Anda di halaman 1dari 69

BAB 1 WACANA

1.1 Hakikat Analisis Wacana


Wacana yang dalam bahasa Inggris disebut discoure, merupakan rekaman kebahasaan
yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Biasanya wacana berupa unit kebahasaan yang lebih
besar daripada kalimat atau klausa dan mempunyai hubungan antara unit kebahasaan yang satu
dan yang lain. Atau dengan kata lain, wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam
bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf,
kalimat/klausa, atau kata yang membawa amanat lengkap.
Wacana merupakan suatu peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku
linguistik (atau lainnya). Wacana dapat juga dikatakan seperangkat proposisi yang saling
berhubungan untuk menghasilkan suatu kepaduan atau rasa kohesi bagi pendengar atau pembaca.
Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa
kepaduan yang dirasakan oleh pendengar atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan
wacana itu.
Peristiwa komunikasi yang berupa wacana, dapat dibedakan berdasarkan saluran yang
digunakan ataupun berdasarkan hal yang dipentingkan. Berdasarkan saluran yang digunakan ada
wacana yang menggunakan bahasa lisan (spoken discourse) dan wacana yang menggunakan
bahasa tulisan (writen discourse). Berdasarkan hal yang dipentingkan isi komunikasi itu dan ada
wacana yang bersifat interaksional, jika yang dipentingkan hubungan timbal balik.
Wacana lisan yang transaksional dapat berupa dapat berupa pidato, ceramah, atau
tuturan, dakwah, deklamasi, dan lain-lain. Wacana lisan yang interaksional dapat berupa
percakapan, tanya jawab (antara dokter dan pasien, antara polisi dan tersangka, antara jaksa dan
terdakwa/tertuduh, dan sebagainya), perdebatan (dalam sidang DPR, diskusi, seminar) dan lainlain.
Wacana yang transaksional dapat berupa instruksi, iklan, surat, pengumuman, novel,
cerpen, dan lain sebagainya. Wacana tulisan yang interaksional dapat berupa polemik, suratmenyurat antardua orang sahabat, kekasih dan lain sebagainya.
Di samping itu, apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (adressor)
dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa
adalah pendengar. Dalam wacana tulisan penyapa adalah penulis dan pesapa adalah pembaca.
Analisa wacana (discourse analysis) merupakan cabang linguistik (ilmu bahasa) yang
dikembangkan untuk menganalisis suatu kebahasaan yang lebih besar daripada kalimat atau
klausa. Tarigan (1984:24) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan telaah mengenai aneka
fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan secara berkesinambungan atau
untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antarkalimat
dan suprakalimat, maka peristiwa komunikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya
menguraikan atau menganalisis suatu unit kebehasaan, analisis wacana tidak terlepas dan penggunaan piranti cabang linguistik lainnya, seperti yang dimiliki oleh semantik, sintaktis, fonologi,
pragmatik, dan lain sebagainya.

Lebih dari itu, analisis wacana dalam menganalisis tuturan berupa bahasa, agar sampai
pada suatu makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksud
oleh pembicara dalam wacana lisan atau penulis dalam wacana tulisan, banyak menggunakan
pula sosiolinguistik, yaitu cabang linguistik yang berupaya menelaah penggunaan bahasa dalam
konteksnya. Oleh karena itu, analisis wacana berupaya menginterpretasikan suatu tuturan yang
tidak terjangkau oleh semantik tertentu, sintaktis, maupun cabang ilmu bahasa lainnya.
1.2. Ruang Lingkup Analisis Wacana
Ruang lingkup analisis wacana selain merujuk pada wujud objektif paparan bahasa berupa
teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks dan aspek pragmatik yang ada pada penutur
maupun penanggap. Yang dimaksud dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik yang ada
pada penutur maupun penanggap adalah keterkaitan dengan unsur luas teks. Dalam kaitannya
dengan unsur luar teks, masalah yang dibahas meliputi (1) implikatur (implicature) yang
berkaitan dengan konvensi kebermaknaan kata-kata dalam pertukaran tanggapan, (2)
praanggapan (presupposition) yaitu anggapan dasar dan pola appeanutan proposisi dalam
kalimat baik dikadirkan atau tidak untuk memahami suatu paparan bahasa, (3) referensi
(reference), yaitu pengertian yang dikembangkan penutur dalam paparan bahasanya sesuai
dengan hal yang diacu, (4) inferensi (inference) yaitu bentuk pengambilan kesimpulan oleh
penanggap sewaktu memahami suatu paparan bahasa.
Lingkup yang berkaitan dengan aspek tekstual antara lain meliputi (1) ciri pengembangan
topik dan tematisasi, (2) ciri struktur informasi, (3) analisis ciri sekuensi, (4) keastuan unit
struktur dan keselarasan relasi semantisnya, (5) prediksi tingkat keterterimaan untaian kalimat
dalam teks, dalam suatu peristiwa komunikasi.
Dalam menguraikan butir masalah butir masalah tersebut, ada anggapan dasar yang perlu
diperhatikan, yaitu (1) realitas yang bersifat ganda, memiliki suatu hubungan yang bersifat
abstrak dan holistik, (2) keberadaan suatu ralitas selalu dikondisi oleh tata aturan tertentu
sehingga sebagai sistem ralitas yang mungkin untuk dijelaskan (3) kebermaknaan suatu ralitas
bukan ditentukan oleh unsur tertentu secara isolatif, melainkan oleh keseluruhan unsur yang
membangun secara holistik, dan (4) sebagia struktur realitas dapat disegmatasikan unsurunsurnya tanpa melepaskan dari ciri tautan dalam totalitasnya.
1.3. Peristilahan (Wacana dan Teks)
Ada dua peristilahan yang sering menimbulkan pengertian yang bermacam-macam.
Kedua istialah tersebut adalah wacana (discourse) dan teks (text). Kedua istilah tersbeut perlu
diuraikan secara jelas agar tidak menimbulkan interpretasi yang rancu. Pada satu sisi, wacana dan
teks terkesan tidak ada perbedaan, tetapi dalam kenyataan pemakaian bahasa, kedua istilaah itu
memang berbeda.
Wacana lebih mengacu sebagai keseluruhan unsur yang membangun perwujudan paparan
bahasa dalam peristiwa komunikasi. Dengan demikian sebutan wacana bertalian dengan suatu
sistem yang bersifat makro, umum dan sekaligus abstrak. Dikatakan demikian karena unsur-unsur
pembangun wacana sebagai suatu sistem makro selain menunjukkan adanya hubungan sebabakibat, di dalamnya juga terdapat unsur-unsur yang hadir secara simultan dan memiliki hubungan
secara interdependensi.

Teks adalah wujud representasi dari wacana. Wujud konkretnya selain dapat berupa
bahasa lisan (spoken discourse) juga berupa bahasa tulisan (writeten discourse). Apabila dalam
tuturan lisan natural interlokutor ada dalam suatu interaksi, teks tertulis lazimnya tidak menampilkan adanya interaksi secara langsung. Apabila kita berangkat dari perspektif filsafat linguistik
seperti yang menjadi dasar kajian Strukturalisme Praha maupun Tatabahasa Fungsional analisis
wacana yang menjadi sasaran kajian adalah teks sebagia representasi wacana yang unsurunsurnya hadir secara simultan.
Meskipun yang menjadi sasaran kajian dibatasi hanya pada teks, bukan berarti paparan
bahasa itu didudukkan secara isolatif. Untuk menafsirkan makna serta memahami ciri aspek
formalnya secara keseluruhan, penelaah secara isolatif masih harus menghubungkan teks dengan
unsur-unsur lain secara makro. Misalnya, membedakan antara kohesi tekstual yang berkaitan
dengan pemerian ciri antarunsur dan bentuk relasi untaian kalimat dalam teks serta koherensi
wacana yang berkaitan dengan pemerian ciri makna secara keselarasan hubungan antarunit
semantisnya melalui penafsiranyang dihubungkan dengan dunia luar.
Ditinjau dari ciri keberadaannya secara makro teks merupakan wujud paparan bahasa
yang mengacu pada duni aluar tertentu dan difungsikan oleh penutur untuk menyampaikan
pengertian ataupun pesan tertentu kepada enanggap. Sementara ditinjau dari penanggapnya, teks
merupakan wahana penangkap pesan, karena semata-mata mealalui paparan bahasanyalah
penanggap dapat memahami pesan yang ingin disampaikan penutur. Pada sisi lain, teks itu sendiri
juga merupakan unit sistem yang unsur-unsurnya ada dalam hubungan interdependensial,
sehingga kata misalnya, tidak dapat dilepaskan dari struktur kalimat, begitu juga struktur kalimat
tidak dapat dilepaskan dari kata-kata yang membangunnya.
1.4. Bahasa, Tindakan, Pengetahuan, dan Situasi
Bahasa, tindakan, pengetahuan dan situasi dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan,
Beberapa tindakan dapat dibentuk hanya melalui bahasa (misalnya, permintaan maaf), sementara
tindakan lain dapat juga dibentuk secara verbal dan nonverbal (misalnya, menakut-nakuti seseorang). Sementara itu, apabila kita mempelajari bagaimana suatu bahasa digunakan dalam
interaksi sosial, akan jelas bagi kita bahwa komunikasi dengan menggunakan bahasa tidak
mungkin berlangsung tanpa pengetahuan dan asumsi-asumsi di antara penyapa dan pesapa atau
dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca.
Di samping itu, komunikasi dengan bahasa biasanya berlangsung dalam situasi tertentu.
Oleh karena itu, dalam peristiwa komunikasi antar abahasa dan situasi tidak dapat dipisahkan.
Misalnya, komunikasi yang dilakukan seorang teman sejawat pada umumnya akan menyapa
secara formal teman sejawat lain yang sedikit lebih senior, di depan bawahan mereka, di kantor.
Namun apabila mereka berjumpa di pasar, sapaan itu menjadi lain sama sekali, walaupun
maksudnya hampir sama, yaitu mereka saling menyatakan kehadiran mereka dalam hubungan
tertentu. Di pasar tentulah hubungan itu menjadi lebih akrab daripada di kantor. Misalnya:
(1) Di kantor A. Selamat pagi, Pak?
B. Selamat pagi
(2) Di pasar

A. Wah, mborong, Mas?


B. Ngantar ibu, Belanja.

Demikian juga dalam situasi pidato, orang cenderung menggunakna kata-kata seperti lelah sekali,
bagus, segan, dan sebagainya, sedangkan dalam pembicaraan santai di warung kopi oleh orang
yang sama, mungkin akan digunakna kata-kata yang lebih mengena, seperti loyo, maut, sungkan,
dan sebagianya. Sedangkan waktu marah orang mungkin akan menggunakan kata-kata seperti
goblok, tidak becus, brengsek, bukan kata-kata seperti kurang pandai tidak mampu, kacau seperti
yang diucapkan oleh orang yang sama dalam situasi tidak marah.
1.5. Analisis Wacana dan Lingustik
Analisis wacana merupakan cabang linguistik. Dalam aplikasi penggunaan bahasa seharihari, teori linguistik, khususnya sintaksis, menjadikan sebagai salah satu dasar pemahaman
bahasa. Sehingga dalam upaya menguraikan atau menganalisis suatu unut bahasa, analiis wacana
tidak terlepas dari penggunaan piranti cabang linguistik yang lain, seperti yang dimiliki oleh
semantik, sintaksis, morfologi, fonologi dan sebagianya.
Suatu hal yang menarik dari analisis wacana adalah kenyataan untuk selalu
mempertimbangkan batas-batas linguistik, walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa
dalam memahami bahasa hendaknya mempertimbangkan unit-unit kebahasaan, terutama teori
sintaksis dalam fenomena wacana, (Misalnya, A. Menulis B dalam konteks C). Dalam hal ini
seseorang tentu ingin tahu tentang konteks tindakan yang mana yang dijadikan acuan di antara
ketiganya. Apakah hal tersebut benar-benar linguistik? Apakah dalam konteks sosial tertentu? dan
sebagainya. Namun demikian, linguistik tetap menjadi dasar dalam tindak tutur, walaupun bukan
merupakan hal yang utama. Artinya pemahaman suatu wacana juga mempertimbangkan aspek
bunyi (fonologi), morfologi, sintaksis, sematik, di samping aspek-aspek lain yang mengiringinya
1.6. Analisis Wacana dan Sosiolinguistik
Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai bidang pengajian linguistik yang mempelajari
ciri dan fungsi variasi bahasa serta hubungan antara penutur dengan ciri dan fungsi tiu di dalam
suatu masyarakat bahasa. Dalam hal ini bahasa mempersyaratkan adanya manusia yang bersifat
sosial: tidak mungkin ada manusia sosial tanpa bahasa sebagai alat untuk bersosialisasi dan juga
sebaliknya pun berlaku, yaitu tidak mungkin ada bahasa tanpa manusia sosial. Bahasa manusia
selalu muncul dalam pemakaian dalam konteks situasi. Oleh karena itu pengajian bahasa yang
memadai harus memperhitungkan perspektif bahasa sebagia pengetahuan, yaitu apa yang
diketahui manusia dan perspektif bahasa sebagai tingkah lakusosial-bahasa dalam hubungannya
dengan manusia yang bersifat sosial. Bahasa tidak saja membawa makna fungisonal berdasarkan
keperluan berbahasa, tetapi juga makna sosial yang menunjukkan keakraban, keinformalan, atua
jawaban untuk menyatakan perasaan hormat.
Dalam perilaku sosialnya, manusia selalu sadar bahwa ia diperhatikan ia menadari
bagaimana tingkah lakunya itu dipandang dan dinilai oleh oran glain, dan bahwa ia berhati-hati
agar tindakannya tidak mengganggu hubungannya dengan orang lain, bahkan ia menyesuaikan
tingkah laku dan penampilannya dengan keadaan berdasarkan siapa yang sedang siap ayang
sedang mendapainginya. Hal ini berlaku pula pada tindakannya dalam berbahasa. Orang akan
mematuhi sosiolinguistik tertentu agar tidak mengganggu orang lain dengan memilih ujaran yang
sesuai dengan orang yang menjadi lawan biacaranya dan sesuai dengan situasi pembicaraan.

Apabila seseorang ingin memahami dan menggunakan bahasa tertentu, tidak cukup hanya
mempelajari bahasa itu saja, melainkan jug aperlu mempelajari masyarakat pemakaiannya serta
kaidah-kaidah sisoal yang banyak menentukan tingkah laku bahsa itu dalam interaksi sosial.
Suatu ujaran yang sama dapat bermakna lain karena konteks sosialnya yang lain. Misalnya,
seorang ayah yang baru pulang dari kantornya, melihat meja di ruang tamu kurang beres
mengatakan.
(3) Siapa main-main di ruang tamu ini?
Bagi inem pembantu rumah tangga, ujaran itu ditafsirkan :

(4) Bereskan ruang tamu ini !


Bagi sang istri ujaran itu merupakan peringatan baginya untuk senantiasa mengawasi
putrinya yang masih kecil agar rajin belajar dan tidak main-main saja sehingga ujaran di atas
dimaknai :
(5) Ani tidak belajar ya, Bu ?
Sedangkan Ani yang belum membereskan ruang tamu setelah memakainya bermain
menafsirkan ujaran itu sebagai :
(7) Siapa saja yang memakai ruang tamu harus mengaturnya kembali supaya rapi
Jadi pemahaman bahasa yang lengkap adalah pemahaman bahwa konteks sosialnya.
1.7. Latihan
(1) Jelaskan, apa yang dimaksud dengan analisis wacana !
(2) Jelaskan pebedaan antara teks dan wacana!
(3) Sebutkan ruang lingkup analisis wacana !
(4) Jelaskan hubungan bahasa, tindakan, pengetahuan, dan situasi dalam wacana !
(5) Jelaskan hubugan analisis wacana dan linguistik!
(6) Jelaskan hubungan analisis wacana dan sosiolinguistik!

WACANA LISAN DAN TULISAN


Dalam suatu peristiwa komunikasi yang menggunakan suatu bahasa, seseorang cenderung
mengalami kesulitan membedakan antara wacana lisan dan tulisan. Wacana lisan tentunya
memiliki perbedaan dengan wacana tulisan, walaupun sering kita jumpai penggunaan bahasa tulis
yang dilisankan atau sebaliknya, wacana lisan yang ditulis. Untuk kepentingan kajian bahasa,
wacana lisan yang tulis tidak dapat disebut sebagai wacana tulisan, demikian juga wacana tulisan
yang dilisankan, tidak dapat disebut wacana lisan.
Wacana lisan cenderung diiringi oleh berbagai faktor termasuk faktor-faktor non bahasa,
sehingga wacana lisan sering pendek-pendek dan kurang lengkap, serta kurang gramatikal.
Sebaliknya, wacana tulisan biasanya lengkap dan lebih gramatikal, penuh informasi penjelas agar
tidak disalahtafsirkan oleh pembaca. Apabila wacana lisan penuh dengan bentuk-bentuk
informasi, wacana tulisan lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk baku, kecuali wacana yang
memang disengaja oleh penulisannya untuk menonjolkan bentuk-bentuk informal untuk efek
tertentu, seperti dialog di dalam cerita pendek, atau novel, surat kepada keluarga dekat atau teman
akrab, wacana yang mengungkapkan kelucuan, dan sebagainya.
Ada beberapa karakteristik wacana lisan yang dapat membedakan dengan wacana tulisan.
Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Kalimat wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal) bila dibandingkan dengan
wacana tulisan;
a. Wacana lisan berupa kalimat yang tidak lengkap, bahkan sering hanya berupa urutan
frasa;
b. Wacana lisan berisi penataan sub-ordinatif lebih sedikit, bila dibandingkan dengan
wacana tulisan;
c. Dalam percakapan, kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berbentuk deklaratif
aktif dan sedikit sekali yang berbentuk pasif.
(2) Wacana lisan jarang menggunakan penanda hubung (piranti kohesi) karena didukung oleh
adanya konteks atau situasi penuturan;
(3) Wacana lisan cenderung menggunakan frasa benda yang panjang, sedangkan dalam wacana
tulisan tidak demikian;
(4) Kalimat-kalimat dalam wacana lisan menggunakan struktur topik-komen, sedanhkan wacana
tulisan cenderung berstruktur subjek-predikat;
(5) Dalam wacana lisan, pembicara dapat mengubah struktur atau memperluas ekspresi yang
dianggap kurang tepat;
(6) Dalam wacana lisan, pembicara cenderung menggunakan kosa kata yang bersifat umum;
(7) Dalam wacana lisan, pembicara sering ,mengulang bentuk sintaksis yang sama;
(8) Dalam wacana lisan, pembicara dapat menggunakan sejumlah filler misalnya, saya pikir,
Anda ketahui, jikaAnda mengetahui apa yang saya maksud, dan sebagainya;
(9) Dalam ujaran informasi jarang terjadi konstruksi pasif.
Agar pemahaman kita lebih jelas, tentang perbedaan bahasa lisan dan bahasa tulisan,
perhatikan contoh wacana lisan berikut ini.

Nenek bikin setumpuk peraturan yang harus gua jalani. Habis sekolah kagak boleh ke
mana-mana. Siang harus istirahat. Sore mandi, terus belajar. Jajan es atau gado-gado pun
nggak boleh. Apalagi nonton pilem. Jangan biasa jajan es,kata nenek, di rumah kan banyak
jajan. Dan selalu dikatakan, Kau harus menabung. Sebal rasnya, dengan petuah yang setiap
hari mendengung di telinga ini. Anehnya, ayah dan ibu juga kakak sama saja; mereka selalu
membela nenek. Pokoknya gua kesal deh gara-gara nenek datang di rumah.
Bandingkan dengan wacana tulisan berikut ini.
Dalam suatu penelitian lapangan tidak mungkin seseorang peneliti dapat mengamati
(obserasi) seluruh jumlah subjek yang diteliti. Seorang peneliti yang harus mengamati kehidupan
kaum gelandangan di kota tidak mungkin mempunyai waktu dan biaya yang cukup untuk
mendatangi semua gelandangan yang ada di kota itu. Ia hanya dapat meneliti beberapa ratus
orang di beberapa tempat saja. Bahka, seorang peneliti yang harus meneliti suatu desa yang
terdiri dari, misalnya, 3000 penduduk, kalau ia hendak melaksanakan penelitiannya itu secara
mendalam, tidak mungkin dapat mengamati, mewawancarai, dan mengetes ketiga ribu orang itu.
Sudah baik kalau ia meneliti 300 orang diantaranya saja. Dengan demikian, sessus penduduk
yang diadakan di Indonesia tahun 1971 dilakukan menyeluruh hanya mengenai tiga variasi saja,
yaitu jumlah jiwa, umur, dan seks; sedangkan untuk data penduduk yang lebih mendalam, seperti
pekerjaan, pendapatan, tingkat pendidikan, agama, dan mobilitas, hanya diadakan dengan
mengambil bagian-bagian kecil dari seluruh penduduk di beberapa tempat saja. Bagian-bagian
dari keseluruhan (oleh para ahli statistik disebut populasi atau universe) yang menjadi
sesungguhnya suatu penelitian itulah yang disebut sampel.
Walaupun demikian terdapat pula wacana tulisan yang bentuknya sangat mirip dengan
bahasa tulisan. Wacana tulisan tersebut banyak dijumpai di dalam advertensi, label berbagai hasil
produksi obat-obatan, dan makanan, pengumuman, serta peringatan yang dipasang di tempat
tertentu. Perhatikan beberapoa contoh berikut ini.
(1) Kocok dulu sebelum diminum
(2) Hati-hati banyak anak
(3) Tenang ada ujian
(4) Ngamen gratis
Ujaran (1) terdapat di dalam label suatu obat batuk. Ujaran tersebut merupakan instruksi
kepada pemakai obat agar mengocok botol yang berisi obat batuk tersebut sbelum obat batuk itu
diminum. Dalam ujaran (1) obat batuk ini tidak ditulis. Ujaran (2) merupakan peringatan kepada
pengendara kendaraan bermotor supaya berhati-hati, tidak ngebut, sebab di kawasan itu banyak
terdapat anak kecil yang sedang bermain-main dan berlalu lalang di jalan. Bagi petugas KB,
peringatan itu lucu kedengarannya, sebab sudah hati-hati tetapi ternyata masih banyak anak.
Ujaran (3) juga dapat diterima sebagai peringatan supaya orang-orang yang berada ditempat itu
tenang karena ada ujian. Dan ujaran (4) dipahami oleh para pengamen untuk tidan ngamen di
tempat tersebut, sebab tidak akan mendapatkan imbalam apapun.
Apabila wacana lisan dalam bidang tertentu mengalami pemendekan dan dan
penghilangan pada bagian-bagian tertentu akan lebih hebat lagi. Hal ini terjadi karena wacana
lisan banyak dinatu oleh berbagai faktor yang memungkinkan penghilangan itu, termasuk
misalnya situasi dan suasana di tempat peserta ujaran berinteraksi, hubungan pribadi sehingga

banyak pengetahuan yang dipahami bersama, sehingga bnyak hal yang dapat dipradugakan,
variasi bahas ayang digunakan dengan informasi tertentu, dan berbagai macam piranti para
linguistik Misalnya, seseorang yang merasa sakunya digerayangi oleh tukang copet, jika ia
memiliki keberanian yang cukup mengucapkan satu patah kata dengan intonasi tertentu, seperti
contoh berikut ini.
(5) copet!
Para anggota satpam dan orang-orang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab
terhadap keamanan lingkungan segera bertindak untuk menangkap si pencopet
Latihan:
(1) Coba Saudara jelaskan ciri-ciri wacaha lisan!
(2) Berdasarkan ciri-ciri (soal nomor 1), coba Saudara berikan contoh!
(3) Jelaskan pula ciri-ciri wacana tulisan!
(4) Berdasarkan ciri-ciri wacana tulisan yang Saudara Jelaskan, Coba saudara berikan contoh!

2.1. Hakekat Konteks Situasional


Makna suatu tuturan dalam sutau peristiwa komunikasi, dapat dikatakan benar jika diketahui
siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, suatu
peristwia komunikasi akan bergfungi dengan baik jika terjadi pada konteksnya. Konteks
dalam hal ini memegang peranan penting dalam analisis wacana. Singkatnya pengetahuan
analisis tentang unsur-unsur konteks akan memudahkan seseorang dalam menginterpretasikan
isi dan bentuk wacana. Yang dimaksud konteks dalam hla ini adalah segala sesuatu yang ada
di sekeliling teks, seperti pembicara, pendengar, situasi, tempat, topik pembicaraan, waktu,
saluran, dan bentuk penyampaian. Berbeda salah satu diantaranya akan berbeda pula cara atau
bahasa atau makna tuturan yang disampaikan.
2.1. Macam-macam Konteks dalam Wacana
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu: (1) Konteks fisik
(physical contex) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi,
obyek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari peran
para peran dalam peritiwa komunikasi itu, (2) konteks epistemis (Epistemic contex) atau latar
belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar; (3)
konteks lingustik (lingustics contex) yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan
yang mendahului satu kalimat atau tuntutan tertentu dalam peristiwa komunikasi, (4) konteks
sosial (social contex) yaitu relasi sosial dan latar setting yang menlengkapi hubungan antar
pembicara (penutur) dengan pendengar (syafiie dalam Lubis, 1993).
Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, ciri-ciri
konteks harus dapat diidentifikasikan cermat isi pesan dalam peristiwa komunikasi. Pertama,
mempertimbangkan pentingnya pemahaman tentan gkonteks linuistik, karena dengna itu kita
bisa memahami dasar suatu tuturan dalam suatu komunikasi. Tanpa mengetahui struktur
bahasa dan wujud pemakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Namun pengetahuan tentang struktur bahasa itu saja jelas tidak cukup ini harus dilengkapi
pengetahuan konteks. Fisiknya (1) yaitu dimana komunikasi itu terjadi, apa objek yang

dibicarakan dan begitu juga bagaimatana tindakan pembicara dalam suatu peristiwa
komunikasi.
Ditambah lagi pengetahuan tentang konteks sosial (1) yaitu bagiamana hubungan antara
pembicara dan pendengar dalam lingkungan sosialnya. Dan yang terakhir harus dipahami
pula hubungan epistemiknya (2) yaitu pemahaman atau pengetahuan yang sama-sama
dimiliki baik oleh pembicaramaupun pendengar.
Kalau si pembicara mengemuakakan (X) umpamanya, dan si pengengar tidak tahu apa (x)
itu, maka komunikasi akan macet, seperti kalau kita membicarakan tentang kalimat umpamanya,
dengan anak yang baru masuk SD tentu komunikasi akan macet, karena si pendengar (anak
tersebut) tidka memahami konteks epistemik tersebut.
2.2. Ciri-ciri Konteks
Sudah kita bicarakan bahwa dalam tiap-tiap peristiwa percakapan (tutur) itu selalu
terdapat faktor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu seperti penutur mitra bicara,
pokok pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain. Sipembicara akan memperthitungkan dengan
siapa ia berbicara, tentang apa yang di bicarakan, dimana pembicaraan berlangsung, kapan
pembicaraan terjadi, serta bagaimana situasi pembicaraan, dan lain-lain yang akan memberi
warna terhadap pembicaraan itu. Keseluruhan peristiwa itu disebut speech event atua peristiwa
tutur.
Peristiwa semacam itu jelas terlihat pada suatu diskusi, misalnya disitu jelas akan terlihat
(1) tempat diskusi, (2) peserta diskusi, (3) suasana diskusi, (4) tujuan diskusi, (5) aturan diskusi,
(6) ragam diskusi, dan faktor lain yang terdapat dalam diskusi itu.
Hymes (dalam Lubis, 1993) mengemuakakan adanya faktor-faktor yang menandai
terjadinya peristiwa itu sengan singkatan SPEAKING, yang masing-masing fonem merupakan
faktor yang dimaksudkan.
S

: Setting atau scene, yaitu tempat bicara atau suasana bicara (ruang diskusi dan suasana
diskusi)

: Participant, yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi adalah seluruh
peserta diskusi

: End atau tujuan, yaitu tujuan akhir diskusi

: Act, yaitu suatu peristiwa dimana seseorang pembicara sedang mempergunakan


kesempatna bicaranya

: Key, yaitu nada suara dan ragam bahas yang dipergunakan dalam menyampaikan
pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya dan cara mengemukakan
pendapatnya.

: Instrument, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat, Misalnya lisan, tertulis, lewat
telpon dan sebagianya

: Norm atua morma, yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap

: Genre, yaitu jenis kegiatan diskusi yang memiliki sifat-sifat lain dari jenis kegiatna tutur
yang lain
Dalam bukunya yan glain Hymes (dalam Lubis, 1993) mencatat tentang ciri-ciri konteks

yang relevan itu adalah : (1) addressor (pembicara), (2) addreses (pendengar), (3) topik

10

pembicaraan, (4) setting (waktu, tempat), Channel (saluran; bahasa lisan, tulisan dan sebagainya,
(5) code (dialek dan gaya penuturan), (6) message form atau bentuk pesannya (debat, diskusi,
seremoni agama), (7) event (kejadian).
Dibawah ini, akan kita bicarakan ciri-ciri itu dan akan kita perlihatkan betapa pentingnya
faktor-faktor itu dalam suatu peristiwa komunikasi.
2.2.1. Pembicara
Mengetahui

si

pembicara

pada

suatu

sistuasi

akan

memudahkan

untuk

menginterpretasikan pembicaraannya. Umpamanya saja seseorang mengatakan: Operasi harus


dilaksanakan. Kalau kita ketahui si pembicara adalah dokter, tentu kita akan paham bahwa yang
dimaksud operasi adalah operasi terhadap manusia atu hewan. Tetapi jika yang berbicara itu
seorang ahli ekonomi, kita akan paham pula bahwa yang dimaksud dengan operasi itu adalah
operasi dalam bidang ekonomi seperti droping beras ke pasar dari pemerintah untuk
menyetabilkan harga, dan bukannya operasi terhadap hewan atau manusia.
Kita lihat bahwa sebuah kalimat yang begitu pendek mempunyai interpretasi yang begitu
banyak berasarkan pembicaranya. Lain pembicara, lain pula artinya.
Kalimat Operasi harus dilakukan segera akan berarti
(1) pembedahan

(pembicara dokter)

(2) dropping bahan makan ke pasar

(pembicara ahli ekonomi)

(3) pencurian, perampokan

(pembicara penjahat)

(4) razia

(pembicara polisi)

(5) mencair mangsa

(pembicara pramuria)

Jadi jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsirkan


pembicaranya. Kakau tidak diketahui siapa pembicaranya, maka akan sulitlah kalimat-kalimat
tersebut.
2.2.2 Pendengar
Kepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar,
terhadap siapa ujaran itu ditujukan akna memperjelas makna ujaran itu, Berbeda-beda penerima
ujaran itu, akan berbeda pulalah tafsiran terhadapa apa yang didengarnya.
Cobakah perhatikan tuturan berikut ini:
(1) Tempat itu jauh sekali (kira-kira 10 km).
(2) Jangan angkat, itu berat (kira-kira 5 Kg)
Pendengar atau yang diajak bicara di sini tentulah seorang anak yang masih kecil,
berumur sekitar 6-7 tahun. Kalau yang diajak berbicara itu berumur 20-30 tahun atau orang
dewasa, jelas pengertian jauh dan berat dalam kalimat tersebut, bukanya 10 atau 5 kg, tetapi
mungkin 50 km dan 70 kg.
3.5.3. Topik Pembicaraan
Sama pentingnya dengna pembicara adalah topik pembicaraan. Dengan mengetahui topik
pembicaraan dengan mudahlah bagi seseorang yang mendengar atau yang membaca untuk
memahami makna pembicaraan atau tulisan. Namun dalam kehidupan sehari-hari apa yang
disebut topik sering sangat kompleks sehingga para ahli wacana menamakannya kerangka topik.
Berbiara tentang pembangunan daerah, misalnya, orang bisa berbicara tentang pembangunan
jalan, gedung, organisasi masyarakat, kedisiplinan berorganisasi, pembangunan di bidang mental

11

dan sebagainya. Peserta ujaran di dalam suatu interaksi dalam menggunakan kerangka topik atau
tidak, selama proses interaksi tersebut bernegosiasi tentang topik yang mereka ajukan. Mungkin
mereka berakhir dengan suatu topik yang menarik untuk dibicarakan bersama atua berhenti pada
garis besar yang masih terangkum di dalam kerangka topik
2.2.3. Saluran (Channel)
Disamping partisipan dan topik pembicaraan, saluran (Channel) juga sangat penting
meninterpretasikan makna ujaran. Saluran yang digunakan tulisan, lisan, isyarat, kentongan,
telegram, dan sebagainya. Kebiasaan orang Indonesia ialah mereka selalu berhati-hati apabila
mereka menyampaikan berita secara tertulis orang amerika yang menerima surat dari teman
meraka, orang Indonesia, sering terkejut karena keformalan surat-surat mereka. Orang Amerika
mengira bahwa teman-teman orang Indonesia itu telah berubah, tetap akrap lagi, bukan teman
seperit waktu masih bergaul sebelumnya dan sebagianya.
Pemilihan saluran dalam suatu peristiwa komunikasi tentu bergantung kepada beberpaa
faktor, kepada siapa ia berbicara, dalam situasi yang bagaimana (dekat atau jauh). Kalau dekat
tentu lebih baik melalui saluran lisan, tetapi kalau jauh tentulah dengan tulisan atua telegram.
Demikian juga kalau sesuatu yang hendak disampaikan harus dirahasikan, dan tidak boleh
didengar oleh orang lain tentulah si penyampai informasi itu akan berbisik, dan sebagainya.
2.2.4. Kode (Code)
Kalau sarluaran digunakan wacana lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah suatu
dialek bahasa itu. Atau bisa juga dengan memakai salah satu register yang paling tepat untuk hal
itu. Seseorang yang mengungkapkan isi hatinya dalam bahsa daerah kepada temannya akan
merasa lebih bebas, akrap, dan mudah berkembang ke arah hubungan pribadi. Di beberapa daerah
termasuk Jawa Timur seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia ketika disapa dalam bahasa
daerah pastilah ada perasaan enggan, hormat, dan sebagainya pada dirinya sehingga ia memilih
kode formal.
2.2.5. Bentuk Pesan (Massage Form)
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan ini bersifat
fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak smapai kepada si pendengar karena bentuk
pesanya tidak sesuai dengan si pendengar, dengan situasinya. Menyampaikan informasi tentang
ilmu pasti misalnya dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan penyampaian ilmu
sejarha atau ilmu bahasa. Seseorang yang pandai bergurau, dapat menyampaikan suatu berita
penting sehingga benar-benar diterima sebagai berita. Di Jawa Timur terdapat kebiasaan di
kalangan sementara orang yang pandai menyampaikan isi hati mereka lewat parikan. Di tempat
lain ada orang y ang pandai menyampaikan pesan-pesan lewat khotbah, dan ada pula yang lewat
drama, puisi, atau lewat surat-surat cinta, dan sebagainya.

2.2.6. Peristiwa (Event)


Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan itu
sendiri. Setiap peristiwa itu akan berbeda cara penuturnya karena setiap peristiwa menghendaki
tutur yang tertentu. Peristiwa tutur seperti wawancara akan berbeda dengan peristiwa tutur di
pengadilan antara hakim dengan terdakwah. Suatu pengajian misalnya, dapat berisi antara lain

12

suatu khotbah yang diselingi lelucon. Suatu arisan oleh ibu-ibu yang terhormat bisa diisi pemeran
kekayaan, cari menantu, atau transaksi tertentu.
2.2.7. Tempat atau Waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu dan hubungan antara keduanya, dalam suatu peristiwa
komunikasi dapat memberikan makna tertentu. Dimana suatu tuturan itu berlangsung, di pasar, di
kantor dan lain-lain. Demikian juga kapan suatu tuturan itu berlangsung, pagi hari, malam hari,
suasana santai, resmi, panas, tegang, dan sebagainya.
Selain ciri konteks, sebagaimana diuraikan di atas, nada pembicara, misalnya, serius,
sinis, sarkastik, rayuan dan lain-lain juga menjadi pertimbangan dalam analisis wacana (konteks).
Perhatian tuturan berikut ini
(1) Mas, di sini ada ujian
(2) Kopi dua, pisang goreng tiga, onde-onde Satu
(3) Meja bundar diatur di depan, yang panjang di belakang dan samping, jangan lupa
memasang taplak meja.
(4) Maaf Pak, buku Bapak sudah saya kembalikan, Ibu yang menerimanya kemarin
Ujaran (1) disampaikan oleh seorang dosen muda kepada sekelompok mahasiswa yang
bergerombol di dekat ruang ujian. Ujaran (2) merupakan transaksi yang terjadi di warung kopi.
Ujaran (3) disampaikan oleh KTU kepada para pengawai yang sedang menata meja kursi untuk
suatu pesta perpisahan Ujaran (4) dismapaikan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya. Bentuk
bahasa, cara penyampaiannya, dan makna yang tersurat maupun tersirat dapat dipahami sesuai
dengan siapa peserta ujarannya, bagiaman hubungan mereka, dan lain sebagainya.
Suatu wacana dapat diinterpretasikan maknanya dengan bantuan konteks tersebut.
Biasanya

kombinasi

antara

dua

atau

tiga

konteks

yang

menonjol

sudah

mampu

meninterpretasikan suatu wacana dengan baik. Berikut ini contoh wacana yang dipetik dari buku
cerita Seri Lupus berjudul bangun Dong Lupus (Gramedia, Jakarta, 1988)
(5) Boim terharu, Pagi itu dia menerima jawaban atas ajakannya nonton kemarin sore. Surat itu
diberikan pembantu Mia ketika Boim mau berangkat sekolah: Bang Boim yang kece..., Bur
got,. Setelah diteliti ternyata Mia emang nggak punya acara nanti sore, Jadi kita bisa nonton.
Jemput ya jam setengah tujuh. Salam manis Mia.
Kutipan tersebut diambil dari sebuah roman picisan gaya baru yang sangat laris. Jadi,
konteksnya tertulis. Namun, kutipan itu mengimplikasikan kepada pembaca bahwa bagian
kutipan sesudah titik dua itu adalah surat dari Mia kepada Boim. Karena surat itu sangat informal
gaya bahasanya sangat mirip dengan variasi bahasa lisan. Adapun bagian atas sebelum titik dua,
nampak lebih formal, yang disampiakan oleh pembawa cerita. Kecuali saluran kutipan di atas
juga dapat dilihat dari kontek kode yang digunkaan. Dari pilihan kosa kata dan susunan
strukturnya, dapat dinyatakan bahwa bagian atas bersifat agak informal, sedangkan bagian bawah
sangat informal. Salanjutnya kutipan tersebut dapta dilihat dari konteks bentuk dan isi pesan.
Bagian bawah kutipan itu berarti jawaban mengiyakan dari seorang gadis kepada kawan barunya,
seorang pemuda, nampaknya gaya bahasa para remaja masa kini seperti yang tertulis itu. Dari
bentuk pesan yang ada,nampaknya ada keakraban antara Mia dan Boim, sedangkan keakraban
antara penulis dan pembaca tidak seakrab mereka.

13

2.2.8. Prinsip Interpretasi Lokal dan Analogi


Prinsip

interpretasi

lokalmengharuskanpendengaruntukmelihatkonteksyang

terdekat.Prinsip interpretasilokalmemberikan tuntutankepada pendengar, pembaca untuk tidak


menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar dapat diperoleh interpretasi yang
paling mendekati maksud aslinya yang disampaikan oleh pembicara atau penulis. Prinsip ini
sangat bergantung kepada kemampuan pendengar/pembaca dalam menggunakan pengalaman
masa

lampau

yang

telah

dimiliki

mengenai

kejadian-kejadian

yang

sama,

untuk

menginterpretasikan gejala kebahasaan yang dijumpainya. Pengalaman akan peristiwa-peristiwa


yang sama itulah yang memungkinkan pendengar/pembaca untuk menentukan apa kira-kira
maksud suatu wacana itu.
Suatu wacana ditafsirkan dengan mengingat wacana lain yang semacam, yang sudah
pernah diketahui oleh pendengar, dengan cara analogi atau prinsip analogi. Prinsip analogi
mengharuskan pendengar/pembaca menginterpretasikan suatu teks, seperti yang telah diketahui
sebelumnya, kecuali ada suatu pemberitahuan bahwa dari sebagaian dari teks tersebut diubah. Di
suatu tempat yang terpencil misalnya, terdapat seorang penjual bensin, bensin campur, dan solar.
Seorang pembeli bensin campur tentunya berdasarkan analogi dari pengalaman sebelumnya
mengetahui bahwa penjual oli tersebut menjual bensin bercampur oli walaupun di atas papan
yang sangat kecil ditulis dengan huruf-huruf berdesakan DI SINI JUAL BENSIN CAMPUR
SOLAR.
Pada dasarnya pendengar/pembaca selalu berusaha, berdasarkan kedua prinsip tersebut,
untuk dapat menginterpretasikan wacana sebaik mungkin. Prinsip lokalitas dan prinsip analogi
dalam analisis wacana ini senada dengan konsep koheren (coherence) dalam pragmatik.
Koherensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan bahwa kalimat-kalimat yang berurutan dalam
suatu wacana dianggap mempunyai kaitan satu sama lain, walaupun tidak ada tanda-tanda
linguistik yang tampak. Dengan demikian, asumsi mengenai koherensi ini hanya akan
menghasilkan satu interpretasi saja, bila unsur-unsur pesan dipandang sebagai berkaitan erat,
dengan maupun tanpa adanya tanda linguistik yang tampak. Dengan demikian, asumsi mengenai
koherensi ini hanya akan menghasilkan satu interpretasi saja, bila unsur-unsur pesan dipandang
sebagai berkaitan erat, baik dengan maupun tanpa adanya tanda linguistik yang tampak.
Latihan:
(1) Jelakan apa yang dimaksud dengan konteks situasional dalam wacana!
(2) Jelaskan macam-macam konteks situasional yang Saudara ketahui!
(3) Jelaskan pula ciri-ciri konteks situasional dalam analisis wacana !

FENOMENA PRAGMATIK DALAM WACANA


3.1. Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan (Conversational Implicature) yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Jika ada
dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan lancar berkat adanya
semacam kesepakatan bersama. Kesepakatan itu antara lain, berupa kontrak tak tertulis bahwa

14

ikhwal yang dibicarakan tersebut, ahrus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau
keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat (yang dipersambungkan itu).
Secara lepas, maksudnya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara literal pada kalimat itu
sendiri. Jadi, konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat
apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasilan (atau implicatium).
Kalimat Sudah jam sembilan ?, misalnya jika ditinjau dari aspek strukturnya, dapat
dianalisis, antara lain, sebagai kalimat yang tidak memiliki subjek, sebagai kalimat yang
merupakan kalimat berita (deklaratif). Kalimat itu dapat berupa jawaban (yang informatif)
terhadap pertanyaan jam berapa sekarang ? Akan tetapi, jika kalimat Susah jam sembilan itu
diucapkan oleh seorang ibu yang mengelola rumah pondokan (kost) mahasiswi dan diarahkan
kepada seorang mahasiswa yang sedang bertamu menemui mahasiswi anak semangnya, maka
kalimat itu dapat diartikan sebagai perintah pengusiran secara tidak langsung.
Pada situasi yang sama, dengan informasi yang sama (yakni, perintah menyuruh pulang
tamu pria yang sudah waktunya meninggalkan rumah pondokan putri itu), alih-alih kalimat
Sudah jam sembilan, dapat pulasang ibu rumah pondokanitu menggunakan Sudah jam berapa
sekarang ? Sudah barang tentu pemilihan mengenai yang mana di antara kedua kalimat tersebut
yang diucapkan akan memberikan dampak yang berbeda pada sipembicaradanpada si lawan
bicara. Jika dapat memilih yang mana di antara kedua kalimat itu yang diucapkan oleh sang ibu
rumah pondokan, tentu saja si mahasiswa itu akan merasa lebih enak ditegor dengan kalimat
deklaratif itu daripada dengan kalimat interogatif.
Contoh lain, misalnya seorang ibu yang menyuruh anak gadisnya membuat minuman
untuk ayahnya cukup mengimplikasikan tuturan sebagai berikut.
(1) Ibu

: Ati, itu air yang sedang direbus barang kali sudah mendidih

Anak

: Ya Bu, Bapak kopi atau teh ?

Dengan memperhatikan kebiasaan ayahnya yang suka minum kopi dan teh, Ati
memahami implikatur yang dimaksudkan ibunya, namun ingin ketegasan dari ibunya tentang
pilihan ayahnya pada waktu itu. Dengan menggunakan prinsip kerja sama, dengan pengalamanpengalaman sebelumnya, Ati segera ke dapur dan mengambil ceret yang airnya sedang mendidih
karena Ati yakin bahwa ibunya selalu merebus air di dalam ceret di dapur. Jadi, implikatur akan
dengan mudah diupahami jika antara pembicara dan pendengar telah berbagi pengalaman dan
pengetahuan.
Konsep tentang implikatur percakapan, pada umumnya berangkat dari asumsi yang
dikemukakan oleh Grice dalam Nababan (1987 : 31) bahwa tindakan berbahasa memandu
tindakan orang dalam percakapan untuk mencapai hasil yang baik. Tindakan tersebut merupakan
kerja sama yang diperlukan untuk dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien.
Perangkat asumsi itu menurut Grice, terdiri dari empat aturan percakapan (maxims of
conversation) yang mendasar yang dipandang sebagai dasar umum (general principles) yang
mendasari kerja sama penggunaan bahasa yang efisien yang secara keseluruhan disebut dengan
Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle).
Secara umum, analisis implikatur percakapan dalam wacana berdasarkan pada prinsip
umum percakapan ditambah sejumlah konvensi atau maksim yang pada umumnya dipakai
seorang pembicara. Prinsip umum percakapan tersebut adalah Berikan bantuanmu seperti yang

15

dibutuhkan pada tingkat mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran
pembicaraan di mana kamu terlibat di dalamnya. Untuk menopang pemahaman kita tentang
implikatur percakapan, berangkat dari prinsip umum percakapan, berikut ini akan dikemukakan
empat maksim percakapan sebagaimana dikemukakan di atas. Keempat maksim tersebut adalah
kuantitas, kualitas, dan cara.
3.2. Maksim Kuantitas
Yang dimaksud dengan maksim kuantitas adalah Berikan bantuanmu seinformatif yang
dibutuhkan (untuk maksud pertukaran pembicaraan). Jangn memberikan bantuan lebih informatif
dari yang dibutuhkan.
3.3. Maksim Kualitas
Yang dimaksud dengan maksim kualitas adalah Jangan mengatakan sesuatu apabila
kamu yakin bahwa hal itu salah. Jangan berkata apabila kamu kekurangan bukti yang cukup.
3.4. Maksim Hubungan
Yang dimaksud dengan maksim hubungan adalah relevankan sesuatu yang dikatakan
itu.
3.5. Maksim Cara
Yang dimaksud dengan maksim cara adalah Sajikanlah sesuatu itu dengan jelas; Hindari
ketidakjelasan pernyataan; Hindari kedwiartian; singkatlah, teraturlah.
Di samping prinsip umum sebagaimana dikembangkan dalam empat maksim percakapan
di atas, Grice juga menyebut adanya aturan-aturan lain (yang umpamanya bersifat sosial, estetis,
atau susila/moral). Aturan-aturan ini biasanya disebut dengan prinsip kesopanan atau dasar
kesopanan (politeness Principle). Prinsip ini kesopanan ini diperlukan untuk melengkapi
kekurangan yang ada pada prinsip kerja sama. Oleh karena itu, prinsip kesopanan ini dipandang
sebagai pelengkap prinsip kerjasama yang dapat menanggulangi hal-hal yang tidak atau sukar
diterangkan dengan prinsip kerja sama.
Prinsip kesopanan ini memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact
maxim), maksim kemurahan (generocity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim),
maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim
kesimpatisan (sympathy maxim). Sebagai contoh dapat diperhatikan pada tuturan berikut ini.
(2) A : Betapa pandainya orang itu.
B : Betul, dia memang pandai.
(3)

A : Bahasa Inggris sukar, ya?


B : (siapa bilang), mudah (sekali).

(4) A : Aku gagal di UMPTN.


B : Jangan sedih. Banyak orang seperti kamu.
Contoh tersebut di atas menunjukkan maksim penerimaan (tuturan 2 dan 3), maksim
kesimpatisan (4).

16

3.6. Praanggapan
Praanggapan (dalam bahasa Inggris Presupposition) adalah dasar atau penyimpulan dasar
mengenai konteks dan situasi berbahasa (= menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa
(kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar, penerima bahasa itu, dan sebaliknya
membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalinmat dan sebagainya) yang dapat
dipakainya untuk mengungkapkan maksa pesan yang dimaksud.
Praanggapan merupakan pengetahuan bersama (common ground) antara pembaca dan
pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Sumber praanggapan adalah pembicara. Pembicaralah
yang beranggapan bahwa pendengar memahami apa yang dipraanggapkan. Suatu tuturan yang
diungkapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengsn pengucapan kslimat itu, disertakan pula
tambahan makna yang tidak dinyatakan, tetapi tersirat dalam pengucapan kalimat itu. Misalnya,
seperti yang terjadi pada konteks berikut ini. Saya menitipkan barang saya kepada seseorang
(yang tinggal di kota lain) untuk dijualkan, tetapi sudah lama sekali orang yang saya titipi barang
itu tidak juga memberi kabar dan mengirimkan uang hasil penjualan barang saya itu. Perhatikan
kalimat yang saya ucapkan kepada orang itu pada waktu saya menelponnya, berikut ini. Kalau
barang saya itu sudah laku, uangnya jangan dikirimkan ke alamat rumah, tetapi ke alamat kantor
saja. Ini alamat kantor saya....
Yang dinyatakan (asserted) pada kalimat itu adalah pemberitahuan mengenai cara
pengiriman uang dan alamat kantor, tetapi yang dipraanggapkan (presupposed) adalah bahwa
orang yang ditelpon itu masih memiliki tanggungan yang harus dibereskan pada suatu waktu.
Kalimat-kalimat tersebut juga berarti peringatan (terhadap kewajiban membayar yang
terselubung).
Konsep praanggapan menggunakan faktor-faktor pragmatik dalam menggunakan definisi
praanggapan. Definisi tersebut pada umumnya menggunakan dua konsep dasar, yaitu
pengetahuan bersama (common ground atau mutual knowledge) dan kewajaran (appropriatenes
atau felicity) seperti pada definisi berikut ini. Suatu ungkapan A berpraanggapan suatu pernyataan
B hanya jika : A adalah wajar dan hanya kalau B sama-sama diketahui oleh pemeran serta.
Sebagai contoh A misalnya teman B, mreka saling berkunjung, ngobrol bersama, dan sering
berdiskusi tentang banyak hal. Salah satunya adalah dialog berikut.
(5) A : Kucing belangku beranak lagi tiga ekor.
B : Anaknya juga belang kayak yang dulu ?
Praanggapan A tentang induk kucingnya yang belang ternyata benar. Apabila tidak,
artinya apabila B tidak mengetahui bahwa A memiliki kucing belang. Pastilah B akan
mengatakannya. Nyatanya B bahkan mengetahui bahwa dulu anak kucing A juga belang. Antara
A dan B terlibat dalam pengetahuan yang sama.
Makin akrab hubungan pemicara dan pendengar, makin banyak mereka berbagi
pengalaman dan pengetahuan dan makin banyak pula praanggapan mereka yang tidak mereka
utarakan lagi dalam interaksi verbal. Apabila hal ini terjadi, maka teman-teman mereka yang
kurang akrab yang tidak menangkap pembicaraan mereka berdua. Oleh karena itu penggunaan
praanggapan oleh pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar, yang menurut pembicara,
pendengar juga memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti yang dimiliki pembicara.

17

Jadi jika kalimat yang kita pakai tidak wajar, dan bila praanggapannya tidak diketahui
oleh di pendengar, maka jelas kalimat itu tidak akan dapt ipahaminya.
Sehubungan dengan praanggapan ini Strawson menyebutkan dua macam praanggapan
adalah pada praanggapan semantik menitikberatkan pada hubungan antara kalimat yang satu
dengan yang lainnya, sedanagkan praanggapan pragmatik menitikberatkan pada hubungan antara
pernyataan. Atau dengan kata lain, jika praanggapan itu ditekankan pada pernyataan via
leksikonnya maka praanggapan itu adalah praanggapan semantik, dan jika hanya dapat ditarik via
konteksnya maka praanggapan itu adalah praanggapan pragmatik.
3.7. Inferensi (inference)
Sebuah pekerjaan bagi pendengar (pembaca) yang terlibat dalam tindak wacana selalu
harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu penafsiran
makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dari pembicara (penulis). Dalam keadaan
bagaimana saja seorang pendengar (pembaca) mesti mengadakan inferensi.
Pengertian enferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar)
untuk memahami makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada apa yang
diinginkan oleh penulis (pembicara).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembaca karena
dia tidak mengetahui apa makna yang sebanrnya yang diamksudkan oleh pembicara/penulis.
Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jelan pikiran pendengar, mungkin
saja kesimpulan harus membuat inferensi lagi.
Inferensi terjadi jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk
memehami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada wacana yang diungkapkan oleh
pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi
(maksud) pembicara atau penulis.
Perhatikan wacana berikut ini.
(6) Besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tak punya
baju baru, kadonya lagi, belum ada.
Wacana tersebut jelas tidak menyangkut masalah permintaan dibelikan baju baru untuk
pesta ulang tahun temannya atau minta diberikan kado, tetapi sebagai pesapa (lawan bicara)
seorang (ibu) harus mengambil inferensi, apa yang dimaksud anak itu.
Pengambilan inferensi dapat memakan waktu agak lama bila dibandingkan dengan
penafsiran secara langsung (tanpa memerlukan inferensi). Jadi, dalam hal ini ada seseuatu yang
tidak dismapaikan kepada pendengar atau pembaca, tetapi keduannya harus memahami apa yang
tidak disampaikan secara langsung tersebut. Inferensi sangat diperlukan karena digunakan
sebagai asumsi yang menjembatani dua hal atau ujaran yang terkait tetapi kurang jelas
keterkaitannya Perhatian contoh berikut ini.
(7) A : anak-anak merasa gembira ketika ibu membagikan bekal makanan
B: Sayang gudegnya agak sedikit basi
Inferensi yang menjembatani dua ujaran tersebut, misalnya
C : Bekal yan gdibawa ibu lauknya gedeg komplit

berikut ini

18

Inferensi seperti

itu akan lebih mudah dibuat oleh orang yang berasal dari Jawa Tengah

atau orang yang sudah lama tinggal di Jogyakarta. Di daerah tersebut gudeg komplit merupakan
makanan yang sangat digemari. Itulah sebabnya pengetahuan sosiokultural yang berhubungan
dengan keterkaitan kedua ujaran tersebut sangat diperlukan. Sehubungan hal itu, ahli analisis
wacana menetapkan suatu bridging assumption seperti contoh di atas memang sulit dan memakan
waktu. Selanjutnya para ahli analisis wacana tersebut berpendapat bahwa bridging assumption
seperti contoh di atas merupakan the missingling link yang diperlukan untuk menghubungkan
antara dua ujaran tersebut. Salah satu contoh missing link seperti contoh berikut ini.
(8) A: Saya melihat ke dalam kamar itu.
B: Flafonnya sangat tinggi
Sebagai missing link dibeirkan inferensi, misalnya
C : kamar itu memiliki plafon
Suatu teks/wacana mungkin dilengkapi dengan suatu sissing link yang formal namun seorang
pendengar atau pembaca sering harus harus membuat sendiri inferensi tersebut.Contoh wacana
(8) di atas merupakan missing link karena memiliki hubungan yang otomatis dengan ujaranujaran yang ada diatasnya. Namun contoh wacana (7) bukan merupakan missing link karena
pendengar harus mencari sendiri hubungan yang non-otomatis itu.
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa inferensi merupakan hubungan yang diciptakan
oleh pendengar atua pembaca untuk memahami atau menginterpretasikan wacana yang kurang
lengkap. Semakin kuran glengkap suatu wacana, semakin banyak usah apendengar atua pembaca
untuk membuat inferensi. Dalam hal ini meanarik kesimpulan merupakna proses yang sangat
bergantung pad akonteks tentang teks yang khsuus dan proses itu ada dalam pemikiran pendengar
atau pembaca.
Dengan uarian tentang inferensi di atas, msalah inferensi belum selesai dengan tuntas,
karena masih ada paling tidak satu hal yang perlu mendapat penjelasan dan kejelasan. Hal itu
mengenai ungkapan-ungkapna yang tidak jelas benar apakah termasuk hubungan otomatis tidak
dimasukkan sebagai inferensi karena perbedaannya ialah waktu yang tersangkut bagi
pengambilan simpulan, sedangkan hubungan otomatis tidak memerlukan waktu dalam
penafsirannya. Sebagai contoh, perhatikan rekaan berikut ini.
(9) Albartsani menjadi juara All England 8 tahun berturut-turut
(10) a. Dia sopan santun
b. Dia orang yang stabil emosinya
c. Dia adalah juara bulu tangkis yang andal
d. Dia waktu kecil anak yang manis
e. Dia sangat keras dalam latihan-latihannya
Seandainya ujaran (9) diikuti oleh ujaran-ujaran (10) satu per satu, manakah yang dapat
dikatakan sebagai inferensi. Apakah (10a) merupakan proposisi kesimpulan? Dengan kata lain,
mestikah seorang juara sopan santun, atau paling tidak karena sopan santunnya albartsani
menjadi juara?Agaknya kita setuju apabila jawaban kita ialah: belum tentu, karena secara
umum banyak juga juara yang tidak sopan santun. Akan tetapi, kita dapat bertanya bilakah (10a)
dapat merupakan inferensi (9) ? Agak mungkin saja, namun inferensi itu, yaitu (10a), tidak
(hanya) ditarik kesimpulan dari (9), melainkan (juga) dari konteks wacana yang lebih luas yan

19

gmerangkum pula (9). Jadi bisa saja (10a) merupakan inferensi, tetapi hal itu bergantung pada
konteks wacana yang merangkum (9) juga. Hal itu merupakan berlaku pula bagi (10d), sehingga
kita tidak perlu lagi menjelaskan kedudukan (10d)
Lain halnya dengan (10b), karena memang mungkin seorang juara mempunyai emosi
yang stabil, biarpun hal itu tidaklah merupakan kesimpulan yang seluruhnya benar karena ada
kalanya-dan contohnya terdapat juga seorang juara tidak mempunyai emosi yang stabil. Namun,
dibandingkan dengan hubungan antara (9) dan (10a) atau (10d), hubungan antara (9) dan (10b)
cukup lebih erat, sehingga (10b) dengan tidak terlalu sukar dapat merupakan inferensi.
Khususnya jika hal itu dipertimbangkan bahwa menjadi juara selama delapan tahun berturut-turut
tentulah menunjukkan suatu kestabilan. Lebih lagi jika terdapat suatu bantuan yang berupa
konteks, biarpun hanya sebuah kalimat saja, seperti misalnya kalimat ?(11) berikut ini.
(10)

Albartsani dengan tenang melayani permiainan lawan-lawannya, dan satu demi

satu dibabatnya tanpa ampun.


Dengan demikian tuturan (10b) merupakan inferensi. Seorang pemain bulu tangkis dapat
menjadi juara jika sebelumnya dia mengadalakan latihan keras. Begitulah hubungan
antara (9) dengan (10e) cukup erat juga. Bagaimana dengan (10c) ? Rupanya sukar untuk
menolak hubungan yang sangat erat antara (9) dan (10c). Artinya, jika seseorang dapat
menjadi juara delapan kali berturut-turut, tentulah ia merupakan juara yang betul-betul
andal.
3.8. Referensi (Reference)
Dalam analisis wacana, referensi mengacu pada benda, binatang, nama diri atau
orag (pronomina pesona), dan unsur kosong (sifat) atau hilang yang dimaksudkan oleh
pembicara. Tugas pendengar atau pembaca adalah mengidentifikasi sesuatu atau
seseorang yang dimaksud oleh pembicara atau penulis. Selanjutnya setiap orang memiliki
representasi atau model tentang dunia seisinya. Oleh karena itu referensi yang dimaksud
pembicara barang kali tidak sama atau hanya sebagian saja yang mirip dengan referensi
yang dipajami pendengar karena perbedaan dan persamaan representasi mereka masingmasing.
Referensi yang menyangkut nama diri digunakan sebagia topik baru untuk
memperkenalkan atua menegaskan bahwa topik masih sama.Topik yang sudah jelas
biasanya dihilangkan atau diganti, demikian juga seterusnya. Dalam upaya memahami
amanat bahasa yang sedang berlaku, referensi yang berhasil bergantung pad apengenalan
atau identifikasi pendengar akan referensi yang dimaksudkan oleh pembicara berdasarkan
ungkapan yan gdipakai untuk mengacunya. Hal ini melibatkan pengertian mengnal
referensi yang dimaksud oleh pembicara yang sangat penting dalam mempertimbangkan
tiap penafsiran ungkapan acuan dalam wacana. Walaupun terdapat kenyataan bahwa,
dalam beberpa analisis diajukan gagasan bahwa ungkapan tertentu mempunyai referensi
yang unik dan bebas, secara umum dapat dinyatakan bahwa apapun bentuk ungkapan
acuan itu, fungsi referensinya tentu bergantung pada maksud pembicara pada saat
ungkapan itu disampaikan.
Perhatikan ungkapan (wacana) berikut ini.

20

(9) ayahku membaca koran di serambi


Identitas orna gyang diungkapakan sebagai ayahku mungkin mempunyai sejumlah sifat
(bernama Hasan, berambut ikal, ahli hisab, dan sebagianya) dalam representasi
pembicara, tetapi bagi pendengar mungkin hanya ada satu pengenalan sesuai dengan
orang yang dirujuk sebagia ayah pembicara. Idenntitas itu mungkin bertambah, seperti
misalnya, membaca koran di serambi. Mungkin selama wacana itu berlangsung,
pendengar menambahkan sifat-sifat lain yang sesuai dengna onvensi sosial-budaya,
misalnya disegani pembicara.
Pemakaian nama diri sebagai ungkapan acuan pada umumnya tidak menimbulkan
masalah. Akan tetapi, perujukan secara unik bagi nama diri mungkin saja hanya dalam
konteks khusus saja. Kiranya dapat dipahami mengapa nama seperti Sarinah, yang dipakai
untuk mengacu ke orang, harus bergantung pada identifikasi seseorang secara khusus
pula. Sebabnya mudah sekali dilihat, karena demikian banyak orang yang memakai sama
sarinah di Indonesia. Namun, nama diri tertentu ada yang dipakai secara unit tanpa
mengeindahkan konteks, dan nama Ranggawasita mungkin merupakan sebuah contoh.
Pandangan ini sebenarnya dapat menyesatkan. Kartini, misalnya dapta idpakai tidak untuk
merujuk ke orang, melainkan ke buku karangan wanita terkenal, seperti pada contoh
berikut ini.
(10)

Kartini kutaruh di rak sebelah kiri dekat Max Havelar.


Akan tetapi, dapta pula sebuah buku tentnag wanita terkenal itu disebut juga

Kartini. Demikian juga sebenarnya nama Ranggawasita dapat mengacu ke suatu publikasi tulisan
pujangga besar itu, atau publikasi tentang pujangga itu, Perhatikan bahwa penafsiran perujukan
ungkapan dengan nama diri seperti Kartini, Ranggawasita, Chairil Anwar, dan lain sebagainya,
bergantung pada predikat atau verba yang dipakai dalam ungkapan-ungkapan itu. Bahkan
mungkin terdapat semacam keserasian antara subjek dan verba, seperti membaca, menulis, dan
lain sebagainya. Misalnya, wacana berikut (11) dapat kita terima, tetapi mungkin wacana (12)
terbaca agak janggal, biarpun hal itu tidak tak mungkin.
(11)

a. Ibu semalam suntuk membaca Kartini


b. Pak Hasan membaca Ranggawasita satu bulan selesai

(12)

a. Si Upik di TK itu membaca Kartini berhari-hari


b. Adikku yang di SD membaca Ranggawasito di Kebun

Miungkin saja nama diri dipakai juga dengan keterangan, sehingga artinya terbatas pada ciri-ciri
berangkutan yang menonjol saja, dan bukan merujuk ke seluruh orangnya. Hal ini biasa dipakai
untuk merujuk ke pribadi-pribadi yang terkenal, sehingga siapa yang membaca paling tidak
diharapkan memahami ungkapan kewacanaan itu. Perhatikan contoh berikut ini.
(13) Sutikno, anak politikus terkenal itu, Chairilnya SLTP 1
Frasa nomina tak definit mungkin pula tidak merujuk ke referen tertentu, melainkan
bersifat tak jelas (opaque), seperti yang terdapta pada tuturan (14) berikut ini.
(14) Yuni mencari pekerjaan baru
Tanpa konteks, pekerjaan baru dapat berarti pekerjaan apa saja. Untuk dapat mencagu
pada pekerjaan tertentu seperti yang dimaksud pembicara pendengar perlu diberi ko-teks, suatu

21

teks yang mendahului atau mengiringi ujaran. Oleh karena tidak jelas, kita tidak dapat
menambahkan pada tuturan (14) itu, seperti pada tururan (14) beirkut ini.
(15) Pekerjaaannya sedang bangkrut
Ada kalanya, karena konteks tertentu, frasa tak definit dapat dirujuk secara pasti. Oleh
karena itu, kita mesti mempertimbangkan saran-saran yang diberikan oleh konteks atau koteks,
apakah frasa nomina tak definit itu dapat diartikan pasti atau tidak. Hal ini pun berlaku bagi
nomina-nomina tak definit, seperti seseorang dan sesuatu, yang dpaat ditafsirkan merujuk ke
orang tertentu atau tidak. Umpamanya, dalam mengucapkan ujaran-ujaran (16) dan (17)
pembicara dapat dinyatakan dengan intonasi tertentu, bahwa maksudnya ialah merujuk ke orang
tertentu.
(16) Seseorang (dan aku tahu siapa) datang terlambat
(17) Seseorang (dan aku tidak tahu siapa) telah mencuri motorku
Latihan:
(1) Apa yang dimaksud dengan implikatur percakapan? Saudara jelaskan !
(2) Berikan sebuah contoh wacnaa yang mengandung implikatur percakapna!
(3) Apa yang dimaksud dengan praanggapan? Saudara jelaskan!
(4) Berikan sebuah contoh wacana yang mengandung praanggapan!
(5) Apa yang dimaksud dengan inferensi? Jelaskan!
(6) Berikan sebuah contoh inferensi dalam wacana !
(7) Apakah yang dimaksud dengan referensi? Saudara jelaskan!
(8) Berikan sebuah contoh referensi dalam wacana!

4.1. Hakekat Piranti Kohesi


Sebuah wacana atau teks terwujud atas ejumlah unsur pendukungnya, Kata, frasa,
klausa, kalimat dna pragraf yang terwujud dalma wacana atau teks semuanya merupakan wahana
penuangan ide atau pikiran penulisnya. Unsur-unsur tersebut diisyaratkan tidak sekedar memiliki
hubungan yang menggambarkan kesatuan (unity), melainkan juga dituntut adanya tatanan dan
jalinan yang erat antara satu unsur dengan unsur yang lain, sehingga tercipta keselarasan dalam
wacana atau teks. Tatanan dan jlainan antar unsur inilah secara kualitatif disebut sebagai
hubungan kohesif. Dalam hal ini kohesi merupakan konsep semantik yang mengacu pada
pertautan unsur gramatikal dalam sebuah wacana atua teks dengan menggunakan alat
penghubung formal.
Dalam mewujudkan keselarasan dalam wacana atau teks diperlukan alat-alat
penghubung, seperti kata penunjuk, kata penghubung dan sejenisnya. Alat-alat penghubung ini
lazim disebut pemarkah atua piranti kohesi. Sebagai bagian sistem wacana atau teks, piranti
kohesi bukan hanya berkedudukan sebagai alat penghubung unit struktur, melainkan juga
memiliki fungsi semantis. Oleh karena itu, piranti kohesi bukan hanya berhubungan dengan kode
kebahasaan tetapi lebih dari itu, piranti kohesi berhubungan dengan dunia makna yang diacu oleh
kode kebahasaan itu sendiri, sehingga keberadaanny ajuga berkaitan dengna proses berpikir para
pemakainya.

22

4.2. Bentuk dan Jenis Piranti Kohesi


Bentuk dan jenis piranti kohesi dalam suatu wacana/teks bermacam-macam, bergantung
pada keberadaan, ciri, dan fungisnya. Dari segi bentuknya piranti kohesi dapat berupa leksis,
akan tetapi sesuai dengan fungsinya piranti kohesi dapat berupa kata tugas. Di smaping itu, jika
dikaitkan dengan bidnag cakupan kohesi yang meliputi intrakalimat, antar kalimat, antarparagraf,
dan mungkin juga pada satuan kebahasaan yang lebih besar, maka pemilihan jenis piranti kohesi
ini tentunya juga lebih luas lagi.
Telaah piranti kohesi dalam wacana mencakup dua jenis piranti kohesi, yaitu kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal. Piranti kohesi gramatikal adalah piranti kohesi yang dinyatakan
dengan tatabahasa. Piranti kohesi gramatikal meliputi pieranti kohesi pengacuan (reference),
pelesapan (delection), pemakaian pronomina, penyulihan (substitusi), menyebutan ulang, dan
pemakaian konjungsi.
Piranti kohesi leksikal adalah piranti kohesi yang diwujudkan dalam bentuk leksikal,
mencakup nomina umum (general noun) reiterasi (reiteration), repetisi (repetition), sinonim
(synonim), superordinat (superordinate), dan kolokasi (collocation).
Sedangkan Halliday dan Hasan membagi bentuk dan jenis piranti kohesi sebagaimana
diuraikan dalam bagan/gambar berikut ini.

Anafora
Referensi
Katafora
Substitusi
Leksikal
Elepsis
Konjungsi
Piranti
Kohesi

Leksikal

Eksofora
Berdasarkan bagan tersebut jelaslah bahwa piranti kohesi meliputi (1) endofora, sebagai
piranti kohesi yang hadir dalam tulisan (tekstual), dan (2) eksofora, yaitu piranti kohesi yang
berkaitan dengan konteks situasional. Piranti kohesi endofora terdiri dari (1) referensi yang
didalamnya meliputi piranti kohesi anafora yaitu pengacuan oleh suatu unsur kepada unsur lain
yang mendahuluinya dan katafora adalah pengacuan oleh suatu unsur kepada suatu unsur yang
mengikutinya; (2) Substitusi (penyulihan), (3) elepsis (pelesapan); (4) konjungsi dan (5)
leksikal.
4.3.1. Piranti Kohesi Konjungsi
Konjungsi merupakan alat kohesi dalam wacana/teks dapat terlihat pada hubungan antar
unsur klausa/kalimat, baik dalam tataran intrakalimat, antarkalimat, antarparagraf, maupun dalam
tataran yang lebih besar, Piranti kohesi konjungsi dalam wacana/teks dapat berwujud hubungan

23

pertentangan, penambahan, pengecualian, konsensif, sebab akibat dan sebagainya. Penggunaan


piranti kohesi konjungsi dalam wacana.teks sebagiaman aterlihat pada tuturan beriku tini.
(5.1.) Dia pandai mengobati penyakit biasa. Akan tetapi dia juga dapat mengobati perempuan
atua laki-laki yang kena guna-guna. Dia mempunyai ilmu yang dapat membuat seseorang
sakit perut sampai mati. Dia pandai membuat jimat yan gampuh, yang dapat mengilakkan
bahaya ular, atau bianatang buas yang lain.
(5.2.) Sains dan teknologi semakin hari semakin berkembang. Berbagai ilmu pengetahuan,
kebudyaaan, dan teknologi berkembang dengan pesat. Namun demikian, hasil paling
penting bagi sains dan teknologi dalam sejarah manusia ialah bahwa ia memungkinkan
penghapusan sistem perbudakan, sebagaimana di kenal di zaman Yunani dan Romawi
atau di Amerika sehingga abad ke-19.
(5.3) Telah dikemuakakan pad abagian terdahulu bahwa kualitas para sarjana dewasa ini semakin
meningkat. Hasil-hasil yang menggembirakan telah dicapai. Walaupun demikian,
betapapun besar haisl-hasil yang dicapai oleh sarjana di era ini, ia mulai kehidlangan
mementum menjelang pertengahan abad ke-19.
Frasa akan tetapi, dengan demikian, dan walaupun demikian, dalam contoh wacana
tersebut menunjukkan beberapa perwujudan piranti kohesi konjungsi antar kalimat.

4.3.2. Piranti Kohesi Substitusi (Penyulihan dan Referensi (Pengacuan)


Selain penggunana piranti kohesi konjungsi dalam wacana, sering pula digunakan kata
yang maknanya sama sekali berbeda dengan makna kat ayang diacunya. Piranti kohesi
yang demikian itu, disebut dengan piranti kohesi substitusi (penyulihan). Atau dengan
kata lain, piranti kohesi substitusi merupakan piranti kohesi pergantian konstituen dengan
memakai kat ayang maknanya sama sekalai berbeda dengan kata yang diacunya (yang
menjadi reference-nya), sedangkan referens merupakan proses mengacu ke sesuatu yang
dicaunya. Oleh karena itu, substitusi tidka sama dengan Referens (pengacuan), karena
substitusi bagian dari referens (pengacuan). Berikut ini dapat dilihat perbedaan piranti
kohesi substitusi dan referens.
(5.4.) a. Saya membeli buku
b. Buku itu berjudul Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia
(5.5.) a. Atas keputusan itu, Hasan mengatakan naik banding
b. Ayah dua anak itu bahkan sempat mengomentari vonis tersebut dengan nada bercanda
Konstitusi buku (5.4. a) merupakan sesuatu yang diacu oleh konsituen buku itu (5.4 b) dan
kalimat tersebut tidka mengalami pergantian kata dengan kat ayang maknanya berbeda dengan
yang diacunya. Kata buku pada (5.4a) semua dengan kata buku pada (5.4b). Berbeda halnya
dengan kalimat (5.5.), konstituen Hasan pada kalimat (5.5a) diacu oleh konstituen ayah dua orang
anak itu (5.5b). Sesuatu yang diacunya itu berbeda maknanya dengan mengacunya. Oleh karena
itu, pengacuan pada kalimat (5.5) itu merupakan penyulihan, karena pada klaimat itu terjadi
penggantian kat apengacu yang berbeda maknanya dengna yang diacunya.

24

Sejajar dengan penyulihan leksikal yang terdapat pada contoh-contoh di atas, ada juga penyulihan
jenis lain, yaitu penyulihan bentuk yang tidak mengacu ke acuan yang sama, melainkan ke
kumpulan yang smaa. Pada dasarnya penyulihan seperti ini sama dengan penyulihan yang telah
dibahas pada bagian terdahulu. Perbedaaannya hanya terletak pada sesuatu yang diacunya. Pada
penyulihan leksikal, sesuatu yang diacunya itu satu jenis yang pasti. Akan tetapi, penyulihan
pad ajenis ini sesuatu yang diacunya merupakan kumpulan (golongan) yang sama atau juga
sesuatu yang mempunyai kolokasi dengan butir tersulih itu. Perhatikan contoh berikut ini.
(5.6) Tetangga kami mempunyai anjing doberman. Pak Hendrik mempunyai seekor juga.
(5.7) Suatu hari Paman Hanafi berjalan-jalan ke pasar. Paman Hanafi berkeliling di seputar pasar
burung itu. Ia terlihat burung glatik yang cantik. Akhirnya ia membelinya seekor untuk
dipeliharanya di rumah.
(5.8) Heni berjalan-jalan di tengah kebun mawar. Waktu mau keluar, ia memetik sekuntum dan
disematkan pada dada blusnya.
Frasa anjing doberman dan bentuk seekor pada (5.6) dan burung glatik yang cantik dengan seekor
pada (5.7) tidak mengacu pada acuan yang sama, melainkan ke spesies yang sama, yaitu anjing
doberman (5.6) dan burung (5.7). Pada contoh (5.8) kata mawar dan bentuk sekuntum, mengacu
pada kumpulan yang sama, yaitu bunga.
4.3.3. Anafora dan Katafora
Anafora merupakan pengacuan oleh suatu unsur pada unsur lain yang mendahului.
Menurut Purwo (1984:103) anafora itu hanya mengacu pada konsituen yang berada disebelah kiri
seperti pada contoh berikut ini.
(5.9) CN-235 Merpati Nusantara Airlines menabrak gunung Puntang di gugusan Papandayan.
Burung besi itu ditemukan porak poranda.
(5.10) Buku itu jangan dicetak ulang, say abelum ingin merevisinya
(5.11) Zainal Abidin tidak pernah kelihatan di kantor ini karen aia sedang tugas belajar di
Pakistan.
Wacana (5.9-5.11) menunjukkan penanda kohesi pengacuan anafora. Konsituen burung
besi itu yang menjadi subjek klausa kedua dalam wacana (5.9) mengacu ke konstituen (CN-235
merpati Nusantara Airlaine yang menjadi subjek klausa pertama. Klitik-nya yang menjadi objek
pad aklausa kedua pada wacana (5.10) mengacu ke konstituen buku itu yang menjadi subjek
klausa pertama. Sedangkan ia yang merupakan subjek klausa pelengkap pada wacana (5.11)
mengacu ke konsituen Zainal Abidin yang merupakan subjek klausa matriks.
Katafora merupakan pengacuan oleh suatu unsur pada unsur lain yang mengikutinya.
Purwo (1984:104) mengatakan bahwa katafora bentuk yang mengacu pada konstituen yang
terletak pada sebelah kanannya, seperti pada contoh berikut ini.
(5.12) Meskipun kehadirannya agak terlambat, Pak Hasan Busri yakin bahwa ceramahnya akna
tetap didengar orang
(5.13) Setelah menyadari kesalahanny akarena inasehati oleh pamannya yang diseganinya itu,
Pak Alfan Zuhairi merasa malu kepaa tetangganya.
(5.14) Kepedihan itu tambah menyayat ketika ia melihat lalat berterbangan dan truk-truk
pengangkut kantung-kantung mayat. Dua puluh oran gmati setiap hari karena kelaparan,

25

begitu catatan resminya, Kenyataan yang saya saksikan, lebih dari 200 orang. Kata
Syamsul Arifin.
Kata ganti orang ketiga, selain dapat dipakai sebagai pemarkah anafora, dapat pula
dipakai sebagai pemarkah katafora sebagai pemarkah katafora sebagiamana wacana tersebut di
atas. Klitik-nya pada wacana (5.12) mengacu pad akonstituen yang berada di sebelah kanan, yaitu
Pak Hasan Busri. Demikian pula klitik-nya pada wacana (5.13) mengacu pada konstituen yang
berada di sebelah kanan, yaitu Pak Alfan Zuhairi. Kata ganti orang ia pada wacana (5.14)
mengacu ke konstituen di sebelah kanannya, yaitu Syamsul Arifin.
Selain klitik-nya konstituen mereka dapat pula bersifat katafora, seperti pada contoh
berikut ini.
(5.15) Merekalah biang kekacauan, begitulah tuduh perintah. Kelompok Islam garis keras itu
sama atau kelanjutan dari kelompok sejenis sebelumnya yang pernah mengguncangkan
dunia
(5.16) Mereka tidak pernah jera, walaupun perintah Amerika Serikat di bawah Presiden
(5.17) Mengacu pada konstituen yang berada disebelah kanannya, yaitu kelompok Islam Garis
keras dan kelompok pengacau itu.
Pemerkah katafora, selain kata ganti orang ketiga, dapat pula berupa konstituen Zero (0) seperti
terlihat pad acontoh berikut ini.
(5.17) Ketika 0 menghadiri pertemuan itu Faradina langsung ingat sesuatu.
(5.18) Pada saat 0 bertemu dengan Presiden Abdurahman Wahid, George W. Bush tidak
menyinggung masalah teroris di Indonesia. Konstituen 0 pada wacana (5.17) dan wacana
(5.18) mengacu pada konstituen yang berada di sebelah kanan, yaitu mengacu pada
Faradina dan George W. Bush.
4.3.4. Penanda Kohesi Pengulangan
Piranti kohesi dalam sebuah wacana, juga ditandai dengan penggunaan bentuk
pengulangan secara definit. Sebagai penanda definir biasanya digunakan kata itu, ini, tersebut,
dan yang. Wacana berikut menunjukkan bahwa strategi penyebutan ulang secara definit dapat
digunakan untuk memelihara kepaduan sebuah wacana.
(5.19) Wak Katok membawa senapan lantaknya. Biasanya jarang membawa senapan jika
mendamar. Senapan itu hanya dipakainya jika berburu rusa atau babi.
(5.20) Sepeninggal induk semangka kurasa memang berkendoranlah urat-uratku. Rasa lega di
hati. Kelegaan ini kupikir bukan karena adanya kesempatan beristirahatlah, tetapi lebihlebih karena lepas dan ketawa yang terus menerus untuk mengimbangan keramahan induk
semang baru itu.
Pada contoh di atas, bentuk pengulangan secara defisit direalisasikan dengan beberapa
bentuk. Konstituen senapan lantaknya pada wacana (5.19) disebutkan ulang ditambah pendefisit
itu, menjadi senapan itu. Demikian juga konstituen induk semangku pada wacana (5.20)
disebutkan ulang ditambah pendefinit itu, menjadi induk semang itu.
4.3.5. Piranti Kohesi Kata Ganti (pronomina)
Piranti kohesi kata ganti dalam suatu wacana dapat terjadi jika pergantian konstituen yang
satu dengan konstituen kata ganti (pronomina), memiliki acuan yang sama. Atau dengan kata lain

26

antara konstituen tertentu dan konstituen kata ganti memiliki jarak referensial yang relatif dekat,
walaupun tidak sedekat apabila terjadi pelepasan, dan tidak disela oleh topik lain. Perhatikan
contoh berikut ini.
(5.21) Dua orang gadis tanggung sedang berjalan menuju balai desa. Mereka adalah
Mukarromah dan Yuni.
(5.22) Buyung dan kawan-kawannya juga sangat ingin mendapat ilmu menghilang. Dia telah
bermimpi tentang hal-hal yang dapat dilakukannya, jika dapat ilmu demikian, alangkah
mudahnya dia mengintip Zaitun lagi tidur, atau lagi mandi. Darahnya berdebar teringat
pada kemungkinan ini, dan alangkah mudahnya dia menjadi kaya jika dia punya ilmu
serupa itu.
(5.23)Soetjipto sebagai salah seorang pengurus Korp Pelatih dengan nada tinggi mengatakan
akan menemui Cholid untuk minta pertanggungjawaban. Ia tidak menerima jika dikatakan
bahwa para pelatih Indonesia tidak mampu melatih dengan baik. Walaupun
persepakbolaan kita sedang lesu, kita tidak dapat menyalahkan pada para pelatih. Ia
mengatakan bahwa pelatih Indonesia mampu mencetak pemain yang bermutu asal dibantu
kesungguh-sungguhan para pemain.
Wacana tersebut (5.21 5.23) menunjukkan kepaduan karena adanya penggunaan
penanda kohesi kata ganti. Kata ganti mereka pada wacana (5.21) untuk mengganti dua orang
gadis tanggung dan dia untuk mengganti Buyung pada wacana (5.22); serta ia untuk mengganti
Soetjipto pada wacana (5.23). Strategi ini merupakan strategi yang lebih efektif dari pada
penggunaan strategi bentuk pengulangan di tambah definit.
4.5. Piranti Kohsi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi adalah dua istilah yang mengacu pada konsep atau pengertian mirip
yang sering dirancukan, terutama dalam telaah teks atau wacana. Berdasarkan kenyataan bahwa
(1) bentuk kebahasaan itu selain memiliki lapis struktur juga memiliki lapis arti, () fungsi
gramatikal itu juga disertai oleh fungsi semantikal, dan (3) wacana/teks adalah suatu paparan
gagasan yang menggunakan bahasa sebagai wahana paparannya, maka keberadaan piranti kohesi,
selain memiliki fungsi struktural akjirnya juga memiliki fungsi semantik. Dengan demikian,
penggunaan piranti kohesi dalam wacana/teks bukan hanya dimaksudkan untuk menciptakan
kesatuan gagasan yang dipaparkan dalam karangan itu sendiri.
Adanya keselarasan dan kesatuan hubugan butir-butir gagasan dalam wacana lazim
disebut dengan koherensi atau menggunakan istilah discourse coherence. Disebabkan oleh
kenyataan bahwa wacana adalah wujud ekspresi gagasan dengan menggunakan wahana yang
berupa kode kebahasaan, maka terdapatlah koherensi dalam wacana, yang dibentuk oleh adanya
pemakaian piranti kohesi secara tepat, dan keselarasan hubungan gagasan yang disampaikan
melalui strategi pengembangan tertentu, juga ditandai oleh adanya kekompakan elemen sistem
kebahasaan lain diluar piranti kohesi. Sebab itulah Becker dalam Lubis (1993) mengungkapkan
adanya dua jenis koherensi, yaitu (1) koherensi referensial dan (2) koherensi tekstual. Koherensi
referensial adalah kesatuan gagasanantar unit tertentu dalamsatuan permasalahan tertentu,
misalnya

hubungan

gagasan

dalamkalimatyang

ditandaiolehpenggunaan

jika....maka.....

27

Sementara koherensi tekstual adalah koherensi antar uni makna dalam keberadaan wacana secara
keseluruhan.
Konsep dan pengertian yang identik ddengan Becker, tetapi dinyatakan dengan istilah
yang berbeda, yaitu yang dikemukakan oleh Widdowson dalam Lubis (1993), menyatakan,
apabila hubungan semantik yang terdapat pada unsur teks (termasuk kalimat) digunakan
pemarkah atau penanda hubung formal, maka hubungan inidisebut dengan kohesi. Sebaliknya,
jika hubungan tersebut tidak digunakan penanda formal,disebut koherensi. Dengan demikian
jelaslah, bahwa perbedaan antara kohesi dan koherensi terletak pada digunakan tidaknya penanda
hubung formal atau dalam halini piranti kohesi dalamhubungan semantik yang terdapat pada teks
atau wacana.
Suatu interprestasi tentangsuatu teksbiasanya berdasarkan struktur sintaktis dan kosa kata
yang digunakan di dalam teks tersebut. Namundalam halini bukan satu-satunya cara, karena
ternyata banyak teks yang tidak gramatikal dan tidak berisi kosa kata yang diperlukan.
Pemasangan iklan misalnya, sering tidak menggunakan kalimat lengkap,namun pembaca dapat
memahami dengan baik.
Perhatikan teks berikut ini.
(5.24) Dikont. Ruko 3Lt.AC. Telp. 4 line
Perk. Cempaka Putih
Jl. Let.Jend. Suprapto Sebelah BDNI, sederetan dengan LIPPO dan Exim Bank,
Min 2 Th.
Kecuali struktur kalimat pembacajuga mengetahui cara membaca danmemahami Iklan
Mini. Demikian juga kata-kata atau singkatan-singkatan kata yang dijajarkan mengarahkan
pembaca untukmenginterpretasikan kata-kata tersebut sebagai kalimat atau bagian kalimat.
Pembaca

padaumumnya

juga

menyadari

adanya

konvensi

dan

aturan

dalammasyarakat.Denganbekal itu kita memahami bahwa tuturan (5.24) berisi iklan rumah toko
bertingkat tiga yang akan dikontrkkan selamapaling sedikit dua tahun, terletak di daerah
perkantoran di Jl. Letjen Suprapto, dan sebagainya.
Latihan
(1) Jelaskan, apa yang dimaksud dengan piranti kohesi!
(2) Sebutkan dan jelaskan bentuk dan jenis piranti kohesi yang saudara ketahui!
(3) Jelaskan perbedaan antara piranti kohesi dan koherensi!
(4) Tunjukkan (analisislah) penggunaan piranti kohesi pada teks berikut ini!
Kamar itu terasa pengap, walaupun ukurannya sempit. Cuma duakali tiga meter. Mestinya
tidak akan membuat badannya sesak bernafas. Akan tetapi, aduh, setiap gerakan nafasnya seolah
pisau yang mengiris dada. Mungkin karena bau bunga sedap malan yang diletakkan di meja amat
dekat dengan tempat yangkini didudukinya.Bunga yang berwarna putih itu, diletakkan di
jambangan yang putih pula, membuarkan bau wangi yang menyengat hidung. Sungguh dia tidak
senang dengan bau yang menyengat itu, tetapi jambangan bunga sedap malam itu tidak dapat
disingkirkannya. Ibu Codro, pemilik Villa Bunga sedap malam ini selalu meletakkan
jambangan sedap malamdi setiap kamar.

28

JENIS-JENIS WACANA
6.1. Tujuan Umum pembelajaran
Setelah mempelajari modul

ini diharapkan mahasiswadapat memahami jenis-jenis

wacana bahasa Indonesia.


6.2. Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajri modul ini diharapkan mahasiswa dapat :
(1) menjelaskan jenis-jenis wacana bahasa Indonesia;
(2) menjelaskan persamaan antara wacana eksposisi dan wacana argumentasi;
(3) menjelaskan perbedaan antara wacana eksposisi dan wacana argumentasi;
(4) memberikan contoh wacana deskripsi;
(5) memberikan contoh wacana narasi.
6.3. Wacana Narasi (Kisahan)
Wacana narasi adalah wacana yang berkenaan dengan rangkaian peristiwa. Wacana ini
berusaha menyampaikan serangkaian kejadian menurut urutan terjadinya, dengan maksud untuk
memberi arti kepada sebuah kejadian atau serentetan kejadian, dan agar pembaca dapat memetik
hikmah dari cerita itu. Dengan kata lain, wacana semacam ini hendak memenuhi keingintahuan
pembaca yang selalu bertanya-tanya, apa yang terjadi? Penataan peristiwa didasarkan atas
urutan waktu (secara kronologis).
Wacana narasi dapat berisi fakta yang benar-benar terjadi, dapat pula berisi sesuatu
khayal. Wacana narasi yang berupa fakta, misalnya otobiografi atau biografi seorang tokoh
terkenal. Isi fakta itu berdasarkan fakta sejarah yang tidak dibuat-buat. Namun cerpen, novel,
hikayat, drama, dongeng, dan lain-lain digolongkan wacana narasi yang khayali, karena disusun
atas dasar daya khayal seseorang pengarang. Sebenarnya cerita itu sendiri tidak pernah terjadi.
Selain apa yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa bentuk lain yang termasuk
wacana narasi faktual, yaitu (1) anekdot, yaitu suatu narasi singkat yang biasanya digunakan
untuk menunjukkan sifat khas yang mencolok dari seseorang atau sekelompok masyarakat, (2)
laporan perjalanan, yaitu cerita tentang peristiwa perjalanan disertai lukisan keadaan kota, daerah
atau pemandangan dan, (3) pengalaman persoalan, yaitu cerita tentang kejadian yang pernah
dialami oleh seseorang.
Dalam wacana narasi sering terlihat ada dialog tokoh-tokoh cerita, disamping uraian
biasa. Dengan dialog cerita memang terasa lebih hidup dan menarik, sehingga terasa lebih
mengasikkan bagi pembaca. Lukisan watak, pribadi, kecerdasan, sikap dan tingkat pendidikan
tokoh dalam cerita yang disuguhkan sering dapat lebih tepat dan mengena apabila ditampilkan
lewat dialog-dialog. Tokoh yang kejam, buta huruf, atau lemah lembut dan sangat penyantun
akan lebih hidup bila diceritakan dalam bentuk percakapan, dibandingkan dengan bila diceritakan
dengan uraian biasa.
Perhatikan kutipan cerita berikut ini!

29

Ini adalah kali ketiga aku datang ke rumah itu. Aku hanya mengantarkan gorden bordir
pesanannya. Aku berjanji pada diriku sendiri aku tidak akan lama. Suara tiga anak kecil dan
Bapaknya sangat ramai di dalam. Ada keakraban membuatku iri. Segera kuakhiri
ketidakrasionalan itu denga ketukan keras dipintu.
Seperti kuduga, james berdiri menjulang menggantikan daun pintu yang tadi tertutup
rapat. Seperti pintu jati yang dipegangnya, perawakannya kokoh dan terpelihara.
Silakan masuk!
Terima kasih, saya hanya mengantarkan ini.
Tidak ada salahnya kau bertemu dengan anak-anakku. Mereka mengagumi karyamu.
Karya? Belum pernah ada orang menyebut hasil bordirku sebagai karya. Mungkin
karena dia seniman, penulis, maka dia menganggap semua yang dihasilkan oleh orang lain
adalah sebuah karya. Apakah karena perkataannya yang pernah membuatku merasa dihargai
ini, ataukah keinginanku untuk mencicipi keakraban dia dan anak-anaknya sehingga aku
memutuskan untuk masuk, berkenalan dengan puja, Prama, dan Iga, dan kemudian
memandanginya dengan cekatan memasangkan gorden di jendela-jendela dan pintu. Aku
membayangkan bagaimana ia melakukan pekerjaan rumah tangga yang lain untuk ketiga tamu
pentingnya itu.
Bagus sekalikan? Pilihan warnamu benar-benar mengena. Seperti inikah keadaan
rumah ini dulu ketika kau dan orang tuamu tinggal di sini ?
Mengapa kau bertanya begitu ?
Pak Haji bilang padaku bahwa kau sangat kecewa ketika rumah ini kubeli.
Yah, aku telah menabung sepanjang hidupku yang kuingat untuk bisa medapatkan
kembali rumah ini.
Kau masih ingin memilikinya sekarang?
Aku manatapnya gusar. Rasaya harapanku utuk mendapatkan rumah ini kembali terkuak,
aku takut kehilagan kesempatan, tapi alu lebih takut lagi aku tidak sanggup meraih kesempatan
itu.
James menatapku balik. Dia menangkap kegusaranku dan menimbang-nimbangya.
Sesaat aku merasa pandangan kami terkunci satu sama lain. Suara anak-anak yang ramai di
sekitarku terasa jauh dan lambat sekali masuk gendang telingaku.
Sudahlah, aku berusaha mematahkan magnet situasi yang memerangkap kami.
Seandainya kau berniat menjualnya sekarang akutakakanmampu membelinya. Dengan segala
renovasi dan perbaikan yang telah kau lakukan tentu harganya akan semakin jauh dari
jangkauanku. Asal kau senang tinggal di sini dan merawatnya dengan baik aku sudah senang.
Aku harus realistis. Begitu aku mengakhiri kunjunganku ke rumah kenangan itu. Setelah aku
pamit dengan anak-anak James aku tergesa menuju pintu keluar.
Kukira kau akan berjalan sendiri menyeberangi halaman yang luas menuju pintu
gerbang yang jauh di bawah sana dan mengenang lagi masa bahagiaku di sini, lalu kepergian
ayah, kehadiran Om Bogy, dan segala bencana itu. Ternyata selain bulan separuh jadi yang
mengawasiku jauh di langit sana, James melangkah pelan di sampingku.
Sebaiknya kan tidak usah mengantarku, kasihan anak-anak sendirian. Protesku.
Mereka terlalu lebih untuk ingat tentang rasa takut.

30

Itukah yang disebut domestik entertainment yang paling mahal?


Aku baru tahu kalau kau menganggap kenakalan mereka entertainment.
Mereka tidak nakal, mereka hanya sedang menjadi diri mereka sendiri. Mereka kan
bukan simplifikasi dari orang-orang dewasa seperti kita.
Hai, aku suka kata-katamu.
kalau itu dikatakan oleh seorang penulis besar sepertimu, tentu aku merasa
tersanjung. Aku berusaha mendatarkan irama hatiku yang tiba-tiba amat bergejolak.
Bukuku yang mana yang telah kau baca?
Aku akan baca yang manapun yang kau berikan padaku.
James tertawa terbahak-bahak. Bahunya yang kokoh terguncang-guncang. Maaf, aku
terlalu percaya diri kukira kau sudah pernah baca bukuku.
Aku katakan padamu, aku menabung ketat sekali untuk bisa menebus rumah ini, aku
tidak punya anggaran untuk membeli buku semahal karyamu. Aku hanya membaca buku-buku
loakan yang harganya murah sekali dan menukarkannya kembali dengan buku yang lain setelah
membacanya tanpa harus tambah uang terlalu banyak. Mungkin lima ataua tujuh tahun lagi aku
baru bisa mendapatkan bukumu di loakan.
James menghentikan langkahnya.
Aku melakukan hal yangt sama dan segera mendapati mata pekatnya menyorot seperti
spotlight dengan fokus yang sempurna pada manik mataku.
James, Suaaraku hati-hati. Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah? Aku
melonggarkan kerongkongan yang tiba-tiba terasa kering tercekat. Em, maksudku apakah kau
tersinggung karena aku mengatakan bukumu di loakan?
Tidak, Bisiknya pelan. Aku hanya tidak pernah berpikir ada orang seperti kamu yang
tidak bisa membeli bukuku.
James, dengar ya, aku tidak sedang melankolis ataupun ingin dikasihani.
Tidak. Tidak. Kau tidak seperti itu.
Aku hanya sedang menatakan padamu sesuatu secara apa adanya. Aku ini Cuma
seorang penjahit yang tinggal jauh di kampung, kalau aku tidak membeli bukumu, itu bukan
karena ada sesuatu yang salah atau kurang dengan bukumu.
Baik. Aku mengerti, setidaknya berusaha. Tapi tawaran tentang rumah itu tetap
berlaku....
James,Suaraku agak terlalu tinggi. Aku sedang mencoba berpaling pada realitas,
jangan goda aku untuk bermimpi lagi.
Tidak, ini bukan mimpi.
Kau tahu aku sudah membelanjakan tabunganku untuk membeli peralatan memperbesar
usahaku.
Itu bagus,
Iya, itu artinya mimpiku untuk membeli rumah sudah terlewatkan.
Kau tidak perlu uang untuk memiliki kembali rumahmu yang dulu. Kau hanya perlu
keberanian untuk menandatangani surat nikah. Apakah kau berani?
Gerbang itu sudah dekat, Cuma tinggal beberapa langkah lagi. Namun sekarang aku
tidak tahu apakah aku akan sanggp mencapainya. Pertanyaan itu berisi tantangan yang aku

31

bahkantakut untuk memikirkan kemungkinannya. Berapa lama lelaki ini tiba di sini ? Berapa
banyak yang telah dia dengar tentang aku? Dia sedang mencoba menjajagi berapa dalam jurang
yang kusembunyikan dalam rongga dadaku seperti dulu laki-laki yang lain-lain mencobanya.
Hanya mencoba, tanpa benar-benar ingin menimbunnya.
Kau tentu tahu bahwa rumah masa lalumu itu juga memerlukan perempuan untuk masa
depannya. Sekarang aku sedang meminta kau untuk menjadi ratu di sana. Dia masih
menatapku, tampaknya dia tidak ragu, tapi aku jadi semakin khawatir dengan keyakinannya.
James, kalau kau banyak mendengar dan emmbuka mata tentu kau juga tahu berapa
kali hal semacam ini terjadi padaku dan berakhir dengan sangat menyakitkan.
Kau berharap aku menjadi penikmat dari gosip itu?
Seandainya itu Cuma gosip seperti yang kau punya. Sudahlah, kau lupakan
pembicaraan tentang ini. Kuharap kau suka dengan kelambu yang kau beli dariku.
Ya, aku suka kelmbu buatanmu, tapi aku tidak suka kelambu yang kau buat untuk
menutup mata hatimu, atau untuk sembunyi dariku.
Aku tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dengan susah payah kucapai pintu
gerbang dan kusampaikan salam. Angin malam yang berhembus searah denganku mendorong
langkahku menjauh dari rumah kenangan dan harapan itu. Aku pernah membenci James karena
dia merampas harapanku untuk bisa kembali ke rumah itu. Sekarang dengan segala yang dia
miliki dan ingin ia bagi denganku, dia punya potensi lebih besar untuk memporak-porandakan
hidupku. Aku takut tapi aku tidak ingin menjadi pengecut. Menghadapi James dengan berhasil
harus dimulai dengan menata hatiku sendiri secara dewasa.
Penggunaan bahasa untuk dialog tentu saja menggunakan pola bahasa lisan. Jadi apa yang
dituliskan untuk isi dialog adalah apa yang biasa diucapkan orang. Kalimatnya sering pendekpendek, terputus-putus, sahut-menyahut, dan berganti-ganti. Laku kalimatnya berbeda-beda,
mengikuti suasana. Kadang-kadang dalam dialog digunakan dialek bahasa daerah tertentu, yang
apabila dituliskan dalam bentuk uraian biasa, penggunaan dialek bahasa daerah itu kurang tepat.
Dialek bahasa daerah bisa digunakan untuk isi dialog yang fungsinya untuk mempertajam
suasana.
Selain beberapa hal diatas masih ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa
wacana narasi memerlukan adanya konflik. Konflik yang dimaksud adalah konflik antara
gagasan manusia dan kenyataan. Konflik tersebut tidak harus keras. Seperti dalam cerita di atas,
salah satu konfliknya adalah keinginan tokoh Aku untuk memiliki rumah keluarganya dan
kenyataan bahwa rumah tersebut telah dibeli oleh orang lain yang kecil kemungkinannya untuk
dijual lagi. Disamping itu, konflik juga terjadi antara harapan tokoh James untuk bisa memperistri
tokoh Aku dan kenyataan bahwa tokoh aku memiliki masa lalu yang pahit yang mencegahnya
untuk memenuhi keinginan James.
6.4. Wacana Deskripsi (Perian)
Wacana deskripsi adalah wacana yang melukiskan sesuatu sesuai dengna keadaan yang
sebenarnnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium dan merasakan)
apa yang dilukiskan itu sesuai dengan citra penulisnya. Wacana ini bermaksud menyampaikan
kesan-kesan tentang sesuatu, dengan kesan utama sebagai pengikat semua kesan yang dilukiskan.

32

Pelukis ini bertujuan menghadirkan barang, manusia, dengan sifat dan gerak-gerakannya, atua
sesuatu yang lain. Misalnya, suasana kampung yang begitu damai, tentram, dan saling menolong
dapat dilukiskan dalam wacana deskripsi.
Wacana deskripsi ada dua macam, yaitu wacana deskripsi yang faktawi dan wacana
deskripsi yang khayali. Wacana deskripsi yang pertama merupakan wacana yang berusaha
memberikan bangun, ukuran, susunan, warta, bahan menurut kenyataanya, dengan tujuan untuk
memberitahu/memberi informasi saja. Perian faktawi ini harus lengkap, sehingga dapat
memberikan gambaran yang jelas. Hal ini tidak berarti bahwa penulis harus memberikan barang
sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya.
Dalam penyusunan wacana deskripsi yang faktawi ini ada beberapa pedoman, yaitu (1)
Membayangkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diutarakan oleh pembaca/pendengar, dan
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam suatu perian, (2) Menentukan sudut
pandang pemerintah sebagai pegangan, dan (3) Mengatur rincian perian dari sifatnya yang
mencolok sampai pada yang kurang mencolok.
Wacana yang kedua merupakan wacana deskripsi yang berusaha memberikan ciri-ciri
fisik, cara-cara berlaku, sikap-sikap seseorang, keadaan suatu tempat menurut khayalan
penulisannya. Hal ini bertujuan membangun alur cerita agar lebih mampu memberikan gambaran
ke depan dan mampu menarik keingintahuan pembaca. Untuk mencapai hal itu, ada tiga syarat
yang harus idperhatikan, yaitu (1) pengamatan yang tajam, (2) Adanya kesan utama yang menjadi
pusat perian, (3) pemilihan kata-kata yang tepat.
Wacana deskripsi baik yang faktawi maupun yang khayali berusaha untuk menyajikan
kepada pembaca perian sedemikian rupa, agar pembaca seolah-olah melihat sendiri apa yang
diperiksa itu. Sudah tentu, penulis wacana deskripsi membutuhkan keterlibatan perasaan.
Perhatikan, bagaimana seorang penyiar radio yang melaporkan jalannya pertandingan sepak bola!
Kita yang mendengarkan radio seakan-akan ikut hadir di lapangan pertandingan, padahal kita
Cuma mendengarkan saja di rumah. Penyiar radio itu dapat melukiskan pertandingan secara
hidup, sehingga pendengar tak sadar ikut hanyut di dalamnya. Oleh karena itu, dalam wacana
deskripsi,

lukisan

yang

sehidup-hidupnya

sangat

diperlukan,

agar

dapat

memikat

pendengar/pembacanya.
Dalam karangan deskripsi, agar menjadi hidup, perlu dilukiskan bagian-bagian yang
penting sedetail mungkin. Jika melukiskan betapa ngerinya tersesat di hutan, maka situasi hutan
yang dapat menimbulkan kengerian itu harus dilukiskan selengkap-lengkapnya, sehingga
pembaca/pendengar dapat membayangkan bagaimana jika dia sendiri yang tersesat di hutan.
Seorang penumpang pesawat udara yang mengalami kecelakaan, untuk melukiskan betapa amat
kecilnya kemungkinan dia dapat selamat dari musibah itu, harus mampu menceritakan detaildetailnya yang penting, sehingga pembaca memperoleh kesan yang dalam bahwa keselamatannya
dalam musibah tersebut benar-benar merupakan takdir Tuhan.
Perhatikan contoh wacana deskripsi berikut ini.
Jalan dari Padang ke Kalumbuk Pau IX berkelok-kelok, melewati sawah yang subur
dan kincir air. Lalu membelok melalui jalan setapak. Sampailah ke sebuah rumah yang
terbuat dari dinding pelupuh(bambu yang digetok), asal menempel pada tiang yang lapuk.
Rumah panggung yang amat sederhana. Angin dengan leluasa menerpa rumah yang berukuran

33

7 x 6 M ini, karena pupuhnya berlobang. Juga atapnya dari daun pinang, langit yang tinggi akan
kelihatan. Dan jika hujan airpun tercurah dengan leluasa. Inilah rumah keluarga Thaher, yang
dihuni oleh tujuh orang. Rumah itu tidak jauh bedanya dengan .... kandang sapi.
Seseorang anak perempuan turun dari rumah panggung ini dengan meraba-raba. Ah,
lantai panggung ini memang tidak rapat, karena ketiadaan uang. Si gadis harus memasak, kerja
rutin, yang menjadi kewajibannya. Dapurnya hanya disudut rumah, persis di bawah tiang
penyangganya, dengan dinding ilalang yang tidak rata. Hanya ada sebuah panci untuk menanak
nasi dan sebuah wajan penggoreng. Itu saja kekayaan dapurnya karena yang dimasak pun tidak
ada, dan Yusnidar si gadis, dengan tekun bekerja dalam kegelapan, tanpa mengeluh, tanpa
banyak bicara.
Kemudian keluarlah Afrizal, dengan senyum mengembang, menyambut cerahnya pagi
yang dirasa melanda kulitnya. Dengan sabar dia menuntun sepeda yang sudah usang, berjalan
terlatih-latih juga, disusul pula oleh adiknya yang bernama yunalis dan sardiwal. Setiap pagi
Afrizal harus berjualan es, untuk ikut menunjang kehidupan keluarganya. Dia terpaksa
berjualan, walaupun matanya tidak melihat. Setiap hari dari hasil mereka ke seluruh desa, anak
ini dapat mengantongi uang Rp. 300,00 dan keseluruhannya diserahkan kepada ayahnya. Untuk
dibelanjakan. Apa dosa kami ?
Keluarga Thaher memang boleh dikataegorikan keluarga yang amat pada dan
menderita. Kebahagiaan Cuma hinggap sebentar saja dalam kehidupan keluarga. Ketika pak
Thaher yang buruh tani itu kawin dengan Yulims wanita yang berkulit kuning langsat dan
termasuk cantik ikalumbuk dia merasa sangat bahagia. Orang tua yang menjodohkannya, dan
dua bersyukur pada Tuhan.
Apabila ketika anak sulungnya lahir, lelaki. Anak inidiciuminya, dan terluncur katakata supaya anak lelakinya jadi anak yang sehat dan kuat untuk melindungi seluruh
keluarganya.
Kebahagiaan Thaher disempurnakan lagi. Isterinya mengandung, dan lahirlah anak
perempuan. Genap sudah apa yang dicita-citakan; punya anak laki-laki dan wanita. Tetapi sejak
itulah datanglah malapetaka yang beruntun, mak utih (karena kulitnya putih) merasa setiap pagi
matanya perih, tetapi siang hari kembali terang lagi. Begitu sebulan terus-menerus, sampai
akhirnya pada suatu pagi, ketika dia bangun dia melihat alam sekitarnya gelap. Utih menangis.
Kenapa ? kenapa matanya tidak melihat apa pun juga ? Ah, betapa rindunya melihat wajah anak
lelaki dan anak perempuannya. Ah. Betapa mungilnya bayi cantik ini. Ah, sekarang utih hanya
dapat meraba-raba saja.
Yusnidar sudah berumur dua tahun, sudah dapat berjalan tertaih-tatih. Mendengar
tawa yus. Utih suah merasa bahagia. Kalau Yus berlari, dia mengikuti daripendengarannya saja.
Tetapi suatu hari, suara tertawa Yus yang riang itu tidak didengarnya lagi. Yus sering jatuh dan
hatinya iba mendengar anaknya menjerit kesakitan.
Pak Thaher juga heran,kenapa Yus sering terantuk batu. Baru kemudian menyadari,
ketika tangannya digoyang di depan mata anaknya. Yus tidak memberikan reaksi.Anak ini
didekapnya dan air mata Thaher pun menetes. Ah, Yusnidaryang cantik inipun mengalami
kebutaan seperti ibunya. Dunia Yus tak lagi ceria. Betapa sukarnya Thaher untuk mengatakan
apa yang sebenarnya menimpa Yus, pada istrinya.Tiga hari dia merenung, memilih kata-kata

34

yang tepat. Musibah ini harus diketahui isterinya. Dan Utih pun menerima berita sedih ini hanya
meneteskan airmata. Tidak ada jalan lain selain menerima segala cobaan Tuhan. Kesedihan hati
utihpun agak terobati ketika ia mengandung lagi. Harapan timbul untuk memperoleh anak yang
sehat, yang dapat melihat. Anak ketiga lahir, Afrizal. Dan ketika umurnya dua tahun, anak yang
ganteng dan lincah inipun mengalami kebutaan pula. Tiba-tiba matanya yang cemerlang ada
bintik-bintik di bagian yang hitam, dan dunia pun menjadi gelap. Tidak nampak matahari pagi,
tidak dapat melihat indahnya sayap kupu-kupu, tidak dapat melihat wajah ayah ibu.
Anak keempat dan anak kelimademikian pula. Utih hanya sedih. Ya tuhan, apa dosa
kami? Mengapa kau menciptakan kami dengan derita ini? Utih hanya bersembahyang saja,
memohon kepada Tuhan, untuk memberikan pertolongan kepada anaknya yang mulai mengalami
kebutaan ketika berumur dua tahun.
Membaca kutipan di atas,kita seakan turut menyaksikan atau bahkan ikut merasakan
penderitaan keluarga Thaher, yang interi dan keempat anaknya buta, sementara hidup
merekapun teramat miskin. Kekayaan dapur dan bentuk rumah yang dilukiskan pengarang cukup
memberikan informasi kepada kita bahwa hidup keluarga Thaher memang sangat
memprihatinkan. Miskipun pada dasarnya wacana di atas masih memerlukan penyutingan,
tetapi dari yang tersaji itu telah menampakkan suasana prihatin yang dominan.
Berdasarkan sajian di atas, dapat dikatakan bahwa wacana deskripsi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu wacana deskripsi ekspositoris dan wacana deskripsi impresionestik atau
simulatif. Wacana deskripsi yang pertama bertujuan memberikan informasi dan menimbulkan
pembaca melihat, mendengar, merasakan apa yang dideskripsikan itu. Dalam lukisan di atas
dilukiskan dengan keberadaan keluarga Thaher sampai pada akibat malapetaka yang
menimpanya.
Wacana deskripsi yang kedua bertujuan membuat pembaca menginderanya dan
membuatnya bereaksi secara emosional terhadap apa yang dideskripsikan itu. Karena deskripsi
ini bertujuan mendapatkan reaksi pembaca, mulai pertama pengarang harus menentukan reaksi
apa yang dikehendaki. MIsalnya, pada kutipan di atas pengarang ingin memperoleh gambaran
keluarga yang miskin, maka pengarang memberikan keadaan rumah yang kecil, beratap ilalang,
telah lapuk, dan sebagainya. Dalam wacana semacam ini pengarang memulai uraiannya dari hal
yang menonjol.
6.5. Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi adalah wacana yang berusaha menerangkan atau menjelaskan pokok
pikiran yang dapat memperluas pengetahuan pembaca karangan itu. Wacana ini berutjuan
menyampaikan fakta-fakta secara teratur, logis, dan saling bertautan dengan maksud untuk
menjelaskan sesuatu ide, istilah, masalah, proses, unsur-unsur sesuatu, hubungan sebab-akibat,
dan sebagainya agar diketahui oleh orang lain. Dalam penerapannya, wacana ini dapat
menjelaskan dan memberikan keterangan belaka, atau dapat pula mengembangkan gagasan
sehingga menjadi luas dan gampang dimengerti.
Bentuk wacana eksposisi ini bermacam-macam, salah satunya adalah wacana eksposisi
tentang proses. Jika kita memaparkan sebuah proses terjadinya surat kabar, cara kerja suatu alat,
maka proses itu kita bagi dalam beberapa langkah. Setiap langkah diuraikan menurut urutan

35

waktu, yang dahulu, didahulukan, dan yang kemudian dikemudikan. Tiap langkah itu dijelaskan
sejelas-jelasnya, sehingga pembaca dapat mengerti.
Supay apaparan bertambah jelas, sering dipergunakan contoh-contoh ilustrasi, peta, tabel,
gambar, diagram, dan sebagainya. KArena itu dikenal pula beberpaa cara pemaparan. Cara
pemaparan tersebut ialah (1) dengan identifikasi, misalnya bila hendak menguraikan jati diri
seseorang, (2) dengan perbandingan atau pertentangan, (3) dengan ilustrasi dan contoh-contoh,
misalnya dalam membahas perpustakaan, kita dapat menggolongkan jenis-jenis perpustakaan, (5)
dengan analisis, misalnya berbicara tentang udara, kita dapat menerangkan unsur-unsur
pembentukannya, dan (^) dengan definis.
Difinis sebagai salah satu cara pemaparan ada beberapa cara untuk memaparkannya,
diantaranya adalah (1) memberikan sinonim, yaitu bentuk definisi yang paling singkat, (2)
memberikan definisi formal, yaitu memberikan batasan dengan melatakkan apa yang
didefinisikan itu dalam kelas umum (genus) dan kemudian membedakannya dari anggotaanggota lain dalam genus itu (deferensiasi), (3) memberikan definisi luas, yaitu mengembangkan
atau menerangkan lebih lanjut definisi singkat (4) menggolong-golongkan (mengklasifikasikan)
hal yang didefinisikan, (5) memberikan contoh-contoh konkret bagi konsep abstrak yang hendak
didefinisikan dan (6) memberikan definisi stipulatif, yakni penulis menentukan definisi yang
dimaksudnya, karena suatu istilah mungkin mempunyai sejumlah arti yang berbeda-beda. Definis
harus berguna besar untuk menerangkan secara tegas, sehingga setelah suatu kata/istilah
didefinisikan, pembaca tahu perbedaannya dengan hal-hal yang lain secara jelas tegas. Dengan
demikian, hal-hal yang lain secarajelas tegas. Dengan demikian janganlah memberi arti suatu
kata/istilah itu dengan arti yang belum menentu. Jangan pula memberikan definisi sesuatu secara
metaforis (kiasan) karena definisi harus menggunakan kata dalam arti yang sebenarnya.
Marilah kita ikuti contoh sepenggal wacana eksposisi berikut ini.
Dalam buku hasil Subsampel Sensus Penduduk 1980 (SP1) diperlihatkan bahwa lebih
dari 61% penduduk Indonesia mampu berbahasa indonesia dari yang terenah 50,7% (jawa timur)
sampai yang tertinggi 99,5% (DKI Jaya). Dalam tabel ini Indonesia dibagi atas lima wilayah (1)
Jawa-Madura (2) Sumatra, (3) Kalimantan, (4) Sulawesi, dan (5) Kepulauan lainnya.

36

TABEL 1
PERSENTASE PENDUDUK YANG DAPAT BERBAHASA INDONESIA MENURUT
PROPINSI/PULAI
Propinsi/Pulau

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

dan

Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Jawa-Madura
63,8
52,3
58,0
a. DKI Jakarta
99,5
99,4
99,5
b. Jawa Barat
66,0
57,2
61,6
c. Jawa Tengah
58,8
45,0
51,8
d. DI Yogyakarta
67,1
52,1
59,5
e. Jawa Timur
57,7
44,0
50,7
2. Sumatra
74,3
69,1
71,7
3. Kalimantan
68,1
59,3
63,8
4. Sulawesi
66,3
60,7
63,55
5. Kepulauan lain
66,0
53,9
59,9
Indonesia
66,4
54,4
61,4
Sumber: Seri D, sensus penduduk Indonesia 1980, biro pusat statistik
Dari kelima wilayah ini sumatra mempunyai presentase yang tertinggi (71,1% sebagai penduduk
yang dapat berbahasa indonesia. Rupanya, dalam ini dimaksudkan penutur-penutur bahasa daerah
melayu yang ada di Sumatera Timur Riau, Jampi, dan Palembang. Jawa-Madura mempunyai
presentase yang terendah, yaitu 58% ini barangkali agak mengherankan karena jawa mempunyai
penduduk yang relatif lebih banyak dikota jika dibandingkand engan pedesaan.
Kita umumnya mengganggap lebih banyak bahasa Indonesia digunakan dikota daripada
di pedesaan. Perbandingan penduduk umur 5 tahun keatas antara kota dan pedesaan di Jawa
Madura ialah 1.3 sedangkan di sumatera ialah 1:4 di kalimantan adalah 2:7; di Sulawesi adalah
1:5 dan dikepualauan lain adalah 2:7; (lihat tabel 8 dalam SPi 1980. Kemungkinan keterangannya
ialah bahwa (1) di luar Jawa Madura banyak terdapat orang di pedesaan yang menyatakan tahu
bahasa Indonesia karena tahu berbahasa melayu, seperti bahasa melayu, seperti bahasa melayu
Manado, Kupang, Ambon, Banjar Masin, dan bahasa-bahasa melayu di Sumatra dan (2) di Jawa
Madura terdapta konsentrasi penduduk pedesaan yang lebih homogen berbahasa daerah.
Persentase penduduk indonesia yang mampu berbahasa Indonesia adalah 60,8% dalam
SPI 1980 (tabel 2). Pada SPI 1971 persentase penutur bahasa Indonesia adalah 40,8% dan biro
pusat statistik memproyeksikan kenaikan persentase dalam tahun 1981 kepada 49,66%. Jadi,
kenyataan ada kelebihan 11% lebih daripada proyeksi statistik. Proyeksi jumlah penduduk untuk
tahun 1981 adalah 140 juta jiwa. Ini tidak sebanyak penduduk dalam SPI 1980, yang berjumlah
146 juta tetapi perbedaannya tidak sebesar perbedaan proyeksi penutur bahasa Indonesia.
Perbedaan yang lebih besar dalam jumlah penutur bahasa Indonesia kemungkinan sekali
karen akuran gdiperhitungkan cepatnya bertambah jumlah pelajar di sekolah. Umpamanya, dalam
dua tahun antara 1975 dan 1977 jumlah pelajar bertambah 14,5% (BP3K, 1979), sedangkan
pertambahan penduduk yang diproyeksikan dalam sepuluh tahun adalah kurang dari 28%. Ini saja
sudah cukup membuat perbedaan yang besar antara kenyataan dan proyeksi. Lagi pula ada juga
kiranya pengaruh dari pestanya berkembang telekomunikasi dan media massa yang ikut juga
perperan dalam bertambahnya penutur BI atau paling sedikit mempertahankan kemampuan
berbahasa Indonesia para penonton, pendengar, dan pembaca.

37

Kutipan di atas memaparkan jumlah penduduk Indonesia yang mampu berbahasa


Indonesia. Dari kutipan itu, pembaca akan menjadi tahu jumlah orang Indonesia yang dapat
berbahasa Indonesia, karena dalam kutipan itu, selain dicantumkan tabel persebarah pemakai
bahasa Indonesia, masih dijelaskan pula dalam uraian.
Selain seperti kutipan yang dicontohkan di atas, bentuk wacana eksposisi masih banyak
lagi, misalnya buku teks, laporan, buku tentang masakan, resensi buku, ringkasan dan artikelartikel dalam majalah. Pokoknya, semua uraian yang menjawab pertanyaan Apakah,
Bagaimana, Dari mana, dan Mengapa itu merupakan dan menjadi suatu eksposisi.
6.6 Wacana Argumentasi (Bahasan)
Wacana argumentasi adalah wacana yang berusaha memberikan alasan untuk memperkuat
atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Wacana ini termasuk wacana yang paling
sulit bila dibandingkan dengan wacana-wacana lain yang telah diuraikan terdahulu. Dalam hal ini
tidak berarti bahwa wacana argumentasi lebih penting atua lebih berharga dair pada waccanawacana yang lainnya, tetapi kesulitan tersebut muncul karena perlu adanya alasan dan atau bukti
yang dapat menyakinkan sehingga pembaca terpengaruh dan membenarkan gagasan, pendapat
sikap dan keyakinan. Dan lebih aripada itu, pembaca akan bertindak sesuai dengan apa yang
dimaksudkan penulis argumen itu.
Untuk menyakinkan orang lain agar terpengaruh dan kemudian bertindak seperti yang
diinginkan, tentu ada persyaratannya. Penulis argumen harus berpikir kritis dan logis serta mau
menerima pendapat orang lain sebagai bahan pertimbangan. Agar dapat mengajukan argumentasi,
penulis argumentasi harus memiliki pengetahuan atau pandangan yang luas tentang apa yang
dibicarakan itu. Kelogisan berpikir, keterbukaan sikap dan keluasan pandangan memiliki peranan
yang besar untuk mempengaruhi orang lain. Ini semua merupakan persyaratan yang diperlukan
untuk menyusun wacana argumentasi.
Kecuali lebih sukar, wacana argumentasi itu juga lebih beresiko, Wacana ini berpendapat
dan berusaha menyakinkan orang lain, maka sangat boleh jadi penulis berbeda pendapat dengan
pembaca. Masing-masing pihak makin memandang dari sudut yang berbeda, sehingga sikap dan
pendapatnya berlainan. Jangankan karena perbeaan sudut pandang. Dengan sudaut pandang yang
sama pun orang mungkin saja berbeda sikap dan pendapatnya tehradpa sesuatu, karena setiap
orang berhak berpendapat dan bersikap sendiri-sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hanya sikap dan pendapat yang masuk askal, lengkap dengan pembuktian yang mampu
mempengaruhi orang lain.
Agar dapat mempengaruhi orang lain, berikut ini diberikan beberapa petunjuk untuk dapat
menulis menulis wacana argumentatif, yakni (1) cari dan kumpulkan fakta-fakta, (2) batasi pokok
pembicaraan menurut tempat dan waktu (3) atur bahan-bahan argumentasi (4) buat karangan
yang menarik, dengan menghindari klise-klise, bahasa yang abstrak, dan hal-hal yang sudah jelas
dengan sendirinya (5) buat wacana yang jelas dengan bahasa yang sederhana, (6) buat wacana
yang bertenaga, yaitu dengan menempatkan gagasan-gagasan yang penting pada posisi yang
tepat. Posisi yang terkuat dalam kalimat ialah posisi akhir, posisi tengah ialah posisi lemah, dan
posisi awal lebih kuat dari posisi tengah dan (7) dengan idlupakan tujuan yang akan dicapai.

38

Kalau kita inventarisasi setiap isyu yang dilontarkan mahasiswa, hampir semua selalu
berorientasi ke atas, hampir semua selalu berorientasi ke atas. Selalu mencoba menyoroti
masalah-masalah puncak kenegaraan. Adalah amat sedkiti kita menemui isyu yang dilontarkan
itu benar-benar diangkat dari realitas sebagian terbesar rakyat kita yang ada di pedesaan. Realitas
Pak Kromo digebuk di Boyolali sana, itulah realitas masyarakat kita. Realitas dari manusia yang
kekurangan gizi ... Kalau setiap gerakan yang menjadi dasar dari cara kita mengungkapkan
sesuatu ketik becusan fihak lain, katakanlah penguasa, juga tidak becus, apa kita masih bermimpi
bahwa gerakan kita akan berhasil? Saya masih cenderung untuk mengatakan bahwa kebanyakan
dari gerakan mahasiswa yang ada hingga saat ini hanya dilandasi oleh sikap emosional belaka,
yang oleh karenanya menjadi tidak menyentuh permasalahan. Gerakan sedemikian ini bukannya
tidak baik, bahkan dalam banyak hal gerakan itu pun tinimbang tidak sama sekali. Cuma
masalahnya, apakah tidak ada kemungkinan lain untuk mendewasakan setiap cara berpikir dan
cara bertindak? Apakah kita tidak mampu mengangkat dan merumuskan aspirasi yang sebenarnya
dari Pak Kromo yang menderita HO di Boyolali Sana? Apakah kita harus puas kalau bisa teriak,
atau sebarkan isyu, atua buat statemen, dan ramai-ramai mempersembahkannya ke kantor DPR
sana? Atau apakah kita sudah puas hanya turun kejalan dan mencaci maki, yang mungkin mudah
melahairkan anarkhi? Saya kita tak bertujuanhanya untuk itu dalam menyusun langkah dan sikap.
SEbagai kelompok elite dalam masyarakat mahassiwa bukan hanya dituntut Cuma untuk teriak
belaka, tetapi juga dituntut untuk siap dengan permasalahan dan mampu membangun suatu
tatanan baru. Itu falsafahnya, Sikap-sikap yang Cuma bisa teriak, bagiamanapun juga
melahiarkan pahlawan-pahlawan cengeng. Dan kita tak suka itu. Seorang Sarjana Amerika
bernama Hutington pernah berkata bahwa salah satu kelamahan dari gerakan-gerakan
kemahasiswaan di Indonesia adalah keceneerungan mereka untuk melakukan revolusi kekotaan.
Revolusi yang tidak pernah sambung: dengan aspirasi rakyat pedesaan. Gerakan-gerakan
semacam itu, bagaimanapun hebatnya, pasti tidak akan mampu bertahan dari ujung bayonet.
Apakah kita masih baru berada ditaraf yang sedemikian itu? Alangkah belum dewasanya kita
kalau begitu.
Terlepas dari struktur kalimat dan penggunaan paragraf, isi penggalan wacana di atas
ingin mengajak mahasiswa untuk tidka Cuma berorientasi ke atas dalam kegiatan-kegiatan
gerakannya, tetapi yang terlebih penting bagiamana dapat melontarkan isyu yang benar-benar
diangkat dari realitas masyarakat dipedesaan. Karena wacana tersebut tampak berusaha
menyakinkan dan mempengaruhi pembaca, wacana itu dapat digolongkan kedalam argumentasi.
Penggalan di atas menyajikan argumen untuk memperkuat ajakannya. Makin dianggap kokoh
argumen tersebut, makin besar pengaurhnya terhadap pembaca.

BAB 2 SINTAKSIS
2.1. Pengertian Sintaksis

39

Menurut Badulu,abdul muis(2005:44) Sintaksis adalah telaan tentang hubungan kata-kata


atau satuan-satuan sintaksis yang lebih besar dalam kalimat. Dengan, kata lain sintaksis
adalah telaan tentang struktur kalimat.
2.2. Fungsi Sintaksis
Menurut Kridalaksana,harimuti(2002:49) Fungsi sintaksis sebagai tonggak ketiga dalam
gramatika, diberi pengertian hubungan saling ketergantungan antara unsur-unsur dari suatu
perangkat, sedemikian rupa sehingga perangkat itu merupakan keutuhan dan membentuk
sebuah struktur.

2.3. Kalimat imperatif


Menurut Chaer,abdul(2009:197) kalimat imperatif adalah kalimat yang meminta
pendengar atau pembaca melakukan suatu tindakan. Kalimat imperatif ini dapat berupa
kalimat perintah, kalimat himbauan, dan kalimat larangan.
Menurut Badulu,abdul muis(2005:53) kalimat imperatif adalah kalimat turunan
yang dibentuk dari kalimat inti dengan melesapkan subjek (orang kedua),menggunakan
pola intonasi akhir yang mendatar, serta menyatakan perintah atau permintaan.
Jadi, kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya menyuruh orang lain untuk
melakukan sesuatu yang kita kehendaki
2.3.1. Kalimat perintah
Mengharapkan adanya reaksi berupa tindakan fisik. Menurut sifatnya dapat
dibedakan adanya kalimat perintah yang tegas, yang biasa, dan yang halus.
1)Kalimat perintah yang tegas dibentuk dari sebuah klausa tidak lengkap, biasanya
hanya berupa verba dasar, disertai dengan intonasi kalimat perintah. Dalam bahasa
tulis intonasi ini diganti dengan tanda seru. Contoh:
(1) Bersihkan!
(3)Tulis!
(2) Tembak!
Disini verba itu dapat pula dilengkapi dengan objek atau keterangan agar tidak
menimbulkan salah paham. Misalnya, kalimat imperatif diatas menjadi:
(1) Bersihkan ruangan ini!

(3) Tulis namamu disini

(2) Tembak kakinya!


2.3.2. Kalimat imperatif yang biasa dibentuk dari sebuah klausa berpredikat verba yang
Diberi partikel lah, serta dengan menanggalkan subjeknya. Contoh:
(1) Jagalah kebersihan!
(2) Bayarlah dengan uang pas!
Kalau orang yang diperintah itu tertentu, maka subjek pada kalimat tersebut
ditampilkan. Misalnya:
(1) Ali, Jagalah kebersihan!

40

2.3.3. Kalimat imperatif yang sopan, halus, dibentuk dengan menggunakan kata-kata
tertentu yang menunjukan tingkat kesopanannya.Contoh:
(1) Mohon agar surat-surat itu Bapak tanda tangani dulu
(2) Tolong sampaikan salam kami kepadanya
(3) Saya minta agar saudara segera meninggalkan tempat ini
Catatan:
Cara lain untuk memerintah dengan halus adalah dengan menggunakan kalimat
imperatif. Simak contoh berikut:
(1) Dapatkah anda menunggu sebentar disini?
(2) Apakah tidak sebaiknya kita berangkat sekarang?
2.3.4. Kalimat Larangan
Kalimat larangan mengharapkan jawaban berupa tidak melakukan sesuatu yang
disebutkan dalam kalimat itu. Oleh karena itu, dalam kalimat larangan ini digunakan kata-kata
pencegahan, seperti kata jangan, dilarang, tidak boleh, dan gabungan kata sebaiknyatidak,
sebaiknya.jangan, dan mohontidak. Sama halnya dengan kalimat perintah, kalimat larangan
ada yang tegas, yang biasa dan yang halus atau sopan.
1) Kalimat larangan yang tegas dibentuk dari sebuah klausa, yang diawali dengan kata
dilarang, dan biasanya dengan menanggalkan subjek klausa tersebut. Contoh:
(1) Dilarang parkir disini
(2) Dilarang merokok
2) Kalimat larangan yang biasa dibentuk dari sebuah klausa yang diawali dengan kata jangan
atau tidak boleh. Kalau larangan itu bersifat langsung ditunjukan kepada seseorang atau
sekelompok orang, maka subjek dalam kalimat itu tidak boleh ditanggalkan,tetapi kalau
larangan itu bersifat tidak langsung ditunjukan kepada seseorang, maka subjek perlu
ditanggalkan. Contoh:
Langsung:
(1)Kamu tidak boleh duduk disini
(2)Kalian jangan pergi dulu
Tidak langsung
(1)Jangan berdiri di pintu!
(2)Jangan dipegang!
3) Kalimat larangan yang bersifat halus dibentuk dari sebuah klausa diawali dengan katakata sebaiknya,hendaknya,mohon,dan sebagainya disertai kata tidak atau jangan. Coba
simak contoh berikut:
(1) Sebaiknya kamu tidak duduk disini
(2) Hendaknya anda jangan melupakan jasa orang itu
(3) Kami harap agar anda tikda menganggu ketenangan disini

2.4. Kalimat interjektif

41

Kalimat

interjektif

adalah

kalimat

untuk

menyatakan

kagum,kaget,terkejut,takjub,heran,marah,sedih,gemas,kecewa,tidak
Kalimat

interjektif

disusun

dari

sebuah

klausa

diawali

emosi,seperti
suka,dan

dengan

kata

karena

sebagainya.
seru,seperti

wah,nah,aduh,ah,hah,alangkah,dan sebagainya.Simak contoh berikut:


(1)Wah, mahal sekali! kata ibu karena terkejut
(2)Aduh, sakitnya bukan main! keluh anak itu
Catatan:
Kata seru seperti ayo dan mari biasanya juga digunakan dalam kalimat ajakan. Misalnya:
(4) Ayo,kita tinggalkan tempat ini
(5)Mari kita berangkat sekarang
Penyusunan kalimat pasif,kalimat negatif, dan kalimat tak langsung
Ketiga bentuk kalimat ini disusun dari kalimat dasar atau klausa dasar.
2.5. Kalimat pasif
Menurut Badulu,abdul muis(2005:53) kalimat pasif adalah kalimat turunan yang
dibentuk dengan menggunakan verba pasif, yaitu verba yang dibentuk dengan menambahkan
awalan tertentu, seperti awalan di-dalam bahasa Indonesia,pola intonasi akhir turun, dan dengan
ketentuan bahwa objek kalimat inti menjadi subjek kalimat pasif.
Menurut Chaer,abdul(2009:201) Istilah kalimat pasif lazim didiktomikan dengan istilah
kalimat aktif,karena lazim dibicarakan bahwa kalimat pasif itu dibentuk dari kalimat aktif.
Namun, tidak semua kalimat aktif dapat diubah menjadi kalimat pasif.
Jadi, kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya merupakan penderita atau dikenai pekerjaan.
Kalimat aktif yang dapat diubah menjadi kalimat pasif adalah kalimat aktif yang fungsi
predikatnya diisi oleh verba transitif,yaitu verba yang memiliki komponen makna (+tindakan)
dan (+sasaran) atau (+hasil). Secara formal klausa atau kalimat yang predikatnya berupa verba
transitif ini akan diikuti sebuah objek,yang berperan sebagai sasaran maupun sebagai hasil
tindakan. Verba transitif ini secara morfologi ditandai dengan adanya prefiks meinflektif.
2.5.1. Proses penyusunan kalimat pasif
Pertama, memindahkan objek kalimat aktif menjadi subjek dalam kalimat pasif. Kedua,
memindahkan subjek kalimat aktif menjadi objek kalimat pasif, mengubah bentuk verba dari
berprefiks me-menjadi verba berprefiks di-. Lalu,terakhir menempatkan preposisi oleh sebagai
penanda pelaku secara oposional diantara predikat dan objek pelaku. Proses itu seperti:
Kalimat aktif:
Kalimat pasif:
S + P+O
S+P+O
V- me
V-di
Contoh kalimat:
(1) Nenek membaca komik
menjadi
Komik dibaca (oleh) nenek
2.5.2Beberapa kaidah
1) Proses penyusunan kalimat pasif seperti dijelaskan diatas hanya bisa dilakukan kalau
subjeknya atau pelakunya adalah nomina nama perkerabatan (seperti nenek,ibu,dan ayah), nama
jabatan (seperti camat,bupati, dan gubernur), serta nama pangkat dan gelar ( seperti letnan,
dokter, dan raden). Simak contoh berikut:
(1) Buku itu dibaca (oleh) adik
(2) Bangunan itu diresmikan (oleh) gubernur
Namun, bila subjeknya atau pelakunya pronomina persona (kata ganti diri) saya, aku, engkau,
kamu, dan mereka verbanya tidak berprefis di-. Posisi prefiks di- itu digantikan oleh kata ganti
itu, sedangkan bila pelakunya adalah kata ganti dia, maka verbanya berprefiks di- dan diikuti
kata ganti. Simak contoh-contoh berikut:
(1) Buku itu saya baca
(2) Bukut itu kubaca
2) Dalam bahasa Indonesia ada beberapa verba yang disebut cerba bitransitif, yakni verba yang
secara tradisional dikatakan memiliki dua buah objek, yang pertama disebut objek langsung dan
yang kedua disebut objek tak langsung. Contoh:
(1) Nenek membelikan adik sepatu baru
(2) Kakak membacakan nenek cerita lucu
Proses pemasifannya adalah dengan menjadikan objek yang terletak langsung dibelakang
predikat menjadi subjek, memindahkan subjek menjadi objek, mengganti prefiks me- dengan
prefiks di-, dan menempatkan objek kedua pada posisi akhir kalimat. Contoh:

42

(1) Adik dibelikan nenek sepatu baru


(2) Nenek dibacakan kakak cerita lucu
3) Sebagai verba infleksional verba berprefiks me- dapat diganti dengan prefiks di.
Oleh karena itu, disamping kalimat pasif dengan prefiks di- ada juga kalimat pasif dengan prefiks
ter-. Misalnya:
Kalimat aktif :
(1) Adik membawa buku itu
Kalimat pasif:
(2) Buku itu dibawa adik
(3) Buku itu terbawa adik
4) Kalimat aktif transitif yang predikatnya berupa frase verba transitif, seperti pada kalimat:
(1) Saya akan membaca surat itu
(2) Saya belum membaca surat itu
Dapat dipasifkan dengan menempatkan objek pelakunya yaitu saya diantara subjek dan verbanya.
Maka kalimat pasifnya adalah :
(1) Surat itu akan saya baca
(2) Surat itu belum saya baca
5) Kalimat-kalimat seperti:
(1) Dia datang menagih hutang
(2) Mereka berlari mengejar pencuri itu
(3) Beliau duduk membaca Koran
Tidak dapat dipasifkan karena predikat kalimat-kalimat itu adalah dating, berlari dan duduk yang
jelas bukan verba transitif. Sedangkan verba menagih, mengejar, dan membaca hanyalah bagian
dari keterangan tujuan, yang lengkapnya:
(1) Dia datang untuk menagih hutang
(2) Mereka berlari untuk mengejar pencuri itu
(3) Beliau duduk sambil membaca Koran
6) Dalam bahasa Indonesia disamping adanya kalimat pasif berprefiks di- dan ter- ada juga
kalimat pasif berkonfiks ke-an, seperti pada kalimat:
(1) Kemarin dia kecopetan di bus kota
(2) Semalam kami pulang kehujanan
Kalimat pasif ke-an tidak dapat diubah kedalam kalimat aktif karena memang bukan diturunkan
dari sebuah kalimat aktif.
7) Dalam bahasa Indonesia ragam nonformal digunakan kalimat pasif ke- sebagai padanan
kalimat pasif ter-. Contoh:
(1) Tulisannya tidak kebaca (=terbaca)
(2) Kami kejebak macet (=terjebak)
2.6 Kalimat Negatif/ Menyangkal
Menurut Chaer,abdul(2009:206) istilah kalimat negatif/menyangkal didikotomikan
dengan istilah kalimat positif. Semua kalimat dasar, yang dibuat dari klausa dasar, adalah kalimat
positif. Jadi, Kalimat negative dibentuk dari kalimat(klausa) positif dengan cara menambahkan
kata-kata negasi atau kata sangkalan ke dalam klausa (kalimat) dasar itu.
Menurut Badulu,abdul muis(2005:51) kalimat menyangkal adalah kalimat turunan yang
dibentuk dari kalimat inti dengan menggunakan unsur menyangkal (negatif) dalam frasa verba
dan pola intonasi akhir turun.
Jadi, kalimat negatif adalah kalimat yang digunakan menyangkal sebuah kalimat positif.
2.6.1 Kalimat negatif dengan kata penyangkal tidak, Contoh:
(1) Mereka tidak datang
(2) Anak itu tidak pandai
(3) Tidak yang kecil, tidak yang besar, semua diambilnya
2.6.2 Kalimat negatif dengan kata penyangkal bukan,Contoh:
(1) Bukan saya yang mengambil buku itu
(2) Itu namanya bukan menyanyi, melainkan berteriak-teriak
(3) Yang diperlukan bukan dua orang, tetapi lima orang
2.6.3 Kalimat negatif dengan kata penyangkal tanpa,Contoh:
(1) Tanpa dibacanya surat itu langsung dirobeknya
(2) Rumah itu dibangun tanpa izin dari P2B
2.3.4 Kalimat negatif dengan kata penyangkal tiada,Contoh:

43

(1) Dia lewat saja didepanku, tiada menoleh sedikit pun


(2) Tiada uang tentu tiada barang
2.7 Kalimat Tak Langsung
Kalimat tak langsung lazim didikotomikan dengan kalimat langsung,karena kalmat tak
langsung ini adalah ubahan dari kalimat langsung. Masalah ini lazim dibicarakan dengan
pendidikan formal dan dalam praktik berbahasa pun lazim digunakan. Kalimat langsung adalah
kalimat yang langsung diucapkan oleh seorang pembicara. Misalnya :
(1) Presiden berkata, Korupsi harus diberantas sampai tuntas!
Ujaran Korupsi harus diberantas sampai tuntas adalah ucapan langsung presiden. Kalau kalimat
itu dijadikan kalimat tak langsung strukturnya menjadi sebagai berikut:
(1) Presiden berkata, bahwa korupsi harus diberantas sampai tuntas.
Bagaimana susunan kalimat tak langsung itu, tergantung pada modus kalimat langsungnya.
2.7.1 Kalimat tak langsung bermodus deklaratif
Kalimat deklaratif adalah kalimat yang berisi pernyataan dari seorang mengenai faktafakta di sekitarnya. Kalimat deklaratif ini tentu saja diberikan dalam kalimat langsung. Contoh:
(1) Siska berkata, Sekarang saya sudah bekerja.
Lalu, kalau kalimat itu dijadikan kalimat tidak langsung, maka strukturnya menjadi:
(1) Siska berkata, bahwa sekarang dia sudah bekerja.
2.7.2 Kalimat tak langsung bermodus interogatif
Kalimat interogatif adalah kalimat yang diucapkan seseorang untuk mengetahui sesuatu
yang belum diketahuinya kepada orang yang ditanya. Orang yang ditanya diharapkan dapat
memberikan jawaban secara lisan. Kalimat interogatif ini tentu dinyatakan dalam bentuk kalimat
langsung. Contoh:
(1) Kepala sekolah bertanya kepada saya, Mengapa kamu belum membayar SPP?
Kalimat tak langsungnya
(1) Kepala sekolah bertanya kepada saya, bahwa mengapa saya belum membayar uang
SPP.
Catatan:
Kalimat tak langsung bermodus interogatif tidak diakhiri dengan intonasi tanya dan dalam bahasa
tertulis tidak diberi tanda tanya (?).
2.7.3 Kalimat tak langsung bermodus imperatif
Kalimat imperatif adalah kalimat yang berisi perintah atau berisi larangan yang harus
dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang yang mendengarnya. Kalimat imperatif ini tentu
dianjurkan secara langsung. Misalnya:
(1) Kata Bapak kepada saya, Mintalah surat keterangan pada Pak Lurah!
Kalimat tak langsungnya
(1) Kata Bapak kepada saya, bahwa saya harus minta surat keterangan pada Pak Lurah
2.7.4 Kalimat tak langsung bermodus interjektif
Kalimat interjektif adalah kalimat yang berisi seruan berkenaan dengan emosi pengujar,
misalkan berkenaan dengan rasa kagum, heran, sedih, terkejut, dan marah. Misalnya:
(1) Siska tiba-tiba mengeluh, Aduh,kepalaku sakit sekali!
Kalau dijadika kalimat tak langsung strukturnya menjadi:
(1) Siska tiba-tiba mengeluh, bahwa kepalanya sakit sekali.
2.8 Pemfokusan makna kalimat
Yang dimaksud dengan fokus kalimat adalah upaya penonjolan, penegasa, pementingan,
penekanan, atau pengkonsentrasian pada salah satu unsure atau bagian kalimat yang
dipentingkan. Upaya pemfokusan ini dapat dilakukan, antara lain, dengan bantuan:
2.8.1 Fokus dengan intonasi

44

Pemfokusan dengan intonasi akan atau terutama lebih nyata dalam bahasa ragam lisan
karena intonasi akan dapat dirasakan. Dalam ragam tulis tentu intonasi itu tidak dapat didengar.
Perhatikan Contoh berikut:
(2) Kakek membaca komik di kamar
(3) Kakek membaca komik di kamar
(4) Kakek membaca komik di kamar
(5) Kakek membaca komik di kamar
Kalau tekanan diberikan pada kata kakek, maka kalimat tersebut yang membaca komik adalah
kakek, dan bukan orang lain. Kalau tekanan diberikan pada kata membaca, maka berarti yang
dilakukan adalah membaca, dan bukan pekerjaan lain. Lalu kalau tekanan diberikan pada kata
komik, maka berarti yang dibaca kakek adalah komik, dan bukan bacaan lain. Kemudian kalau
tekanan diberikan pada frase di kamar, maka berarti tempat membaca adalah di kamar.
2.8.2 Fokus dengan partikel
Partikel yang ada untuk menyatakan fokus adalah kata yang,serta gabungan pun dan lah.
Aturannya adalah sebagai berikut:
1) Partikel yang ditempatkan diantara subjek dan predikat dalam sebuah kalimat. Contoh:
(1) Siska yang datang tadi pagi (maknanya lebih terfokus pada kata siska dari pada
kalimat Siska datang tadi pagi)
2) Partikel gabungan lah- yang ditempatkan di antara subjek dan predikat pada sebuah
kalimat verbal atau kalimat ajektifal. Partikel gabungan lah- yang lebih tegas daripada
yang dibicarakan di atas. Contoh:
(1) Kamilah yang ditegur beliau
3) Partikel gabungan pun-lah digunakan dengan aturan: partikel pun dilekatkan pada akhir
subjek, sedangkan partikel lah ditempatkan pada akhir predikat yang berupa verba
intransitive. Contoh:
(1) Buronan itupun keluarlah dari tempat persembunyiaanya
2.8.3 Fokus dengan keterangan
Kata keterangan yang dapat digunakan untuk pemfokusan makna kalimat adalah kata
memang, sebenarnya, sebetulnya, dan sesungguhnya. Simak contoh berikut:
(1) Memang dia belum tahu apa-apa
(Fokus makna pada keseluruhan kalimat)
(2) Dia memang belum tahu apa-apa
(Fokus makna pada subjek dia)
(3) Dia belum tahu apa-apa memang
(Fokus makna pada belum tahu apa-apa)
2.8.4 Fokus dengan konjungsi penegas
Konjungsi penegas yang dapat digunakan untuk pemfokusan makna kalimat adalah kata
bahkan, apalagi, dan lagipula. Ketiga kata ini lazim digunakan di muka klausa kedua pada sebuah
kalimat majemuk koordinatif. Simak contoh berikut:
(1) Kiranya lebih baik uang ini kita gunakan dulu untuk membeli sembako daripada
membayar langganan listrik, Lagipula sekarang baru tanggal sepuluh.
2.8.5 Fokus makna dengan permutasi
Yang dimaksud dengan permutasi adalah memindahkan unsur kalimat ke posisi depan
karena unsur tersebut ingin difokuskan maknanya. Susunan kalimat yang biasa adalah subjek (S)predikat(P)- objek(O)-keterangan(Ket). Nah, dalam permutasi unsure kalimat atau fungsi kalimat
yang ingin difokuskan maknanya dipindahkan ke posisi awal kalimat.
1) Pemindahan predikat
Kalau fokus makna ingin ditekankan predikat, maka fungsi predikat ini ditempatkan pada
awal kalimat. Namun, pemindahan fungsi predikat ini tidak begitu saja dapat dilakukan, karena
harus diperhatikan dulu kategori kata (frase) yang menduduki fungsi predikat itu.
1) Kalau predikatnya berupa verba intransitive, maka pemindahan predikat itu dapat
dilakukan. Contoh:
(1) Keluar buronan itu dari persembunyiannya
P
S
Ket.

45

2)

3)

4)

5)

6)

Dalam hal ini untuk lebih terfokus lagi pada predikat itu ditempatkan partikel lah. Contoh:
(2) Keluarlah buronan itu dari persembunyianya
Kalau predikatnya berupa verba transitif, maka predikat beserta objeknya harus
dipindahkan sekaligus, dan bila ingin diberi partikel lah, partikel itu harus dirangkaikan di
belakang objek. Contoh:
(1) Menulis suratlah dia kepada sahabatnya
Kalau predikatnya berupa kategori ajektifa atau frase ajektifal, maka predikat ini hanya
bisa dipindahkan ke posisi awal kalau subjeknya bersifat khas atau berupa maujud
tertentu. Contoh:
(1) Gemuk orang itu (dari: orang itu gemuk)
Kalau predikatnya berupa kategori nomina, maka predikat itu dapat dipindahkan ke posisi
awal kalimat kalau subjeknya bersifat khas atau tertentu. Misalnya:
(1) Pegawai swasta ayahku (kalimat asal: Ayahku pegawai swasta)
Kalau predikatnya berupa kata bilangan atau frase bilangan, maka predikat itu dapat
dipindahkan ke posisi awal. Contoh:
(1) Lima ekor anak kucing itu ( Kalimat awal: Anak kucing itu lima ekor)
Kalau predikatnya berupa frase depan, maka predikat itu tidak dapat dipindahkan ke
posisi awal kalimat. Contoh:
(1) Ke pasar ayahnya (kalimat awal: Ayahnya ke pasar)

2.8.6 Pemindahan Objek


Objek sebuah kalimat aktif transitif tidak dapat dipindahkan ke posisi awal kalimat karena
objek tersebut terikat erat dengan predikatnya. Jadi, Kalau mau dipindahkan harus beserta
predikatnya. Contoh:
(1) Membaca komik nenek tua itu. (Kalimat awal: Nenek tua itu membaca komik)
Namun, kita dapat memindahkan objek kalau objek itu berada pada sebuah kalimat pasif.
Simak contoh berikut:
(1) Oleh pers masalah itu dibesar-besarkan. ( Kalimat awal: Masalah itu terlalu dibesarbesarkan oleh pers)
2.8.7 Pemindahan pelengkap
Pelengkap tidak dapat dipindahkan ke posisi awal, karena tugas pelengkap itu melengkapi
predikat. Jadi, pelengkap harus selalu berada di belakang predikat. Simak struktur berikut tidak
berterima:
(2) Air botol itu berisi (Kalimat awal: Botol itu berisi air)
2.8.8 Fokus makna dengan kontras makna
Fokus makna dapat juga dilakukan dengan mengontraskan dua bagian kalimat. Bagian
pertama menyatakan suatu tindakan atau keadaan. Lalu, bagian kedua menyatakan kebalikan dari
bagian pertama itu. Contoh:
(3) Anjing mudah dilatih, kucing lebih bandel
(4) Kakaknya cerdas dan rajin, padahal dia bodoh dan malas.
2.9 Kalimat dalam wacana
2.9.1 Wacana
Kalimat-kalimat yang disusun dan dibicarakan pada pembahasan sebelumnya adalah
kalimat-kalimat lepas yang berdiri sendiri-sendiri. Padahal di dalam tuturan praktik berbahasa
yang sebenarnya kalimat-kalimat itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan satu dan yang
lainnya saling berkaitan. Akibat dai saling berkaitan ini, maka struktur kalimat itu menjadi
berbeda dengan strukturnya sewaktu berdiri sendiri-sendiri. Simak contoh berikut:
(1) Benyamin artis penyanyi, pelawak, dan pemain film itu telah tiada (1). Dia dilahirkan
di Jakarta sebelum tentara Jepang menduduki Indonesia (2).
Teks tersebut terdiri dari dua buah kalimat. Kalimat (1) merupakan kalimat bebas sebagai
kalimat yang berdiri sendiri, tetapi kalimat (2) bukanlah sebuah kalimat bebas. Ketika sebagai
kalimat yang berdiri sendiri bunyinya adalah:
(1) Benyamin dilahirkan di Jakarta sebelum tentara Jepang menduduki Indonesia

46

Satuan bahasa yang terdiri dari sebuah kalimat atau beberapa kalimat yabng menyatakan
satu pesan atau satu amanat yang utuh, seperti teks di atas disebut wacana. Ada juga yang
menggunakan istilah diskursus (Inggris: Discourse).
Sebuah wacana sebagai satuan terbesar di dalam kajian sintaksis bisa berupa satu kailmat,
seperti ungkapan:
(1) Jagalah kebersihan
Namun, lazimnya terdiri dari beberapa atau sejumlah kalimat. Satuan wacana terkecil
yang dibangun oleh sejumlah kalimat adalah sebuah paragraph. Maka, untuk selanjutnya disbeut
wacana disini adalah satuan paragraf.
2.9.2 Sarana pengaitan kalimat
Pengaitan sebuah kalimat dengan kalimat lain di dalam sebuah wacana (paragraph) dapat
dilakukan, antara lain dengan sarana atau alat:
2.9.3 Konjungsi
Yang digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat lain dalam
sebuah klausa adalah konjungsi antar kalimat. Konjungsi antarkalimat ini dapat dibedakan atas:
1) Konjungsi yang menyatakan kesimpulan, yaitu konjungsi jadi, maka, kalau begitu,
dengan demikian, dan begitulah. Contoh:
Bulan lalukamu meminjam yang saya RP 100.000,- sekarang meminjam lagi RP
60.000,-. Jadi, hutangmu semua berjumlah RP 160.000.-.
2) Konjungsi yang menyatakan sebab atau alasan, yaitu konjungsi sebab itu, karena itu,
oleh karena itu, dan itulah sebabnya. Contoh:
(1) Sungai-sungai dan saluran-saluran air di Jakarta penuh dengan sampah dan
kotoran. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran kalau bahaya banjir selalu
mengancam Jakarta.
3) Konjungsi yang menyatakan waktu, yaitu konjungsi sebelum itu, sesudah itu, dan
sementara. Contoh:
(1) Kami baru saja selesai membangun balai pertemuan ini. Sebelum itu, kami
telah berhasil merehab masjid tua itu.
4) Konjungsi yang menyatakan menegaskan atau menguatkan, yaitu konjungsi itu pun,
lagi pula, apalagi, selain itu, dan tambahan lagi. Contoh:
(1) Anaknya itu memang nakal. Apalagi kalau tidak ada ibunya.
5) Konjungsi yang menyatakan pertentangan, yaitu konjungsi sebaliknya dan berbeda
dengan. Contoh:
(1) Di kantor beliau sangat galak kepada bawahanya. Sebaliknya, di rumah dia
sangat takut pada istrinya.
2.9.4 Penunjukan
Hubungan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain di dalam satu wacana dapat pula
dilakukan dengan penunjukan. Kata-kata yang digunakan adalah kata ganti tunjuk (pronominal
demonstrative) itu dan ini. Kata ganti tunjuk itu digunakan untuk menunjuk sesuatu yang jauh
atau dianggap jauh, dan kata ganti tunjuk ini digunakan untuk menunjuk yang dekat atau
dianggap dekat. Contoh:
(1) Kalau kamu rajin belajar, rajin beribadat, dan taat pada orang tua, tentu
hidupmu akan bahagia. Ini kukatakan kepadamu karena kamu sudah
kuanggap sebagai adikku sendiri.
2.9.5 Kata ganti (pronomina persona)
Kata ganti yang digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang
lain di dalam satu wacana adalah kata ganti orang ketiga, baik tunggal maupun jamak, yaitu kataata dia, ia, nya, dan mereka. Termasuk juga kata beliau, almarhum, dan almarhumah. Contoh:
(1) Pangeran diponegoro adalah seorang pahlawan nasional yang telah berjuang
melawan penjajahan Belanda di Jawa Tengah. Beliau meninggal jauh dari tanah
kelahirannya.
2.9.5 Perapatan

47

Perapatan adalah penghilangan unsure yang sama antar kalimat sebelum dan kalimat
sesudahnya pada kalimat sesudahnya atau yang mengikutinya. Perapatan dapat juga digunakan
untuk mengaitkan dua buah kalimat dalam sebuah wacana. Contoh:
(1) Saya baru beberapa hari di sini. Belum punya kenalan, belum kemana-mana.
2.9.6 Padanan kata
Kata atau frase yang maknanya berpadanan dengan kata atau frase lain dapat digunakan
untuk menghubungkan atau mengaitkan dua buah kalimat di dalam sebuah wacana. Perhatikan
contoh berikut:
(1) Kalau anda tidak dapat masuk universitas terkenal, itu bukan berarti anda
bodoh. Anda tahu Einstein, bukan? Sarjana fisika pemenang hadiah Nobel
itu pernah gagal ujian masuk universitas.
Kita lihat, kata Einstein pada kalimat kedua sama maknanya dengan frase sarjana fisika
pemenang hadiah Nobel pada kalimat ketiga. Keduanya digunakan untuk menghubungkan kedua
kalimat tersebut. Lalu, frase tidak dapat masuk universitas pada kalimat pertama berpadanan
dengan gagal ujian masuk universitas pada kalimat ketiga. Kedua frase itu menjadi penghubung
antara kalimat pertama dan kalimat ketiga.
2.9.7 Lawan kata
Kata atau frase yang maknanya berlawanan, bertentangan, beroposisi, atau berkontras
dapat digunakan untuk mengaitkan dua buah kalimat di dalam sebuah wacana . Simak contoh
berikut:
(1) Saya mau menjual. Anda mau membeli. Kalau harga sudah kita sepakati, kita
akan sama-sama puas.
2.9.8 Hiponim
Dua buah kata yang berhiponim (mempunyai hubunga sebagai spesifik dan generik) dapat
juga digunakan sebagai alat pengait antara dua buah kalimat di dalam sebuah wacana. Contoh:
(1) Surat-surat kabar memberitakan tentang banjir yang terjadi di Cina dan
Amerika. Kiranya bencana alam bukan hanya terjadi di negeri kita saja.
2.9.10. Kesamaan tema
Kesamaan tema atau pokok masalah dapat juga digunakan untuk menghubungkan dua
buah kalimat dalam sebuah klausa. Contoh:
(1) Pedagang-pedagang Cina selalu berusaha tidak mengecewakan pembeli.
Maka tidak usah heran kalau mereka tidak pernah kehilangan pelanggan.
2.9.11. Kesejajaran
Kesejajaran atau paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang dibentuk dengan cara
menyusun beberapa kalimat dengan unsure-unsur yang sama atau hamper sama, baik mengenal
jumlah , isi, maupun pola kata yang digunakan. Kesejajaran ini dapat juga digunaka untuk
menghubungkan dua kalimat di dalam sebuah wacana. Contoh :
(2) Berpikirlah dengan tenang. Bertindaklah secara bijak. Hidupmu akan
bahagia.
(3) Datangklah kalau kau perlu. Pergilah kalau kau mau. Asal segalanya sudah
kau tahu
2.9.12. Struktur kalimat dalam wacana
Sudah dibicarakan di atas bahwa wacana adalah satuan bahasa tertinggi yang bisa berupa
satu kalimat, bisa juga dari sejumlah kalimat, maka untuk mencapai keutuhan wacana itu,
kalimat-kalimat harus selalu memiliki kaitan antara yang satu dengan yang lain. Sebagai akibat
dari keharusan itu maka kalimat di dalam suatu wacana strukturnya bisa bermacam-macam. Di
antaranya adalah:
1) Kalimat sederhana, yang dibangun oleh sebuah klausa sederhana dengan susunan biasa
(subjek, predikat, objek, dan keterangan).
2) Kalimat luas, baik yang terjadi akibat penambahan keterangan pada fungsi-fungsi
sintaksisnya, maupun akibat penggabungan secara koordinatif, maupun penggabungan
secara subordinatif.
3) Kalimat dengan urutan fungsi yang tidak biasa, misalnya kalimat inverse, kalimat pasif
dengan objek pelaku di depan, dan sebagainya. Contoh:
(1) Oleh pemerintah RUU itu diajukan kepada DPR.

48

4) Kalimat yang konstituennya hanya berupa sebuah kata, seperti dalam kalimat interogatif
singkat, dan kalimat jawaban singkat, juga dalam kalimat imperatif singkat, dan
sebagainya. Contoh:
(1) Mau?
(3) Tembak!
(5) Wah!
Tidak
(2) Bisa?
(4) Baca!
(6) Sial!
Tentu saja bisa
5) Kalimat yang konstituennya berupa frase, seperti dalam kalimat interogatif singkat,
kalimat jawaban singkat, dan sebagainnya.
Contoh:
(1) Mau makan?
Tentu saja
6) Kalimat yang konstituen dasarnya berupa klausa bunting, yakni klausa tidak lengkap.
Misalnya:
(1) Saya baru dua hari di Jakarta. Belum ke mana-mana. Belum Jalan-jalan.
(klausa buntung yang dicetak miring)
7) Kalimat lanjutan, yakni kalimat yang diawali dengan konjungsi koordinatif. Misalnya:
(1) .. Dan dia sendiri tidak tahu apa-apa
(2) .. Tetapi adiknya rajin sekali
(3) Kalimat sampingan, yakni kalimat yang diawali dengan konjungsi
subordinatif. Misalnya:
(4) .. Walaupun dia punya uang cukup
(5) .. Sebab saya tidak setuju dengan pendapatny

Pertanyaan:
1)
2)
3)
4)
5)

Apa yang dimaksud dengan kata telaan?


Jelaskan maksud dari konjungsi penegas?
Apa yang dimaksud dengan didikotomikan?
Jelaskan pengertian kalimat deklaratif dan berikan contohnya
Jelaskan arti dari kalimat imperatif dan bagaimana jika dimasukan ke suatu
artikel?
6) Apa maksud dari Fokus dengan keterangan?

49

BAB 3
DIKSI
1.1 Pengertian Diksi atau Pilihan Kata
Menurut Keraf, Goris ( 1985;78 ) Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan
secara tepat nuansa nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok
masyarakat pendengar.
Menurut Muliono, Anton M ( 1982;115 )Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata, gaya
bahasa, ungkapan-ungkapan pengarang untuk mengungkapkan sebuah cerita.
Menurut B.S, Kusno ( 1990;105 ) Diksi adalah kata-kata yang mempunyai kemiripan atau
kesamaan yang sering divariasikan secara bebas pemakaiannya.
Diksi memiliki beberapa bagian; pendaftaran kata formal atau informal dalam konteks sosial
adalah yang utama. Analisis diksi secara literal menemukan bagaimana satu kalimat
menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan
dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang
berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter yang introspektif.
Selain itu juga Diksi, digambarkan dengan kata seni berbicara jelas sehingga setiap kata
dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini
membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya. Atau kemampuan
membedakan secara tepat nuansa nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Jika dilihat dari kemampuan pengguna bahasa, ada beberapa hal yang mempengaruhi pilihan
kata, diantaranya :
1. Ketepatan dalam pemilihan kata dalam menyampaikan gagasan.
2. Pengarang harus memiliki kemampuan dalam membedakan secara tepat nuansa-nuansa
makna, sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan menemukan
bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembaca.
3. Menguasai berbagai macam kosakata dan mempu memanfaatkan kata-kata tersebut
menjadi kalimat yang jelas, efektif, dan efisien.

Contoh paragraf :

50

1. Hari ini Aku pergi ke pantai bersama dengan teman-temanku. Udara di sana sangat sejuk.
Kami bermain bola air sampai tak terasa hari sudah sore. Kamipun pulang tak lama kemudian.
2. Liburan kali ini Aku dan teman-temanku berencana untuk pergi ke pantai. Kami sangat senang
ketika hari itu tiba. Begitu sampai disana kami sudah disambut oleh semilir angin yang tak hetihentinya bertiup. Ombak yang berkejar-kejaran juga seolah tak mau kalah untuk menyambut
kedatangan kami. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari di sana. Kami pulang dengan hati
senang.
Kedua paragraph diatas memiliki makna yang sama, tetapi dalam pemilihan kata atau diksi,
paragraph kedua lebih menarik bagi pembaca karena enak dibaca dan tidak membosankan.
1.2 Fungsi, dan Elemen- Elemen Diksi
Fungsi dari diksi :

Untuk mencegah kesalah pahaman.

Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.

Untuk Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal.

Supaya suasana yang tepat bisa tercipta.

Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga
menyenangkan pendengar atau pembaca.
Diksi juga memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan
sintaks. Diksi terdiri dari enam elemen :
Fonem
Fonem sebuah istilah linguistik dan merupakan satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih
bisa
menunjukkan perbedaan makna. Fonem berbentuk bunyi.
Misalkan dalam bahasa Indonesia bunyi [k] dan [g] merupakan dua fonem yang berbeda,
misalkan
dalam kata "cagar" dan "cakar". Tetapi dalam bahasa Arab hal ini tidaklah begitu. Dalam bahasa
Arab
hanya ada fonem /k/.
Sebaliknya dalam bahasa Indonesia bunyi [f], [v] dan [p] pada dasarnya bukanlah tiga fonem
yang
berbeda. Kata provinsi apabila dilafazkan sebagai [propinsi], [profinsi] atau [provinsi] tetap sama
saja.

Silabel
Suku kata atau silabel (bahasa Yunani: sullab) adalah unit pembentuk kata yang
tersusun dari
satu fonem atau urutan fonem. Sebagai contoh, kata wiki terdiri dari dua suku kata: wi dan ki.
Silabel
sering dianggap sebagai unit pembangun fonologis kata karena dapat mempengaruhi ritme dan
artikulasi suatu kata.
Konjungsi
Konjungsi kata atau ungkapan yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata
dengan
kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, serta kalimat dengan kalimat. Contoh: dan, atau,
serta.
Preposisi dan konjungsi adalah dua kelas yang memiliki anggota yang dapat beririsan. Contoh
irisannya
adalah karena, sesudah, sejak, sebelum.
Nomina
Nomina atau kata benda adalah kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau
semua

51

benda dan segala yang dibendakan. Kata benda dapat dibagi menjadi dua: kata benda konkret
untuk
benda yang dapat dikenal dengan panca indera (misalnya buku), serta kata benda abstrak untuk
benda
yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal dengan pikiran (misalnya cinta).
Selain itu, jenis kata ini juga dapat dikelompokkan menjadi kata benda khusus atau nama diri
(proper
noun) dan kata benda umum atau nama jenis (common noun). Kata benda nama diri adalah kata
benda
yang mewakili suatu entitas tertentu (misalnya Jakarta atau Ali), sedangkan kata benda umum
adalah
sebaliknya, menjelaskan suatu kelas entitas (misalnya kota atau orang).
Verba
Verba (bahasa Latin: verbum, "kata") atau kata kerja adalah kelas kata yang menyatakan suatu
tindakan,
keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Jenis kata ini biasanya menjadi
predikat
dalam suatu frasa atau kalimat. Berdasarkan objeknya, kata kerja dapat dibagi menjadi dua: kata
kerja
transitif yang membutuhkan pelengkap atau objek seperti memukul (bola), serta kata kerja
intransitive
yang tidak membutuhkan pelengkap seperti lari.
Infleksi
Adalah proses penambahan morpheme infleksional kedalam sebuah kata yang mengandung
indikasi
gramatikal
seperti
jumlah,
orang,
gender,
tenses,
atau
aspek.

1.3 Jenis- Jenis Diksi


Berdasarkan Makna
1. Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna
yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang terkandung sebuah kata
secara objektif. Makna denotatif sering disebut makna konseptual. Misalnya, kata makan yang
bermakna memasukkan sesuatu kedalam mulut, dikunyah dan ditelan.
Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial,
sikap pribadi dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata makan
pada makna konotatif berarti untung atau pukul. Makna konotatif selalu berubah dari zaman ke
zaman. Contoh lainnya misalnya kamar kecil dapat bermakna konotatif jamban, sedangkan
makna denotative adalah kamar yang kecil.
2. Makna Umum dan Makna Khusus
Kata umum adalah kata yang acuannya lebih luas. Kata khusus adalah kata yang acuannya lebih
sempit atau khusus. Misalnya ikan termasuk kata umum, sedangkan kata khusus dari ikan adalah
mujair, lele, gurami, gabus, koi. Contoh lainnya misalnya lele dapat menjadi kata umum, jika kata
khususnya adalah lele lokal, lele dumbo.
Berdasarkan Leksikal
1. Sinonim
Sinonim adalah dua kata atau lebih yang pada asasnya mempunyai makna yang sama, tapi
bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau kemiripan.

52

Misalnya kata cermat dan cerdik yang keduanya bersinonim, tetapi keduanya tidaklah sama
persis.
2.Antonim
Antonim
adalah
dua
buah
Contoh:
Bagus berantonim dengan jelek.

kata

yang

maknanya

dianggap

3.

berlawanan.

Homonim
Homonim adalah dua buah kata atau lebih yang sama bentuknya tetapi maknanya berlainan.

Contoh

Ibu mengukur kelapa terlebih dahulu sebelum mengupas pisang itu


1.4 KESESUAIAN DIKSI
Perbedaan ketepatan dan kecocokan pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan
digunakan dalam kesempatan tertentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan tambahan
berupa perbedaan tata bahasa,pola kalimat, panjang atau kompleknya suatu alinea, dari beberapa
segi lain. Perbedaan antara ketepatan dan kesesuaian dipersoalkan adalah apakah kita dapat
mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam sebuah kesempatan dan lingkungan
yang kita masuki.

Syarat- Syarat Kesesuaian Diksi


Syarat-syarat

kesesuaian

diksi

adalah

sebagai

berikut:

1.Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandard dalam situasi yang formal.
2.Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum
hendaknya

penulis

3.Hindarilah
4.Penulis

jargon

atau

5.Dalam

dan

pembicara
penulisan

6.Hindarilah

pembicara
dalam

sejauh

mempergunakan

tulisan
mungkin

jangan

ungkapan-ungkapan

untuk

menghindari

popular.

pembaca
pemakaian

mempergunakan
usang

kata-kata

kata-kata

kata

(idiom

umum.
slang

percakapan.
yang

mati).

7.Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artfisial.


Hal-hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam bagian-bagian di bawah ini
1.

Bahasa

Standar

dan

Sub

Standar

Bahasa standar adalah semacam bahasa yang dapat dibatasi sebagai tutur dari mereka yang
mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup dalam suatu
masyarakat. Kelas ini meliputi pejabat-pejabat pemerintah, ahli bahasa, ahli hukum, dokter,
pedagang,

guru,

penulis,

penerbit,

seniman,

insinyur,

dan

lain

sebagainya.

Bahasa non stsndar adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh pendidikan yang
tinggi. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa, tidak di pakai dalam tulisan.
Kadang unsur ini digunakan juga oleh para kaum pelajar dalam bersenda gurau, dan berhumor.
Bahasa non stadar juga berlaku untuk suatu wilayah yang luas dalam wilayah bahasa standar.
Bahsa standar lebih efektif dari pada bahasa non standar. Bahasa non standar biasanya cukup
untuk

digunakan

dalam

kebutuhan-kebutuhan

umum.

53

2.

Kata

Ilmiah

dan

Kata

Populer

Pilihan kata dalam hubungan dengan kesempatan yang dihadapi seseorang dapat dibagi atas
beberapa

macam

kategori

ilmiah

salah

satunya

melawan

adalah

kata-kata

kata-kata
populer.

Bagian terbesar dari kosa kata sebuah bahasa terdiri dari kata-kata yang umum yang dipakai
oleh semua lapisan masyarakat, baik yang terpelajar maupun orang atau rakyat jelata. Maka kata
ini

dinamakan

kata-kata

populer.

Kata-kata ini juga dipakai dalam pertemuan-pertemuan resmi, dalam diskusi-diskusi yang
khusus,

dan

dalam

diskusi-diskusi

ilmiah.

kata

ilmiah

Contoh:
Kata

populer

Sesuai

Harmonis

Pecahan

Fraksi

Aneh

Eksentrik

Bukti

Argumen

Kesimpulan

konklusi

3.

Jargon
Kata

jargon

mengandung

beberapa

pengertian.

Jargon adalah suatu bahasa,dialek, atau struktur yang dianggap kurang sopan atau aneh tetapi
istilah itu dipakai juga untuk mengacu semacam bahasa atau dialek hybrid yang timbul dari
percampuran bahasa-bahasa, dan sekaligus dianggap sebagai bahasa perhubungan atau lingua
franca.
Jargon diartikan sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu, dalam
bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok-kelompok khusus lainnya.
Oleh karena jargon merupakan bahasa yang khusus sekali, maka tidak akan banyak artinya
bila dipakai untuk suatu sasaran yang umum. Sebab itu, hendaknya dihindari sejauh mungkin
unsur

jargon

dalam

sebuah

tulisan

4.Kata

umum.
Percakapan

Kata percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orangorang yang terdidik. Pengertian percakapan ini disini sama sekali tidak boleh disejajarkan dengan
bahasa

yang

tidak

benar,

tidak

terpelehara

atau

tidak

disenangi.

Bahasa percakapan yang dimaksud disini lebih luas dari pengertian kat-kat populer, kata-kata
percakapan mencakup pula sebagian kata-kata ilmiah yang biasa dipakai oleh golongan terpelajar
5.Kata

Slang

Kata slang adalah kata-kata non standar yang disusun secara khas; bertenaga dan jenaka yang
dipakai dalam percakapan. Kadang kala kata slang yang dihasilkan dari salah ucap yang
disengaja.
Kata-kata slang sebenarnya bukan hanya terdapat pada golongan terpelajar, tetapi juga pada

54

semua

lapisan

masyarakat.

6.Idiom
Idiom adalah pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum,
biasanya berbentuk frase, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis, dengan bertumpu
pada makna kata-kata yang membentuknya, misalnya: seorang asing yang sudah mengetahui
makna kata makan dan tangan, tidak akan memahami makna perasa makan tangan. Siapa yang
berfikir bahwa makan tangan sama artinya dengan kena tinju atau beruntung besar ? dan
selanjutnya idiom-idiom yang menggunakan kata makan seperti: makan garam, makan hati, dan
senagainya.
7.Bahasa
Yang

Artifisial
dimaksud

dengan

artifisial

adalah

bahasa

yang

disusun

secara

seni.

Fakta dan pernyataan-pernyataan yang sederhana dapat diungkapkan dengan sederhana dan
langsung

tak

perlu

disembunyikan.

Artifisial : Ia mendengar kepak sayap kalelawar dan guyuran sisa hujan dari dedaunan, karena
angin

kepada

kemuning.

Ia mendengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bima
sakti

yang

jauh.

Biasa :Ia mendengar bunyi sayap kelelawar dan sisa hujan yang ditiup angin di daun.
Ia mendengar derap kuda dan pedati ketika langit mulai terang.

1.5 Pembentukkan Kata


Terdapat dua cara dalam pembentukkan kata, yaitu dari luar dan dari dalam bahasa Indonesia.
Pembentukkan dari dalam yaitu terbetuknya kata baru dengan dasar kata yang sudah ada,
sedangkan dari luar melalui proses serapan.
1. Kesalahan Pembentukkan dan Pemilihan Kata
Pada subbab ini akan disebutkan kesalahan dalam pembentukkan kata, yang sering ditemukkan
dalam bahasa lisan maupun tulis.
1. Penanggalan awalan meng2. Penanggalan awalan ber3. Peluluhan bunyi /c/
4. Penyengauan kata dasar
5. Bunyi /s/, /k/, /p/, dan /t/ yang tidak luluh
6. Awalan ke- yang keliru pemakaian akhiran ir
7. Padanan yang tidak serasi
8. Pemakaian kata depan di, ke, dari, bagi, pada, daripada, dan terhadap
9. Penggunaan kesimpulan, keputusan, penalaran, dan pemukiman

55

10. Penggunaan kata yang hemat


11. Analogi
12. Bentuk jamak dalam bahasa Indonesia

2. Definisi
Definisi adalah suatu pernyataan yang menerangkan pengertian suatu hal atau konsep istilah
tertentu. Dalam hal membuat definisi hal yang tidak boleh dilakukan adalah mengulang kata yang
kita definisikan.
Contoh definisi:
Majas personifikasi adalah kiasan yang menggambarkan binatang, tumbuhan dan benda-benda
mati seakan hidup selayaknya manusia, seolah punya maksud, sifat, perasaan dan kegiatan seperti
manusia.

Definisi terdiri dari


2.1 Definisi nominalis
Definisi nominalis adalah menjelaskan sebuah kata dengan kata lain yang lebih umum
dimengerti. Biasanya digunakan untuk membuka suatu pembicaraan atau diskusi.
2.2 Definisi realis
Definisi realis adalah penjelasan tentang isi yang terkandung dalam sebuah istilah, bukan hanya
menjelaskan tentang istilah. Defiisi realis terbagi atas :

Definisi esensial, yaitu penjelasan dengan cara menguraikan perbedaan antara penjelasan
dengan cara menunjukkan bagian-bagian suatu benda(definisi analitik) dengan penjelasan
dengan cara menunjukkan isi dari suatu term yang terdiri atas genus dan
diferensia(definisi konotatif).

Definisi diskriptif, yaitu pejelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat khusus yang
menyertai hal tersebut dengan penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana suatu hal
terjadi.

2.3 Definisi praktis


Definisi praktis adalah penjelasan tentang suatu hal yang dijelaskan dari segi kegunaan atau
tujuan. Definisi praktis terbagi atas tiga macam, yaitu :

Definisi operasional, yaitu penjelasan dengan cara menegaskan langkah-langkah


pengujian serta menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati.

Definisi fungsional, yaitu penjelasan sesuatu hal dengan cara menunjukkan kegunaan dan
tujuannya.

Definisi persuasif, yaitu penjelasan dengan cara merumuskan suatu pernyataan yang dapat
mempengaruhi orang lain, bersifat membujuk orang lain.

3. Kata Serapan
Kata serapan adalah kata yang diadopsi dari bahasa asing yang sesuai dari EYD. Kata serapan
merupakan bagian perkembangan bahasa Indonesia. Kosa kata bahasa Indonesia banyak yang
menyerap dari bahasa asing. Bahasa-bahasa asing yang diserap kedalam bahasa Indonesia antara

56

lain bahasa Sansekerta, Arab, Belanda, Inggris dan Tionghoa. Penyerapan kata kedalam bahasa
Indonesia meliputi dua unsur, yaitu:

Keteraturan bahasa(analogi): dikatakan analogi jika kata tersebut memiliki bunyi yang
sesuai antara ejaan dan pelafalannya.

Penyimpangan atau ketidakteraturan bahasa(anomali): dikatakan anomali apabila kata


tersebut tidak sesuai antara ejaan dan pelafalannya.

4.Analogi
Karena analogi adalah keteraturan bahasa, tentu saja lebih banyak berkaitan dengan kaidahkaidah bahasa, baik dalam bentuk fonologi, sistem ejaan, atau struktur bahasa. Beberapa kata
yang sudah sesuai dengan sistem fonologi, baik melalui proses penyesuaian maupun tidak,
misalnya:
Bahasa Indonesia
aksi
bait
boling
dansa
derajat
ekologi
fajar
insane

Bahasa Aslinya
action(inggris)
bait(arab)
bowling(inggris)
dance(inggris)
darrajat(arab)
ecology(inggris)
fajr(arab)
insane(arab)

Menurut taraf integrasinya unsur pinjaman dari bahasa asing dapat dibagi dua golongan. Pertama
unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia. Unsur pertama ini
digunakan dalam bahasa Indonesia, tetapi penulisan dan pengucapannya masih mengikuti aturan
bahasa asing. Unsur yang kedua kata pinjaman yang penulisan dan pengucapannya telah
disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia.
5. Anomali
Perhatikan kata-kata berikut ini :
Bahasa Indonesia
bank
intern
quran
jumat

Bahasa Aslinya
bank(inggris)
intern(inggris)
quran(arab)
jumat(arab)

Beberapa kata diatas merupakan kata yang mengandung unsur anomali. Bila diamati lafal yang
kita keluarkan dari mulut dengan ejaan yang tertera, tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia
yaitu bank=(nk), jumat=().
Sedangkan kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia secara utuh tanpa mengalami
perubahan penulisan memiliki kemungkinan untuk dibaca bagaimana aslinya, sehingga timbul
anomali dan fonologi, seperti contoh berikut :
Bahasa Indonesia
expose
export
exodus

Bahasa Aslinya
expose
export
exodus

Kadang-kadang kata tidak hanya satu morfem, ada juga yang terdiri dari dua morfem atau lebih,
sehingga penyerapannya dilakukan secara utuh, misalnya :

57

Bahasa Indonesia
federalisme
bilingual
dedikasi
edukasi

Bahasa Aslinya
federalism(inggris)
bilingual(inggris)
dedication(inggris)
education(inggris)

Pertanyaan:

1) Apakah diksi bisa dipakai dalam karya ilmiah dan karya ilmiah seperti apa?
2) Apa yang dimaksud dengan komplesitas dan ekstrimitas?
3) Apa yang dimaksud pembagian jargon diatek taybert?
4) Apa yang dimaksud dengan dialek?
5) Apa yang dimaksud dengan definisi nominalis dan realis?
6) Apa pengertian dari slang?
7) Apa pengertian dari idiom?
8) Apa yang dimaksud dengan denotatif?
9) Apa yang dimaksud dengan konotatif?

BAB 4
PARAGRAF
A. Pengertian Paragraf
(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) Paragraf berasal dari bahasa yunani yaitu
paragraphos yang artinya (menulis disamping atau tertulis disamping) adalah suatu
jenis tulisan yang memiliki tujuan atau ide. Awal paragraf ditandai dengan masuknya ke
baris baru. Terkadang baris pertama dimasukkan; kadang-kadang dimasukkan tanpa
memulai baris baru.
Sebuah paragraf biasanya terdiri dari pikiran, gagasan, atau ide pokok yang
dibantu dengan kalimat pendukung. Paragraf non-fiksi biasanya dimulai dengan umum
dan bergerak lebih spesifik sehingga dapat memunculkan argumen atau sudut pandang.
Setiap paragraf berawal dari apa yang datang sebelumnya dan berhenti untuk dilanjutkan.
Paragraf umumnya terdiri dari tiga hingga tujuh kalimat semuanya tergabung dalam
pernyataan berparagraf tunggal.
Dalam fiksi prosa
Contoh :
tapi hal ini umum bila paragraf prosa terjadi di tengah atau di akhir. Sebuah
paragraf dapat sependek satu kata atau berhalaman-halaman, dan dapat terdiri dari satu

58

atau banyak kalimat. Ketika dialog dikutip dalam fiksi, paragraf baru digunakan setiap
kali orang yang dikutip berganti.
Praktik di Amerika secara umum adalah menandakan paragraf baru dengan
memasukkan baris pertama (tiga hingga lima spasi), dengan baris kosong antara paragraf,
sementara penulisan bisnis menggunakan baris kosong dan tanpa masukan (hal ini
biasanya dikenal sebagai "paragraf blok"). Untuk karya tulis masukan dan tanpa baris
kosong digunakan. Banyak terbitan buku menggunakan alat untuk memisahkan paragraf
lebih jauh ketika ada perubahan adegan atau waktu. Spasi tambahan ini, khususnya ketika
terjadi pada page break, dapat mendatangkan sebuah asterisk, tiga asterisk, sebuah
dingbat

istimewa,

atau

simbol

khusus

yang

dikenal

sebagai

asterisme.

(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Paragraf atau alinea adalah suatu bentuk bahasa yang biasanya
merupakan hasil penggabungan beberapa kalimat. Dalam upaya menghimpun beberapa
kalimat menjadi paragraph, yang perlu diperhatikan adalah kesatuan dan kepaduan.
Kesatuan berarti seluruh kalimat dalam paragraf membicarakan satu gagasan(gagasan
tunggal).Kepaduan berarti seluruh kalimat dalam paragraf itu kompak, saling berkaitan
mendukung gagasan tunggal paragraf.
Dalam kenyataannya kadang-kadang kita menemukan alinea yang hanya terdiri
atas satu kalimat, dan hal itu memang dimungkinkan. Namun, dalam pembahasan ini
wujud alinea semacam itu dianggap sebagai pengecualian karena disamping bentuknya
yang kurang ideal jika ditinjau dari segi komposisi, alinea semacam itu jarang dipakai
dalam tulisan ilmiah. Paragraf diperlukan untuk mengungkapkan ide yang lebih luas dari
sudut pandang komposisi, pembicaraan tentang paragraf sebenarnya ssudah memasuki
kawasan wacana atau karangan sebab formal yang sederhana boeh saja hanya terdiri dari
satu paragraf. Jadi, tanpa kemampuan menyusun paragraf, tidak mungkin bagi seseorang
mewujudkan sebuah karangan.
Dalman: paragraph disebut juga alenia, bukanlah suatu pembagian serta
konvensional dari suatu bab yang terjadi atas kalimat-kalimat, tetapi lebih dalam
maknanya dari suatu kesatuan kalimat saja. Paragraph tidak lain dari suatu pemikiran,
suatu kesatuan yang lebih tinggi atau luas dari kalimat. Secara tifografis, paragraph
merupkan suatu kelompok teks yang ditandai kelakuan (identitation), kata yang pertama
ditulis lebih kedalam sebanyak beberapa kelakuan.
Paragraph merupakan rangkaian atau himpunan kalimat-kalimat yang bertalian
dalam suatu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan yang biasanya mengandung
suatu ide pokok atau pikiran pokok dan penulisannya dimulai dengan baris baru. Para ahli
bahasa Indonesia memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam mengidentifikasikan
paragraph.
Paragraph adalah seperangkat kalimat tersusun logis sistematis yang merupakan
suatu kesatuan ekspresi pemikiran yang relevan dan yang mendukung pikiran pokok yang
tersirat dalam keseluruhan

59

B. Jenis-jenis

paragraph

a. Berdasarkan paragraph dan letak kalimatnya


1. Narasi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) Narasi

adalah

paragraf

yang

menceritakan suatu kejadian atau peristiwa. Ciri-cirinya: ada kejadian, ada palaku,
dan ada waktu kejadian.
Contoh :
Anak itu berjalan cepat menuju pintu rumahnya karena merasa khawatir
seseorang akan memergoki kedatangannya. Sedikit susah payah dia membuka
pintu itu. Ia begitu terkejut ketika daun pintu terbuka seorang lelaki berwajah
buruk tiba-tiba berdiri di hadapannya. Tanpa berpikir panjang ia langsung
mengayunkan tinjunya ke arah perut lelaki misterius itu. Ia semakin terkejut
karena ternyata lelaki itu tetap bergeming. Raut muka lelaki itu semakin
menyeramkan, bagaikan seekor singa yang siap menerkam. Anak itu pun
memukulinya berulang kali hingga ia terjatuh tak sadarkan diri.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Karangan ini berisi rangkaian peristiwa yang susulmenyusul, sehingga membentuk alur cerita. Karangan jenis ini sebagian besar
berdasarkan imajinasi.
Contoh :
Jam istirahat. Roy tengah menulis sesuatu di buku agenda sambil menikmati
bekal dari rumah. Sesekali kepalanya menengadah ke langit-langit perpustakaan,
mengernyitakan kening,tersenyum dan kembali menulis. Asyik sekali,seakan
diruang perpustakaan hanya ada dia.
2. Deskripsi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf)

Deskripsi

adalah

paragraf

yang

menggambarkan suatu objek sehingga pembaca seakan bisa melihat, mendengar,


atau merasa objek yang digambarkan itu. Objek yang dideskripsikan dapat berupa
orang, benda, atau tempat.Ciri-cirinya: ada objek yang digambarkan.
Contoh :
Perempuan itu tinggi semampai. Jilbab warna ungu yang menutupi kepalanya
membuat kulit wajanya yang kuning nampak semakin cantik. Matanya bulat
bersinar disertai bulu mata yang tebal. Hidungnya mancung sekali mirip dengan
para wanita palestina.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Berisi gambaran mengenai suatu hal atau keadaan
sehingga pembaca seolah-olah melihat, merasa atau mendengar hal tersebut.
Contoh :
Gadis itu menatap Doni dengan seksama. Hati Doni semakin gencar memuji
gadis yang mempesona di hadapanya. Ya, karena memang gadis didepannya itu
sangat cantik. Rambutnya hitam lurus hingga melewati garis pinggang. Matanya
bersinar lembut dan begitu dalam, memberikan pijar mengesankan yang misterius.
Ditambah kulitnya yang bersih, dagu lancip yang menawan,serta bibir berbelah,
dia sungguh tampak sempurna.
3. Eksposisi

60

(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) Eksposisi adalah adalah paragraf yang


menginformasikan suatu teori, teknik, kiat, atau petunjuk sehingga orang yang
membacanya akan bertambah wawasannya. Ciri-cirinya: ada informasi.
Contoh :
Bahtsul masail sendiri merupakan forum diskusi keagamaan yang sudah
mendarah daging di pesantren. Di dalamnya, dibahas persoalan-persoalan
masyarakat yang membutuhkan tinjauan keagamaan secara ilmiah, rinci, dan
terukur. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar topik yang muncul didasarkan
atas laporan, aduan, atau keluhan masyarakat tentang persoalan agama, sosial,
budaya, hingga ekonomi. Bisa dikatakan bahwa bahtsul masail sesungguhnya
merupakan cara khas pesantren untuk menyuarakan aspirasi masyarakat melalui
perspektif agama.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik
dengan tujuan memberi informasi.
Contoh :
Para pedagang daging sapi di pasar-pasar tradisional mengeluhkan dampak
pemberitaan mengenai impor daging ilegal. Sebab, hampir seminggu terakhir
mereka kehilangan pembeli sampai 70 persen. Sebaliknya, permintaan terhadap
daging ayam dan telur kini melejit sehingga harganya meningkat.
4. Argumentasi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) Argumentasi adalah adalah paragraf
yang mengemukakan suatu pendapat beserta alasannya. Ciri-cirinya: ada pendapat
dan ada alasannya.
Contoh :
Keberhasilan domain itu memang tidak mudah diukur. Sebab, domain tersebut
menyangkut hal yang sangat rumit, bahkan terkait dengan "meta penampilan"
siswa yang kadang-kadang tidak kelihatan. Membentuk karakter manusia memang
membutuhkan pengorbanan, sebagaimana yang dilakukan negara-negara maju
seperti Jepang, Singapura, dan Malaysia. Mereka bisa maju karena memiliki
banyak orang pintar dan berkarakter.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat/
kesimpulan dengan data/ fakta konsep sebagai alasan/ bukti.
Contoh :
Sebagian anak Indonesia belum dapat menikmati kebahagiaan masa kecilnya.
Pernyataan demikian pernah dikemukakan oleh seorang pakar psikologi
pendidikan Sukarton (1992) bahwa anakanak kecil di bawah umur 15 tahun sudah
banyak yang dilibatkan untuk mencari nafkah oleh orang tuanya. Hal ini dapat
dilihat masih banyaknya anak kecil yang mengamen atau mengemis di perempatan
jalan atau mengais kotak sampah di TPA, kemudian hasilnya diserahkan kepada
orang tuanya untuk menopang kehidupan keluarga. Lebih-lebih sejak negeri kita
terjadi krisis moneter, kecenderungan orang tua mempekerjakan anak sebagai
penopang
5. Persuasi

ekonomi

keluarga

semakin

terlihat

di

mana-mana.

61

(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf)

Persuasi

adalah

paragraf

yang

mengajak, membujuk, atau mempengaruhi pembaca agar melakukan sesuatu. Ciricirinya: ada bujukan atau ajakan untuk berbuat sesuatu.
Contoh :
Sebaiknya pemerintah melakukan penghematan. Selama ini, pemerintah boros
dengan cara tiap tahun membeli ribuan mobil dinas baru serta membangun kantorkantor baru dan guest house. Pemerintah juga selalu menambah jumlah PNS tanpa
melakukan perampingan, membeli alat tulis kantor (ATK) secara berlebihan, dan
sebagainya. Padahal, dana yang dimiliki tidak cukup untuk itu.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Karangan ini bertujuan mempengaruhi emosi pembaca
agar berbuat sesuatu.
Contoh :
Dalam diri setiap bangsa Indonesia harus tertanam nilai cinta terhadap sesama
manusia sebagai cerminan rasa kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai tersebut di
antaranya adalah mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya, mengembangkan sikap tenggang rasa dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai sesama anggota masyarakat, kita harus mengembangkan sikap tolongmenolong dan saling mencintai. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat
dipenuhi oleh suasana kemanusian dan saling mencintai.
b. Berdasarkan letak kalimat utamanya
1. Paragraph deduktif
(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) Paragraph deduktif adalah paragraf
yang dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat topik
kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat penjelas.
Contoh :
Kemauannya sulit untuk diikuti. Dalam rapat sebelumnya sudah diputuskan
bahwa dana itu harus disimpan dulu. Para peserta sudah menyepakati hal itu. Akan
tetapi, hari ini ia memaksa menggunakannya membuka usaha baru.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Paragraf deduktif ditandai dengan terdapatnya kalimat
utama di awal paragraf dan dimulai dengan pernyataan umum yang disusun
dengan uraian atau penjelasan khusus.
Contoh :
Kemauannya sulit untuk diikuti. Dalam rapat sebelumnya, sudah diputuskan
bahwa dana itu harus disimpan dulu. Para peserta sudah menyepakati hal itu. Akan
tetapi, hari ini ia memaksa menggunakannya untuk membuka usaha baru.
2. Paragraph induktif
(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) Paragraph induktif adalah paragraf yang
dimulai dengan mengemukakan penjelasan-penjelasan kemudian diakhiri dengan
kalimat topik. Paragraf induktif dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu
generalisasi, analogi, dan kausalitas.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Paragraf induktif ditandai dengan terdapatnya kalimat
utama di akhir paragraf dan diawali dengan uraian atau penjelasan bersifat khusus
dan diakhiri dengan pernyataan umum.

62

3. Paragraph

campuran

(http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf) paragraph campuran adalah paragraf yang


dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat topik kemudian
diikuti kalimat-kalimat penjelas dan diakhiri dengan kalimat topik.Kalimat topik
yang ada pada akhir paragraf merupakan penegasan dari awal paragraf.
(http://swestimahardini.wordpress.com/2011/10/24/makalah-bahasa-indonesiamengenai-alinea-paragraf/) Paragraf campuran ditandai dengan terdapatnya
kalimat utama di awal dan akhir paragraph. Kalimat utama yang terletak diakhir
merupakan kalimat yang bersifat penegasan kembali.
4. Paragraph

deskriptif

Paragraf Deskriptif adalah paragraf yang tidak memiliki kalimat utama. Pikiran
utamanya menyebar pada seluruh paragraf atau tersirat pada kalimat-kalimat
penjelas.
c. berdasarkan tujuannya
1. Paragraf

pembuka

paragraph pembuka adalah Paragraf pembuka biasanya memiliki sifat ringkas


menarik, dan bertugas menyiapkan pikiran pembaca kepada masalah yang
akan diuraikan.
Contoh :
Pemuli baru saja usai. Sebagian orang, terutama caleg yang sudah pasti jadi,
merasa bersyukur karena pemilu berjalan lancer seperti yang diharapkan. Namun,
tidak demikian yang dirasakan oleh para caleg yang gagal memperoleh kursi di
parlemen. Mereka mengalami stress berat hingga tidak bias tidur dan tidak mau
makan.
2. Paragraph penghubung
Paragraph penghubung adalah Paragraf penghubung berisi inti masalah yang
hendak disampaikan kepada pembaca. Secara fisik, paragraf ini lebih panjang dari
pada paragraf pembuka. Sifat paragraf-paragraf penghubung bergantung pola dari
jenis karangannya. Dalam karangan-karangan yang bersifat deskriptif, naratif,
eksposisis, paragraf-paragraf itu harus disusun berdasarkan suatu perkembangan
yang logis. Bila uraian itu mengandung pertentangan pendapat, maka beberapa
paragraf disiapkan sebagai dasar atau landasan untuk kemudian melangkah kepada
paragraf-paragraf yang menekankan pendapat pengarang.
3. Paragraph

penutup

paragraph penutup adalah paragraph yang berisi kesimpulan untuk argumentasi


atau penegasan kembali mengenai hal-hal yang di anggap penting.
d. Berdasarkan isinya
1. Paragraf deskripsi
paragraph deskripsi adalah paragraph yang ditandai kalimat utamanya tidak
tercantum secara nyata dan tema paragraph tersirat dalam keseluruhan paragraph.
Biasanya dilakukan untuk melakukan sesuatu, hal, keadaan, situasi dalam cerita.
Contoh : Dari balik tirai hujan sore hari, pohon-pohon kelapa di seberang
lembah itu seperti perawan mandi basah, segar penuh gairah dan daya hidup.

63

Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di
belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh hembusan
angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona.
2. Paragraph proses
paragraph proses adalah paragraph yang ditandai dengan tidak terdapatnya kalimat
utama dan pikiran utamanya tersirat dalam kalimat-kalimat penjelas yang
memaparkan urutan suatu kejadian atau proses, meliputi waktu, ruang, klimaks
dan antiklimaks.
3. Paragraph efektif
Paragraf efektif adalah paragraf yang memenuhi ciri paragraf yang baik.
Paragrafnya terdiri atas satu pikiran utama dan lebih dari satu pikiran penjelas.
Tidak boleh ada kalimat sumbang, harus ada koherensi antar kalimat.
C. Struktur paragraph
Struktur paragraph terdiri dari kalimat pokok dan kalimat penjelas. Kalimat pokok
merupakan kalimat terpenting karena berupa ide pokok. Sedangkan kalimat penjelas
adalah kalimat yang berfungsi sebagai kalimat penjelas ide pokok.
a. Cirri-ciri kalimat pokok
1. Megandung permasalahan untuk di urai lebih lanjut.
2. Mengandung kalimat lengkap yang dapat berdiri sendiri
3. Mempunyai arti yang jelas tanpa dihubungkan dengan kalimat lain
4. Dapat di bentuk tanpa kata sambung atau transisi
b. Ciri-ciri kalimat penjelas
1. Sering merupakan kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri
2. Arti kalimatnya baru jelas ketika dihubungkan dengan kalimat lain dalam satu
alenia.
3. Pembentukannya sering memerlukan bantuan kata sambung
4. Isinya berupa rincian, keterangan, contoh, dan data lain yang bersifat mendukung
kalimat topik.

D. Arti dan definisi paragraph jurnalistik

a. Pengertian paragraph jurnalistik


Secara fisik visual sebuah paragraf atau alinea ditandai dengan penulisan kata
awal kalimat yang menjorok ke dalam beberapa ketukan, biasanya 5-7 ketukan. inilah
yang lazim disebut baris baru atau ganti baris. Bahkan dalam karya feature, cukup banyak
ditemukan paragraf yang hanya terdiri atas satu kata. Jadi, setiap paragraf bisa hanya
sebuah kalimat, bisa pula hanya sebuah kata.
Dalam paragraf jurnalistik, sangat dihindari penggunaan paragraf-paragraf
panjang. Alasan Pertama adalah filosofis, dan alasan kedua adalah teknis. Alasan filosofis,
bahasa jurnalistik harus disajikan secara sederhana dan ringkas karena khalayak media
massa sangat heterogen serta berada dalam sifat ketergesa-gesaan. Alasan teknis, bahasa
jurnalistik disajikan dalam ruang lajur-lajur kolom yang pendek dan sempit.
b. Defenisi Paragraf Jurnalistik
Paragraf jurnalistik menunjuk kepada paragraf yang berpijak kepada proses dan
hasil karya jurnalistik. Paragraf jurnalistik berada dalam ruang lingkup serta tunduk
kepada kaidah bahasa jurnalstik. Jika suatu paragraf mengandung unsur materi jurnalistik,

64

misalnya tajuk rencana, karikatur, pojok, kolom, berita, teks foto berita, wawancara,
feature, maka paragraph itu disebut paragraf jurnalistik.
Paragraf jurnalistik adalah seperangkat kalimat tersusun logis-sistematis yang
merupakan satu kesatuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok
yang tersirat dalam keseluruhan paparan materi jurnalistik tertentu.
c. Karakteristik Paragraf Jurnalistik
Ada
lima
karakteristik
paragraf
jurnalistik

yaitu;

1.Memiliki satu ide pokok


2. Dibangun oleh sejumlah kalimat
3.Kesatuan ekspresi pikiran
4.Kesatuan koheren dan padat
5.Logis dan sistematis
d. Fungsi paragraph jurnalistik
Paragraph jurnalistik ada empat fungsi, yaitu :
1. Menampung ide pokok
Fungsi paragraf jurnalistik secara teknis adalah menampung ide pokok yang
hendak disampaikan penulis atau jurnalis kepada pembaca, pendengar, atau
pemirsa. Hanya dengan menampung dan mengelompokkan uraian-uraian ide
pokok dalam satu paragraf yang ringkas, seorang penulis atau jurnalis akan
mudah menyusun dan menyampaikan isi pikiran dan perasaannya secara logis
dan sistematis ke dalam berbagai bentuk karya jurnalistik seperti tajuk
rencana, berita, dll.
2. Memudahkan pemahaman jalan pikiran
Kita dapat mengetahui jalan pikiran penulis atau jurnalis, dengan cara
menyimak kata demi kata, dan kalimat-kalimat yang terdapat dalam satuansatuan paragraf pada karya-karya jurnalistik yang ditulis dan disajikan dalam
media massa. Jika jalan pikiran penulis atau jurnalis konsisten, beraturan, tidak
meloncat-loncat, maka dapat dipastikan karya jurnalistik yang disusunnya
termasuk efektif dan komunikatif.
3. Melahirkan
jalan

pikiran

sistematis

Jurnalis atau penulis yang menulis untuk media massa, harus mampu
melahirkan karya-karya jurnalistik bermutu tinggi. Karya jurnalistik bermutu
tinggi antara lain dapat dilihat dan diperiksa pada jalan pikiran yang muncul
dalam setiap kalimat atau paragraf jurnalistik yang ditulisnya. Ia akan merujuk
dan mengikuti pola tertentu, misalnya pola deduktif dan pola induktif.
4. Mengarahkan
pembaca
mengikuti
arus
penulis
Seorang penulis atau jurnalis yang baik akan mengarahkan, memandu,
sekaligus mengikat pikiran dan perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya
untuk hanya mengikuti jejak langkahnya. Dalam proses mengikuti arus penulis
atau jurnalis, pembaca tidak boleh merasa lelah atau dibuat lelah, merasa
bingung atau dibuat bingung. Pembaca harus merasa senang dan dibuat
senang. Singkat kata pembaca harus merasa dimanjakan.
E. Fungsi Paragraf
Dua fungsi paragraph yang tersirat yaitu : ke-(1) sebagai penampung dari sebagian
kecil jalan pikiran atau ide pokok keseluruhan paragraph; dank ke-(2) memudahkan
pemahaman jalan pikiran atau ide pokok.

65

Selain dua fungsi yang tersirat di atas ataupun fungsi lainnya, yaitu : fungsi paragraph
yang ke-(3) adalah memungkinkan pengarang melahirkan jalan pikirannya secara
sistematis. Fungsi paragraph yang ke-(4) adalah mengarahkan pembaca dalam mengikuti
alur pikiran pengarang serta memahaminya.
Paragraph yang baik selalu memiliki ide pokok. Ide pokok itu merupakan bagian yang
integral dari ide pokok yang terkandung dalam keseluruhan karangan. Ide pokok
paragraph tidak hanya merupakan bagian dari ide pokok keseluruhan, tetapi juga memiliki
relevansi dan menunjang ide pokok tersebut.melalui ide pokok yang tersirat dalam
paragraph pembaca akan sampai pada pemahaman total isi karangan. Dalam hal ini dapat
dikatakan fungsi paragraph yang ke-(5) adalah sebagai alat penyampai pemikiran.
Sementara itu, fungsi paragraph ke-(6) adalah sebagai penanda bahwa pikiran baru
dimulai.
Dalam rangka keseluruhan karangan, paragraph sering juga digunakan sebagai
pengantar, transisi atau peralihan dari suatu bab ke bab lainnya. Bahkan, tidak jarang,
paragraph juga digunakan sebagai penutup. Disini, paragraph berfungsi sebagai pengantar
transisi, dan konklusi.
F. Syarat-syarat Paragraph yang Baik
Dalman menjelaskan bahwa sayarat paragraph mencangkup :
1. Persyaratan kesatuan keutuhan
2. Persyaratan pengembangan
3. Persyaratan kepaduan atau kehorensi
4. Persyaratan kekompokan atau kohesi
Alat penggabung kalimat atau konjungsi hubungan antar kalimat ini ada dua yaitu
hubungan logis antara lain ditandai oleh konjungsi-konjungsi berikut; karena itu, dengan
demikian, jadi, akibatnya, oleh karena itu, dan lain-lain. Yang kedua adalah hubungan
kronologis ditandai oleh konjungsi-konjungsi berikut: mula-mula, kemudian, setelah itu,
sebelum, dan akhirnya. Paragraph yang baik adalah paragraph yang memiliki kepaduan
anatreksnya, kepaduan atau kohesi maupun kepaduan atau koherensinya.
1. Kesatuan Paragraf
Tiap paragraph hanya mengandung satu gagasan atau ide pokok atau satu topic. Fungsi
paragraph ialah mengembangkan topic tersebut. Paragraph dianggap mempunyai kesatuan,
jika kalimat-kalimat dalam paragraph hanya membicarakan satu topic.
Contoh :
Pak budi bekerja sebagai tukang becak, setiap hari ia mengayuh becak untuk menghidupi
keluarganya. Saat fajar tiba hingga matahari terbenam ia mencari nafkah dengan becak
kesayangannya. Tanpa terasa lelah dan pantang menyerah pak budi tetap semangat untuk
bekerja sebagai tukang becak.
Gagasan pokok atau tema diatas adalah : pak budi bekerja sebagai tukang becak. Gagasan
pokok ini di perinci atau dijelaskan oleh beberapa gagasan penunjang berikut: (1) setiap hari
ia mengayuh becak untuk menghidupi keluarganya. (2) saat fajar tiba hingga matahari
terbenam pak budi mengayuh becaknya. Dan (3) tanpa rasa lelah dan pantang menyerah pak
budi tetap bersemangat bekerja sebagai tukang becak.

66

Perincian atau penjelasan ini di urut sedemikian ruapa sehingga hubungan kalimat satu
dengan kalimat lain merupakan satu kesatuan yang bulat. Agar tidak menimbulkan kesulitan
bagi pembaca.
2. Keefektifan Kalimat
Kalimat-kalimat harus disusun secara logis dan mengikuti rencana tertentu untuk
pengembangannya. Kalimat dalam paragraph harus efektif. Kalimat yang efektif adalah
kalimat yang memiliki unsur suubjek dan predikat yang jelas. Kalimat efektif mempunyai
cirri-ciri sebagai berikut:
a. Kesepadanan
Keseimbangan antara pikiran (gagasan) dan struktur bahasa yang dipakai.
b. Keparelaan
Kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu.
c. Ketegasan
Suatu perlakuan penonjolan pad aide pokok untuk membentuk penekanan dalam kalimat.
d. Kehematan
kehematan menggunakan kata, frasa atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu.
e. Kecermatan
Kalimat tidak menimbulkan tafsiran ganda, dan tepat, dalam pemilihan kata.
f. Kepaduan
Kepaduan dalam pernyataan kalimat itu sehingga informasi yang diperoleh tidak
terpecah-pecah.
g. Keloggisan
Ide kalimat dpt diterima oleh akal dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.
3. Kejelasan Kalimat
Setiap gagasan yang di diskusikan harus di jelaskan dengan cukup di dukung oleh fakta
perincian yang secara bersama-sama menjelaskan gagasan pokok.
G. Pola Pengembangan Kalimat
Pola pengembangan paragraph merupakan cara seorang penulis dalam mengembangkan
pola pikirnya berupa pengembangan kalimat topic ke dalam kalimat-kalimat penjelas yang di
tuangkan dalah sebuah paragraph.

Pola pengembangan paragraph ada enam, yaitu:


1. Paragraf perbandingan
Paragraph perbandingan adalah paragraph yang kalimat topiknya berisi perbandingan
dua hal. Misalnya, antara yang bersifat abstrak dengan bersifat konkret. Perbandingan
tersebut terbentuk dalam bentuk yang konkret atau bagian-bagian kecil.
Contoh :
Struktur suatu karangan pada hakikatnya mirip dengan struktur pohon. Bila phohon
dapat diuraikan menjadi batang, dahan, ranting, dan daun maka karangan pun dapat
diuraikan menjadi badan, bab, subbab, paragraph. Batang sebanding dengan badan
karangan, dahan berbanding dengan bab, ranting sebanding dengan subbab, dan daun
berbanding dengan paragraph.
2. Paragraph Pertanyaan
Paragraph pertanyaan adalah paragraph yang kalimat topiknya dijelaskan dengan
kalimat pengembang berupa kalimat Tanya.
Contoh :
Kepala kantor kami, pak Ahmadi, gelisah. Mengapa beliau gelisah? Tidak puaskah ia
dengan kedudukannya sekarang? Bukan, bukan itu sebabnya. Ia sangat puas. Bahkan, ia

67

ingin mempertahankan kedudukannya sekarang. Ia resah karena pemimpin pusat telah


mencium

ketidakberesan

pertanggungjawaban

keuangan

di

kantornya.

Banyak

pengeluaran yang menyalahi anggaran. Tidak sedikit kuitansi pembelian barang yang
meragukan. Pembangungan kantor baru dapat di percayakan pemimpin pusat kepadanya
tidak selesai menurut jadwal yang telah di tetapkan. Dana sudah hamper habis, gaji
mingguan para pekerja bangunan sudah empat minggu belum dibayar.
3. Paragraph Sebab-Akibat
Paragraph sebab-akibat adalah paragraph yang kalimat topiknya dikembangkan oleh
kalimat-kalimat sebab-akibat.
Contoh :
Nilai ujian akhir cecep pada semester pertama ini rata-rata baik. Dia pantas mendapat
nilai tersebut karena ia telah bekerja keras dan tekun. Cecep rajin mengikuti setiap
pelajaran yang diberikan oleh guru bidang studi.
4. Paragraph Contoh
Paragraph contoh adalah paragraph yang kalimat topiknya dikembangkan dengan
contoh-contoh sehingga kalimat topic jelas pengertiannya.
Contoh :
Terbiasanya menilai keterampilan seseorang. Contohnya, bila kita ingin menilai
keterampilan seorang dalam mengemudikan mobil, orang tersebut disuruh menjalankan
mobil:maju, mundur, belok kanan, belok kiri, kencang, lambat, dan seterusnya.
5. Paragraph Perulangan
Paragraph perulangan adalah paragraph yang kalimat topiknya dapat pula
dikembangkan dengan pengulangan kata atau kelompok kata atau bagian-bagian kalimat
penting.
Contoh :
Ada kaitan yang erat antara makna, hidup, dan berpikir pada manusia. Setiap manusia
perlu makan, makan untuk hidup. Namun, hidup tidak hanya untuk makan. Hidup
manusia mempunyai tujuan tertentu. Tujuan hidup dapat berbeda antara satu dan lainnya,
tetapi ada persamaannya, yakni, salah satu diantaranya melangsungkan keturunan.
Keturunan sebagai penerus generasi bangsa. Generasi yang lebih baik dan tangguh.
Tangguh menghadapi segala rintangan dan tantangan. Rintangan dan tantangan membuat
manusia berpikir. Berpikir bukan sembarang berpikir, tetapi berfikir jernih untuk
memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
6. Paragraf Definisi
Paragraf definisi adalah paragraph yang kalimat topiknya berupa definisi atau
pengertian. Definisi atau pengertian yang terkandung dalam kalimat topic tersebut
memerlukan penjelasan panjang lebar agar tepat maknanya di tangkap oleh pembaca. Alat
untuk memperjernih pengertian tersebut adalah serangkaian kalimat pengembang.
Contoh :
Istilah paragraph sering digunakan, baik dalam percakapan maupun praktik. Paragraph
kadang-kadang diartikan baris baru, pembagian karangan, atau bagian-bagian. Yang jelas,
paragraph sebagai wadah pikiran kecil. Cirri khas paragraph mengandung makna-idepesan yang relevan dengan isi karangan.
PERTANYAAN:
1)Perbedaan Paragraph berdasarkantujuandan paragraph berdasarkanisi ?

68

2)PerbedaanEksposisidanArgumentasi ?
3)Apakah yang dimaksuddengan paragraph deduktifdandeskriptif ?
4)Apa yang diumaksuddengan paragraph penghubung ?
5)BerikanContoh Paragraph efektif ?
6)JelaskanStruktur Paragraph ?
7)Apa yang dimaksuddengankejelasankalimatuntuk paragraph yang baik ?
8)Berikancontoh paragraph perulang ?
9)Pengertiankohesidankoherensi ?

DAFTAR PUSTAKA

69

Brown, Gilliam dan Yule, George, 1983. Discourse Analysis. New York : Cambridge Ubiversity
Press.
Lubis, A. Hamid Hasan, 1993. Analysis Wacana Pragmatik. Bandung : Angkasa.
Nurhadi (Ed). 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang : Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Malang.
Purwo, Bambang Kaswanti (Ed). 1993. PELBA. Jakarta : Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Tarigan, H.G. 1984. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa.
Sugono, Dendy.1999. Berbahasa Indonesia dengan Benar, Jakarta. Puspaswara
Brown, Gillian dan Yule, George 1984. Discourse Analysis. Cambridge : Cambridge University
Press.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana Pemahaman dan Hubungan antar Unsur. Jakarta :
Eresco.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik Bandung : Angkasa
Purwo, Bambang Kawanti. 1993. PELLBA pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma
Jaya : Keenam. Jakarta : Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Nurhadi (Eds). 1987. Kapita Selekta Kajian bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang :
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Malang.
Suhaebah, Ebah dkk.1996. Penyulihan sebagai Alat Kohesi dalam Wacana. Jakarta : Pusat
pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chaer, Abdul 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Kridalaksana, Harimuti 2002. Struktur, Kategori, Dan Fungsi Dalam Teori Sintaksis Jakarta:

Badulu, Abdul Muis 2005. Morfosintaksis. Jakarta: Rineka Cipta.


Parera,J.D 2009. Dasar-Dasar Analisis Sintaksis. Jakarta: Erlangga.
http://completedmedia.blogspot.com/2012/06/fungsi-dan-kategori-kata-.html
http://hirizon-wwwbloggercomcreate-blogg.blogspot.com/2012/06
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton M. 1982 Diksi atau Pilihan Kata: Suatu Spesifikasi di dalam kosa kata Dalam
Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia. Jilid III. Nomor 3. Jakarta: Bharata.
http://dinamika.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/
28102008121137_PAPER_BAHASA_INDONESIA1_fix.doc
http://www.google.co.id/search?hl=id&cr=countryID&q=pilihan+kata+dalam+
bahasa+indonesia&star=10&sa
B.S, Kusno. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dalman.(2012:79). MenulisKaryaIlmiah. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai