Makalah
Perspektif dan Teori Komunikasi Masa
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, M.A.
Disusun oleh:
Film memiliki fungsi sebagai hiburan bagi banyak orang. Selain itu film juga bisa
menjadi sarana untuk menyampaikan berbagai macam pesan. Ada film yang menyampaikan
cinta, kemanusiaan atau bahkan pesan politik. Film “A Man Called Ahok” merupakan film
yang bercerita tentang mantan Gubernur Jakarta, yaitu Basuki Cahya Purnama, atau biasa
disebut dengan Ahok. Beradasarkan hal tersebut ada beberapa orang yang berasumsi bahwa
film ini syarat akan konten politik.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab
pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah bagaimana realisme dalam tayangan
film “A Man Called Ahok”? Kemudian minornya adalah mengapa film tersebut
menggunakan konsep realisme? Seperti apa penerapan realisme pada film tersebut?
Realisme politik apa yang coba diangkat di film ini?
Isi film “A Man Called Ahok” yaitu tentang kehidupan masa kecil Ahok yang dididik
oleh ayahnya dengan cara yang cukup tegas. Film ini berusaha untuk memvisualkan
bagaimana seorang Ahok dibentuk melalui pengalaman pelik realita kehidupan. Ahok sendiri
merupakan seorang politikus di Indonesia yang saat ini masih mendekam di penjara karena
kasus penistaan agama. Biarpun demikian hingga saat ini ia masih didukung oleh banyak
pendukungnya. Oleh sebab itu dengan tayangnya film ini banyak orang berpendapat bahwa
film tersebut merupakan cara pendukung Ahok untuk terus menjaga citra Ahok di
masyarakat.
Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori realisme. Asumsi terhadap teori
realisme yang digunakan pada karya tulis ini bahwa film “A Man Called Ahok”
menggunakan konsep realisme. Realisme sendiri merupakan istilah yang bermuatan politis
dengan makna yang sangat jelas (Gill Branston dan Roy Stafford 2003: 446-472). Dalam
penulisan ini ada tiga poin seputar realisme yang akan dipaparkan, di antaranya; alasan
penggunaan realisme, realisme dalam film dan vidio, serta realisme dan politik.
Realisme dalam Islam merupakan narasi yang menarik untuk dibahas. Hal ini
berkaitan dengan konsep maqâshid as-syari‘ah dalam metodologi hukum Islam, dimana
sesungguhnya syari‘ah itu dibuat berdasarkan realitas sosial manusia. Realisme dalam Islam
bisa dilihat dalam di dalam al-Quran, salah satunya dikenal istilah al-Haqq yaitu kebenaran.
Sedangkan politik dalam realisme juga bisa dilihat dalam ilmu fiqh dengan istilah As-siyasah,
ilmu yang khusus membahas tentang politik dalam Islam.
Film yang mengangkat cerita seorang tokoh nyata kebanyakan berkonsep realisme.
Mayoritas tokoh yang diangkat menjadi sebuah film biasanya merupakan tokoh yang sudah
wafat dan bernilai ideologis. Berbeda dengan beberapa film biografi lain di Indonesia, “A
Man Called Ahok” merupakan film yang mengisahkan sosok yang masih hidup serta
mempunyai potensi di kancah perpolitikan di Indonesia. Selain itu penayangan film tersebut
muncul di akhir masa tahanan Ahok. Oleh sebab itu analisa sementara penulis, terkait dengan
konten dan waktu tayang, realisme yang diangkat di film ini cenderung politis.
Realisme merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan visual, dalam hal ini
tayang reality show ataupun film. Dalam film “A Man Called Ahok” penulis ingin
mendeskripsikan bagaimana realisme yang terdapat melalui film ini. Baik itu melalui konsep,
penerapan ataupun aspek politik yang terdapat di dalam film. Pada tulisan ini juga penulis
berharap realisme juga diterapkan dalam nilai-nilai keislaman.
Kata Kunci: Film, Realisme, Politik, dan Ahok
Pendahuluan
Latar Belakang
Film memiliki fungsi sebagai hiburan bagi banyak orang. Selain itu
film juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan berbagai macam pesan.
Ada film yang menyampaikan cinta, kemanusiaan atau bahkan pesan politik.
Film “A Man Called Ahok” merupakan film yang bercerita tentang mantan
Gubernur Jakarta, yaitu Basuki Cahya Purnama, atau biasa disebut dengan
Ahok. Beradasarkan hal tersebut ada beberapa orang yang berasumsi bahwa
film ini syarat akan konten politik.
Film yang ditayangkan pada bulan November 2018 tersebut cukup
menarik perhatian banyak orang. Karena selain bercerita tentang sosok yang
kontroversial, film ini ditayangkan ketika kondisi perpolitikan di Indonesia
sedang bergejolak panas. Terlebih jadwal tayang film ini berbarengan dengan
film “Hanum dan Rangga.” Kedua film tersebut mengangkat dua sosok dari
poros politik yang berbeda. Ahok merupakan sosok yang merepresentasikan
petahana, sedangkan Hanum yang putra tokoh reformasi Indonesia, Amin
Rais, mewakili poros oposisi.
Pernyataan Tesis
Isi film “A Man Called Ahok” yaitu tentang kehidupan masa kecil
Ahok yang dididik oleh ayahnya dengan cara yang cukup tegas. Film ini
berusaha untuk memvisualkan bagaimana seorang Ahok dibentuk melalui
pengalaman pelik realita kehidupan. Seperti kebanyakan film biografi, film ini
kuat dengan unsur realisme, karena pada adegan Ahok sendiri merupakan
seorang politikus di Indonesia yang saat ini masih mendekam di penjara
karena kasus penistaan agama. Biarpun demikian hingga saat ini ia masih
didukung oleh banyak pendukungnya. Oleh sebab itu dengan tayangnya film
ini banyak orang berpendapat bahwa film tersebut merupakan cara pendukung
Ahok untuk terus menjaga citra Ahok di masyarakat.
Pembahasan
Kerangka Teori
Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan perlu dipilih beberapa teori yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas. Dalam hal ini adalah realisme. Realisme sendiri merupakan sebuah istilah
yang pertama kali muncul melalui karya seni, terutama seni rupa. Realisme
sebagai gerakan artistik dikaitkan dengan meningkatnya kapitalisme dan industri
tahun 1840-an di Eropa Barat. Sebagai sebuah gerakan dalam lukisan, realisme
dianggap sebagai dominasi orang Prancis, yang mencakup periode 1840-80
(Nochlin 1971).1 Dalam ilmu komunikasi realisme bukan merupakan istilah asing
karena realisme sendiri merupakan suatu elemen dalam media komunikasi.
Realisme
Realisme adalah konsep yang ditentang oleh para penulis dan produser.
Sebuah istilah yang bermuatan politis dengan makna yang jelas, tetapi juga
sejarah yang panjang dan beragam, dan yang perlu dipahami jika itu akan
digunakan secara efektif dalam kajian media (Gill Branston dan Roy Stafford
2003: 446). Kontroversi seputar realisme dijelaskan oleh hubungannya dengan
isu-isu sosial, yang mana mereka sendiri sering menjadi basis konflik dan
kontradiksi yang inheren dalam penggunaannya sebagai pendekatan untuk
produksi media, yaitu bahwa efek realisme memerlukan persiapan yang matang
dan mungkin kesenian yang cukup dari produser (Gill Branston dan Roy Stafford
2003: 446).2 Biarpun penuh perdebatan dan pertentangan realisme sendiri masih
diminati, terutama melalui media film ataupun televisi. Lewat kedua media
tersebut paham realisme cukup menjamur, terlebih di pesatnya era informasi dan
teknologi.
Kita dapat menelusuri banyak perdebatan kontemporer seputar realisme
kembali ke dua bentuk ini - foto dan 'novel burjuis'. Pusat masalahnya mungkin:
1. penggunaan teknologi untuk membawa kita lebih dekat ke 'realitas'
1
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.448.
2
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.447.
2. perdebatan tentang estetika yang membangun ruang dan waktu narasi
sehingga tampak mewakili 'dunia nyata' secara transparan kepada kita
sebagai pembaca, mengundang kita untuk mengidentifikasi dengan tokoh
individu (Gill Branston dan Roy Stafford 2003: 448).
3
Ari Ernesto, Memetakan Kompleksitas Kajian dan Teori Film, Bagian 1,
https://cinemapoetica.com/memetakan-kompleksitas-kajian-dan-teori-film-bagian-1/ (17 Februari, 2011)
kehidupan para karakter. Oleh karena itu, sangat berguna untuk mengomentari
dua klasifikasi estetika film, realisme Hollywood, dan realisme sosial. 4
1. Realisme Hollywood
4
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hal.452
5
Scott dan Barbara Siegel. The Encyclopedia of Hollywood, An A to Z Guide to The Stars, Stories, and Secret of
Hollywood (New York, 2004) hlm.201.
seperti kain yang dijahit, film ini memasukkan tarian ke musik modern di
mana penari mengganti pakaiannya beberapa kali, dan berbagai
pertempuran pedang yang menggunakan koreografi film seni bela diri
Hongkong. Sulit membayangkan film Hollywood serupa seperti Gladiator
(US 2000) termasuk fitur-fitur seperti itu, karena mereka akan mengurangi
konsistensi dunia fiksi, namun tidak mungkin cerita yang sebenarnya
diceritakan.6
Hollywood juga sudah khawatir untuk menggunakan 'efek
realisme' untuk meningkatkan Intensitas emosional yang dialami penonton
di bioskop. Saving Private Ryan (US 1998) secara luas dikagumi karena
runtutan peristiwa yang mewakili pasukan Amerika yang berperang
menuju perbatasan pantai pada kejadian masa lalu. Para tentara veteran
yang memang benar-benar melaukan pendaratan di pantai mengatakan
bahwa film ini seperti membawa mereka langsung kembali ke pantai pada
tahun 1944 sehingga memungkinkan bagi mereka untuk berbicara tentang
pengalaman yang mereka alami langsung dengan penonton muda yang
terkejut oleh adegan-adegan yang terdapat di film tersebut. Namun
sebenarnya rangkaian peristiwa dari film ini bertujuan untuk menciptakan
kedekatan terhadap aksi para tentara. Penggunaan kamera bergerak
(termasuk kamera bawah laut) dan efek suara yang mewakili bagaimana
perasaan para pria di lapangan, dipilih oleh pembuat film daripada
menyajikan mengeksplorasi kondisi sosial di Angkatan Darat atau militer
serta latar belakang politik di dalamnya7.
2. Realisme Sosial
6
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.452.
7
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.453.
sebagai pendukung aktif dari apa yang kemudian dikenal sebagai 'realisme
sosial', dengan ciri-ciri khas berikut:
setting film dilakukan di lokasi yang dapat dikenali, biasanya kota
industri
dialek regional yang otentik dan referensi budaya
aktor non-profesional atau aktor yang terutama terkait dengan jenis
pekerjaan ini.
narasi berdasarkan perjuangan di dalam keadaan sosial yang
merugikan
karakter utama yang 'biasa' dan kelas pekerja
'observasional', gaya 'dokumenter' dari kamera video
bergaya spontan dan natural
karakter keluar masuk frame, dialog tumpang tindih
3. Perbedaan Realisme
Dari kedua istilah realisme di poin sebelumnya kita bisa melihat
beberapa perbedaan. Baik itu realisme Hollywood ataupun realisme sosial.
Penggunan yang agak luas dari istilah 'realisme' sebagai penggambaran,
kita dapat mendefinisikan realisme secar spesifik, yang semuanya
menampilkan salah satu dari dua fitur ini:
Pembuat film mempunyai kepentingan untuk menangkap peristiwa
senyata mungkin, serta membuat penonton merasakan sebuah
peristiwa tanpa merasa sedangan dimediasi oleh sebuah film
Para pembuat film memiliki sesuatu yang spesifik untuk dikatakan
tentang dunia nyata dan telah mengembangkan gaya khusus,
menggunakan konvensi realis.
8
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.453.
kemungkinan mencakup ‘fiksi realis’ atau demikian juga sebagai
dokumenter.9
9
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.453.
percaya bahwa adalah mungkin bagi orang biasa untuk mengendalikan hidup
mereka untuk mencapai sesuatu. Dia bekerja dengan sekelompok rekan yang
telah dapat menemukan dukungan yang cukup di luar sistem Hollywood untuk
terus membuat film yang sangat berharga secara politik untuk dikatakan,
menggunakan pendekatan yang jelas. Dalam pengertian ini dia adalah
pembuat film realis.10
Konsep Metodologis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, realisme berasal dari bahasa
Inggris “real” berarti “nyata”. Realisme berarti ajaran yang selalu bertolak dari
kenyataan. Dalam bidang kesenian, realisme dikenal sebagai aliran yang
berupaya melukiskan sesuatu sebagaimana kenyataannya.11
Pada ayat Al-Qur’an sendiri, kenyataan merupakan sebuah kebenaran
sebagaimana konsep dari Al-Haq. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang membahas
tentang konsep kebenaran ada lebih dari 20 ayat yang membahas tentang al-
Haq, bahkan di dalam surat al-Baqarah terdapat 10 ayat yang membunyikan
al-Haq. Sebagaimana dalam firman Tuhan pada surat al-Baqarah ayat 42;
“Janganlah kamu campur adukan antara kebenaran dengan kebatilan.” Selain
itu pada al-Baqarah ayat 26 sedikit menyinggung tentang kebenaran (al-
Haqq).
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 26 tersebut diturunkan
sehubungan dengan surat al-Haj ayat 73, dan surat al-Ankabut ayat 41, dengan
reaksi kaum munafiqin yang berkata: “Bagaimana pandanganmu tentang Allah
yang menerangkan lalat dan laba-laba di dalam al-Qur’an yang diturunkan
kepada Muhammad. Apakah ini bukan bikinan Muhammad?”12
Dalam filsafat hukum, memang tidak dikenal ada aliran realisme,
namun jika realisme merupakan lawan dari idealisme, maka sesungguhnya
positivisme, terutama positivism - pragmatis sebagai sebuah aliran filsafat
hukum. yang muncul dari kalangan realis, memiliki kesamaan dengan
realisme. Dalam doktrin positivisme-pragmatis, terdapat mainstream
pemikiran hukum yang mengatakan bahwa fakta sosial merupakan unsur yang
10
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hal.453
11
Tim Penyusun Kamus P3B, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 1995), cet. ke-4, hlm. 823.
12
Qamarudin Saleh, HAA. Dahlan, M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Alquran (Bandung: CV Dipenogoro, 1995) hlm, 23.
menentukan konsep hukum. Hukum dengan demikian selalu tunduk pada
kenyataan yang terjadi di masyarakat sebagai fakta sosial. Hukum juga selalu
mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan yang ada di
masyarakat.17 Realisme dalam hukum Islam tidak berarti positivisme dimana
hukum Islam ditentukan oleh fakta sosial yang terjadi di masyarakat, karena
hukum Islam adalah hukum Tuhan. Realisme dalam kaitannya dengan hukum
Islam berarti bahwa pemahaman hukum Islam didasarkan atas pertimbangan
realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Atau pada tingkat yang sangat
teknis bagaimana keputusan-keputusan hukum diambil berdasarkan pada
fakta-fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini berkaitan dengan konsep maqâshid as-syari‘ah dalam
metodologi hukum Islam, dimana sesungguhnya syari‘ah itu dibuat untuk
13
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan
bahkan menjadi tujuan hakiki dari hukum Islam itu sendiri.14 Pandangan ini
secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Quran yang
menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan, seperti
tertera dalam Q.S. AlNisâ: 165, al-Anbiyâ: 107, Hud: 7, al-Dzariyat: 56, al-
Ankabut: 45, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas, kemaslahatan
terdapat dalam setiap aspek hukum secara keseluruhan. Hal ini mengandung
pengertian, jika terdapat kasuskasus hukum yang tidak ditemukan dimensi
kemaslahatannya, maka dapat dianalisis melalui maqâshid as-syari‘ah sebagai
tujuan umum dari hukum Islam itu sendiri.15 Secara genealogis, semangat
realisme dalam hukum Islam dapat ditelusuri jejaknya dari syari‘ah atau
wahyu Allah itu sendiri. Dalam disiplin ilmu-ilmu al-Quran (‘ulûm al-
Qur’ân), dikenal istilah asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya al-Quran) dan
nasakh (pembatalan Nash). Dalam tradisi sunnah, dikenal istilah asbâb
alwurûd (sebab-sebab datangnya Hadits). Sementara dalam tradisi sahabat
dikenal dengan adanya ijtihad. Ijtihad bahkan telah terjadi ketika Rasulullah
masih hidup.
1. Asbâb al-nuzûl
13
As-Syatibi, Al-Muwâfaqât fī Uṣhûl al-Syarî’ah (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.), jilid I, hlm. 6.
14
Muhammad Abu Zahrah, Uṣhûl al-Fiqh, (Mesir: Dâr al-Fikr al-Arabi. 1958), hlm. 366.
15
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâshid Syari‘ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996),
cet. ke-1, hlm. 68.
Asbâb al-nuzûl dapat dilihat dalam kaitannya dengan dialektika antara
teks dan realitas, sehingga asbâb al-nuzûl dipahami sebagai fakta-fakta
sejarah yang menyelimuti pembentukan teks.16 Dalam pengertian ini,
asbâb al-nuzûl menunjukkan bahwa wahyu tidaklah menentukan realitas,
tetapi justru diundang oleh realitas aktual itu sendiri.17 Asumsi inilah yang
menunjukkan bahwa eksistensi realitas memiliki peran penting bagi
pembentukan sebuah teks. Dengan kata lain, dimensi realisme berasal dari
dalam teks itu sendiri.
2. Nasakh
Konsep nasakh memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan asbâb al-
nuzûl. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa, kalau asbâb al-nuzûl
dianggap sebagai realitas, dan realitas itu selalu berkembang, maka pada
proses selanjutnya memungkinkan terjadinya perubahan atau pergantian
teks karena terjadinya perubahan realitas. Dalam konteks ini, “pergantian”
teks ayat berarti perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks
lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut.18
3. Ijtihad
Sejarah panjang dialektika ijtihad dengan realitas sosial telah terjadi
bahkan semenjak Rasulullah masih hidup. Kasus yang paling kuat
indikasinya adalah model penerapan sangsi bagi seorang Arab Badui
terkait pelanggaran puasa. Dalam kasus ini terjadi sekitar lima kali
perubahan hukum sesuai perubahan realitas Arab badui yang meminta
fatwa dari Nabi. Proses tawar-menawar hukuman antara Nabi dengan Arab
badui ini terjadi karena terjadinya perubahan realitas yang dihadapi Arab
badui sehingga menyebabkan terjadinya perubahan hukum itu sendiri.
Kasus ini juga mengisyaratkan bagaimana kepiawaian Nabi dalam
merukunkan realitas sosial dengan idealitas agama, betapa Nabi sangat
mempertimbangkan ma nusia sebagai sentral dibanding Nash sebagai
prioritas.
16
Farid Esack, Al-Quran Liberalisme dan Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman.
(Bandung: Mizan, 2000) hlm. 126-133.
17
Hassan Hanafi, “Maza Ta‘ni Asbâb al-Nuzûl” dalam al-Din wa as-Saurah fi Misr 1956-1981 (Cairo: Maktabah
Madbuli. 1981), vol. VII, hlm. 71.
18
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran. hlm. 154.
Sepeninggal Nabi, Ijtihad Umar bin Khaththab tentang hukuman bagi
pelaku pencurian selanjutnya menjadi pilihan tepat untuk dikemukakan
dalam konteks pendalaman pemahaman terhadap realitas. Meski terlihat
bersebrangan dengan Nash, Umar bukan tanpa alasan melakukan
perubahan hukum demi menjembatani kesenjangan antara idealitas hukum
dengan realitas sosial. Tujuannya tiada lain adalah pertimbangan
kemaslahatan manusia.
19
Anwar Sofiyudin Yusuf. Akar Pemikiran Realisme dalam Hukum Islam. (Ciputat: Asy-Syari’ah, 2014) hlm.186
20
Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam, Jilid I. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm. 20
akan terjadi, membasmi kerusakan yang sudah terjadi atau untuk
memecahkan masalah khusus.21
21
Yusuf Qardhawi, Teori Politik Islam, ter. Masrohi N, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 34.
22
Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al Fikr, 1966), hlm. 36
Pada bulan November 2018 “A Man Called Ahok” film yang diangkat
dari buku yang berjudul sama resmi dirilis. Tanggal perilisan film keluaran
The United Team of Art ini berselang dua hari setelah penayangan perdana
dari “Hanum & Rangga: Faith & The City”, film yang juga diadaptasi dari
novel karangan Hanum Salsabiela Rais. Sebelum dirilis kedua film ini sempat
bersitegang, hal ini lantaran kedua film selalu dikaitkan dengan kondisi
perpolitikan di Indonesia. “A Man Called Ahok” mewakili pemerintah,
sedangkan “Hanum & Rangga: Faith & The City” mewakili suara oposisi.
Banyak yang mengira kalau film biopik dari Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok ini akan mengisahkan perjalanan politiknya sampai akhirnya beliau
mendekam di penjara. Nyatanya, nilai yang diangkat oleh A Man Called
Ahok lebih dari itu. Karena film ini tidak menitikberatkan kisah politik, film
besutan Putrama Tuta ini mengandung banyak nilai kehidupan yang bisa
diambil.
Dalam hal ini film “A Man Called Ahok” berusaha untuk menyajikan
peristiwa seputar kehidupan masa lalu yang membentuk karakter seseorang.
Seperti dunia kesusatraan baik itu novel ataupun teater, dalam penyajian film
perlu adanya riset yang mendalam tentang masa lalu tokoh yang diangkat, baik
itu karakter, sosial masyarakat di latar masa lalu tokoh yang diangkat ataupun
adat dan budaya masyarakat sekitar, karen dalam penyajian sebuah film drama
biografi perlu mendekatkan penonton dengan peristiwa yang dibangun dalam
film melalui realisme, agar bisa merasakan sebuah peristiwa yang ada dalam
sebuah film yang diangkat.
23
Maman S. Sahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening Publishing, 2005), hlm. 356
Penerapan Realisme dalam Tayangan Film “A Man Called Ahok”
Latar film ini merupakan Belitung Timur sekitar tahun 70-an hingga
80-an. Tepatnya ketika Ahok masih di tingkat sekolah dasar. film ini mulai
mengisahkan tentang kehidupan Ahok mulai dari masa kecilnya di Gantong,
Kepulauan Belitung Timur. Film bergenre drama keluarga ini akan
memusatkan cerita pada dua karakter yakni sosok Ahok sendiri dan ayahnya,
Kim Nam. Eksekusi budaya Tionghoa dalam film ini juga baik, tak
ditampilkan berlebihan yang pada umumnya berujung pada stereotyping.
Sebagaimana salah satu penjabaran dari realisms sosial dalam penggunaan
dialek, dalam film “A Man Called Ahok,” penggunaan Bahasa Khek yang
tidak dibuat-buat serta pemunculan budaya khas Tionghoa seperti tingginya
harga diri dan gaya bicara blak-blakan menjadi nilai tambah film garapan
Putrama Tuta ini. Untuk mendapatkan karakter yang pas dengan tokoh yang
sebenarnya Daniel Mananta, pemeran Ahok dewasa di film “A Man Called
Ahok” melakukan obsrevasi yang mendalam tentang Ahok.
“Gue minta ke pak Tuta casting sekali lagi, dan di situ gue riset banget
tentang pak Ahok. Gue nonton Youtubenya semua. setiap hari selama 30
hari gue benar-benar 5 menit jadi pak Ahok," kata Daniel Mananta di
Kawasan Epicentrum, Jakarta Selatan, Senin, 5 November 2018. 24
24
https://seleb.tempo.co/read/1143480/demi-jadi-ahok-ini-yang-dilakukan-daniel-mananta-selama-
sebulan/full&view=ok (Diakses pukul 21.18, 7 Januari 2019)
Secara garis besar film ini menerapkan konsep realisme, terutama
realisme sosial yang mengangkat peristiwa kondisi masyarakat Gantong,
Belitung Timur pada kurun waktu 70-an sampai 80-an. Namun ada hal yang
luput, salah satunya adalah penggambaran peristiw keluarga kecil Ahok. Hal
ini diungkapkan sendiri oleh adik kandung Ahok, Fifi Lety Indra.
"Untuk film, saya sudah minta berkali-kali gambaran Papa saya disesuaikan
dengan Papa saya. Tapi karena mereka sudah selesai syuting baru kasih lihat
transkrip ke kita, ya jadi sedih kok Papa saya kayak gitu cara pakaiannya.
Gayanya semua beda." 25 Biarpun demikian realisme sosial yang disajikan di
film “A Man Called Ahok” berhasil menjaring penonton, tercatat tembus 1
juta penonton.
25
https://news.detik.com/berita/4290526/fifi-adik-ahok-tak-mau-nonton-a-man-called-ahok-ini-penyebabnya
(Diakses pukul 23.20, 7 Januari 2019)
26
Abdulkadir B Nambo dan Muhammad Rusdiyanto Puluhuluwa, Memahamai Tentang Beberapa Konsep
Politik, Suatu Telaah dari Sistem Politik.(Mimbar volume XXI, 2005) hlm. 262.
sebagai ayah dan Ahok. Pada dasarnya kedua aktor yang memerankan kedua
sosok tersebut sudah berusaha menampilkan realitas yang sebenarnya.
Termasuk hubungan politik keluarga yang divisualkan melalui film ini, karena
dalam politik keluarga merupakan lingkup terkecil.
27
Nasaruddin dan Bahtiar. Pemilihan Kepala Daerah dan Diharmonisasi Keluaga (Studi Kasus Pada Pilkada
Kabupaten Muna Barat Tahun 2017, (Neo Societal: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, vol. 3: 2018),
hlm. 246
28
Vrasidas Karalis, Realism in Greek Cinema, From the Post War Period to the Present, (London, I.B Tauris & Co.
Ltd: 2017), hlm. 22
di Belitung Timur di era 70-an dan 80-an. Baik itu politik keluarga, ataupun
kondisi sosial politik di Gantong, Belitung Timur.
Pada dasarnya jika dilihat dari latar belakang dan siapa orang yang
berada di balik film “A Man Called Ahok” dapat diketahui bahwa tujuan film
ini cenderung politik. Penulis novel yang menjadi gagasan dari film ini yaitu
Rudi Valinka merupakan salah satu pendukung Ahok yang paling spartan di
kancah perpolitikan, terutama ketika Pilkada DKI 2017. Buku “A Man Called
Ahok” terbit di masa kampanye pemilihan gubernur di Jakarta, dan merupakan
salah satu cara timses Ahok untuk mengenalkan latar belakang Ahok ke
masyarakat, terutama masyarakat Jakarta. Begitupun dengan film, kemunculan
film ini juga cenderung politis. Film “A Man Called Ahok” tayang dua bulan
sebelum Ahok keluar dari penjara karena kasus penistaan Agama. Film ini
juga merupakan salah satu sebab nama Ahok masuk daftar 15 tokoh terpopuler
di Google Indonesia.29 Padahal di tahun 2018 hanya ada dua berita besar yang
membahas seputar Ahok, yang pertama adalah tentang kasus perceraiannya,
dan yang kedua tentang kekisruhan sebelum penayangan film “A Man Called
Ahok.”
29
https://tekno.kompas.com/read/2018/12/13/19150087/daftar-tokoh-terpopuler-di-google-indonesia-
sepanjang-2018 (Diakses pukul 22.14, 8 Januari 2019)
Penutup
Kesimpulan
Pada dasarnya jika dilihat dari latar belakang dan siapa orang yang
berada di balik film “A Man Called Ahok” dapat diketahui bahwa tujuan film
ini cenderung politik. Penulis novel yang menjadi gagasan dari film ini yaitu
Rudi Valinka merupakan salah satu pendukung Ahok yang paling spartan di
kancah perpolitikan, terutama ketika Pilkada DKI 2017. Oleh sebab itu bisa
dibilang unsur politik di dalam film “A Man Called Ahok” secara tidak
langsung disajikan untuk penonton.
Refleksi
Abidin, Zainal. Ilmu Politik Islam, Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Abu Zahrah, Muhammad. Uṣhûl al-Fiqh. Mesir: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1958
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap ‘Ulumul Qur’an. terj.
Branston, Gill dan Roy Stafford. The Media Student’s Book. London dan New York:
Routledge, 2003
Hanafi, Hasan. “Maza Ta‘ni Asbâb al-Nuzûl” dalam al-Din wa as-Saurah fi Misr
https://cinemapoetica.com/memetakan-kompleksitas-kajian-dan-teori-film-bagian-1
https://news.detik.com/berita/4290526/fifi-adik-ahok-tak-mau-nonton-a-man-called-
https://tekno.kompas.com/read/2018/12/13/19150087/daftar-tokoh-terpopuler-di-
Karalis, Vrasidas. Realism in Greek Cinema, From the Post War Period to the
Beberapa Konsep Politik, Suatu Telaah dari Sistem Politik. Mimbar volume
XXI. 2005.
Keluaga (Studi Kasus Pada Pilkada Kabupaten Muna Barat Tahun 2017. Neo
Publishing, 2005.
Shaleh, Qamaruddin, HAA. Dahlan, dan M.D. Dahlan. Asbabun Nuzul Latar
1995.
The Stars, Stories, and Secret of Hollywood. New York: Facts on File, 2004
Sofiyudin Yusuf, Anwar. Akar Pemikiran Realisme dalam Hukum Islam. Ciputat:
Asy-Syari’ah, 2014
Tim Penyusun Kamus P3B, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1995