Anda di halaman 1dari 30

Tayangan Film “A Man Called Ahok” Perspektif Realisme

Makalah
Perspektif dan Teori Komunikasi Masa
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, M.A.

Disusun oleh:

Nur Kholis Makki


21180510000011

JURUSAN MAGISTER KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2019
Realisme Politik dalam Tayangan Film “A Man Called Ahok”

Film memiliki fungsi sebagai hiburan bagi banyak orang. Selain itu film juga bisa
menjadi sarana untuk menyampaikan berbagai macam pesan. Ada film yang menyampaikan
cinta, kemanusiaan atau bahkan pesan politik. Film “A Man Called Ahok” merupakan film
yang bercerita tentang mantan Gubernur Jakarta, yaitu Basuki Cahya Purnama, atau biasa
disebut dengan Ahok. Beradasarkan hal tersebut ada beberapa orang yang berasumsi bahwa
film ini syarat akan konten politik.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab
pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah bagaimana realisme dalam tayangan
film “A Man Called Ahok”? Kemudian minornya adalah mengapa film tersebut
menggunakan konsep realisme? Seperti apa penerapan realisme pada film tersebut?
Realisme politik apa yang coba diangkat di film ini?
Isi film “A Man Called Ahok” yaitu tentang kehidupan masa kecil Ahok yang dididik
oleh ayahnya dengan cara yang cukup tegas. Film ini berusaha untuk memvisualkan
bagaimana seorang Ahok dibentuk melalui pengalaman pelik realita kehidupan. Ahok sendiri
merupakan seorang politikus di Indonesia yang saat ini masih mendekam di penjara karena
kasus penistaan agama. Biarpun demikian hingga saat ini ia masih didukung oleh banyak
pendukungnya. Oleh sebab itu dengan tayangnya film ini banyak orang berpendapat bahwa
film tersebut merupakan cara pendukung Ahok untuk terus menjaga citra Ahok di
masyarakat.
Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori realisme. Asumsi terhadap teori
realisme yang digunakan pada karya tulis ini bahwa film “A Man Called Ahok”
menggunakan konsep realisme. Realisme sendiri merupakan istilah yang bermuatan politis
dengan makna yang sangat jelas (Gill Branston dan Roy Stafford 2003: 446-472). Dalam
penulisan ini ada tiga poin seputar realisme yang akan dipaparkan, di antaranya; alasan
penggunaan realisme, realisme dalam film dan vidio, serta realisme dan politik.
Realisme dalam Islam merupakan narasi yang menarik untuk dibahas. Hal ini
berkaitan dengan konsep maqâshid as-syari‘ah dalam metodologi hukum Islam, dimana
sesungguhnya syari‘ah itu dibuat berdasarkan realitas sosial manusia. Realisme dalam Islam
bisa dilihat dalam di dalam al-Quran, salah satunya dikenal istilah al-Haqq yaitu kebenaran.
Sedangkan politik dalam realisme juga bisa dilihat dalam ilmu fiqh dengan istilah As-siyasah,
ilmu yang khusus membahas tentang politik dalam Islam.
Film yang mengangkat cerita seorang tokoh nyata kebanyakan berkonsep realisme.
Mayoritas tokoh yang diangkat menjadi sebuah film biasanya merupakan tokoh yang sudah
wafat dan bernilai ideologis. Berbeda dengan beberapa film biografi lain di Indonesia, “A
Man Called Ahok” merupakan film yang mengisahkan sosok yang masih hidup serta
mempunyai potensi di kancah perpolitikan di Indonesia. Selain itu penayangan film tersebut
muncul di akhir masa tahanan Ahok. Oleh sebab itu analisa sementara penulis, terkait dengan
konten dan waktu tayang, realisme yang diangkat di film ini cenderung politis.
Realisme merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan visual, dalam hal ini
tayang reality show ataupun film. Dalam film “A Man Called Ahok” penulis ingin
mendeskripsikan bagaimana realisme yang terdapat melalui film ini. Baik itu melalui konsep,
penerapan ataupun aspek politik yang terdapat di dalam film. Pada tulisan ini juga penulis
berharap realisme juga diterapkan dalam nilai-nilai keislaman.
Kata Kunci: Film, Realisme, Politik, dan Ahok
Pendahuluan

Latar Belakang

Film memiliki fungsi sebagai hiburan bagi banyak orang. Selain itu
film juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan berbagai macam pesan.
Ada film yang menyampaikan cinta, kemanusiaan atau bahkan pesan politik.
Film “A Man Called Ahok” merupakan film yang bercerita tentang mantan
Gubernur Jakarta, yaitu Basuki Cahya Purnama, atau biasa disebut dengan
Ahok. Beradasarkan hal tersebut ada beberapa orang yang berasumsi bahwa
film ini syarat akan konten politik.
Film yang ditayangkan pada bulan November 2018 tersebut cukup
menarik perhatian banyak orang. Karena selain bercerita tentang sosok yang
kontroversial, film ini ditayangkan ketika kondisi perpolitikan di Indonesia
sedang bergejolak panas. Terlebih jadwal tayang film ini berbarengan dengan
film “Hanum dan Rangga.” Kedua film tersebut mengangkat dua sosok dari
poros politik yang berbeda. Ahok merupakan sosok yang merepresentasikan
petahana, sedangkan Hanum yang putra tokoh reformasi Indonesia, Amin
Rais, mewakili poros oposisi.

Di samping waktu penayangan dan sosok yang diangkat menjadi


sebuah film. Realisme dalam tayangan “A Man Called Ahok” cenderung
politis. Asumsi ini muncul karena selain tokoh yang diangkat di film ini masih
mendekam di penjara karena kasus penistaan agama, film ini juga dipakai
untuk menjaga awarness publik terhadap sosok Ahok yang selama 2018
minim pemberitaan. Tecatat hanya ada dua pemberitaan besar seputar Ahok
yaitu tentang kasus percerainnya, dan kedua tentang penayangan film “A Man
Called Ahok.”
Rumusan Masalah
1. Bagaimana realisme dalam tayangan film “A Man Called Ahok”?
2. Mengapa film “A Man Called Ahok” menggunakan konsep realisme?
3. Seperti apa penerapan realisme pada film “A Man Called Ahok”?
4. Realisme politik apa yang coba diangkat di film “A Man Called Ahok”?

Pernyataan Tesis
Isi film “A Man Called Ahok” yaitu tentang kehidupan masa kecil
Ahok yang dididik oleh ayahnya dengan cara yang cukup tegas. Film ini
berusaha untuk memvisualkan bagaimana seorang Ahok dibentuk melalui
pengalaman pelik realita kehidupan. Seperti kebanyakan film biografi, film ini
kuat dengan unsur realisme, karena pada adegan Ahok sendiri merupakan
seorang politikus di Indonesia yang saat ini masih mendekam di penjara
karena kasus penistaan agama. Biarpun demikian hingga saat ini ia masih
didukung oleh banyak pendukungnya. Oleh sebab itu dengan tayangnya film
ini banyak orang berpendapat bahwa film tersebut merupakan cara pendukung
Ahok untuk terus menjaga citra Ahok di masyarakat.
Pembahasan

Kerangka Teori
Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan perlu dipilih beberapa teori yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas. Dalam hal ini adalah realisme. Realisme sendiri merupakan sebuah istilah
yang pertama kali muncul melalui karya seni, terutama seni rupa. Realisme
sebagai gerakan artistik dikaitkan dengan meningkatnya kapitalisme dan industri
tahun 1840-an di Eropa Barat. Sebagai sebuah gerakan dalam lukisan, realisme
dianggap sebagai dominasi orang Prancis, yang mencakup periode 1840-80
(Nochlin 1971).1 Dalam ilmu komunikasi realisme bukan merupakan istilah asing
karena realisme sendiri merupakan suatu elemen dalam media komunikasi.

Realisme

Realisme adalah konsep yang ditentang oleh para penulis dan produser.
Sebuah istilah yang bermuatan politis dengan makna yang jelas, tetapi juga
sejarah yang panjang dan beragam, dan yang perlu dipahami jika itu akan
digunakan secara efektif dalam kajian media (Gill Branston dan Roy Stafford
2003: 446). Kontroversi seputar realisme dijelaskan oleh hubungannya dengan
isu-isu sosial, yang mana mereka sendiri sering menjadi basis konflik dan
kontradiksi yang inheren dalam penggunaannya sebagai pendekatan untuk
produksi media, yaitu bahwa efek realisme memerlukan persiapan yang matang
dan mungkin kesenian yang cukup dari produser (Gill Branston dan Roy Stafford
2003: 446).2 Biarpun penuh perdebatan dan pertentangan realisme sendiri masih
diminati, terutama melalui media film ataupun televisi. Lewat kedua media
tersebut paham realisme cukup menjamur, terlebih di pesatnya era informasi dan
teknologi.
Kita dapat menelusuri banyak perdebatan kontemporer seputar realisme
kembali ke dua bentuk ini - foto dan 'novel burjuis'. Pusat masalahnya mungkin:
1. penggunaan teknologi untuk membawa kita lebih dekat ke 'realitas'

1
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.448.
2
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.447.
2. perdebatan tentang estetika yang membangun ruang dan waktu narasi
sehingga tampak mewakili 'dunia nyata' secara transparan kepada kita
sebagai pembaca, mengundang kita untuk mengidentifikasi dengan tokoh
individu (Gill Branston dan Roy Stafford 2003: 448).

Realisme pada Film dan Vidio


Dalam dunia film, realisme menjadi sebuah narasi tersendiri, yaitu
bagaimana sebuah film menggambarkan sebuah realita yang terjadi di
khalayak. Realisme pertama kali disuarakan oleh kritikus film Prancis André
Bazin, yang berpendapat bahwa kekuatan terbesar sinema justru terletak pada
kemampuannya menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya. Sehingga
pada prakteknya, Bazin sangat memuja teknik pengambilan gambar sinematik
yang mengandalkan direct recording process atas mise-en-scene sebuah film.
Ia menganggap bahwa long take dan deep focus adalah salah dua cara untuk
menggapai derajat realisme tertinggi. 3
Film menggunakan tanda-tanda yang dibagikan oleh kreator film, dimana
pembuat film menstrukturkan ideologi-ideologi dalam dunia sosial. Ideologi
itulah yang kemudian menjadi nyawa bagi suatu film (Bignell 2002: 191).
Dengan demikian diketahui bahwa dalam karya film, terdapat sentuhan dan
sidik jari dari film maker. Khususnya dalam karya film biografi, film maker
harus menciptakan gambar yang nyata dari suatu peristiwa yang akan disajikan
ke hadapan penonton yang nyata (Nowlan, 2002 : 2). Karena itu, film maker
bergenre biografi harus memperhatikan realitas historis dan realitas sosial yang
eksis dalam suatu lokus sosial dimana “objek”nya hidup. Oleh sebab itu film
biografi mempunyai keterkaitan yang cukup erat dengan unsur realisme.
Ketika 'realisme' diakui sebagai estetika dalam sinema, ia dikaitkan dengan
berbagai macam realisme dan tujuan, tidak semuanya bersifat 'liberal' atau
'progresif'. Seringkali, bagaimanapun juga, istilah realis disediakan untuk film
dan tidak hanya mewakili kondisi sosial tetapi dalam beberapa cara melihat
mereka sebagai subjek film atau setidaknya faktor utama yang mempengaruhi

3
Ari Ernesto, Memetakan Kompleksitas Kajian dan Teori Film, Bagian 1,
https://cinemapoetica.com/memetakan-kompleksitas-kajian-dan-teori-film-bagian-1/ (17 Februari, 2011)
kehidupan para karakter. Oleh karena itu, sangat berguna untuk mengomentari
dua klasifikasi estetika film, realisme Hollywood, dan realisme sosial. 4

1. Realisme Hollywood

Hollywood awalnya adalah nama sebuah peternakan yang berada


di tempat pusat perfilman dunia di masa depan. Dimiliki (dan diberi
nama) oleh Tuan dan Nyonya Wilcox, Kansas, yang telah pensiun di sana
pada tahun 1886. Tuan Wilcox telah berhasil sebagai pria yang sukses di
binsis real-estate dan dia menempatkan keterampilannya untuk bekerja
lagi pada tahun 1891, ketika itu ia mulai membagi lagi peternakannya dan
menjual rumah-rumah. Di tahun 1903, ia menjadikan sebuah komunitas
kecil menjadi sebuah desa, dan ia menamakan desa tersebut sesuai dengan
nama peternakannya.5
Dalam perkembangannya Hollywood berubah menjadi sebuah
industri film terbesar di dunia. Hingga saat ini sudah puluhan ribu film
diproduksi, dan setiap tahun ada sekitar 400 – 600 film yang diproduksi.
Dari banyakny film tersebut tentunya bukan ada berbagai macam aliran
film yang sudah diproduki oleh Hollywood. Salah satunya tentu saja aliran
realisme.
Kebanyakan film hollywood adalah 'realis' dalam hal konsep
transparansi yang diuraikan di penjelasan di awal. Film hiburan
Hollywood menciptakan dunia fiksi yang konsisten secara internal. Ada
kontinuitas linear dalam narasi, detail permukaan yang cukup otentik di
lokasi dan set, dan penonton bersedia untuk 'menangguhkan
ketidakpercayaan' untuk mengikuti alur cerita. Bahkan dalam genre seperti
sci-fi, konsistensi semacam ini diharapkan. Cara yang baik untuk
'mengedepankan' bagaimana Hollywood menciptakan realisme transparan
ini adalah dengan membandingkan film Hollywood dengan sinema
hiburan bentuk serupa seperti Sinema India ('Bollywood'). Ashoka (India
2001) terkait dengan tokoh-tokoh legendaris kisah India dan
mengeksploitasi kisa dua ribu tahun yang lalu. Terlepas dari anakronisme

4
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hal.452
5
Scott dan Barbara Siegel. The Encyclopedia of Hollywood, An A to Z Guide to The Stars, Stories, and Secret of
Hollywood (New York, 2004) hlm.201.
seperti kain yang dijahit, film ini memasukkan tarian ke musik modern di
mana penari mengganti pakaiannya beberapa kali, dan berbagai
pertempuran pedang yang menggunakan koreografi film seni bela diri
Hongkong. Sulit membayangkan film Hollywood serupa seperti Gladiator
(US 2000) termasuk fitur-fitur seperti itu, karena mereka akan mengurangi
konsistensi dunia fiksi, namun tidak mungkin cerita yang sebenarnya
diceritakan.6
Hollywood juga sudah khawatir untuk menggunakan 'efek
realisme' untuk meningkatkan Intensitas emosional yang dialami penonton
di bioskop. Saving Private Ryan (US 1998) secara luas dikagumi karena
runtutan peristiwa yang mewakili pasukan Amerika yang berperang
menuju perbatasan pantai pada kejadian masa lalu. Para tentara veteran
yang memang benar-benar melaukan pendaratan di pantai mengatakan
bahwa film ini seperti membawa mereka langsung kembali ke pantai pada
tahun 1944 sehingga memungkinkan bagi mereka untuk berbicara tentang
pengalaman yang mereka alami langsung dengan penonton muda yang
terkejut oleh adegan-adegan yang terdapat di film tersebut. Namun
sebenarnya rangkaian peristiwa dari film ini bertujuan untuk menciptakan
kedekatan terhadap aksi para tentara. Penggunaan kamera bergerak
(termasuk kamera bawah laut) dan efek suara yang mewakili bagaimana
perasaan para pria di lapangan, dipilih oleh pembuat film daripada
menyajikan mengeksplorasi kondisi sosial di Angkatan Darat atau militer
serta latar belakang politik di dalamnya7.

2. Realisme Sosial

Dalam tradisi Inggris, realisme sinematik dan televisi sudah


berkembang selama bertahun-tahun melalu gerakan yang berbeda-beda,
seperti gerakan dokumenter tahun 1930-an, ‘Sinema Bebas’ tahun 1950-
an, 1960-an ada ‘Gelombang Baru’ dan drama televisi pada tahun 1960-
70-an (Play for Today dll). Banyak komentator telah memilih Ken Loch

6
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.452.
7
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.453.
sebagai pendukung aktif dari apa yang kemudian dikenal sebagai 'realisme
sosial', dengan ciri-ciri khas berikut:
 setting film dilakukan di lokasi yang dapat dikenali, biasanya kota
industri
 dialek regional yang otentik dan referensi budaya
 aktor non-profesional atau aktor yang terutama terkait dengan jenis
pekerjaan ini.
 narasi berdasarkan perjuangan di dalam keadaan sosial yang
merugikan
 karakter utama yang 'biasa' dan kelas pekerja
 'observasional', gaya 'dokumenter' dari kamera video
 bergaya spontan dan natural
 karakter keluar masuk frame, dialog tumpang tindih

Istilah realisme sosial telah diterapkan cukup luas untuk berbagai


gaya realis di sinema kontemporer tetapi terutama untuk sinema Eropa.
Kadang-kadang hanya satu atau dua elemen yang tercantum di atas dapat
hadir, tetapi ada cukup untuk membedakan film dari realisme hollywood.8

3. Perbedaan Realisme
Dari kedua istilah realisme di poin sebelumnya kita bisa melihat
beberapa perbedaan. Baik itu realisme Hollywood ataupun realisme sosial.
Penggunan yang agak luas dari istilah 'realisme' sebagai penggambaran,
kita dapat mendefinisikan realisme secar spesifik, yang semuanya
menampilkan salah satu dari dua fitur ini:
 Pembuat film mempunyai kepentingan untuk menangkap peristiwa
senyata mungkin, serta membuat penonton merasakan sebuah
peristiwa tanpa merasa sedangan dimediasi oleh sebuah film
 Para pembuat film memiliki sesuatu yang spesifik untuk dikatakan
tentang dunia nyata dan telah mengembangkan gaya khusus,
menggunakan konvensi realis.

Poin yang pertama menggunakan pendekatan pragmatik, yang


mana mencoba sedekat mungkin terhadap suatu peristiwa baik pendekatan
fisik ataup cenderung kepada pendekatan dokumenter. Sedangkan untuk
poin yang selanjutnya lebih terlihat jelas ke arah posisi politik dan

8
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.453.
kemungkinan mencakup ‘fiksi realis’ atau demikian juga sebagai
dokumenter.9

Realisme dan Politik


Kebanyakan pembuat film realis, penulis, dan dokumenteris 'progresif'
sampai pada taraf tertentu, keinginan mereka untuk mewakili 'yang nyata'
sangat sering berasal dari keinginan mereka untuk mengekspos sesuatu dan
dengan demikian membantu untuk mengubah situasi. Mungkin
membingungkan kemudian bahwa beberapa kritikus yang mendukung 'estetika
realis' adalah 'konservatif' daripada 'progresif', terutama di Inggris. Mereka
cenderung tertarik pada detail otentik, terutama jika film merayakan
pandangan mereka tentang sejarah Inggris. Ada beberapa kontroversi yang
sangat aneh atas film-film 'politik' yang dibuat oleh Ken Loach dan yang
lainnya, di mana, dalam rangka mengurangi paparan potensial dari 'isu-isu
nyata', para kritikus telah menolak keaslian film-film tersebut dengan alasan
bahwa tentara telah 'memakai tombol yang salah'.
Pendekatan-pendekatan realis juga dikritik oleh para kritikus yang lebih
radikal yang menolak transparansi representasi tawaran obrolan realisme dunia nyata.
Ini terutama terjadi pada tahun 1970-an ketika realisme sosial tidak dibedakan dengan
realisme Hollywood dan cara yang lebih disukai untuk membuat 'film politik', adalah
untuk mengedepankan 'konstruksi' dari gambar film. Film yang dibuat dengan
cara ini terbukti sangat sulit untuk ditonton kecuali penonton sudah
berkomitmen dengan ideologi yang dieksplorasi dalam film. Sebaliknya, film-
film realis biasanya mudah dipahami dan menarik. Dalam kontemporer dan
televisi, perdebatan politik agak bergeser. "Realisme sosial umumnya diterima
oleh para kritikus jika itu adalah elemen dalam film komedi atau film yang
baik seperti The Full Monty (UK 1997) atau Billy Elliot (UK 2000), atau seri
kejahatan seperti Cops (UK 1998), tetapi jika Dorongan utama dari flm adalah
studi tentang masalah sosial, muatannya mungkin adalah bahwa film tersebut
'muram', atau 'sedih'.
Tuduhan 'suram' itu secara khusus ditujukan pada Ken Loach, yang
tetap menjadi pembuat film politik yang berkomitmen, yang secara agak kuno

9
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hlm.453.
percaya bahwa adalah mungkin bagi orang biasa untuk mengendalikan hidup
mereka untuk mencapai sesuatu. Dia bekerja dengan sekelompok rekan yang
telah dapat menemukan dukungan yang cukup di luar sistem Hollywood untuk
terus membuat film yang sangat berharga secara politik untuk dikatakan,
menggunakan pendekatan yang jelas. Dalam pengertian ini dia adalah
pembuat film realis.10

Konsep Metodologis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, realisme berasal dari bahasa
Inggris “real” berarti “nyata”. Realisme berarti ajaran yang selalu bertolak dari
kenyataan. Dalam bidang kesenian, realisme dikenal sebagai aliran yang
berupaya melukiskan sesuatu sebagaimana kenyataannya.11
Pada ayat Al-Qur’an sendiri, kenyataan merupakan sebuah kebenaran
sebagaimana konsep dari Al-Haq. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang membahas
tentang konsep kebenaran ada lebih dari 20 ayat yang membahas tentang al-
Haq, bahkan di dalam surat al-Baqarah terdapat 10 ayat yang membunyikan
al-Haq. Sebagaimana dalam firman Tuhan pada surat al-Baqarah ayat 42;
“Janganlah kamu campur adukan antara kebenaran dengan kebatilan.” Selain
itu pada al-Baqarah ayat 26 sedikit menyinggung tentang kebenaran (al-
Haqq).
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 26 tersebut diturunkan
sehubungan dengan surat al-Haj ayat 73, dan surat al-Ankabut ayat 41, dengan
reaksi kaum munafiqin yang berkata: “Bagaimana pandanganmu tentang Allah
yang menerangkan lalat dan laba-laba di dalam al-Qur’an yang diturunkan
kepada Muhammad. Apakah ini bukan bikinan Muhammad?”12
Dalam filsafat hukum, memang tidak dikenal ada aliran realisme,
namun jika realisme merupakan lawan dari idealisme, maka sesungguhnya
positivisme, terutama positivism - pragmatis sebagai sebuah aliran filsafat
hukum. yang muncul dari kalangan realis, memiliki kesamaan dengan
realisme. Dalam doktrin positivisme-pragmatis, terdapat mainstream
pemikiran hukum yang mengatakan bahwa fakta sosial merupakan unsur yang
10
Gill Branston dan Roy Stafford. The Media Student’s Book (London dan New York, 2003) hal.453
11
Tim Penyusun Kamus P3B, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 1995), cet. ke-4, hlm. 823.
12
Qamarudin Saleh, HAA. Dahlan, M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Alquran (Bandung: CV Dipenogoro, 1995) hlm, 23.
menentukan konsep hukum. Hukum dengan demikian selalu tunduk pada
kenyataan yang terjadi di masyarakat sebagai fakta sosial. Hukum juga selalu
mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan yang ada di
masyarakat.17 Realisme dalam hukum Islam tidak berarti positivisme dimana
hukum Islam ditentukan oleh fakta sosial yang terjadi di masyarakat, karena
hukum Islam adalah hukum Tuhan. Realisme dalam kaitannya dengan hukum
Islam berarti bahwa pemahaman hukum Islam didasarkan atas pertimbangan
realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Atau pada tingkat yang sangat
teknis bagaimana keputusan-keputusan hukum diambil berdasarkan pada
fakta-fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini berkaitan dengan konsep maqâshid as-syari‘ah dalam
metodologi hukum Islam, dimana sesungguhnya syari‘ah itu dibuat untuk
13
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan
bahkan menjadi tujuan hakiki dari hukum Islam itu sendiri.14 Pandangan ini
secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Quran yang
menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan, seperti
tertera dalam Q.S. AlNisâ: 165, al-Anbiyâ: 107, Hud: 7, al-Dzariyat: 56, al-
Ankabut: 45, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas, kemaslahatan
terdapat dalam setiap aspek hukum secara keseluruhan. Hal ini mengandung
pengertian, jika terdapat kasuskasus hukum yang tidak ditemukan dimensi
kemaslahatannya, maka dapat dianalisis melalui maqâshid as-syari‘ah sebagai
tujuan umum dari hukum Islam itu sendiri.15 Secara genealogis, semangat
realisme dalam hukum Islam dapat ditelusuri jejaknya dari syari‘ah atau
wahyu Allah itu sendiri. Dalam disiplin ilmu-ilmu al-Quran (‘ulûm al-
Qur’ân), dikenal istilah asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya al-Quran) dan
nasakh (pembatalan Nash). Dalam tradisi sunnah, dikenal istilah asbâb
alwurûd (sebab-sebab datangnya Hadits). Sementara dalam tradisi sahabat
dikenal dengan adanya ijtihad. Ijtihad bahkan telah terjadi ketika Rasulullah
masih hidup.
1. Asbâb al-nuzûl

13
As-Syatibi, Al-Muwâfaqât fī Uṣhûl al-Syarî’ah (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.), jilid I, hlm. 6.
14
Muhammad Abu Zahrah, Uṣhûl al-Fiqh, (Mesir: Dâr al-Fikr al-Arabi. 1958), hlm. 366.
15
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâshid Syari‘ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996),
cet. ke-1, hlm. 68.
Asbâb al-nuzûl dapat dilihat dalam kaitannya dengan dialektika antara
teks dan realitas, sehingga asbâb al-nuzûl dipahami sebagai fakta-fakta
sejarah yang menyelimuti pembentukan teks.16 Dalam pengertian ini,
asbâb al-nuzûl menunjukkan bahwa wahyu tidaklah menentukan realitas,
tetapi justru diundang oleh realitas aktual itu sendiri.17 Asumsi inilah yang
menunjukkan bahwa eksistensi realitas memiliki peran penting bagi
pembentukan sebuah teks. Dengan kata lain, dimensi realisme berasal dari
dalam teks itu sendiri.
2. Nasakh
Konsep nasakh memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan asbâb al-
nuzûl. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa, kalau asbâb al-nuzûl
dianggap sebagai realitas, dan realitas itu selalu berkembang, maka pada
proses selanjutnya memungkinkan terjadinya perubahan atau pergantian
teks karena terjadinya perubahan realitas. Dalam konteks ini, “pergantian”
teks ayat berarti perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks
lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut.18

3. Ijtihad
Sejarah panjang dialektika ijtihad dengan realitas sosial telah terjadi
bahkan semenjak Rasulullah masih hidup. Kasus yang paling kuat
indikasinya adalah model penerapan sangsi bagi seorang Arab Badui
terkait pelanggaran puasa. Dalam kasus ini terjadi sekitar lima kali
perubahan hukum sesuai perubahan realitas Arab badui yang meminta
fatwa dari Nabi. Proses tawar-menawar hukuman antara Nabi dengan Arab
badui ini terjadi karena terjadinya perubahan realitas yang dihadapi Arab
badui sehingga menyebabkan terjadinya perubahan hukum itu sendiri.
Kasus ini juga mengisyaratkan bagaimana kepiawaian Nabi dalam
merukunkan realitas sosial dengan idealitas agama, betapa Nabi sangat
mempertimbangkan ma nusia sebagai sentral dibanding Nash sebagai
prioritas.

16
Farid Esack, Al-Quran Liberalisme dan Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman.
(Bandung: Mizan, 2000) hlm. 126-133.
17
Hassan Hanafi, “Maza Ta‘ni Asbâb al-Nuzûl” dalam al-Din wa as-Saurah fi Misr 1956-1981 (Cairo: Maktabah
Madbuli. 1981), vol. VII, hlm. 71.
18
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran. hlm. 154.
Sepeninggal Nabi, Ijtihad Umar bin Khaththab tentang hukuman bagi
pelaku pencurian selanjutnya menjadi pilihan tepat untuk dikemukakan
dalam konteks pendalaman pemahaman terhadap realitas. Meski terlihat
bersebrangan dengan Nash, Umar bukan tanpa alasan melakukan
perubahan hukum demi menjembatani kesenjangan antara idealitas hukum
dengan realitas sosial. Tujuannya tiada lain adalah pertimbangan
kemaslahatan manusia.

Realisme dalam hukum Islam merupakan sebuah pandangan bahwa


dalam proses pembentukan hukum Islam baik dalam konteks fiqh maupun
syari‘ah realitas sosial menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Secara
genealogis, akar semangat realisme ini dapat digali dari konsep-konsep
normatif yang tidak hanya ditemukan dalam kitab-kitab fiqh atau fatwa-fatwa
mujtahid, lebih dari itu, juga terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Semangat
realisme hukum Islam menjadi penting dalam kerangka menjembatani
kesenjangan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum yang dapat
menjawab problematika sosial. Sehingga, akan nampak hubungan yang
sinergis antara idealisme hukum Islam dan realitas sosial yang ada.19

Politik Dalam Islam

Husain Munaf dalam ensiklopedi Indonesia menjelaskan bahwa perkataan


politik dikenal dalam bahasa Latin sebagai politica, dalam bahasa Yunani
politikus, dalam bahasa Belanda politiek, dalam bahasa Perancis sebagai politique,
dalam bahasa Inggris sebagai politics, dan dalam bahasa Arab disebut dengan
siyasah.20
Istilah politik menurut ulama dimaknai dengan duar arti:
1. Makna umum, yaitu: menangani urusan manusia dan masalah kehidupan
dunia mereka berdasarkan syariat agama. Karena itu dikenal dengan istilah
khilafat yaitu perwakilan Rosulullah untuk menjaga agama dan mengatur
dunia.
2. Makna khusus, yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan
ketetapan-ketetapan yang dikeluarkannya, untuk menjaga kerusakan yang

19
Anwar Sofiyudin Yusuf. Akar Pemikiran Realisme dalam Hukum Islam. (Ciputat: Asy-Syari’ah, 2014) hlm.186
20
Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam, Jilid I. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm. 20
akan terjadi, membasmi kerusakan yang sudah terjadi atau untuk
memecahkan masalah khusus.21

Menurut Al-Mawardi, konsep politik Islam didasarkan akan adanya kewajiban


mendirikan lembaga kekuasaan, karena ia dibangun untuk mengganti kenabian
untuk melindungi agama dan mengatur dunia. Dan juga Al-Mawardi menulis
ada lima unsur pokok dalam suatu negara, yaitu: Agama sebagai landasan
negara dan persatuan rakyat, wilayah, penduduk, pemerintah yang berwibawa
dan keadilan dan keamanan.22

Studi Kasus Penelitian Ini

Film yang mengangkat cerita seorang tokoh nyata kebanyakan


berkonsep realisme. Mayoritas tokoh yang diangkat menjadi sebuah film
biasanya merupakan tokoh yang sudah wafat dan bernilai ideologis. Berbeda
dengan beberapa film biografi lain di Indonesia, “A Man Called Ahok”
merupakan film yang mengisahkan sosok yang masih hidup serta mempunyai
potensi di kancah perpolitikan di Indonesia. Film ini merupakan adaptasi dari
sebuah buku yang berisi kumpulan ‘kicauan’ di Twitter salah seorang
pendukung Ahok atau biasa disebut juga dengan “Teman Ahok.” Rudi
Valinka merupakan aktivis sosial media yang juga merupakan pendukung
utama Ahok semenjak Pilkada DKI 2014.

Melalu wadah aplikasi Twitter, Rudi Valinka menggunakan username


@Kurawa sebagai identitasnya melakukan branding terhadap Ahok. Pada
tahun 2016 dia menjadikan kumpulan kicauannya di Twitter menjadi sebuah
buku yang berisi biografi Ahok. Mulai dari masa kecil Ahok, hingga
pencapaiannya menjadi Bupati di Kabupate Belitung Timur. Bukunya cukup
populer bagi beberapa kalangan, terutama untuk partisipan Ahok. Setelah
sukses diterbitkan pada tahun 2016 yang mana pada tahun itu juga Ahok
dijebloskan di penjara karena tuduhan menista agama Islam. Dua tahun
kemudian buku karangan dari Rudi Valinka diadaptasi menjadi sebuah film
biografi tentang Ahok.

21
Yusuf Qardhawi, Teori Politik Islam, ter. Masrohi N, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 34.
22
Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al Fikr, 1966), hlm. 36
Pada bulan November 2018 “A Man Called Ahok” film yang diangkat
dari buku yang berjudul sama resmi dirilis. Tanggal perilisan film keluaran
The United Team of Art ini berselang dua hari setelah penayangan perdana
dari “Hanum & Rangga: Faith & The City”, film yang juga diadaptasi dari
novel karangan Hanum Salsabiela Rais. Sebelum dirilis kedua film ini sempat
bersitegang, hal ini lantaran kedua film selalu dikaitkan dengan kondisi
perpolitikan di Indonesia. “A Man Called Ahok” mewakili pemerintah,
sedangkan “Hanum & Rangga: Faith & The City” mewakili suara oposisi.

Banyak yang mengira kalau film biopik dari Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok ini akan mengisahkan perjalanan politiknya sampai akhirnya beliau
mendekam di penjara. Nyatanya, nilai yang diangkat oleh A Man Called
Ahok lebih dari itu. Karena film ini tidak menitikberatkan kisah politik, film
besutan Putrama Tuta ini mengandung banyak nilai kehidupan yang bisa
diambil.

Asal Muasal Pembentukan Karakter Ahok

Sebagai sosok yang banyak mendapat sorotan sejak dua tahun


belakangan, mantan Gubernur Jakarta yang dinilai kontroversial ini sempat
membuat heboh karena dugaan kasus penistaan agama pada 2016 lalu. Begitu
kabar tentang produksi film ini diumumkan oleh Rudi Valinka pada April
tahun lalu, banyak orang yang tidak sabar untuk menyaksikan di bioskop.

Di babak awal, penonton sudah dihadirkan dengan imbauan Ahok


kepada para pendukungnya untuk membubarkan diri ketika dirinya ditahan di
Mako Brimob. Ingin menghindari kejadian tidak diinginkan, Ahok
memberitahukan bahwa dirinya sehat dan aman di dalam Mako. Ini
menyegarkan ingatan kita akan sosok Ahok yang dinaungi pro dan kontra.
Berbeda dengan anggapan sebagian besar penonton, A Man Called
Ahok sangat jauh dari kehidupan politik, film ini diawali oleh Kim Nam
(Denny Sumargo), pengusaha tambang timah yang sangat dermawan.
Keturunan etnis, Nam enggak pandang bulu dalam menolong penduduk desa
Gantung yang membutuhkan pertolongan. Akibat kedermawanannya ini, sang
istri, Buniarti (Erisca Rein) sempat protes, dia beranggapan bahwa sang suami
lebih mementingkan orang lain daripada keluarganya sendiri.
Ayah dari Ahok ini memimpikan agar kelak anak-anaknya bisa
memajukan Kabupaten Belitung Timur. Ahok kala itu diproyeksikan untuk
menjadi dokter, agar bisa mengobati ayahnya di usia senja nanti, juga supaya
rakyat Belitung Timur enggak perlu berobat ke daerah lain. Kim Nam,
menjadi sosok yang lebih mendapatkan sorotan dibandingan dengan Ahok.
Setiap tingkah perbuatan dan juga ucapan Nam, adalah caranya untuk
memberi bekal bagi anak-anaknya untuk bisa hidup mandiri dan menjadi
orang yang berguna bagi masyarakat dan negara.

Analisa dan Hasil

Realisme dalam Tayangan Film “A Man Called Ahok”

Dalam buku The Media Student’s Book menjelaskan bahwa Realisme


dalam film itu terbagi menjadi dua; yang pertama Realisme Hollywood dan
Realisme Sosial (Branston dan Staffoord 2003: 452-453). Dalam konteks film
“A Man Called Ahok” sebagaimana penjelasan dari buku tersebut film ini
dapat diklasifikasikan sebagai film yang berisi tentang realisme sosial.
Realisme adalah teori seni yang mendasarkan kontemplasi dialektis antara
seniman dengan lingkungan sosialnya (Karyanto, 1997:9). Berdasarkan
pernyataan seputar realisme tersebut sutradara film “A Man Called Ahok”
ingin menyampaikan dialog realitas sosial tokoh “Ahok” melalui karyanya.

Pada awal sejarah perfilman Indonesia lebih banyak dihiasi oleh


berbagai macam film Hollywood. Baik itu film yang memang langsung
diimpor dari Amerika Serikat, ataupun film-film hiburan Indonesia yang sejak
awal sejarahnya mencoba meraih penonton dengan mengadaptasi film populer
Hollywood. Kala itu film-film Dorothy Lamour, aktris Amerika yang memulai
karier di decade 1930-an, yang berkelana di daerah primitive dengan rumbai-
rumbai eksotis termasuk bergaya Hawaii merupakan tampilan populer film
Hollywood. Jangan heran bilang jika salah satu film Indonesia ketika itu
(Terang Bulan) juga menampilkan kostum ala Hawaii (Garin dan Dyna, 2015:
48).
Dalam sejarahnya, antara film di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dengan dunia sastra, karena pada awal pergerakan film dipengaruhi oleh
sastra, terutama dalam sastra teater. Dalam ranah sastra, kebangkitan semangat
baru ini ditandai oleh lahirnya penerbit majalah sastra Poedjangga Baroe
(1933-1942) yang memuat karya-karya avant-garde saat itu bertema sosial
dan politik untuk membangun kemerdekaan dan dunia baru. Pada periode ini
Sutan Takdir Alisjahbana melahirkan karya yang dikenang hingga sekarang,
Layar Terkembang (1936) (Garin dan Dyna, 2015: 49). Ketika itu beberapa
film di Indonesia selain sudah bersentuhan dengan realisme Hollywood yang
begitu kuat dengan ‘efek realisme’-nya juga sudah dipengaruhi konsep
realisme sosial yang ketika itu begitu kuat konten realitas politik dalam
beberapa film ketika itu.

Pada kasus tayangan film “A Man Called Ahok” penerapan realisme


terlihat dengan cuku jelas. Karena dalam realisme, film dapat mengungkapkan
realitas fisik seperti yang tampak pada individu-individu dalam kondisi pikiran
ekstrim yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa seperti gangguan mental,
atau sebab eksternal atau internal lainnya. Andaikata keadaan pikiran seperti
itu diprovokasi oleh tindakan kekerasan, maka kamera sering berkeinginan
untuk membuat gambar-gambar yang akan dibentuk oleh saksi atau peserta
yang marah secara emosional (Kracauer, 2012: 58). Kondisi tersebut sudah
tergambarkan di film “A Man Call Ahok” terutama melalui berbagai adegan
yang menguras emosi penonton.

Latar Belakang Realisme dalam Tayangan Film “A Man Called Ahok”

Film “A Man Called Ahok” merupakan sebuah film drama biografi


Indonesia yang diadaptasi dari sebuah Novel karya Rudi Valinka dengan judul
yang sama. Buku tersebut merupakan sebuah kumpulan cuitan Rudi Valinka
seputar kehidupan Ahok mulai dari kecil hingga dia menjadi seorang Bupati di
Kabupaten Belitung Timur. Sebagaimana film drama biografi lain, sutradara
film “A Man Called Ahok” dalam hal ini Putrama Tuta sudah cukup berhasil
menghadirkan realitas sosok tersebut di masa lalu kepada penonton.
Secara garis besar, film ini menceritakan cara didik Kim Nam (Ayah
Ahok) kepada Ahok dan adik-adiknya. Ia merupakan seorang pengusaha timah
di Belitung Timur yang cukup terpandang, namun hal ini tak membuat dirinya
'lembek' kepada anak-anaknya. Tak hanya dikenal sebagai 'tauke' alias bos
besar, ia juga diingat sebagai pengusaha dermawan yang kerap membantu
masyarakat sekitar. Kebaikan ini yang selalu ingin ditanamkan Kim Nam
kepada anak-anaknya. Cara mendidik Kim Nam inilah yang akan memancing
emosi 'gado-gado' penonton hadir. Mulai dari gelak tawa, rasa frustasi, hingga
rasa haru turut muncul karena terciptanya hubungan benci tapi cinta antara
Kim Nam dan Ahok.

Ketika menggarap sebuah film yang berdasarkan sebuah kisah nyata,


ataupun kisah masa lalu seorang sutradara hendaknya mampu menjaga emosi
penonton untuk terbawa ke dalam peristiwa. Oleh sebab itu perlu adanya
penerapan realisme pada sebuah film, tujuannya adalah untuk menyampaikan
pesan kepada penonton melalui realitas sosial yang disajikan melalui sebuah
film. Sebagaimana makna dari realisme yaitu berusaha untuk mematuhi fakta
real. Real berarti yang aktual atau acuan yang ada; acuannya adalah benda-
benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi dan kasatmata.
Dalam bidang sastra, realis berarti gambaran tentang benda-benda atau
kejadian yang tampak seperti keadaan sebenarnya.23

Dalam hal ini film “A Man Called Ahok” berusaha untuk menyajikan
peristiwa seputar kehidupan masa lalu yang membentuk karakter seseorang.
Seperti dunia kesusatraan baik itu novel ataupun teater, dalam penyajian film
perlu adanya riset yang mendalam tentang masa lalu tokoh yang diangkat, baik
itu karakter, sosial masyarakat di latar masa lalu tokoh yang diangkat ataupun
adat dan budaya masyarakat sekitar, karen dalam penyajian sebuah film drama
biografi perlu mendekatkan penonton dengan peristiwa yang dibangun dalam
film melalui realisme, agar bisa merasakan sebuah peristiwa yang ada dalam
sebuah film yang diangkat.

23
Maman S. Sahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening Publishing, 2005), hlm. 356
Penerapan Realisme dalam Tayangan Film “A Man Called Ahok”

Latar film ini merupakan Belitung Timur sekitar tahun 70-an hingga
80-an. Tepatnya ketika Ahok masih di tingkat sekolah dasar. film ini mulai
mengisahkan tentang kehidupan Ahok mulai dari masa kecilnya di Gantong,
Kepulauan Belitung Timur. Film bergenre drama keluarga ini akan
memusatkan cerita pada dua karakter yakni sosok Ahok sendiri dan ayahnya,
Kim Nam. Eksekusi budaya Tionghoa dalam film ini juga baik, tak
ditampilkan berlebihan yang pada umumnya berujung pada stereotyping.
Sebagaimana salah satu penjabaran dari realisms sosial dalam penggunaan
dialek, dalam film “A Man Called Ahok,” penggunaan Bahasa Khek yang
tidak dibuat-buat serta pemunculan budaya khas Tionghoa seperti tingginya
harga diri dan gaya bicara blak-blakan menjadi nilai tambah film garapan
Putrama Tuta ini. Untuk mendapatkan karakter yang pas dengan tokoh yang
sebenarnya Daniel Mananta, pemeran Ahok dewasa di film “A Man Called
Ahok” melakukan obsrevasi yang mendalam tentang Ahok.

“Gue minta ke pak Tuta casting sekali lagi, dan di situ gue riset banget
tentang pak Ahok. Gue nonton Youtubenya semua. setiap hari selama 30
hari gue benar-benar 5 menit jadi pak Ahok," kata Daniel Mananta di
Kawasan Epicentrum, Jakarta Selatan, Senin, 5 November 2018. 24

Dalam film “A Man Called Ahok” unsur realisme diterapkan dengan


cukup gamblang. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai proses penyajian
film tersebut yang kaya akan sebuah realitas, baik itu penggambaran melalui
adat, budaya, sosok, cerita dan bahkan suara. Sebagaimana rekaman suara
dalam realisme sangat berpengaruh pengaruhnya sama pentingnya dengan
realisme visual (Branston dan Stafford, 2003: 450). Usaha untuk
menampilkan realitas kehidupan masyarakat warga Gantong, Belitung Timur
sudah terlihat. Selain itu permainan emosi hubungan antara ayah dan anak
terjalin secara real.

24
https://seleb.tempo.co/read/1143480/demi-jadi-ahok-ini-yang-dilakukan-daniel-mananta-selama-
sebulan/full&view=ok (Diakses pukul 21.18, 7 Januari 2019)
Secara garis besar film ini menerapkan konsep realisme, terutama
realisme sosial yang mengangkat peristiwa kondisi masyarakat Gantong,
Belitung Timur pada kurun waktu 70-an sampai 80-an. Namun ada hal yang
luput, salah satunya adalah penggambaran peristiw keluarga kecil Ahok. Hal
ini diungkapkan sendiri oleh adik kandung Ahok, Fifi Lety Indra.

"Untuk film, saya sudah minta berkali-kali gambaran Papa saya disesuaikan
dengan Papa saya. Tapi karena mereka sudah selesai syuting baru kasih lihat
transkrip ke kita, ya jadi sedih kok Papa saya kayak gitu cara pakaiannya.
Gayanya semua beda." 25 Biarpun demikian realisme sosial yang disajikan di
film “A Man Called Ahok” berhasil menjaring penonton, tercatat tembus 1
juta penonton.

Realisme Politik dalam Tayangan Film “A Man Called Ahok”

Dalam buku The Media Student’s Book dijelaskan bahwa realisme


merupakan sebuah konsep yang ditentang oleh para penulis dan produser.
Sebuah istilah yang bermuatan politis dengan makna yang jelas, tetapi juga
sejarah yang panjang dan beragam, dan yang perlu dipahami jika itu akan
digunakan secara efektif dalam kajian media (Gill Branston dan Roy Stafford
2003: 446). Pada film “A Man Called Ahok” karya Putrama Tuta diklaim
sebagai film yang tanpa unsur politik, biarpun begitu jika berbicara tentang
realism maka sudah selayaknya melibatkan unsur politik di sana. Sebagaimana
politik yang pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan
manusia yang selalu hidup bermasyarakat26, karena manusia adalah inti utama
dari politik, maka apapun alasannya pengamatan atau telaah politik tidak
begitu saja meninggalkan faktor manusia (Djawamaku, 1985: 44). Realisme
pun demikin, mempunyai fokus observasi yang sama, yaitu manusia sebagai
objek.

Pada film”A Man Called Ahok” penonton disajikan bagaimana


hubungan keluarga yang diciptakan dari kedua tokoh utama Sosok Kim Nam

25
https://news.detik.com/berita/4290526/fifi-adik-ahok-tak-mau-nonton-a-man-called-ahok-ini-penyebabnya
(Diakses pukul 23.20, 7 Januari 2019)
26
Abdulkadir B Nambo dan Muhammad Rusdiyanto Puluhuluwa, Memahamai Tentang Beberapa Konsep
Politik, Suatu Telaah dari Sistem Politik.(Mimbar volume XXI, 2005) hlm. 262.
sebagai ayah dan Ahok. Pada dasarnya kedua aktor yang memerankan kedua
sosok tersebut sudah berusaha menampilkan realitas yang sebenarnya.
Termasuk hubungan politik keluarga yang divisualkan melalui film ini, karena
dalam politik keluarga merupakan lingkup terkecil.

Dalam lingkungan politik dan sistem politik, keluarga atau kerabat


merupakan entitas yang saling melekat dan menyatu. Mereka dituntut saling
mendukung dan menopang guna mempertahankan struktur dan menjaga tradisi
politik kekerabatan yang dianut bersama. Tradisi politik ini diperlukan guna
memelihara keteraturan sosial dan mengelola hubungan di lingkungan
komunitas politik bersangkutan. Tradisi politik keluarga atau kekerabatan
dijadikan mekanisme alamiah yang efektif guna mengontrol sumber daya
politik agar tidak jatuh kepihak yang salah.27

Selain politik keluarga, dalam tayangan film “A Man Called Ahok”


penonton diperlihatkan bagaimana carut-marutnya sistem perpolitikan di
Belitung Timur di saat itu. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu oknum
aparat di film tersebut yang melakukan pungutan liar kepada Kim Nam.
Peristiwa tersebut selalu terbayang di benak Ahok kecil. Kejadian tersebut
berdampak terhadap keputusan Ahok untuk merubah sistem di daerah
Belitung Timur, melalui jalur politik Ahok ingin memperbaiki kebobrokan
sistem di daerah tersebut.

Sesungguhnya segala sesuatu di film adalah sebuah rekayasa yang


terorganisir tanpa cela. Rekayasa tersebut melayani tanpa pandang bulu baik
realisme atau imajinasi. Karena sifatnya, film itu anti-realistis dan apa yang
kita sebut 'realisme sinematik' tidak lebih dari pekerjaan tipuan yang ilusi,
sederhana atau kompleks.28 Biarpun begitu dalam penyajian peristiwanya, film
realisme selalu berusaha untuk menampilkan audio-visual dengan nyata
sebagaimana peristiwa yang coba diangkat melalui film tersebut. Begitupun
dengan film “A Man Called Ahok” yang menyajikan berbagai kondisi politik

27
Nasaruddin dan Bahtiar. Pemilihan Kepala Daerah dan Diharmonisasi Keluaga (Studi Kasus Pada Pilkada
Kabupaten Muna Barat Tahun 2017, (Neo Societal: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, vol. 3: 2018),
hlm. 246
28
Vrasidas Karalis, Realism in Greek Cinema, From the Post War Period to the Present, (London, I.B Tauris & Co.
Ltd: 2017), hlm. 22
di Belitung Timur di era 70-an dan 80-an. Baik itu politik keluarga, ataupun
kondisi sosial politik di Gantong, Belitung Timur.

Pada dasarnya jika dilihat dari latar belakang dan siapa orang yang
berada di balik film “A Man Called Ahok” dapat diketahui bahwa tujuan film
ini cenderung politik. Penulis novel yang menjadi gagasan dari film ini yaitu
Rudi Valinka merupakan salah satu pendukung Ahok yang paling spartan di
kancah perpolitikan, terutama ketika Pilkada DKI 2017. Buku “A Man Called
Ahok” terbit di masa kampanye pemilihan gubernur di Jakarta, dan merupakan
salah satu cara timses Ahok untuk mengenalkan latar belakang Ahok ke
masyarakat, terutama masyarakat Jakarta. Begitupun dengan film, kemunculan
film ini juga cenderung politis. Film “A Man Called Ahok” tayang dua bulan
sebelum Ahok keluar dari penjara karena kasus penistaan Agama. Film ini
juga merupakan salah satu sebab nama Ahok masuk daftar 15 tokoh terpopuler
di Google Indonesia.29 Padahal di tahun 2018 hanya ada dua berita besar yang
membahas seputar Ahok, yang pertama adalah tentang kasus perceraiannya,
dan yang kedua tentang kekisruhan sebelum penayangan film “A Man Called
Ahok.”

29
https://tekno.kompas.com/read/2018/12/13/19150087/daftar-tokoh-terpopuler-di-google-indonesia-
sepanjang-2018 (Diakses pukul 22.14, 8 Januari 2019)
Penutup

Kesimpulan

Film “A Man Called Ahok” merupakan sebuah film drama biografi


tentang masa lalu mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama atau
yang biasa masyrakat kenal dengan sebutan Ahok. Isi film “A Man Called
Ahok” yaitu tentang kehidupan masa kecil Ahok yang dididik oleh ayahnya
dengan cara yang cukup tegas. Film ini berusaha untuk memvisualkan
bagaimana seorang Ahok dibentuk melalui pengalaman pelik realita
kehidupan.

Sebagaimana kebanyakan film biografi, dalam penggarapan film ini


unsur realismenya cukup kuat. Terutama dalam menciptakan peristiwa yang
mengambil latar belakang waktu pada kisaran tahun 70-an dan 80-an. Dalam
hal memasukan unsur realisme, setiap elemen di dalam film ini baik itu
sutradara, penulis naskah, dan bahkan actor sudah berusaha semaksimal
mungkin untuk menampilkan realitas Dalam penerapan realisme di film “A
Man Called Ahok” terdapat unsur politik di belakangnya. Di mulai dari politik
keluarga, sampai menyajikan proses politik yang sebeneranya.

Pada dasarnya jika dilihat dari latar belakang dan siapa orang yang
berada di balik film “A Man Called Ahok” dapat diketahui bahwa tujuan film
ini cenderung politik. Penulis novel yang menjadi gagasan dari film ini yaitu
Rudi Valinka merupakan salah satu pendukung Ahok yang paling spartan di
kancah perpolitikan, terutama ketika Pilkada DKI 2017. Oleh sebab itu bisa
dibilang unsur politik di dalam film “A Man Called Ahok” secara tidak
langsung disajikan untuk penonton.

Refleksi

Dalam melakukan penelitian penulis memiliki beberapa hal bagi pihak


terkait, di antaranya adalah kepada filmmaker dalam membuat sebuah karya,
terutama sebuah film yang berlatar belakang kisah hidup seseorang perlu
mengadakan riset yang mendalam. Baik itu tokoh, tempat, dan beberapa aspek
budaya yang terdapat pada tokoh yang akan diangkat menjadi sebuah karya.
Selain itu biarpun ada banyak film yang menyisipkan pesan politik, alangkah
baiknya pesan politik tersebut dikemas dengan baik, karena unsur politis
dalam sebuah film merupakan hal yang biasa, bahkan di antaranya ada yang
sampai ke ranah proganda.

Bagi para akademisi yang ingin membahas realisme, alangkah baiknya


menekuni bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Sebagai refleksi penulis
cukup kesulitan untuk mendapatkan referensi seputar realisme, terlebih
realisme seputar film. Selain itu penulis berharap kepada praktisi di dunia
perfilman agar ikut menuangkan pengalaman mereka tentang dunia film
menjadi sebuah buku guna memperbanyak khazanah referensi untuk
membantu para akademisi.
Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. Ilmu Politik Islam, Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1977

Abu Zahrah, Muhammad. Uṣhûl al-Fiqh. Mesir: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1958

Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap ‘Ulumul Qur’an. terj.

Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LkiS, 2001

As-Syatibi, Al-Muwâfaqât fī Uṣhûl al-Syarî’ah. Kairo: Musthafa Muhammad

Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqâshid Syari‘ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 1996

Branston, Gill dan Roy Stafford. The Media Student’s Book. London dan New York:

Routledge, 2003

Esack, Farid. Al-Quran Liberalisme dan Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas,

terj. Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000

Hanafi, Hasan. “Maza Ta‘ni Asbâb al-Nuzûl” dalam al-Din wa as-Saurah fi Misr

1956-1981 Kairo: Maktabah Madbuli, 1981

https://cinemapoetica.com/memetakan-kompleksitas-kajian-dan-teori-film-bagian-1

(Diakses pada 27 Desember 2018).

https://news.detik.com/berita/4290526/fifi-adik-ahok-tak-mau-nonton-a-man-called-

ahok-ini-penyebabnya (Diakses pada 8 Januari 2019)


https://seleb.tempo.co/read/1143480/demi-jadi-ahok-ini-yang-dilakukan-daniel-

mananta-selama-sebulan/full&view=ok (Diakses pada 7 Januari 2019)

https://tekno.kompas.com/read/2018/12/13/19150087/daftar-tokoh-terpopuler-di-

google-indonesia-sepanjang-2018 (Diakses pada 8 Januari 2019)

Karalis, Vrasidas. Realism in Greek Cinema, From the Post War Period to the

Present, London, I.B Tauris & Co. Ltd: 2017.

Nambo, Abdulkadir B, dan Muhammad Rusdiyanto Puluhuluwa, Memahamai Tentang

Beberapa Konsep Politik, Suatu Telaah dari Sistem Politik. Mimbar volume

XXI. 2005.

Nasaruddin dan Bahtiar. (2018). Pemilihan Kepala Daerah dan Diharmonisasi

Keluaga (Studi Kasus Pada Pilkada Kabupaten Muna Barat Tahun 2017. Neo

Societal: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, vol. 3: 2018

Sahayana, Maman S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening

Publishing, 2005.

Shaleh, Qamaruddin, HAA. Dahlan, dan M.D. Dahlan. Asbabun Nuzul Latar

Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran. Bandung: CV Dipenogoro,

1995.

Siegel, Scott dan Barbara Siegel. The Encyclopedia of Hollywood, An A to Z Guide to

The Stars, Stories, and Secret of Hollywood. New York: Facts on File, 2004
Sofiyudin Yusuf, Anwar. Akar Pemikiran Realisme dalam Hukum Islam. Ciputat:

Asy-Syari’ah, 2014

Tim Penyusun Kamus P3B, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1995

Anda mungkin juga menyukai