Anda di halaman 1dari 18

RANGKUMAN KONSEP DASAR IPS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konsep Dasar IPS SD

Dosen : Uus Kuswendi, M.Pd

Nama : Ira Irawati Suhada


NIM: 18060483

IKIP SILIWANGI BANDUNG


PROGRAM STUDI Pendidikan Guru Sekolah Dasar {PGSD}
Tahun 2019
1. Hakikat Pembelajaran IPS
2. Landasan Pendidikan IPS
3. Sejarah Pendidikan IPS di Dunia dan Indonesia
4. Pendidikan IPS di SD dan Model-model Pembelajaran yang relevan untuk IPS
1. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial (IPS)
Hakikat Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial (IPS) adalah kajian tentang manusia dan lingkungannya
dimana kehidupan manusia merupakan suatu dinamika yang tidak pernah berhenti dan selalu aktif.
Dinamika yang menggabungkan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya sebagai
ungkapan jiwa bahwa manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan juga sebagai makhluk sosial.

Pada dasarnya, hakikat manusia itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia
bukan hanya sebagai makhluk biologis, melainkan juga sebagai makhluk yang berinteraksi dengan aspek
sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut menghasilkan ilmu
pengetahuan sosial (IPS) dan berkembang menjadi disiplin ilmu sesuai dengan perkembangan
masyarakat seperti ilmu ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, dan sebagainya.

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupannya
manusia harus menghadapi tantangan-tantangan yang berasal dari lingkungannya maupun sebagai
hidup bersama. Ilmu Pendidikan Sosial (IPS) melihat bagaimana manusia hidup bersama dengan
sesamanya, dengan tetangganya dari lingkungan dekat sampai yang jauh. Bagaimana keserasian hidup
dengan lingkungannya baik dengan sesama manusia maupun lingkungan alamnya. Bagaimana mereka
melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain bahan kajian atau bahan
belajar IPS adalah manusia dan lingkungannya sebagai hakikat pendidikan IPS.

Tujuan Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial (IPS)

Tujuan pendidikan IPS tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan berdasarkan pada
falsafah negara Pancasila dan UUD 1945, yaitu:

Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional, yaitu:
membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat
jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas
dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan
mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional di atas, maka tujuan pendidikan di atas harus dikaitkan dengan
kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi siswa.
Beberapa pendapat yang berkaitan dengan tujuan pendidikan IPS, yaitu:

Kurikulum 2004 (tingkat SD) menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial bertujuan untuk:

1. mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan,


pedagogis, dan psikologis.

2. mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan sosial
3. membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan

4. meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk,
baik secara nasional maupun global.

Tujuan pendidikan IPS menurut (Nursid Sumaatmadja. 2006) adalah “membina anak didik menjadi
warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna
bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara”

Tujuan pendidikan IPS menurut (Oemar Hamalik. 1992)merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi
pada tingkah laku para siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3) nilai-
nilai sosial dan sikap, (4) keterampilan.

IPS juga bertujuan untuk mengembangkan sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS anak
memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep baru sehingga
mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang. Sikap belajar tersebut diarahkan
pada pengembangan motivasi untuk mengetahui, berimajinasi, minat belajar, kemampuan merumuskan
masalah, dan hipotesis pemecahannya, keinginan melanjutkan eksplorasi IPS sampai ke luar kelas, dan
kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan data.

Salah satu fungsi pengajaran IPS adalah mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tentang
masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada anak. Selain itu juga mengembangkan rasa
kontinuitas dan stabilitas, memberikan informasi dan teknik-teknik sehingga mereka dapat ikut
memajukan masyarakat sekitarnya. Sebagai contohnya tradisi dan nilai-nilai dalam masyarakat,
kebudayaan dari berbagai lingkungan serta pengaruhnya terhadap hubungan dengan warga masyarakat
lainnya, pengelolaan dan penggunaan sumber-sumber ekonomi oleh masyarakat.

2. Landasan Pendidikan IPS


1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis memberikan gagasan pemikiran mendasar yang digunakan untuk menentukan apa
obyek kajian atau domain apa saja yang menjadi kajian pokok dan dimensi pengembangan Pendidikan
IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu (aspek ontologis); bagaimana cara, proses atau metode membangun
dan mengembangkan Pendidikan IPS hingga menentukan pengetahuan manakah yang dianggap benar,
sah, valid atau terpercaya (aspek epistomologis); apa tujuan Pendidikan IPS sebagai pendidikan disiplin
ilmu ini dibangun dan dikembangkan serta digunakan atau apakah manfaat dari Pendidikan IPS ini
(aspek aksiologis).

Keberadaan landasan-landasan ini telah dan akan memperkokoh body of knowledge Pendidikan IPS
untuk eksis dan berkembang lebih luas lagi.

2. Landasan Ideologis

Landasan ideologis dimaksudkan sebagai sistem gagasan mendasar untuk memberi pertimbangan dan
menjawab pertanyaan: (1) bagaimana keterkaitan antara das sein Pendidikan IPS sebagai pendidikan
disiplin ilmu dan das sollen Pendidikan IPS dan (2) bagaimana keterkaitan antara teori-teori pendidikan
dengan hakikat dan praksis etika, moral, politik dan norma-norma perilaku dalam membangun dan
mengembangkan Pendidikan IPS. Menurut O’Neil, ideologi sebagai landasan ini telah dan akan
memberikan sistem gagasan yang bersifat ideologis terhadap Pendidikan IPS yang tidak cukup diatasi
hanya oleh filsafat yang bersifat umum.

3. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis memberikan sistem gagasan mendasar untuk menentukan cita-cita, kebutuhan,
kepentingan, kekuatan, aspirasi serta pola kehidupan masa depan melalui interaksi sosial yang akan
membangun teori-teori atau prinsip-prinsip Pendidikan IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu. Landasan ini
akan dan telah memberikan dasar-dasar sosiologis terhadap pranata dan institusi pendidikan dalam
proses perubahan sosial yang konstruktif.

4. Landasan Antropologis

Landasan antropologis memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar dalam menentukan pola, sistem
dan struktur pendidikan disiplin ilmu sehingga relevan dengan pola, sistem dan struktur kebudayaan
bahkan pola, sistem dan struktur perilaku manusia yang kompleks. Landasan ini telah dan akan
memberikan dasar-dasar sosial-kultural masyarakat terhadap struktur Pendidikan IPS sebagai
pendidikan disiplin ilmu dalam proses perubahan sosial yang konstruktif.

5. Landasan Kemanusiaan

Landasan kemanusiaan memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan karakteristik


ideal manusia sebagai sasaran proses pendidikan. Landasan ini sangat penting karena pada dasarnya
proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.

6. Landasan Politis

Landasan politis memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan arah dan garis
kebijakan dalam politik pendidikan dari Pendidikan IPS. Peran dan keterlibatan pihak pemerintah dalam
landasan ini sangat besar sehingga pendidikan tidak mungkin steril dari campur tangan unsur birokrasi.

7. Landasan psikologis

Landasan psikologis memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan cara-cara


Pendidikan IPS membangun struktur tubuh disiplin pengetahuannya, baik dalam tataran personal
maupun komunal berdasarkan entitas-entitas psikologisnya. Hal ini sejalan dengan hakikat dari struktur
yang dapat dipelajari, dialami, didiversifikasi, diklasifikasi oleh anggota komunitas Pendidikan IPS
berdasarkan kapasitas psikologis dan pengalamannya
3. Sejarah perkembangan IPS di Indonesia
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia juga hampir
sama dengan di beberapa negara lain, diantaranya situasi kacau dan pertentangan politik bangsa,
kondisi keragaman budaya bangsa (multicultural) yang sangat rentan terjadinya konflik. Sehingga,
sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan
G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukkan program pendidikan
sebagai propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke
dalam kurikulum sekolah.

Ada pula buku yang mengatakan bahwa latar belakang diberikannya Ilmu Sosial Dasar di mulai
banyaknya kritik-kritik yang ditujukan pada sistem pendidikan di perguruan tingi oleh sejumlah
cendekiawan terutama sarjana pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Mereka menganggap sistem
pendidikan yang tengah berlangsung saat ini, berbau colonial dan masih merupakan warisan system
pendidikan pemerintah Belanda, yaitu kelanjutan dari “Politik Balas Budi” (Etische Politiek) yang
dianjurkan oleh Conrad The Odore Van Deventer, bertujuan menghasilkan tenaga-tenaga terampil untuk
menjadi “tukang-tukang” yang mengisi birokrasi mereka di bidang administrasi, pedangang, teknik, dan
keahlian lain dalam tujuan eksploitasi kekayaan negara.

Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) sebagai
program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam Seminar Nasional
tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo, Jawa Tengah. Dalam laporan seminar
tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu:

1. Pengetahuan Sosial

2. Studi Sosial

3. Ilmu Pengetahuan Sosial

Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahaan di Indonesia pada tahun1972-1973
yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung.
Kemudian secara resmidalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang
tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata
pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke
dalam mata pelajaran IPS.Upaya memasukkan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam
kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasa dan keterampilan jasmani, moral,, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang memiliki
komitmen terhadap Social Studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah,
maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekilah lebih jelas lagi.
Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka
kurikulumilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (Social
Studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah
harus sudah mulai diajarkan.

Sejarah Perkembangan IPS di Dunia

IPS merupakan terjemahan dari Social Studies. Sejarah perkembangan IPS dapat dilihat dari sejarah
perkembangan social studies yang berkembang di Amerika Serikat. Perkembangan pemikiran ini dapat
dilihat di berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies
(NCSS) pada tahun 1935 hingga sekarang.

Definisi tentang social studies menurut Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 (Barr, Barth, dan Shermish,
1977:12), yaitu Social studies adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhannakan untuk tujuan pendidikan.
Kemudian, social dibakukan bahwa “social studies” meliputi aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu
politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi, dan filsafat yang dalam praktiknya dipilih untuk
tujuan pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.

Antara tahun 1940-1950 NCSS mendapat serangan yang mempertanyakan mesti atau tidaknya social
studies menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para pemuda. Hal tersebut menjadi salah satu
dampak yang mengharuskan bagi setiap sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tahun 1960-an,
muncullah gerakan akademis yang mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar
yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Lalu gerakan akademis tersebut dikenal sebagai
gerakan the new social studies (social studies gaya baru). Tahun 1970-an ternyata gagasan untuk
mendapatkan the new social studies belum menjadi kenyataan, dikarenakan isu yang terus menerpa
social studies hingga saat ini mengenai perlu tidaknya indoktrinasi.

Pada tahun 1955 terjadilah terobosan yang besar, yang demikian diungkapkan oleh Barr, dkk.
(1977: 37) yaitu berupa inovasi Maurice Hunt dan Lawrence Metcalf yang mencoba melihat cara baru
dalam pengintegrasian pengetahuan dan keterampilan ilmu sosial untuk tujuan, citizenship education.
Jadi program social studies di sekolah sebaiknya diorganisasikan bukan dalam bentuk pembelajaran ilmu
sosial yang terpisah-pisah, namun diorientasikan kepada masalah-masalah tabu dalam masyarakat,
seperti misalnya isu tentang seks, ketidaktahuan, mitos, kontroversi dll. Dengan hal tersebut social
studies mulai diarahkan kepada upaya guna melatih para siswa untuk dapat mengambil keputusan
mengenai masalah-masalah publik.

Menurut Barr, dkk (1978:1917) Ada 3 tradisi pedagogis dalam social studies yakni Social Studies Taught
as Citizenship Transmission, Social Studies Taught as Social Science, and Social Studies Taught as
Reflective Inquiry. Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal diantaranya social studies
merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua, misi utama social studies adalah pendidikan
kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis; ketiga, sumber utama konten social
studies adalah social science dan humanities; keempat, dalam upaya penyiapan warga negara yang
demokratis terbuka kemungkinan perbedaan dalam orientasi, visi, tujuan, dan metode pembelajaran.
4. Pendidikan IPS di SD dan Model-model Pembelajaran yang relevan
untuk IPS
1. Pendidikan IPS di SD

Pendidikan IPS di SD telah mengintegrasikan bahan pelajaran tersebut dalam satu bidang

studi. Materi pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang

terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang pasar, maka harus ditampilkan

kapan atau bagaimana proses berdirinya (sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geografi),

bagaimana hubungan antara orang-orang yang berada di pasar (Sosiologi), bagaimana

kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli di pasar (Antropologi) dan berapa

jenis-jenis barang yang diperjualbelikan (Ekonomi).

Dengan demikian Pendidikan IPS di sekolah dasar adalah disiplin ilmu-ilmu sosial seperti

yang disajikan pada tingkat menengah dan universitas, hanya karena pertimbangan tingkat

kecerdasan, kematangan jiwa peserta didik, maka bahan pendidikannya disederhanakan,

diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk tujuan institusional didaksmen (Sidiharjo, 1997).

2. Model Pembelajaran Untuk Mengatasi Masalah Pendidikan IPS di SD

Sejumlah model pendekatan pembelajaran tersebut diatas, masing-masing mengedepankan

keunggulan dalam mengupayakan pencapaian sasaran yang diyakini oleh setiap

pengembangannya, namun untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin berbeda,

harus dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional yang tentu tidak sama. Sekurang

kurangnya dimana, oleh, atau dengan dan terutama untuk siapa proses pembelajaran

dilakukan. Khusus berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran pada anak usia pertumbuhan,

dari sejumlah model tersebut tentunya dapat dirujuk model pendekatan yang menjadi rujukan di

atas dengan sebutan model Cognitive Emotion and Social Development. Dasar

pandangannya adalah “anak merupakan produk berbagai pengaruh, mulai dari keluarganya,

kesehatan, kondisi sosial ekonomi dan sekolah”. Bahwa masing-masing pendekatan pada

pandangan teoritis berkenaan dengan stressingnya, dalam praktisnya dapat terjadi saling
berkait antara satu pendekatan dengan pendekatan lain secara bersamaan. Untuk itu,

memenuhi keperluan teknis operasional dalam mengembangkan pembelajaran Pengetahuan

Sosial berbasis pendekatan nilai khususnya, berikut dipetikan langkah teknis sejumlah model

pilihan yang dipandang mewakili tuntutan karakteristik materil, peserta didik dan setting sosial

yang menjadi lingkungan kultur dan belajar SD/MI umumnya di tanah air. Beberapa dari

sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan tersebut, secara parsial terliput dalam kerangka

teknis model pilihan berikut, antara lain: Model Inkuiri, VCT, Bermain Peta, ITM (STS), Role

Playing, dan Portofolio.

1. Model Inkuiri

a) Makna Pembelajaran Inkuiri

Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada

pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir reflektif kritis, dan kreatif. Inkuiri adalah

salah satu model pembelajaran yang dipandang modern yang dapat dipergunakan pada

berbagai jenjang pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Pelaksanaan

inkuiri di dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial dirasionalisasi pada pandangan dasar

bahwa dalam model pembelajaran tersebut, siswa didorong untuk mencari dan mendapatkan

informasi melalui kegiatan belajar mandiri. Model inkuiri pada hakekatnya merupakan

penerapan metode ilmiah khususnya di lapangan Sains, namun dapat dilakukan terhadap

berbagai pemecahan problem sosial. Savage Amstrong mengemukakan bahwa model

tersebut secara luas dapat digunakan dalam proses pembelajaran Social Studies (Savage

and Amstrong, 1996). Pengembangan strategi pembelajaran dengan model inkuiri dipandang

sanagt sesuai dengan karakteristik materil pendidikan Pengetahuan Sosial yang bertujuan

mengembangkan tanggungjawab individu dan kemampuan berpartisipasi aktif baik sebagai

anggota masyarakat dan warganegara.

b) Langkah-langkah Inkuiri

Langkah-langkah yang harus ditempuh di dalam model inkuiri pada hakekatnya tidak berbeda

jauh dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang dikembangkan oleh John Dewey

dalam bukunya “How We Think”. Langkah-langkah tersebut antara lain:


> Langkah pertama, adalah orientation, siswa mengidentifikasi masalah, dengan pengarahan

dari guru terutama yang berkaitan dengan situasi kehidupan sehari-hari.

> Langkah kedua hypothesis, yakni kegiatan menyusun sebuah hipotesis yang dirumuskan

sejelas mungkin sebagai antiseden dan konsekuensi dari penjelasan yang telah diajukan.

> Langkah ketiga definition, yaitu mengklarifikasi hipotesis yang telah diajukan dalam forum

diskusi kelas untuk mendapat tanggapan.

>Langkah keempat exploration, pada tahap ini hipotesis dipeluas kajiannya dalam pengertian

implikasinya dengan asumsi yang dikembangkan dari hipotesis tersebut.

>Langkah kelima evidencing, fakta dan bukti dikumpulkan untuk mencari dukungan atau

pengujian bagi hipotesa tersebut.

>Langkah keenam generalization, pada tahap ini kegiatan inkuiri sudah sampai pada tahap

mengambil kesimpulan pemecahan masalah (Joyce dan Weil, 1980

2. Model Pembelajaran VCT

a) Makna Pembelajaran VCT

VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian

pendidikan nilai. Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique,

merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan nilai-nilai

tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT berfungsi untuk: a) mengukur

atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa

tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina

kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui

cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri

(1979: 116) menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa

tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk

kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat”.

b) Langkah Pembelajaran Model VCT

Berkenaan dengan teknik pembelajaran nilai Jarolimek merekomendasikan beberapa cara,

antara lain:
a. Teknik evaluasi diri (self evaluation) dan evaluasi kelompok (group evaluation)

Dalam teknik evaluasi diri dan evaluasi kelompok pesertadidik diajak berdiskusi atau

tanya-jawab tentang apa yang dilakukannya serta diarakan kepada keinginan untuk perbaikan

dan penyempurnaan oleh dirinya sendiri:

a. Menentukan tema, dari persoalan yang ada atau yang ditemukan peserta didik

b. Guru bertanya berkenaan yang dialami peserta didik

c. Peserta didik merespon pernyataan guru

d. Tanya jawab guru dengan peserta didik berlangsung terus hingga sampai pada tujuan yang

diharapkan untuk menanamkan niai-nilai yang terkandung dalam materi tersebut.

b. Teknik Lecturing

Teknik lecturing, dilalukan guru gengan bercerita dan mengangkat apa yang menjadi topik

bahasannya. Langkah-langkahnya antara lain:

a. Memilih satu masalah / kasus / kejadian yang diambil dari buku atau yang dibuat guru.

b. Siswa dipersilahkan memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan menggunakan kode,

misalnya: baik-buruk, salah benar, adil tidak adil, dsb.

c. Hasil kerja kemudian dibahas bersama-sama atau kelompok kalau dibagi kelompok untuk

memberikan kesempatan alasan dan argumentasi terhadap penilaian tersebut.

c. Teknik menarik dan memberikan percontohan

Dalam teknik menarik dan memberi percontohan (example of axamplary behavior), guru

membarikan dan meminta contoh-contoh baik dari diri peserta didik ataupun kehidupan

masyarakat luas, kemudian dianalisis, dinilai dan didiskusikan.

d. Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan

Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan, dalam teknik ini peserta didik dituntut untuk

menerima atau melakukan sesuatu yang oleh guru dinyatakan baik, harus, dilarang, dan

sebagainya.

e. Teknik tanya-jawab

Teknik tanya-jawab guru mengangkat suatu masalah, lalu mengemukakan pertanyaan

pertanyaan sedangkan peserta didik aktif menjawab atau mengemukakan pendapat


pikirannya.

f. Teknik menilai suatu bahan tulisan

Teknik menila suatu bahan tulisan, baik dari buku atau khusus dibuat guru. Dalam hal ini

peserta didik diminta memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan kode (misal: baik - buruk,

benar – tidak-benar, adil – tidak-adil dll). Cara ini dapat dibalik, siswa membuat tulisan

sedangkan guru membuat catatan kode penilaiannya. Selanjutnya hasil kerja itu dibahas

bersama atau kelompok untuk memberikan tanggapan terhadap penilaian.

g. Teknik mengungkapkan nilai melalui permainan (games).

Dalam pilihan ini guru dapat menggunakan model yang sudah ada maupun ciptaan sendiri.

3. Model Bermain Peta

Keterampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu tujuan

penting dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial. Keterampilan menginterpretasi peta

maupun globe perlu dilakukan peserta didik secara fungsional. Peta dan globe memberikan

manfaat, yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar, batas-batas

suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang lebih jelas mengenai istilah-istilah geografi

seperti: pulau, selat, semnanjung, samudera, benua dan sebagainya; c) memahami peta dan

globe, diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, siswa mengerti tentang cara menentukan

tempat di bumi seperti arah mata angin, meridian, paralel, belahan timur dan barat; (b) skala,

merupakan model atau gambar yang lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya; (c) lambang

lambang, merupakan simbo-simbol yang mudah dibaca tanpa ada keterangan lain; (d) warna,

menggunakan berbagai warna untuk menyatakan hal-hal tertentu misalnya: laut, beda tinggi

daratan, daerah, negara tertentu dsb.

4. Pendekatan ITM (Ilmu-Teknologi dan Masyarakat)

a. Kebermaknaan Model Pendekatan ITM

Pendekatan ITM (Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS (Science

Technology-Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas kritik terhadap pengajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional (texbook), yakni berkisar masih pada
pengajaran tentang fakta-fakta dan teori-teori tanpa menghubungkannya dengan dunia nyata

yang integral. ITM dikembangkan kemudian sebagai sebuah pendekatan guna mencapai

tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara

melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk meemcahkan masalah

yang ditemukan dalam kehidupan kesehariannya. Pendekatan ITM menekankan pad aktivitas

peserta didik melalui penggunaan keterampilanproses dan mendorong berpikir tingkat tinggi,

seperti; melakukan kegiatan pengumpulan data, menganalisis data, melakukan survey

observasi, wawancara dengan masyarakat bahkan kegiatan di laboratorium dsb. Oleh karena

itu, permasalahan tentang kemasyarakatan sebagaimana adanya tidak terlepas dari

perkembangan ilmu dan teknologi, dapat dijawab melalui inkuiri. Dalam kegiatan

pembelajaran tersebut peserta didik menjadi lebih aktif dalam menggali permasalahan

berdasarkan pada pengalaman sendiri hingga mampu melahirkan kerangka pemecahan

masalah dan tindakan yang dapat dilakukan secara nyata. Karena itu, pendekatan ITM

dipandang dapat memberi kontribusi langsung terhadap misi pokok pembelajaran

pengetahuan sosial, khusus dalam mempersiapkan warga negara agar memiliki kemampuan:

a) memahami ilmu pengetahuan di masyarakat, b) mengambil keputusan sebagai warga

negara, c) membuat hubungan antar pengetahuan, dan d) mengingat sejarah perjuangan dan

peradaban luhur bangsanya.

b. Langkah Pendekatan ITM

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran pendekatan ITM

antara lain:

a. Menekankan pada paham kontruktivisme, bahwa setiap individu peserta didik, telah

memiliki sejumlah pengetahuan dari pengalamannya sendiri dalam kehidupan faktual di

lingkungan keluarga dan masyarakat.

b. Peserta didik dituntut untuk belajar dalam memecahkan permasalahan dan dapat

menggunakan sumber-sumber setempat (nara sumber dan bahan-bahan lainnya) untuk

memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.

c. Pola pembelajaran bersifat kooperatif (kerja sama) dalam setiap kegiatan pembelajaran
serta menekankan pada keterampilan proses dalam rangka melatih peserta didik berfikir

tingkat tinggi.

d. Peserta didik menggali konsep-konsep melalui proses pembelajaran yang ditempuh

dengan cara pengamatan (observasi) terhadap objek-objek yang dipelajarinya.

e. Masalah-masalah aktual sebagai objek kajian, dibahas bersama guru dan peserta didik

guna menghindari terjadi kesalahan konsep.

f. Pemilihan tema-tema didasarakan urutan integratif.

g. Tema pengorganisasian pokok dari sejumlah unit ITM adalah isu dan masalah sosial yang

berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

c. Tahapan Metode Pendekatan ITM

a. Tahap Eksplorasi

Kegiatan eksplorasi merupakan tahap pengumpulan data lapangan dan data yang berkaitan

dengan nilai. Peserta didik dengan bantuan LKS secara berkelompok melakukan pengamatan

langsung. Eksplorasi dilakukan guna membuktikan konsep awal yang mereka miliki denga

konsep ilmiah.

b. Tahap Penjelasan dan Solusi

Dari data yang telah terkumpul berdasarkan hasil pengamatan, diharapkan peserta didik

mampu memberikan solusi sebagai alternatif jawaban tentang persoalan lingkungan. Peserta

didik didorong untuk menyampaikan gagasan, menyimpulkan, memberikan argumen dengan

tepat, membuat model, membuat poster yang berkenaan dengan pesan lingkungan, membuat

puisi, menggambar, membuat karangan, serta membuat karya seni lainnya.

c. Tahap Pengambilan Tindakan

Peserta didik dapat membuat keputusan atau mempertimbangkan alternatif tindakan dan

akibat-akibatnya dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah

diperolehnya. Berdasar pengenalan masalah dan pengembangan gagasan pemecahannya,

mereka dapat bermain peran (Role Playing) membuat kebijakan strategis yang diperlukan

untuk mempengaruhi publik dalam mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.

d. Diskusi dan Penjelasan


Berikutnya guru dan peserta didik melakukan diskusi kelas dan penjelasan konsep melalui

tahapan sebagai berikut:

ü Masing-masing kelompok melaporkan hasil temuan pengamatan lingkungannya.

ü Guru memberikan kesempatan kepada anggota kelas lainnya untuk memberikan tanggapan

atau informasi yang relevan terhadap laporan kelompok temannya.

ü Guru bersama peserta didik menyimpulkan konsep baru yang diperoleh kemudian mereka

diminta melihat kembali jawaban yang telah disampaikan sebelum kegiatan eksplorasi.

ü Guru membimbing peserta didik merkonstruksi kembali pengetahuan langsung dari objek

yang dipelajari tentang alam lingkungannya.

e. Tahap Pengembangan dan Aplikasi Konsep

ü Guru bertanya pada peserta didik tentang hal-hal yang diliahat dalam kehidupan sehari-hari

yang merupakan aplikasi konsep baru yang telah ditemukan.

ü Guru dan peserta didik mendiskusikan sikap dan kepedulian yang dapat mereka tumbuhkan

dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan konsep baru yang telah ditemukan.

f. Tahap Evaluasi

Pada tahapan evaluasi, guru memperlihatkan gambar suasana lingkungan yang berbeda yaitu

lingkungan yang terpelihara dan yang tidak terpelihara. Kemudian menggunakan pertanyaan

pancingan pada peserta didik sehingga mampu memberikan penilaian sendiri tentang

keadaan kedua lingkungan tersebut.

g. Kegiatan Penutup

Kegiatan penutup merupakan kegiatan penyimpulan yang dilakukan guru dan peserta didik

dari seluruh rangkaian pembelajaran. Sebagai bagian penutup, guru menyampaikan pesan

moral.

5. Model Role Playing

a. Kebermaknaan Penggunaan Model Role Playing

Role Playing adalah salah satu model pembelajaran yang perlu menjadi pengalaman belajar

peserta didik, terutama dalam konteks pembelajaran Pengetahuan Sosial dan

Kewarganegaraan didalamnya. Sebagai langkah teknis, role playing sendiri tidak jarang
menjadi pelengkap kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dengan stressing model

pendekatan lainnya, seperti inkuiri, ITM, Portofolio, dan lainnya. Secara komprehensif makna

penggunaan role playing dikemukakan George Shaftel (Djahiri, 1978: 109) antara lain:

1) untuk menghayati sesuatu/hal/kejadian sebenarnya dalam realitas kehidupan; 2) agar

memahami apa yang menjadi sebab dari sesuatu serta bagaimana akibatnya; 3) untuk

mempertajam indera dan perasaan siswa terhadap sesuatu; 4) sebagai penyaluran/pelepasan

tensi (kelebihan energi psykhis) dan perasaan-perasaan; 5) sebagai alat diagnosa keadaan;

6) ke arah pembentukan konsep secara mandiri; 7) menggali peran-peran dari pada dalam

suatu kehidupan/kejadian/keadaan; 8) menggali dan meneliti nilai-nilai (norma) dan peranan

budaya dalam kehidupan; 9) membantu siswa dalam mengklarifikasikan (memperinci) pola

berpikir, berbuat dan keterampilannya dalam membuat/ mengambil keputusan menurut

caranya sendiri; 10) membina siswa dalam kemampuan memecahakan masalah.

b. Langkah-langkah Role Playing

Adapun langkah-langkahnya, Djahiri (1978: 109) mengangkat urutan teknis yang

dikembangkan Shaftel yang terdiri dari 9 langkah dalam tabel berikut.

No. Urutan Langkah Kegiatan dan Pelakunya

a. Mencari atau mengemukakan


permasalahan (oleh guru atau bersama
siswa).

b. Memperjelas masalah/ topik tersebut


(guru).

c. Mencari bahan-bahan, keterangan atau


penjelasan lebih lanjut, dengan menunjukan
sumbernya (guru & siswa).

d. Menjelaskan tujuan, makna dari role


1. Penjelasan umum playing.
a. Menganalisis peran yang harus dimainkan
(guru bersama siswa).

2. Memilih para pelaku b. Memilih para pelakunya (dibantu guru).

a. Menentukan observer dan menjelaskan


3. Menentukan Observer tugas dan peranannya (guru & siswa).

a. gariskan jalan ceritanya.

b. tegaskan peran-peran yang ada


didalamnya.

c. berikut gambaran situasi keadaan cerita


4. Menentukan jalan cerita tersebut (guru + siswa).

a. Mulai melakonkan permainan tersebut

b. Menjaga agar setiap peran berjalan.

c. Jagalah agar babakan-babakan terlihat


5. Pelaksanaan (bermain) jelas.

a. Telaah setiap peran, posisi, dan


permainan.

b. diskusikan hal tersebut berikut saran


perbaikannya.

6. Diskusi dan permainan c. Siapkan permainan ulangan.

Permainan ulang dan


7. diskusi serta penelaahan a. Seperti sub 5 dan sub 6

a. Setiap pelaku mengemukakan


pengalaman, perasaan dan pendapatnya.

b. Observer mengemukakan penilaian


pendapatnya.

Mempertukarkan pikiran, c. Siswa dan guru membuat kesimpulan dan


pengalaman dan merangkainya dengan topik / konsep yang
8. membuat kesimpulan sedang dipelajarinya.
7. Model Portofolio
1. Makna Pembelajaran Portofolio
Protofolio dalam pendidikan mulai dipergunakan sebagai salah satu jenis model penilaian
(Assesment) yang berbasis produk, yakni penilaian yang didasarkan pada segala hasil yang
dapat dibuat atau ditunjukan peserta didik, kemudian dihimpun dalam sebuah ‘map jepit’
(portofolio) untuk dijadikan bahan pertimbangan guru dalam memberikan asesmen otentik
terhadap kinerja peserta didik.

Sapriya (Winataputra, 2002: 1.16) menegaskan bahwa: “portofolio merupakan karya terpilih
kelas/siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan publik
untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan”. Makna pembelajaran
berbasis portofolio dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial adalah memperkenalkan kepada
peserta didik dan membelajarkan mereka “pada metode dan langkah-langkah yang digunakan
dalam proses politik” kewarganegaraan/kemasyarakatan.
2. Langkah-langkah Penbelajaran Portofolio
Secara teknis pendekatan portofolio dimulai dengan membagi peserta didik dalam kelas ke
dalam beberapa kelompok, lajimnya dilakukan menjadi 4 atau sesuai menurut keadaan dan
keperluannya. Berdasarkan urutannya, setiap kelompok membidangi tugas dan
tanggungjawab masing-masing, antara lain:
a. Kelompok portofolio-satu; Menjelaskan masalah, dalam tugasnya kelompokini
bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah mereka pilih untuk dikaji dalam
kelas.
b. Kelompok portofolio-dua; Menilai kebijakan alternatif yang diusulkan untuk memecahkan
masalah, dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan kebijakan saat
ini dan atau kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah.
c. Kelompok portofolio-tiga; Membuat satu kebijakan publik yang didukung oleh kelas,
dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat satu kebijakan publik tertentu
yang disepakati untuk didukung oleh mayoritas kelas serta memberikan pembenaran terhadap
kebijakan tersebut.
d. Kelompok portofolio-empat; Membuat satu rencana tindakan agar pemerintah (setempat)
dalam masyarakat mau menerima kebijakan kelas. Dalam tugasnya kelompok ini
bertanggung jawab untuk membuat suatu rencana tindakan yang menujukkan bagaimana
warganegara dapat mempengaruhi pemerintah (setempat) untuk menerima kebijakan yang
didukung oleh kelas.
MODEL PEMBELAJARAN IPS DI SD

Anda mungkin juga menyukai