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, serta merasa dekat dengan-
Nya? Oleh karena harus ada penyucian diri dengan selalu berusaha membersihkan hati, supaya
kita memperoleh jiwa yang tenteram dan menjadi orang yang bahagia hidup di dunia dan akhirat.
Seperti halnya Rasulullah saw, beliau adalah pembesar dari seluruh ahli tasawuf yang berdaya
upaya dengan sangat kepada kesucian hati serta menjauhi dari sifat-sifat hati yang jelek.
Jadi, seorang hamba bisa dekat dengan Allah, yaitu dengan bertasawuf. Dengan demikian
tasawuf memiliki Kedudukan yang penting dalam ajaran Islam tergantung kita dalam
mempelajari dan memahaminya.
Kesimpulan
Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Pada awalnya tasawuf merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, yang
dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam yang mempunyai kedudukan sangat
penting dalam ajaran islam itu sendiri. Dalam hal ini kedudukan Tasawuf berada pada sendi
Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi
Syari’ah Islam.8

8
https://al-islami-al-islami.blogspot.com/2016/08/tasawuf-tasawwuf-adalah-ilmu-
untuk.html#.XekgvegzbIU
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Pada awalnya tasawuf merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, yang
dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam yang mempunyai kedudukan sangat
penting dalam ajaran islam itu sendiri. Dalam hal ini kedudukan Tasawuf berada pada sendi
Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi
Syari’ah Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Asmaran. (1996). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.


Solihin, dkk. (2005). Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa.
Mahmud, Abdul Halim. (2001). Tasawuf di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Solihin, M. Anwar, M Rosyid. (2005). Akhlak Tasawuf . Bandung: Nuansa.
Drs. Asmaran As., M.A. (1996). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers.
Mahmud, Abdul Halim. (2001). Tasawuf di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia.
http://masBied.com/2010/02/ilmu-tasawuf.html di akses tanggal 11 November 2019 pukul
10.00WIB

Anda mungkin juga menyukai