Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konsep Dasar IPS SD
Pada dasarnya, hakikat manusia itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia
bukan hanya sebagai makhluk biologis, melainkan juga sebagai makhluk yang berinteraksi dengan aspek
sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut menghasilkan ilmu
pengetahuan sosial (IPS) dan berkembang menjadi disiplin ilmu sesuai dengan perkembangan
masyarakat seperti ilmu ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, dan sebagainya.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupannya
manusia harus menghadapi tantangan-tantangan yang berasal dari lingkungannya maupun sebagai
hidup bersama. Ilmu Pendidikan Sosial (IPS) melihat bagaimana manusia hidup bersama dengan
sesamanya, dengan tetangganya dari lingkungan dekat sampai yang jauh. Bagaimana keserasian hidup
dengan lingkungannya baik dengan sesama manusia maupun lingkungan alamnya. Bagaimana mereka
melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain bahan kajian atau bahan
belajar IPS adalah manusia dan lingkungannya sebagai hakikat pendidikan IPS.
Tujuan pendidikan IPS tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan berdasarkan pada
falsafah negara Pancasila dan UUD 1945, yaitu:
Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional, yaitu:
membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat
jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas
dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan
mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional di atas, maka tujuan pendidikan di atas harus dikaitkan dengan
kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi siswa.
Beberapa pendapat yang berkaitan dengan tujuan pendidikan IPS, yaitu:
Kurikulum 2004 (tingkat SD) menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial bertujuan untuk:
2. mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan sosial
3. membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk,
baik secara nasional maupun global.
Tujuan pendidikan IPS menurut (Nursid Sumaatmadja. 2006) adalah “membina anak didik menjadi
warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna
bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara”
Tujuan pendidikan IPS menurut (Oemar Hamalik. 1992)merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi
pada tingkah laku para siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3) nilai-
nilai sosial dan sikap, (4) keterampilan.
IPS juga bertujuan untuk mengembangkan sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS anak
memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep baru sehingga
mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang. Sikap belajar tersebut diarahkan
pada pengembangan motivasi untuk mengetahui, berimajinasi, minat belajar, kemampuan merumuskan
masalah, dan hipotesis pemecahannya, keinginan melanjutkan eksplorasi IPS sampai ke luar kelas, dan
kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan data.
Salah satu fungsi pengajaran IPS adalah mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tentang
masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada anak. Selain itu juga mengembangkan rasa
kontinuitas dan stabilitas, memberikan informasi dan teknik-teknik sehingga mereka dapat ikut
memajukan masyarakat sekitarnya. Sebagai contohnya tradisi dan nilai-nilai dalam masyarakat,
kebudayaan dari berbagai lingkungan serta pengaruhnya terhadap hubungan dengan warga masyarakat
lainnya, pengelolaan dan penggunaan sumber-sumber ekonomi oleh masyarakat.
Landasan filosofis memberikan gagasan pemikiran mendasar yang digunakan untuk menentukan apa
obyek kajian atau domain apa saja yang menjadi kajian pokok dan dimensi pengembangan Pendidikan
IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu (aspek ontologis); bagaimana cara, proses atau metode membangun
dan mengembangkan Pendidikan IPS hingga menentukan pengetahuan manakah yang dianggap benar,
sah, valid atau terpercaya (aspek epistomologis); apa tujuan Pendidikan IPS sebagai pendidikan disiplin
ilmu ini dibangun dan dikembangkan serta digunakan atau apakah manfaat dari Pendidikan IPS ini
(aspek aksiologis).
Keberadaan landasan-landasan ini telah dan akan memperkokoh body of knowledge Pendidikan IPS
untuk eksis dan berkembang lebih luas lagi.
2. Landasan Ideologis
Landasan ideologis dimaksudkan sebagai sistem gagasan mendasar untuk memberi pertimbangan dan
menjawab pertanyaan: (1) bagaimana keterkaitan antara das sein Pendidikan IPS sebagai pendidikan
disiplin ilmu dan das sollen Pendidikan IPS dan (2) bagaimana keterkaitan antara teori-teori pendidikan
dengan hakikat dan praksis etika, moral, politik dan norma-norma perilaku dalam membangun dan
mengembangkan Pendidikan IPS. Menurut O’Neil, ideologi sebagai landasan ini telah dan akan
memberikan sistem gagasan yang bersifat ideologis terhadap Pendidikan IPS yang tidak cukup diatasi
hanya oleh filsafat yang bersifat umum.
3. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis memberikan sistem gagasan mendasar untuk menentukan cita-cita, kebutuhan,
kepentingan, kekuatan, aspirasi serta pola kehidupan masa depan melalui interaksi sosial yang akan
membangun teori-teori atau prinsip-prinsip Pendidikan IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu. Landasan ini
akan dan telah memberikan dasar-dasar sosiologis terhadap pranata dan institusi pendidikan dalam
proses perubahan sosial yang konstruktif.
4. Landasan Antropologis
Landasan antropologis memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar dalam menentukan pola, sistem
dan struktur pendidikan disiplin ilmu sehingga relevan dengan pola, sistem dan struktur kebudayaan
bahkan pola, sistem dan struktur perilaku manusia yang kompleks. Landasan ini telah dan akan
memberikan dasar-dasar sosial-kultural masyarakat terhadap struktur Pendidikan IPS sebagai
pendidikan disiplin ilmu dalam proses perubahan sosial yang konstruktif.
5. Landasan Kemanusiaan
6. Landasan Politis
Landasan politis memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan arah dan garis
kebijakan dalam politik pendidikan dari Pendidikan IPS. Peran dan keterlibatan pihak pemerintah dalam
landasan ini sangat besar sehingga pendidikan tidak mungkin steril dari campur tangan unsur birokrasi.
7. Landasan psikologis
Ada pula buku yang mengatakan bahwa latar belakang diberikannya Ilmu Sosial Dasar di mulai
banyaknya kritik-kritik yang ditujukan pada sistem pendidikan di perguruan tingi oleh sejumlah
cendekiawan terutama sarjana pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Mereka menganggap sistem
pendidikan yang tengah berlangsung saat ini, berbau colonial dan masih merupakan warisan system
pendidikan pemerintah Belanda, yaitu kelanjutan dari “Politik Balas Budi” (Etische Politiek) yang
dianjurkan oleh Conrad The Odore Van Deventer, bertujuan menghasilkan tenaga-tenaga terampil untuk
menjadi “tukang-tukang” yang mengisi birokrasi mereka di bidang administrasi, pedangang, teknik, dan
keahlian lain dalam tujuan eksploitasi kekayaan negara.
Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) sebagai
program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam Seminar Nasional
tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo, Jawa Tengah. Dalam laporan seminar
tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu:
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahaan di Indonesia pada tahun1972-1973
yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung.
Kemudian secara resmidalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang
tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata
pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke
dalam mata pelajaran IPS.Upaya memasukkan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam
kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasa dan keterampilan jasmani, moral,, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang memiliki
komitmen terhadap Social Studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah,
maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekilah lebih jelas lagi.
Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka
kurikulumilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (Social
Studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah
harus sudah mulai diajarkan.
IPS merupakan terjemahan dari Social Studies. Sejarah perkembangan IPS dapat dilihat dari sejarah
perkembangan social studies yang berkembang di Amerika Serikat. Perkembangan pemikiran ini dapat
dilihat di berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies
(NCSS) pada tahun 1935 hingga sekarang.
Definisi tentang social studies menurut Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 (Barr, Barth, dan Shermish,
1977:12), yaitu Social studies adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhannakan untuk tujuan pendidikan.
Kemudian, social dibakukan bahwa “social studies” meliputi aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu
politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi, dan filsafat yang dalam praktiknya dipilih untuk
tujuan pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.
Antara tahun 1940-1950 NCSS mendapat serangan yang mempertanyakan mesti atau tidaknya social
studies menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para pemuda. Hal tersebut menjadi salah satu
dampak yang mengharuskan bagi setiap sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tahun 1960-an,
muncullah gerakan akademis yang mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar
yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Lalu gerakan akademis tersebut dikenal sebagai
gerakan the new social studies (social studies gaya baru). Tahun 1970-an ternyata gagasan untuk
mendapatkan the new social studies belum menjadi kenyataan, dikarenakan isu yang terus menerpa
social studies hingga saat ini mengenai perlu tidaknya indoktrinasi.
Pada tahun 1955 terjadilah terobosan yang besar, yang demikian diungkapkan oleh Barr, dkk.
(1977: 37) yaitu berupa inovasi Maurice Hunt dan Lawrence Metcalf yang mencoba melihat cara baru
dalam pengintegrasian pengetahuan dan keterampilan ilmu sosial untuk tujuan, citizenship education.
Jadi program social studies di sekolah sebaiknya diorganisasikan bukan dalam bentuk pembelajaran ilmu
sosial yang terpisah-pisah, namun diorientasikan kepada masalah-masalah tabu dalam masyarakat,
seperti misalnya isu tentang seks, ketidaktahuan, mitos, kontroversi dll. Dengan hal tersebut social
studies mulai diarahkan kepada upaya guna melatih para siswa untuk dapat mengambil keputusan
mengenai masalah-masalah publik.
Menurut Barr, dkk (1978:1917) Ada 3 tradisi pedagogis dalam social studies yakni Social Studies Taught
as Citizenship Transmission, Social Studies Taught as Social Science, and Social Studies Taught as
Reflective Inquiry. Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal diantaranya social studies
merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua, misi utama social studies adalah pendidikan
kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis; ketiga, sumber utama konten social
studies adalah social science dan humanities; keempat, dalam upaya penyiapan warga negara yang
demokratis terbuka kemungkinan perbedaan dalam orientasi, visi, tujuan, dan metode pembelajaran.
4. Pendidikan IPS di SD dan Model-model Pembelajaran yang relevan
untuk IPS
1. Pendidikan IPS di SD
Pendidikan IPS di SD telah mengintegrasikan bahan pelajaran tersebut dalam satu bidang
studi. Materi pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang
terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang pasar, maka harus ditampilkan
kapan atau bagaimana proses berdirinya (sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geografi),
Dengan demikian Pendidikan IPS di sekolah dasar adalah disiplin ilmu-ilmu sosial seperti
yang disajikan pada tingkat menengah dan universitas, hanya karena pertimbangan tingkat
diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk tujuan institusional didaksmen (Sidiharjo, 1997).
pengembangannya, namun untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin berbeda,
harus dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional yang tentu tidak sama. Sekurang
kurangnya dimana, oleh, atau dengan dan terutama untuk siapa proses pembelajaran
dilakukan. Khusus berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran pada anak usia pertumbuhan,
dari sejumlah model tersebut tentunya dapat dirujuk model pendekatan yang menjadi rujukan di
atas dengan sebutan model Cognitive Emotion and Social Development. Dasar
pandangannya adalah “anak merupakan produk berbagai pengaruh, mulai dari keluarganya,
kesehatan, kondisi sosial ekonomi dan sekolah”. Bahwa masing-masing pendekatan pada
pandangan teoritis berkenaan dengan stressingnya, dalam praktisnya dapat terjadi saling
berkait antara satu pendekatan dengan pendekatan lain secara bersamaan. Untuk itu,
Sosial berbasis pendekatan nilai khususnya, berikut dipetikan langkah teknis sejumlah model
pilihan yang dipandang mewakili tuntutan karakteristik materil, peserta didik dan setting sosial
yang menjadi lingkungan kultur dan belajar SD/MI umumnya di tanah air. Beberapa dari
sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan tersebut, secara parsial terliput dalam kerangka
teknis model pilihan berikut, antara lain: Model Inkuiri, VCT, Bermain Peta, ITM (STS), Role
1. Model Inkuiri
Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada
pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir reflektif kritis, dan kreatif. Inkuiri adalah
salah satu model pembelajaran yang dipandang modern yang dapat dipergunakan pada
berbagai jenjang pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Pelaksanaan
bahwa dalam model pembelajaran tersebut, siswa didorong untuk mencari dan mendapatkan
informasi melalui kegiatan belajar mandiri. Model inkuiri pada hakekatnya merupakan
penerapan metode ilmiah khususnya di lapangan Sains, namun dapat dilakukan terhadap
tersebut secara luas dapat digunakan dalam proses pembelajaran Social Studies (Savage
and Amstrong, 1996). Pengembangan strategi pembelajaran dengan model inkuiri dipandang
sanagt sesuai dengan karakteristik materil pendidikan Pengetahuan Sosial yang bertujuan
b) Langkah-langkah Inkuiri
Langkah-langkah yang harus ditempuh di dalam model inkuiri pada hakekatnya tidak berbeda
jauh dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang dikembangkan oleh John Dewey
> Langkah kedua hypothesis, yakni kegiatan menyusun sebuah hipotesis yang dirumuskan
sejelas mungkin sebagai antiseden dan konsekuensi dari penjelasan yang telah diajukan.
> Langkah ketiga definition, yaitu mengklarifikasi hipotesis yang telah diajukan dalam forum
>Langkah keempat exploration, pada tahap ini hipotesis dipeluas kajiannya dalam pengertian
>Langkah kelima evidencing, fakta dan bukti dikumpulkan untuk mencari dukungan atau
>Langkah keenam generalization, pada tahap ini kegiatan inkuiri sudah sampai pada tahap
VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian
pendidikan nilai. Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique,
tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT berfungsi untuk: a) mengukur
atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa
tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina
kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui
cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri
(1979: 116) menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa
tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk
antara lain:
a. Teknik evaluasi diri (self evaluation) dan evaluasi kelompok (group evaluation)
Dalam teknik evaluasi diri dan evaluasi kelompok pesertadidik diajak berdiskusi atau
tanya-jawab tentang apa yang dilakukannya serta diarakan kepada keinginan untuk perbaikan
a. Menentukan tema, dari persoalan yang ada atau yang ditemukan peserta didik
d. Tanya jawab guru dengan peserta didik berlangsung terus hingga sampai pada tujuan yang
b. Teknik Lecturing
Teknik lecturing, dilalukan guru gengan bercerita dan mengangkat apa yang menjadi topik
a. Memilih satu masalah / kasus / kejadian yang diambil dari buku atau yang dibuat guru.
c. Hasil kerja kemudian dibahas bersama-sama atau kelompok kalau dibagi kelompok untuk
Dalam teknik menarik dan memberi percontohan (example of axamplary behavior), guru
membarikan dan meminta contoh-contoh baik dari diri peserta didik ataupun kehidupan
Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan, dalam teknik ini peserta didik dituntut untuk
menerima atau melakukan sesuatu yang oleh guru dinyatakan baik, harus, dilarang, dan
sebagainya.
e. Teknik tanya-jawab
Teknik menila suatu bahan tulisan, baik dari buku atau khusus dibuat guru. Dalam hal ini
peserta didik diminta memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan kode (misal: baik - buruk,
benar – tidak-benar, adil – tidak-adil dll). Cara ini dapat dibalik, siswa membuat tulisan
sedangkan guru membuat catatan kode penilaiannya. Selanjutnya hasil kerja itu dibahas
Dalam pilihan ini guru dapat menggunakan model yang sudah ada maupun ciptaan sendiri.
Keterampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu tujuan
maupun globe perlu dilakukan peserta didik secara fungsional. Peta dan globe memberikan
manfaat, yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar, batas-batas
suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang lebih jelas mengenai istilah-istilah geografi
seperti: pulau, selat, semnanjung, samudera, benua dan sebagainya; c) memahami peta dan
globe, diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, siswa mengerti tentang cara menentukan
tempat di bumi seperti arah mata angin, meridian, paralel, belahan timur dan barat; (b) skala,
merupakan model atau gambar yang lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya; (c) lambang
lambang, merupakan simbo-simbol yang mudah dibaca tanpa ada keterangan lain; (d) warna,
menggunakan berbagai warna untuk menyatakan hal-hal tertentu misalnya: laut, beda tinggi
Pendekatan ITM (Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS (Science
Technology-Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas kritik terhadap pengajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional (texbook), yakni berkisar masih pada
pengajaran tentang fakta-fakta dan teori-teori tanpa menghubungkannya dengan dunia nyata
yang integral. ITM dikembangkan kemudian sebagai sebuah pendekatan guna mencapai
tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara
melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk meemcahkan masalah
yang ditemukan dalam kehidupan kesehariannya. Pendekatan ITM menekankan pad aktivitas
peserta didik melalui penggunaan keterampilanproses dan mendorong berpikir tingkat tinggi,
observasi, wawancara dengan masyarakat bahkan kegiatan di laboratorium dsb. Oleh karena
perkembangan ilmu dan teknologi, dapat dijawab melalui inkuiri. Dalam kegiatan
pembelajaran tersebut peserta didik menjadi lebih aktif dalam menggali permasalahan
masalah dan tindakan yang dapat dilakukan secara nyata. Karena itu, pendekatan ITM
pengetahuan sosial, khusus dalam mempersiapkan warga negara agar memiliki kemampuan:
negara, c) membuat hubungan antar pengetahuan, dan d) mengingat sejarah perjuangan dan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran pendekatan ITM
antara lain:
a. Menekankan pada paham kontruktivisme, bahwa setiap individu peserta didik, telah
b. Peserta didik dituntut untuk belajar dalam memecahkan permasalahan dan dapat
c. Pola pembelajaran bersifat kooperatif (kerja sama) dalam setiap kegiatan pembelajaran
serta menekankan pada keterampilan proses dalam rangka melatih peserta didik berfikir
tingkat tinggi.
e. Masalah-masalah aktual sebagai objek kajian, dibahas bersama guru dan peserta didik
g. Tema pengorganisasian pokok dari sejumlah unit ITM adalah isu dan masalah sosial yang
a. Tahap Eksplorasi
Kegiatan eksplorasi merupakan tahap pengumpulan data lapangan dan data yang berkaitan
dengan nilai. Peserta didik dengan bantuan LKS secara berkelompok melakukan pengamatan
langsung. Eksplorasi dilakukan guna membuktikan konsep awal yang mereka miliki denga
konsep ilmiah.
Dari data yang telah terkumpul berdasarkan hasil pengamatan, diharapkan peserta didik
mampu memberikan solusi sebagai alternatif jawaban tentang persoalan lingkungan. Peserta
tepat, membuat model, membuat poster yang berkenaan dengan pesan lingkungan, membuat
Peserta didik dapat membuat keputusan atau mempertimbangkan alternatif tindakan dan
mereka dapat bermain peran (Role Playing) membuat kebijakan strategis yang diperlukan
ü Guru memberikan kesempatan kepada anggota kelas lainnya untuk memberikan tanggapan
ü Guru bersama peserta didik menyimpulkan konsep baru yang diperoleh kemudian mereka
diminta melihat kembali jawaban yang telah disampaikan sebelum kegiatan eksplorasi.
ü Guru membimbing peserta didik merkonstruksi kembali pengetahuan langsung dari objek
ü Guru bertanya pada peserta didik tentang hal-hal yang diliahat dalam kehidupan sehari-hari
ü Guru dan peserta didik mendiskusikan sikap dan kepedulian yang dapat mereka tumbuhkan
dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan konsep baru yang telah ditemukan.
f. Tahap Evaluasi
Pada tahapan evaluasi, guru memperlihatkan gambar suasana lingkungan yang berbeda yaitu
lingkungan yang terpelihara dan yang tidak terpelihara. Kemudian menggunakan pertanyaan
pancingan pada peserta didik sehingga mampu memberikan penilaian sendiri tentang
g. Kegiatan Penutup
Kegiatan penutup merupakan kegiatan penyimpulan yang dilakukan guru dan peserta didik
dari seluruh rangkaian pembelajaran. Sebagai bagian penutup, guru menyampaikan pesan
moral.
Role Playing adalah salah satu model pembelajaran yang perlu menjadi pengalaman belajar
Kewarganegaraan didalamnya. Sebagai langkah teknis, role playing sendiri tidak jarang
menjadi pelengkap kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dengan stressing model
pendekatan lainnya, seperti inkuiri, ITM, Portofolio, dan lainnya. Secara komprehensif makna
penggunaan role playing dikemukakan George Shaftel (Djahiri, 1978: 109) antara lain:
memahami apa yang menjadi sebab dari sesuatu serta bagaimana akibatnya; 3) untuk
tensi (kelebihan energi psykhis) dan perasaan-perasaan; 5) sebagai alat diagnosa keadaan;
6) ke arah pembentukan konsep secara mandiri; 7) menggali peran-peran dari pada dalam
Sapriya (Winataputra, 2002: 1.16) menegaskan bahwa: “portofolio merupakan karya terpilih
kelas/siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan publik
untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan”. Makna pembelajaran
berbasis portofolio dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial adalah memperkenalkan kepada
peserta didik dan membelajarkan mereka “pada metode dan langkah-langkah yang digunakan
dalam proses politik” kewarganegaraan/kemasyarakatan.
2. Langkah-langkah Penbelajaran Portofolio
Secara teknis pendekatan portofolio dimulai dengan membagi peserta didik dalam kelas ke
dalam beberapa kelompok, lajimnya dilakukan menjadi 4 atau sesuai menurut keadaan dan
keperluannya. Berdasarkan urutannya, setiap kelompok membidangi tugas dan
tanggungjawab masing-masing, antara lain:
a. Kelompok portofolio-satu; Menjelaskan masalah, dalam tugasnya kelompokini
bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah mereka pilih untuk dikaji dalam
kelas.
b. Kelompok portofolio-dua; Menilai kebijakan alternatif yang diusulkan untuk memecahkan
masalah, dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan kebijakan saat
ini dan atau kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah.
c. Kelompok portofolio-tiga; Membuat satu kebijakan publik yang didukung oleh kelas,
dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat satu kebijakan publik tertentu
yang disepakati untuk didukung oleh mayoritas kelas serta memberikan pembenaran terhadap
kebijakan tersebut.
d. Kelompok portofolio-empat; Membuat satu rencana tindakan agar pemerintah (setempat)
dalam masyarakat mau menerima kebijakan kelas. Dalam tugasnya kelompok ini
bertanggung jawab untuk membuat suatu rencana tindakan yang menujukkan bagaimana
warganegara dapat mempengaruhi pemerintah (setempat) untuk menerima kebijakan yang
didukung oleh kelas.
MODEL PEMBELAJARAN IPS DI SD