Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Agama – Agama Di Indonesia
Oleh
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi
Agama Agama di Indonesia yang berjudul “Studi Perbandingan Agama Masa orde baru
1”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karenanya, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bisa bermanfaat bagi penyusun dan dapat
menambah wawasan kita dalam mempelajar Studi Agama Agama di Indonesia.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
B. Kegunaan (Manfaat) dan Tujuan
C. Tipologi “Agama langit” dan “Agama Bumi”
D. Metodologi
a. Periode Awal : Pendekatan Teologis
b. Mengapa Apologetik?
c. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah
E. Studi Perbandingan Agama dan Politik
F. Isu Isu Penting
a. Agama dan Pembangunan
b. Pluralisme Agama
c. Dialog Antar Agama dan Passing Over
G. Model Studi dan Pengajaran
a. Materi dan Model Pengajaran
b. Model Historis-Kronologis
c. Mengapa selalu dimulai dengan Teori Asal usul Agama
H. Model studi yang Dilakukan
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu PA di kalangan kaum muslim Indonesia secara formal akademik lahir di PTAIN
(Pengurus Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setahun setelah berdirinya
dua pendidikan tinggi islam negeri yaitu di PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademik Dinas
Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran Jurusan PA di Fakultas Ushuluddin ini tak bisa di lepaskan
peran profesor Mukti Ali, seorang cendekiawan muslim terkemuka yang meraih gelar Doktor
di Universitas Karachi, Pakistan Dalam Bidang Sejarah Islam, dan Magister Universitas
McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies. Pada 11 September 1971, Mukti Ali dilantik
jadi Menteri Agama kabinet Orde Baru. Mukti Ali layak disebut sebagai seorang Menteri
Agama yang menempati posisi khusus dalam sejarah kebijakan pemerintah Indonesia di
bidang agama, baik dalam pengertian perannya dalam proses panjang modernisasi politik-
keagamaan yang sedang mengalami masa “transisi” waktu itu,1 maupun dalam kebijakan-
kebijakannya dalam hal mengatur hubungan intra dan antar pemeluk agama yang berbeda
serta hubungan (tokoh-tokoh dan lembaga) agama dengan pemerintah. Karena kecintaannya
yang mendalam kepada ilmu PA berkat pengaruh yang kuat dari profesornya, Willfred
Cantwell Smith, ketika menjadi Menteri Agama, Mukti Ali tak pernah lelah memperkenalkan
kepada mahasiswa dan masyarakat luas akan pentingnya belajar ilmu PA. Ia juga menjadikan
dialog antar umat beragama sebagai kebijakan utama di Departemen Agama
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Ali itu mirip dengan definisi yang ditulis oleh Louis Jrdan dalam
bukunya Comparative Religion, its Genesis and Growth (1905) yang memang dirujuk
oleh Ali mengutip definisi Jordan secara utuh. Pada definisi Jordan itu, dalam hal
bahwa PA adalah “ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri
berbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan
dan perbedaan-perbedaan yang sebenarnya dan hubungan antara satu agama
dengan agama lain.” Mukti Ali setju. Namun ketika Jordan meneruskan “untuk
mengetahui superioritas dan inferioritas yang relatif di antara agama – agama,”
Mukhti Ali menolaknya dengan alasan bahwa superioritas dan inferioritas diantara
agama-agama dalam kacamata barat selalu diukur denganteori revolusi Darwin.
Dalam merintis ilmu baru ini, Mukhti Ali sepakat bahwa tiga kata kunci dari
pengertian pokok Ilmu PA adalah (1) untuk menemukan persamaan dan perbedaan
diantara agama-agama, (2) untuk menemnukan Struktur yang asasi dari pengalaman
keagamaan umat manusia. Yang khas dari kemampuan mahasiswa PA kelak ketika
jadi sarjana – adalah kemampuan menganalisis dari dua poin terakhir, karena jika
studi PA semata kegiatan memperbandingkan saja, maka yang bukan sarjana
pundapat melakukannya.
Sebagai sarjana yang kritis, sedari awal Mukhti Ali telah menyadari bahwa
ilmu ini – sejak diproklamirkan oleh Max Mupada 1870 dan diberi definisi yang jelas
oleh Jordan memalui seuah buku pertama tentanng PA (1905) terus mengalami
perubahan radikal. Bagi Ali, tidak ada definisi, pengertian dan metode PAyang statis
dan dapat diterima oleh semua sarjana. Ilmu ini akan terus mengalami
perkembangan sebagaimana yang dialami oleh ilmu-ilmu yang telah mapan
sekalipun.
Definisi yang cukup komprehensif datang dari Kautsar Azhari Noer, Guru
Besar Perbandingan Agama UIN Jakarta. Setelah menjelaskan pengertian ilmu Ilmu
Agama, Fiilsafat Agama, teologi dan berbagai nama lain dari perbandingan agama,
Kautsar mengartikan PA sebagai suatu cabang “ilmu agama” yang mempelajari
berbagai agama dan berbagai gejala keagamaan. Ia adalah studi non-normatif yang
menyelidiki secara ilmiah tidak hanya persamaan-persamaan dan perbedaaan-
perbedaan antara berbagai agama atau berbagai gejala keagamaan, tetapi juga
mencari apakah ada pengaruh-pengaruh timbal balik atau sepihak antara berbagai
agama atau berbagai gejala keagamaan atau tidak. Ia juga berusaha menyelidiki
bagaimana suatu tradisi keagamaan mengalami perubahan dalam perkembangannya
selama berabad-abad, menyelidiki bagaimana suatu tradisi keagamaan bisa hidup
terus dan kekuatan apa yang membuatnya bisa hidup terus, dan meyelidiki
bagaimana suatu tradisi keagamaan mengilang lenyap setelah hidup berabad-abad
dan faktor apa yang menyebabkan hilang lenyap. Ia tidak menentukan nilai atau
tidak memberikan penilaian apakah suatu agama benar atau sesat.
B. Kegunaan (Manfaat) dan Tujuan
Adapun tujuan studi ini ialah membandingkan berbagai ajaran dan sistem
keagamaan yang berbeda beda. Kemudian apa gunanya agama dibanding
bandingkan, dalam buku Mukhti Ali yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama 1969,
dalam karya nya tersebut membuat satu pasal khusus yaitu (pasal vl) guna dan
faedah Ilmu Perbandingan Agama bagi seorang Muslim. Dalam pasal tersebut
Mukhti Ali menulis : pengetahuan tentang agama agama lain berguna bukan untuk
mubaligh saja tetapi penting bagi seorang muslim pelajari, untuk mencari persamaan
antara agama Islam dengan Agama agama lain. Hal tersebut berguna untuk
perbandingan, untuk membuktikan dimana kah segi segi dari agama Islam yang
melebihi agama lain. Dan berguna juga untuk menunjukkan bahwa agama agama
lain yang datang sebelum Islam itu merupakan sebagai pengantar terhadap
kebenaran yang lebih luas dan lebih penting yaitu agama Islam. Dengan
membandingkan agama Islam dengan agama yang lain, akan menimbulkan rasa
simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang
kebenaran, dalam hal tersebut bisa menimbulkan tanggungjawab untuk menyiarkan
kebenaran kebenaran yang terkandung dalam agama Islam.
Manfaat studi PA bagi kaum muslim untuk berdakwah dan mempermudah
terwujudnya kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam konteks studi ilmiah PA,
efek studi atau kegunaan studi PA untuk menunjukkan keunggulan superioritas
agama tertentu dengan agama lain (bisa menggoyahkan iman) dan
mendakwahkannya kepada masyarakat umum. Dalam menyampaikan dakwah
Mukhti Ali memiliki kekhawatiran bila umat muslim salah mengartikan atau
menggunakan, maka muslim tersebut dapat membahayakan kepercayaan akidah
Islam sendiri. Bila benar dalam mempergunakan maka akan menemukan cara-cara
baru untuk mempertahankan Islam, adapun tujuan lain yang sering disebut ialah
terciptanya toleransi, kerukunan dan komunikasi yang baik diantara pemeluk agama
yang beragam.
D. Metodologi
Studi ilmiah agama yang diletakkan oleh Max Muller satu abad yang lalu
merupakan studi yang deskriptif dan non normatif, yang bisa dipakai untuk melihat
model model studi PA yang dilakukan sesudahnya.
Kita bisa melihat periode awal Mukhti Ali sebagai perintis dalam karya
pertamanya tentang PA. Ia menulis : Methodos dalam Ilmu Perbandingan Agama
sebagian besar tergantung kepada pandangan orang terhadap agama-agama bukan
agamanya. Biasanya Perbandingan Agama itu dilakukan dari dalam Agama yang
dipeluk oleh seorang dalam usahanya untuk menilai isi dan ciri dari agama lain.
Harus diakui bahwa ilmu Perbandingan Agama bisa menjadi bahaya yang besar bagi
agama Islam, apabila salah mempergunakannya, tetapi sebaliknya merupakan
bantuan yang besar sekali bagi perkembangan agama Islam, apabila betul dalam
mempergunakannya...
Pandangan Mukhti Ali merupakan pandangan teologis terlihat dalam
ceramah yang diundang oleh perguruan tinggi Threologia Duta Wacana Yogyakarta
(20 September 1968) yang membahas tentang konsep Tuhan yang Esa dalam Al-
Qur’an, bahwa dalam Islam tidak banyak muncul sekte sekte yang bertentangan satu
dengan yang lain karena sumber utama yaitu Al-Qur’an yang secara terang,
konsisten dan tidak membuat bingung tentang konsep mengenai ke Esa an Tuhan.
Berbeda dengan Kristen yang memiliki banyak sekte dikarenakan banyak pasal soal
keTuhan an didalam Alkitab yang membuat sulit untuk disatukan atau disintesiskan
(digabungkan).
Karena munculnya sikap dan kajian teologis dikarenakan polemik antara
umat Islam dengan Kristen Indonesia yang melibatkan banyak pihak, yang kemudian
menimbulkan banyaknya karya teologis secara publikasi. Maka teologis apologetik
lahir akibat sebuah “serangan” atau “pertahanan”yang agresif karena kebencian dan
permusuhan antar umat Islam dan umat Kristen menggunakan sebuah karya.
Pada periode kedua merintis metodologi Ilmiah dengan semangat
rasionalisasi dan pengembangan. Mukhti Ali menegaskan bahwa “perbandingan
Agama bukan suatu alat untuk mempertahankan kejayaan dan agama seseorang,
melainkan Perbandingan Agama merupakan alat untuk memahami fungsi dan ciri
agama sebagai suatu ciri naluri sebagai manusia.
Dalam metode ilmiah ini Mukhti Ali percaya bahwa dalam memahami agama
secara luas perlu yang namanya pendekatan, baik pendekatan melalui konvensional
seperti pendekatan historis yang dibantu atau didasarkan pada hasil penelitian
arkeologis dan filologis, pendekatan antropologis, sosiologis, psikologis,
fenomenologis, dogmatis. 1
The term ‘comparative study of religion’ is widely suspected, because it was used by
particular Western academics, mainly in the nineteenth century, who were trying to
prove that Christianity was superior to other religions.
Karena itu, perbandingan dilakukan untuk menguasai atau meletakkan “yang lain”
(agama lain) dalam kerangka (ukuran) subjektif (agama) pembanding. Inilah yang
terjadi pada suatu periode panjang studi PA di Barat. Rupanya itulah juga yang
terjadi di Indonesia. Apakah hal itu merupakan gejala umum di banyak belahan
dunia? Seperti diketahui, dalam waktu yang sangat lama, Teologi dianggap
sebagaiQueen of the Sciences (Ratunya para ilmu); “Induk”nya ilmu-ilmu yang
dikenal oleh manusia.70 Karena itu, wajar jika ia memiliki pengaruh atau
“cengkeraman” yang sangat kuat selama berabad-abad dalam memori kolektif umat
beragama. Di Indonesia pun, pola pikir dan sikap teologis memiliki sejarah yang
panjang mulai abad pertengahan; abad Majapahit; abad para Wali Songo, bahkan
bisa lebih jauh lagi ke belakang. Karena itu tidak mengherankan kuatnya cara
pandang dan sikap teologis yang selalu hadir, baik pada masa sebelum kemerdekaan,
maupun di masa-masa sesudah kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama dan
Orde Baru. Kita bisa memahami “pandangan dunia” kaum Muslim Indonesia pada
masa 1950-an hingga akhir 1980-an yang berkutat kuat pada Teologi dan
Fikih,karena atmosfer studi agama (Islam) yang mereka hirup dan temukan adalah
pada dua dimensi itu. Teologi dan Fikih memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
denyut nadi kaum Muslim Indonesia karena memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan
yang panjang, terutama hubungan intelektual dan emosional dengan ulama-ulama
besar di Timur Tengah yang menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulama besar Nusantara.
Teologi dan Fikih berhubungan langsung dengan proses terus-menerus mereka
“menjadi Muslim,” dan bersentuhan langsung dengan soal-soal praktis kehidupan
mereka. Mungkin, Tasawuf dan Filsafat Islam dikenal, tetapi tidak diakrabi; tidak
familier, tidak bersentuhan langsung dengan persoalan praktis, karena itu “level”nya
dianggap terlalu tinggi bagi mayoritas kaum Muslim Indonesia.
3) Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah
Dalam semangat rasionalisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan inilah, maka
pada periode kedua—lagi-lagi hanya istilah teknis belaka—kita tidak mungkin bisa
mengabaikan keinginan Mukti Ali untuk membuat kajian PA menjadi ilmu yang
otonom dengan seperangkat metodologi tertentu. Ia menegaskan: Perbandingan
Agama itu bukan apology.
Dua pernyataan penting bahwa studi PA bukan “sikap teologisyang apologetik” dan
kemampuan atau keharusan seorang pengkaji PA untuk bersikap “simpatik”
terhadap keyakinan orang lain menunjukkan bahwa Mukti Ali sejak awal telah
menyadari akan keharusan kemandirian ilmu ini dan perbedaannya yang tegas
dengan Teologi, Sejarah Agama, dan Filsafat Agama misalnya, meskipun dalam
beberapa kasus ia sendiri dan murid-muridnya “terjebak” mempraktikkan kajian PA
dengan pendekatan teologis. Mukti Ali menyebut tiga bagian pokok Ilmu Agama
(Science of Religion) yaitu Sejarah Agama (History of Religion), Perbandingan Agama
(Comparison of Religion), dan Filsafat Agama (Philosophy of Religion). Pembagian ini
dalam perspektif Mukti Ali menunjukkan bahwa PA adalah disiplin otonom yang
berusaha memahami aspek-aspek yang diperoleh dari Sejarah Agama misalnya,
kemudian menghubungkan atau membandingkan satu agama dengan lainnya untuk
menemukan struktur yang fundamental dari berbagai pengalaman dan konsepsi
keagamaan dengan cara menganalisis persamaan dan perbedaan di antara agama-
agama. Bagi Mukti Ali dalam periode itu, “Perbandingan” adalah sebuah disiplin ilmu
sekaligus juga pendekatan yang berbeda (baik definisi, tujuan dan metodenya)
dengan cabang ilmu-ilmu agama lain.
b. Model Historis-Kronologis
Salah satu model pengajaran studi PA yang mencolok hingga masa akhir
orde baru, hingga masa Reformasi melalui pendekatan historis kronologis.
Agama agama diperkenalkan pada mahasiswa melalui dari sejarah hingga
perkembangannya. Melalui pengajaran ini banyak pelajar muslim gagal
memahami makna terdalam dari islam yang menunjukkan kasih Tuhan dan
keagungan manusia bila tidak di barengi oleh sikap kritis, serta dogma dogma
yang diajarkan secara doktriner.
c. Mengapa selalu dimulai dengan Teori Asal usul Agama
Model pembelajaran ini telah lama dipakai di barat, secara formal
akademik, kajian asal usul agama, baik yang pro maupun kontra Tuhan mulai
ramai didiskusikan pada abad ke 19. Pendekatan ini untuk memahami lebih
dalam asal usul dari suatu agama.
2
https://www.umy.ac.id/dialog-antar-agama-dinilai-bagus-sebagai-konsep-perdamaian
secara keseluruhan. Sangat mungkin terdapat aspek-aspek yang “cair” atau kondisi
yang “fleksibel” dalam setiap periode itu. Mungkin terdapat beberapa karya yang
bercorak “semi-ilmiah” pada era normatif, atau terdapat pula beberapa karya
dengan corak “teologis-apologetik”. Saat studi PA dilakukan dengan mengikuti tradisi
barat, Mukti Ali sangat berjasa karena ia mengambil referensi yang berlimpah dari
barat dan mengolahnya untuk konteks Indonesia yang majemuk dan untuk konteks
perguruan tinggi islam.
KESIMPULAN
Menurut Mukhti Ali perbandingan agama ialah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
berusaha untuk memahami gejala gejala keagamaan daripada suatu kepercayaan dalam
berhubungan dengan agama lain. Definisi Mukhti Ali juga mirip tulisan yang ditulis oleh
Louis Jordan dalam bukunya Comparative Religion. Dalam karya lain Mukhti Ali pada tahun
1988 dengan judul Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia, yang berisikan kutipan dari
Jordan mengenai definisi ilmu PA sebagai berikut “Ilmu yang membandingkan asal usul,
struktur dan ciri ciri dari berbagai agama dunia, bermaksud untuk menentukan persamaan
persamaan dan perbedaan perbedaan yang sebenarnya dan hubungan antara satu agama
dengan agama lain, untuk mengetahui superioritas dan inferioritas yang relatif di antara
agama agama. Mukhti Ali setuju dengan pendapat Jordan akan tetapi Mukhti Ali juga
menolak beberapa kalimat yang di tulis oleh Jordan, kata tersebut ialah untuk mengetahui
superioritas dan inferioritas yang relatif di antara agama agama. Kata tersebut ditolak
karena kata superioritas dan inferioritas dalam kacamata barat diukur dengan teori evolusi
Darwin.
Daftar Pustaka
Dr. Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama – Agama ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015)
https://www.umy.ac.id/dialog-antar-agama-dinilai-bagus-sebagai-konsep-perdamaian