Anda di halaman 1dari 18

STUDI PERBANDINGAN AGAMA MASA ORDE BARU 1

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Agama – Agama Di Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Media Zainul Bahri, Wasil

Oleh

Azwan Halim Febriansyah 11190321000027

Laura Septifanny 11190321000048

STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi
Agama Agama di Indonesia yang berjudul “Studi Perbandingan Agama Masa orde baru
1”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karenanya, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bisa bermanfaat bagi penyusun dan dapat
menambah wawasan kita dalam mempelajar Studi Agama Agama di Indonesia.

Lamongan, 05 Oktober 2021

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
B. Kegunaan (Manfaat) dan Tujuan
C. Tipologi “Agama langit” dan “Agama Bumi”
D. Metodologi
a. Periode Awal : Pendekatan Teologis
b. Mengapa Apologetik?
c. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah
E. Studi Perbandingan Agama dan Politik
F. Isu Isu Penting
a. Agama dan Pembangunan
b. Pluralisme Agama
c. Dialog Antar Agama dan Passing Over
G. Model Studi dan Pengajaran
a. Materi dan Model Pengajaran
b. Model Historis-Kronologis
c. Mengapa selalu dimulai dengan Teori Asal usul Agama
H. Model studi yang Dilakukan

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu PA di kalangan kaum muslim Indonesia secara formal akademik lahir di PTAIN
(Pengurus Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setahun setelah berdirinya
dua pendidikan tinggi islam negeri yaitu di PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademik Dinas
Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran Jurusan PA di Fakultas Ushuluddin ini tak bisa di lepaskan
peran profesor Mukti Ali, seorang cendekiawan muslim terkemuka yang meraih gelar Doktor
di Universitas Karachi, Pakistan Dalam Bidang Sejarah Islam, dan Magister Universitas
McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies. Pada 11 September 1971, Mukti Ali dilantik
jadi Menteri Agama kabinet Orde Baru. Mukti Ali layak disebut sebagai seorang Menteri
Agama yang menempati posisi khusus dalam sejarah kebijakan pemerintah Indonesia di
bidang agama, baik dalam pengertian perannya dalam proses panjang modernisasi politik-
keagamaan yang sedang mengalami masa “transisi” waktu itu,1 maupun dalam kebijakan-
kebijakannya dalam hal mengatur hubungan intra dan antar pemeluk agama yang berbeda
serta hubungan (tokoh-tokoh dan lembaga) agama dengan pemerintah. Karena kecintaannya
yang mendalam kepada ilmu PA berkat pengaruh yang kuat dari profesornya, Willfred
Cantwell Smith, ketika menjadi Menteri Agama, Mukti Ali tak pernah lelah memperkenalkan
kepada mahasiswa dan masyarakat luas akan pentingnya belajar ilmu PA. Ia juga menjadikan
dialog antar umat beragama sebagai kebijakan utama di Departemen Agama
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama


Penting untuk mengetahui pengertian ilmu yang baru berdiriini dan
tujuannya pada Mukti Ali dan sarjana-sarjana PA sesudahnya yang menulis dan
mengajarkan ilmu ini di perguruan tinggi Islam. Pengertian yang mereka pahami
dengan segala misinya akan memberi kita gambaran bagaimana posisi ilmu ini dalam
kancah ilmu-ilmu mapan lain yang berhubungan dengannya dan relasinya dengan
Islam sebagai studi akademik dan praktik dakwah.
Jika kita membawa tulisan – tulisan Mukhti Ali, tampak jelas bahwa ia sedang
“menerjmahkan" buku – buku PA yang di baca hampir seluruh nya dari barat.
“Penerjemahan” itu tentu saja tidak semata bersifat harfiah, karena ia membacanya
dengan kritis. Dengan bacaan atas buku-buku itulah ia memelopori, menyusun
kurikulum dan menyebarkan “virus” PA bahkan sampai masyarakat umum (awam)
dalam karya perdananya tentang PA, Ilmu Perbandingan Agama (sebuah
pembahasan tentang methodos dan sistima, 1965 dan 1969), Mukhti Ali membuat
definisi sebagai berikut;

Perbandingan Agama yang di maksudkan disini yaitu suatu cabang ilmu


pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari pada
suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini
meliputi persamaan juga perbedaan. Dari pembahasan yang sedemikian itu, maka
struktur yang asasi dari pada pengalaman keagamaan dari pada manusia dan
pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.

Definisi Ali itu mirip dengan definisi yang ditulis oleh Louis Jrdan dalam
bukunya Comparative Religion, its Genesis and Growth (1905) yang memang dirujuk
oleh Ali mengutip definisi Jordan secara utuh. Pada definisi Jordan itu, dalam hal
bahwa PA adalah “ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri
berbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan
dan perbedaan-perbedaan yang sebenarnya dan hubungan antara satu agama
dengan agama lain.” Mukti Ali setju. Namun ketika Jordan meneruskan “untuk
mengetahui superioritas dan inferioritas yang relatif di antara agama – agama,”
Mukhti Ali menolaknya dengan alasan bahwa superioritas dan inferioritas diantara
agama-agama dalam kacamata barat selalu diukur denganteori revolusi Darwin.
Dalam merintis ilmu baru ini, Mukhti Ali sepakat bahwa tiga kata kunci dari
pengertian pokok Ilmu PA adalah (1) untuk menemukan persamaan dan perbedaan
diantara agama-agama, (2) untuk menemnukan Struktur yang asasi dari pengalaman
keagamaan umat manusia. Yang khas dari kemampuan mahasiswa PA kelak ketika
jadi sarjana – adalah kemampuan menganalisis dari dua poin terakhir, karena jika
studi PA semata kegiatan memperbandingkan saja, maka yang bukan sarjana
pundapat melakukannya.

Sebagai sarjana yang kritis, sedari awal Mukhti Ali telah menyadari bahwa
ilmu ini – sejak diproklamirkan oleh Max Mupada 1870 dan diberi definisi yang jelas
oleh Jordan memalui seuah buku pertama tentanng PA (1905) terus mengalami
perubahan radikal. Bagi Ali, tidak ada definisi, pengertian dan metode PAyang statis
dan dapat diterima oleh semua sarjana. Ilmu ini akan terus mengalami
perkembangan sebagaimana yang dialami oleh ilmu-ilmu yang telah mapan
sekalipun.

Dalam Perkembangannya, memang terdapat definisi lain yang lebih spesifik


dan variatif, misalnya ilmu yang menekuni esensi agama-agama. Abu Ahmadi
menyebut PA sebagai ilmu yang mempelajari berbagai macam agama, kepercayaan
dan aliran peribadatan yang berkembang pada berbagai bangsa sejak dulu hingga
kini. Definisi yang serupa dengan Ahmadi di kemukakan oleh Abdullah Ali, alumni
dan pengajar PA lalu menjadi Guru Besar Ilmu Sosial Staian Cirebon. Menurutnya, PA
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari ajaran berbagai dan kenyataan yang
tapak pada masing-masing agama. Definisi lain datang dari Adeng Mukhtar Ghazali,
akademisi PA UIN Bandung. Menurutnya, ilmu PA pada intinya adalah suatu
ilmuyang menentukan kebenaran agama melalui upaya, mempelajari, memahami
dan membandingkan agama dengan menggunakanbeberapa metode dan
pendekatan. Yang dimaksud kebenaran agama menurut Adeng bukan menggugat
kebenaran agama yang sudah pasti benarnya, melainkan memahami kebenarang
agama dari realitas empiris atau lebih tepatnya kebenaran ilmiah agamis.

Definisi yang cukup komprehensif datang dari Kautsar Azhari Noer, Guru
Besar Perbandingan Agama UIN Jakarta. Setelah menjelaskan pengertian ilmu Ilmu
Agama, Fiilsafat Agama, teologi dan berbagai nama lain dari perbandingan agama,
Kautsar mengartikan PA sebagai suatu cabang “ilmu agama” yang mempelajari
berbagai agama dan berbagai gejala keagamaan. Ia adalah studi non-normatif yang
menyelidiki secara ilmiah tidak hanya persamaan-persamaan dan perbedaaan-
perbedaan antara berbagai agama atau berbagai gejala keagamaan, tetapi juga
mencari apakah ada pengaruh-pengaruh timbal balik atau sepihak antara berbagai
agama atau berbagai gejala keagamaan atau tidak. Ia juga berusaha menyelidiki
bagaimana suatu tradisi keagamaan mengalami perubahan dalam perkembangannya
selama berabad-abad, menyelidiki bagaimana suatu tradisi keagamaan bisa hidup
terus dan kekuatan apa yang membuatnya bisa hidup terus, dan meyelidiki
bagaimana suatu tradisi keagamaan mengilang lenyap setelah hidup berabad-abad
dan faktor apa yang menyebabkan hilang lenyap. Ia tidak menentukan nilai atau
tidak memberikan penilaian apakah suatu agama benar atau sesat.
B. Kegunaan (Manfaat) dan Tujuan
Adapun tujuan studi ini ialah membandingkan berbagai ajaran dan sistem
keagamaan yang berbeda beda. Kemudian apa gunanya agama dibanding
bandingkan, dalam buku Mukhti Ali yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama 1969,
dalam karya nya tersebut membuat satu pasal khusus yaitu (pasal vl) guna dan
faedah Ilmu Perbandingan Agama bagi seorang Muslim. Dalam pasal tersebut
Mukhti Ali menulis : pengetahuan tentang agama agama lain berguna bukan untuk
mubaligh saja tetapi penting bagi seorang muslim pelajari, untuk mencari persamaan
antara agama Islam dengan Agama agama lain. Hal tersebut berguna untuk
perbandingan, untuk membuktikan dimana kah segi segi dari agama Islam yang
melebihi agama lain. Dan berguna juga untuk menunjukkan bahwa agama agama
lain yang datang sebelum Islam itu merupakan sebagai pengantar terhadap
kebenaran yang lebih luas dan lebih penting yaitu agama Islam. Dengan
membandingkan agama Islam dengan agama yang lain, akan menimbulkan rasa
simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang
kebenaran, dalam hal tersebut bisa menimbulkan tanggungjawab untuk menyiarkan
kebenaran kebenaran yang terkandung dalam agama Islam.
Manfaat studi PA bagi kaum muslim untuk berdakwah dan mempermudah
terwujudnya kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam konteks studi ilmiah PA,
efek studi atau kegunaan studi PA untuk menunjukkan keunggulan superioritas
agama tertentu dengan agama lain (bisa menggoyahkan iman) dan
mendakwahkannya kepada masyarakat umum. Dalam menyampaikan dakwah
Mukhti Ali memiliki kekhawatiran bila umat muslim salah mengartikan atau
menggunakan, maka muslim tersebut dapat membahayakan kepercayaan akidah
Islam sendiri. Bila benar dalam mempergunakan maka akan menemukan cara-cara
baru untuk mempertahankan Islam, adapun tujuan lain yang sering disebut ialah
terciptanya toleransi, kerukunan dan komunikasi yang baik diantara pemeluk agama
yang beragam.

C. Tipologi “Agama langit” dan “Agama Bumi”


Bersamaan dengan semangat dalam tujuan pengkajian PA, muncul tipologi
yang sangat populer, terutama di kalangan umat islam, mengenai “agama langit”
(samawi) atau “agama wahyu” dan “agama bumi” (ardhi) atau “agama non wahyu”
Tipologi ini juga populerdalam diskursus dan kurikulum PA serta karya-karya PA di
awal kemunculan ilmu ini hingga akhir tahun 1980an. Kemungkinan kuat tipologi ini
dan di perkenalkan di indonesia melalui karya Ahmad Abdullah Al-Madoosi, seorang
sarjana muslim pakistan, yang berjudul Living Religion of the world (1962), yang
kemudian di populerkan oleh Endang Saifuddin Anshari (1979). Endang seperti
dikutip oleh Kautsar, mendefinisikan bahwa agama langit, agama wahyu, agama
profetik adalah agama yang di wahyukan oleh allah kepada para nabi dan rasulnya,
sedangkan agama bumi, agama budaya, agama filsafat, agama pemikiran, agama
bukan wahyu, agama alami adalah agama hasil ciptaan manusia. Menurut Endang,
islam sendiri di anggap sebagai satu-satunya agama samawi yang murni. Agama
yahudi dan Nasrani bukan lagi samawi, tetapi telah berubah menjadi aqgama
budaya.

D. Metodologi
Studi ilmiah agama yang diletakkan oleh Max Muller satu abad yang lalu
merupakan studi yang deskriptif dan non normatif, yang bisa dipakai untuk melihat
model model studi PA yang dilakukan sesudahnya.
Kita bisa melihat periode awal Mukhti Ali sebagai perintis dalam karya
pertamanya tentang PA. Ia menulis : Methodos dalam Ilmu Perbandingan Agama
sebagian besar tergantung kepada pandangan orang terhadap agama-agama bukan
agamanya. Biasanya Perbandingan Agama itu dilakukan dari dalam Agama yang
dipeluk oleh seorang dalam usahanya untuk menilai isi dan ciri dari agama lain.
Harus diakui bahwa ilmu Perbandingan Agama bisa menjadi bahaya yang besar bagi
agama Islam, apabila salah mempergunakannya, tetapi sebaliknya merupakan
bantuan yang besar sekali bagi perkembangan agama Islam, apabila betul dalam
mempergunakannya...
Pandangan Mukhti Ali merupakan pandangan teologis terlihat dalam
ceramah yang diundang oleh perguruan tinggi Threologia Duta Wacana Yogyakarta
(20 September 1968) yang membahas tentang konsep Tuhan yang Esa dalam Al-
Qur’an, bahwa dalam Islam tidak banyak muncul sekte sekte yang bertentangan satu
dengan yang lain karena sumber utama yaitu Al-Qur’an yang secara terang,
konsisten dan tidak membuat bingung tentang konsep mengenai ke Esa an Tuhan.
Berbeda dengan Kristen yang memiliki banyak sekte dikarenakan banyak pasal soal
keTuhan an didalam Alkitab yang membuat sulit untuk disatukan atau disintesiskan
(digabungkan).
Karena munculnya sikap dan kajian teologis dikarenakan polemik antara
umat Islam dengan Kristen Indonesia yang melibatkan banyak pihak, yang kemudian
menimbulkan banyaknya karya teologis secara publikasi. Maka teologis apologetik
lahir akibat sebuah “serangan” atau “pertahanan”yang agresif karena kebencian dan
permusuhan antar umat Islam dan umat Kristen menggunakan sebuah karya.
Pada periode kedua merintis metodologi Ilmiah dengan semangat
rasionalisasi dan pengembangan. Mukhti Ali menegaskan bahwa “perbandingan
Agama bukan suatu alat untuk mempertahankan kejayaan dan agama seseorang,
melainkan Perbandingan Agama merupakan alat untuk memahami fungsi dan ciri
agama sebagai suatu ciri naluri sebagai manusia.
Dalam metode ilmiah ini Mukhti Ali percaya bahwa dalam memahami agama
secara luas perlu yang namanya pendekatan, baik pendekatan melalui konvensional
seperti pendekatan historis yang dibantu atau didasarkan pada hasil penelitian
arkeologis dan filologis, pendekatan antropologis, sosiologis, psikologis,
fenomenologis, dogmatis. 1

1) Periode Awal : Pendekatan Teologis


Sebelum memulai sub tema ini, penting dikemukakan bahwa bagi murid-murid
Mukti Ali seperti Profesor Djam’annuri (murid generasi kedua) dan Singgih Basuki
(murid generasi ketiga) Mukti Ali adalah figur yang konsisten, termasuk dalam hal
menjerumuskan metode ilmiah bagi studi PA. ia sudah mulai memikirkan suatu
metode yang cocok dengan kontrks perguruan tinggi islam, yaitu apa yang kemudian
disebut “religio-scientific,” “scientific-cum-doctrinai” atau “ilmiah agamais.” Metode
ini adalah gabungan dari studi ilmiah murni (misalnya menggunakan beragam
pendekatan : historis, sosiologis, antrpologis, psikologisdan lain-lain) dengan
pendekatan yang ”doktriner,” “normatif atau nuansa “ibadah.”
Menurut Djam’annuri, setiap peneliti Mukti Ali harus menyadari bahwa Mukti Ali
memkan studi PA, sejak awal pendirian, dalam konteks perguruan tinggi Islam.
Artinya, ilmu PA harus dipahami sebagai aktivitas mempelajari agama – agama
sebagai bagian dari studi keislaman. Apa yang dikehendaki oleh Mukti Ali adalah
bahwa kelak seorang sarjana Muslim bisa memahmi agama – agama non – Islam,
memiliki otak yang cerdas (berpengetahuan luas) namun tetap memliki komitmen
terhadap Islam dan terjaga kesalehan nya. “Menurut Singgih, rumusan Mukti Ali
mengenai “ilmiah agamis” sesungguhnya sejalan dengan ide Dr. Satiman dan Dr.
Muhammad Hatta (sang proklamator) ketika merumuskan Perguruan Tinggi Agama
Islam pada 1960-an, yaitu bahwa PTAI kelak akan mencetak sarjana (ahli) yang
cerdas pikirannya, namun tetap terjaga kesalehannya. Cerdas dan saleh dengan
segala kualitasnya, misalnya rendah hati (tawadhu) menurut Singgih, inilah yang
konsisten melekat pada pribadi Mukti Ali hingga akhir hayatnya.”
2) Mengapa Apologetik?
mungkin pertanyaan banyak orang. Untuk menjawabnya secara luas kita perlu
sekilas menengok ke belakang. Mircea Eliade menyebut bahwa Ilmu Agama
(Religionwis senschaft) mulai dirintis pada abad ke-19 dalam waktu yang hampir
bersamaan dengan Ilmu Bahasa. Max Müller, sebagai sarjana yang dianggap “Bapak”
Ilmu Agama atau Perbandingan Agama di dunia, dalam pengantarnya pada edisi
Chips from a German Workshop (London, 1867) memberinya nama “Ilmu Agama-
Agama” atau “Ilmu Perbandingan agama.” Menurut Wilfred C. Smith, disiplin Ilmu
Agama (Perbandingan Agama) dimulai menjadi kajian serius sejak Zaman Penemuan
(the Age of Discovery) ketika dunia Kristen Barat menemukan bagian-bagian dunia
lain; agama-agama lain, kemudian mulai menyelidiki, mengurasnya dan secara
bertahap menjadisadar akan adanya masyarakat dan wilayah yang berada jauh dari
bumi mereka. Abad ke-19 adalah era bangkitnya sebuah usaha yang serius,
berdisiplin untuk mengumpulkan dan menemukan bahan.bahan, merekamnya
1
Dr. Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama – Agama ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), hlm 185
secara hati-hati, memahami dan mencermatinya secara lebih sistematis. Lalu, ketika
banyak yang menggandrungi kajian dunia Timur (oriental) dan antropologi, maka
mulailah di sana-sini dibuka jurusan Religion wissenschaft.66 Dengan kata lain,
muncul kesan yang kuat bahwa ilmu PA adalah temuan Kristen Barat, dan proyek
awalnya menurut Ninian Smart, tak lepas dari kesan “Western imperialism and
Christian superiority.”67 Bahkan dalam penjelasan khusus Smith, definisi dan
kategori “agama” pun adalah temuan Kristen Barat, yang kemudian banyak
digunakan atau sangat berpengaruh di dunia Timur.68 John Hinnells menulis secara
eksplisit bahwa,

The term ‘comparative study of religion’ is widely suspected, because it was used by
particular Western academics, mainly in the nineteenth century, who were trying to
prove that Christianity was superior to other religions.

Karena itu, perbandingan dilakukan untuk menguasai atau meletakkan “yang lain”
(agama lain) dalam kerangka (ukuran) subjektif (agama) pembanding. Inilah yang
terjadi pada suatu periode panjang studi PA di Barat. Rupanya itulah juga yang
terjadi di Indonesia. Apakah hal itu merupakan gejala umum di banyak belahan
dunia? Seperti diketahui, dalam waktu yang sangat lama, Teologi dianggap
sebagaiQueen of the Sciences (Ratunya para ilmu); “Induk”nya ilmu-ilmu yang
dikenal oleh manusia.70 Karena itu, wajar jika ia memiliki pengaruh atau
“cengkeraman” yang sangat kuat selama berabad-abad dalam memori kolektif umat
beragama. Di Indonesia pun, pola pikir dan sikap teologis memiliki sejarah yang
panjang mulai abad pertengahan; abad Majapahit; abad para Wali Songo, bahkan
bisa lebih jauh lagi ke belakang. Karena itu tidak mengherankan kuatnya cara
pandang dan sikap teologis yang selalu hadir, baik pada masa sebelum kemerdekaan,
maupun di masa-masa sesudah kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama dan
Orde Baru. Kita bisa memahami “pandangan dunia” kaum Muslim Indonesia pada
masa 1950-an hingga akhir 1980-an yang berkutat kuat pada Teologi dan
Fikih,karena atmosfer studi agama (Islam) yang mereka hirup dan temukan adalah
pada dua dimensi itu. Teologi dan Fikih memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
denyut nadi kaum Muslim Indonesia karena memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan
yang panjang, terutama hubungan intelektual dan emosional dengan ulama-ulama
besar di Timur Tengah yang menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulama besar Nusantara.
Teologi dan Fikih berhubungan langsung dengan proses terus-menerus mereka
“menjadi Muslim,” dan bersentuhan langsung dengan soal-soal praktis kehidupan
mereka. Mungkin, Tasawuf dan Filsafat Islam dikenal, tetapi tidak diakrabi; tidak
familier, tidak bersentuhan langsung dengan persoalan praktis, karena itu “level”nya
dianggap terlalu tinggi bagi mayoritas kaum Muslim Indonesia.
3) Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah
Dalam semangat rasionalisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan inilah, maka
pada periode kedua—lagi-lagi hanya istilah teknis belaka—kita tidak mungkin bisa
mengabaikan keinginan Mukti Ali untuk membuat kajian PA menjadi ilmu yang
otonom dengan seperangkat metodologi tertentu. Ia menegaskan: Perbandingan
Agama itu bukan apology.

Perbandingan Agama bukanlah suatu alat untuk mempertahankan


kepertjajaan dan agama seseorang, tetapi sebaliknja, Perbandingan Agama
merupakan alat untuk memahami fungsi dan tjiri agama, sebagai suatu tjiri
jang naluri bagi manusia…
Sekarang timbul pertanjaan, apakah mungkin bagi seorang jang telah
mempertjajai sesuatu agama bisa menaruh simpati terhadap agama dan
kepertjajaan lain dalam penjelidikannja itu? Kami kira bisa, sebab sekalipun
orang telah mempunjai kejakinan jang kokoh tentang benarnja sesuatu
kepertjajaan jang ia peluk, ia toh bisa menghargai pengalaman-pengalaman
rohani lain orang, karena keharusan bagi seseorang untuk menghargai dan
menghormati sesama manusia, termasuk djuga agama dan kepertjajaannja..

Dua pernyataan penting bahwa studi PA bukan “sikap teologisyang apologetik” dan
kemampuan atau keharusan seorang pengkaji PA untuk bersikap “simpatik”
terhadap keyakinan orang lain menunjukkan bahwa Mukti Ali sejak awal telah
menyadari akan keharusan kemandirian ilmu ini dan perbedaannya yang tegas
dengan Teologi, Sejarah Agama, dan Filsafat Agama misalnya, meskipun dalam
beberapa kasus ia sendiri dan murid-muridnya “terjebak” mempraktikkan kajian PA
dengan pendekatan teologis. Mukti Ali menyebut tiga bagian pokok Ilmu Agama
(Science of Religion) yaitu Sejarah Agama (History of Religion), Perbandingan Agama
(Comparison of Religion), dan Filsafat Agama (Philosophy of Religion). Pembagian ini
dalam perspektif Mukti Ali menunjukkan bahwa PA adalah disiplin otonom yang
berusaha memahami aspek-aspek yang diperoleh dari Sejarah Agama misalnya,
kemudian menghubungkan atau membandingkan satu agama dengan lainnya untuk
menemukan struktur yang fundamental dari berbagai pengalaman dan konsepsi
keagamaan dengan cara menganalisis persamaan dan perbedaan di antara agama-
agama. Bagi Mukti Ali dalam periode itu, “Perbandingan” adalah sebuah disiplin ilmu
sekaligus juga pendekatan yang berbeda (baik definisi, tujuan dan metodenya)
dengan cabang ilmu-ilmu agama lain.

E. Studi Perbandingan Agama dan Politik


Secara akademis Mukti Ali memiliki kemampuan dan minat yang sangat
besar terhadap studi PA dan Dialog antar agama. Namun saat ia naik menjadi
Menteri Agama dan dengan jabatan itu ia menyebarkan isu isu penting studi PA. Saat
Mukti Ali menjadi menteri agama tak luput dari turunnya menteri agama
Mohammad Dahlan oleh Korps Karyawa (kokar) Muljanto Sumardi sebagai tokoh
utamanya, dikarenakan Mohammad Dahlan membuat kecewa terutama keluarga
masyumi, yang mana Mohammad Dahlan dalam departemen nya ia melindungi
kepentingan kepentingan NU. Ketika Orde Baru melakukan kampanye besar besaran
pada pemilu 1971 untuk mengooptasi seluruh departemen kedalam barisan
pendukung Golkar. Mohammad Dahlan, sebagai menteri dari partai NU, secara
politisi menghendaki departemen nya untuk tetap berperan mendukung agenda
agenda politik NU yang tidak mendasarkan pada agenda agenda pemerintah Orde
Baru yang sedang gencar melakukan proyek pembangunan disegala bidang. Saat
pelobian yang dilakukan oleh Kokar dengan pusat kekuasaan Orde Baru yang mana
pada saat itu direpresentasikan oleh CSIS (kelompok tanah abang), akhirnya
Mohammad Dahlan berhasil dilepas dari kursi jabatannya sebagai menteri agama,
dan kemudian Mukti Ali dilantik sebagai menteri agama yang baru pada 11
September 1971.
Saat Mukti Ali menjadi menteri agama pada masa akhir jabatan kekuasaan
Presiden Soekarno (1960-an) terdapat konflik antar pemeluk agama. Hal tersebut
bisa diambil hal positifnya terbentuknya PTAIN. Pada 1959 Soekarno membuat
regulasi ideologi tentang manipol-usdek (manifesto politik-Undang undang dasar
1945, sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia), dan satu tahun setelahnya ideologinya disempurnakan
menjadi Nasakom (Nasionalis-komunis-agama). Soekarno berharap melalui Nasakom
dapat menyatukan kaum nasionalis, komunis dan agama (muslim). Namun pada
akhirnya ideologi tersebut memunculkan konflik antar umat muslim Modern –
Ortodoks, disatu sisi lagi ada tekanan terhadap komunisme yang meningkat,
kelompok Kristen secara agresif melakukan misionari. Dalam keadaan tersebut umat
muslim merasa terancam dan harus melakukan sesuatu terhadap kaum minoritas
Kristen tersebut. Pada saat itu pula pemerintah Soekarno menyetujui pendirian
PTAIN di Yogyakarta dan ADIA diJakarta, sebagai bentuk pemerintah menunjukkan
perhatian terhadap Muslim Indonesia. Ada beberapa harapan pemerintah Soekarno
atas berdirinya Universitas Islam Negeri, yaitu kebutuhan kaum muslim dalam
bidang pendidikan agama terpuaskan, disisi lain pemerintah menghendaki kaum
muslim dapat setia terhadap pemerintah, dan pemerintah dapat mentraining kaum
Muslim mengenai hidup rukun dan damai. Dalam hal tersebutlah studi PA dipakai
sebagai studi ilmiah yang cocok untuk proyek kerukunan di saat terjadi konflik antar
agama.
Setelah peristiwa PKI 1965 banyak kaum komunis yang masuk kristen karena
takut dibunuh, disisi lain secara agresif misionaris Kristen berhasil mengkristenkan
umat muslim yang tidak berpendidikan dengan iming-iming mendapatkan
pendidikan, kebutuhan pokok dan kecukupan material lainnya. Hal tersebut
membuat konflik antar agama semakin kacau yang dapat mengakibatkan perang
antar agama, maka setelah Soeharto menjadi presiden, Soeharto mengumpulkan
tokoh-tokoh agama untuk membuat dialog dan Kerukunan sebagai langkah menuju
stabilitas (Maret 1967). Pada 30 November 1967, diadakan perhelatan nasional
dialog antar agama dengan nama “Musjawarah Antar Agama”, dalam dialog antar
agama itu pula Mukti Ali terlibat. Namun konferensi tersebut gagal karena kelompok
kristen menolak tiga proposal Soeharto yaitu: (1) untuk menahan diri dari segala
sikap memaksa kehendak dalam beragama, (2) untuk menahan diri dari misionari
(dakwah) kepada orang yang sudah memeluk agama, (3) untuk mengembangkan
paham keagamaan yang mendukung sikap toleransi sosial. Hal tersebut membuat
Soeharto merubah fokusnya pada pembangunan, yang dicetuskannya istilah pelita
I(1969-1974). Mukti Ali pada 1971-1978 mengembangkan paham dan bentuk
keagamaan yang cocok dengan kebijakan pembangunan Soeharto. Sejak dini, Mukti
Ali sebenarnya telah menyadari atau mengarahkan studi PA bagi kepentingan
kehidupan sosial dibanding hanya sebagai sekadar “ilmu murni” dengan seperangkat
metode ilmiah tertentu. Baginya, ilmu PA harus bermanfaat bagi kehidupan sosial
yang harmonis antarpemeluk agama. Studi PA dan relevansi sosial-nya ini
disandarkan oleh Mukti Ali kepada karya-karya Joachim Wach, Friedrich Heiler dan
Wilfred Cantwell Smith.
F. Isu Isu Penting

a. Agama dan Pembangunan


Salah satu tugas poko Mukti Ali sebagai menteri agama, ia juga
membuat rumusan rumusan bagaimana agama memberi kontribusi yang
signifikan terhadap pembangunan nasional dan stabilitas. Bagi Mukti Ali
agama, agama harus berperan memberi makna bagi arah pembangunan yang
membawa kesejahteraan, bukan hanya untuk fisik lahiriah masyarakat
Indonesia tapi juga sejahtera batin spiritual nya. Bagi Mukti Ali,
pembangunan ialah proses untuk menciptakan manusia baru, yaitu manusia
yang dapat bebas dari dua hal; bebas dari ancaman fisik seperti kelaparan,
penyakit dll. Bebas dari penyakit mental dan rohani; kebodohan kekeringan
spiritual hingga teralienasi(kesalahan memahami agama yang benar dan
humanis). Maka tujuan pembangunan adalah membentuk karakter manusia
seutuhnya dan umat manusia secara umum. Maka dapat dilihat bahwa
pembangunan bukan hanya untuk membangun perekonomian melainkan
juga untuk mental spiritual manusia.
Masyarakat Indonesia memiliki pandangan tradisional dan konservatif
kearah yang modern progesif. Mukti Ali berpandangan maju revolusi (radikal
pada nilai nilai dan struktur masyarakat tanpa kekerasan dan tanpa anarki)
sulit untuk diimplementasikan pada masyarakat ndeso dan baru bangun
untuk memulai pembangunan. Jika pembangunan mengabaikan agama maka
pembangunan tersebut akan kehilangan tujuan, kedalaman dan
keindahannya. Agama semata tidak memberi motivasi dan tujuan bagi
pembangunan melainkan menjadi roh(spirit) dalam badan pembangunan itu
sendiri. Maka dari itu Mukti Ali berusaha mendorong agama agar seirama
dengan proyek proyek pembangunan fisik dan disisi lain sebagai toleransi
terhadap perbedaan keyakinan.

b. Kerukunan antar umat beragama


Mukti Ali sebagai menteri agama atau akademisi PA yang konsisten
terhadap kerukunan intra dan antar umat beragama. Mukti Ali mengajukan
lima pandangan teologis yang niscaya dianut oleh para pemeluk agama yang
beragam; (1) sinkretisme : pandangan yang menyatakan bahwa semua agama
itu sama karena manifestasi dari Tuhan yang sama. (2)
rekonsepsi(reconception) : mengevaluasi kembali agama sendiri ketika
berhadapan dengan agama lain. (3) sintesis : menciptakan agama baru
dengan cara mengambil berbagai elemen dari banyak agama. (4) penggantian
: keyakinan bahwa agamanya sendiri yang paling benar sedang agama lain
salah. (5) setuju dalam perbedaan : keyakinan bahwa agama ia peluk adalah
agama yang paling baik dan paling benar, dan mempersilahkan orang lain
untuk memeluk agama yang ia anggapatau yakini benar.
c. Pluralisme Agama
Pada masa 1990 an studi agama di barat menjadi wajah baru studi
agama di Indonesia, terutama pluralisme. Ada empat tokoh pluralisme ;
(1) Nurcholish Madjid
(2) Abdurrahman Wahid
(3) Djohan Effendi
(4) Jalaluddin Rakhmat
d. Dialog Antar Agama
Dialog antar agama merupakan konsep perdamaian yang bagus, yang
bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini karena
dalam dialog antar agama tersebut, antar umat beragama dituntut untuk bisa
saling memahami dan menghormati keyakinannya masing-masing. Al Qur’an
telah memerintahkan umatnya untuk menyebarkan Islam melalui Al-Qur’an
Surah Yusuf ayar 108. Namun penyebaran tersebut juga harus dilakukan
dengan kebijaksanaan dan dakwah yang baik. Sebab ada larangan juga untuk
memaksa non-muslim untuk memeluk Islam. Dalam situasi non-muslim yang
tidak bersedia masuk Islam, umat Islam harus menganggapnya sebagai rekan
berinteraksi. Pandangannya juga jangan ditolak mentah-mentah dan jangan
diremehkan.Islam juga menganjurkan penggunaan kata-kata yang baik dalam
penyebaran dakwahnya. Seperti dalam hadist, “Sebarkanlah walau hanya
satu ayat” yang mengisyaratkan kepada umat Islam untuk menyampaikan
perkara agama walaupun itu kecil. Namun dalam berdakwah, tidak
dianjurkan untuk menggunakan kata-kata kasar untuk menghina kepercayaan
non-muslim.Dialog antar agama bukanlah hal untuk mengubah agama yang
lain menjadi agama kita. Hal ini juga bukan tempat untuk berdebat,
menyerang, menyanggah agama yang lain. Setiap kelompok agama meyakini
keyakinannya masing-masing sekaligus menghormati hak-hak agama lain
untuk mempraktekkan keyakinannnya secara bebas. Hal ini merupakan
sebuah usaha untuk mengatasi atau mencegah ketegangan diantara
kelompok kelompok agama, maka tercipta perdamaian diantara kelompok
agama yang berbeda.2

G. Model Studi dan Pengajaran

a. Materi dan Model Pengajaran

b. Model Historis-Kronologis
Salah satu model pengajaran studi PA yang mencolok hingga masa akhir
orde baru, hingga masa Reformasi melalui pendekatan historis kronologis.
Agama agama diperkenalkan pada mahasiswa melalui dari sejarah hingga
perkembangannya. Melalui pengajaran ini banyak pelajar muslim gagal
memahami makna terdalam dari islam yang menunjukkan kasih Tuhan dan
keagungan manusia bila tidak di barengi oleh sikap kritis, serta dogma dogma
yang diajarkan secara doktriner.
c. Mengapa selalu dimulai dengan Teori Asal usul Agama
Model pembelajaran ini telah lama dipakai di barat, secara formal
akademik, kajian asal usul agama, baik yang pro maupun kontra Tuhan mulai
ramai didiskusikan pada abad ke 19. Pendekatan ini untuk memahami lebih
dalam asal usul dari suatu agama.

H. Model studi yang Dilakukan


Pada perkembangan selanjutnya di akhir masa 1980 an -1990 an mulai
muncul kajian kajian yang bersifat ilmiah dan humanis. Model studi yang dilakukan
sejak awal Jurusan PA berdiri hingga masa akhir Orde Baru dapat dibagi dalam dua
periode, yaitu pertama, periode model kajian normatif (dari 1961 hingga
pertengahan 1980), yaitu mengkaji agama-agama non-Islam dengan memakai
beberapa pendekatan, namun pada akhirnya akan ditarik pada pendekatan teologis
(subjektif). Kedua, masa model kajian non-normatif atau deskriptif (mulai akhir 1980
hingga akhir 1990), yaitu kajian yang mengusahakan berbagai pendekatan ilmiah
yang melihat agama atau keberagamaan suatu komunitas dengan aspek-aspek studi
yang kompleks dan tunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam disiplin
Ilmu yang menjadi pendekatannya. Namun, harus juga dipahami bahwa dua
periodisasi di atas, normatif dan deskriptif, tidak bersifat “pasti” atau “absolut”

2
https://www.umy.ac.id/dialog-antar-agama-dinilai-bagus-sebagai-konsep-perdamaian
secara keseluruhan. Sangat mungkin terdapat aspek-aspek yang “cair” atau kondisi
yang “fleksibel” dalam setiap periode itu. Mungkin terdapat beberapa karya yang
bercorak “semi-ilmiah” pada era normatif, atau terdapat pula beberapa karya
dengan corak “teologis-apologetik”. Saat studi PA dilakukan dengan mengikuti tradisi
barat, Mukti Ali sangat berjasa karena ia mengambil referensi yang berlimpah dari
barat dan mengolahnya untuk konteks Indonesia yang majemuk dan untuk konteks
perguruan tinggi islam.
KESIMPULAN

Menurut Mukhti Ali perbandingan agama ialah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
berusaha untuk memahami gejala gejala keagamaan daripada suatu kepercayaan dalam
berhubungan dengan agama lain. Definisi Mukhti Ali juga mirip tulisan yang ditulis oleh
Louis Jordan dalam bukunya Comparative Religion. Dalam karya lain Mukhti Ali pada tahun
1988 dengan judul Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia, yang berisikan kutipan dari
Jordan mengenai definisi ilmu PA sebagai berikut “Ilmu yang membandingkan asal usul,
struktur dan ciri ciri dari berbagai agama dunia, bermaksud untuk menentukan persamaan
persamaan dan perbedaan perbedaan yang sebenarnya dan hubungan antara satu agama
dengan agama lain, untuk mengetahui superioritas dan inferioritas yang relatif di antara
agama agama. Mukhti Ali setuju dengan pendapat Jordan akan tetapi Mukhti Ali juga
menolak beberapa kalimat yang di tulis oleh Jordan, kata tersebut ialah untuk mengetahui
superioritas dan inferioritas yang relatif di antara agama agama. Kata tersebut ditolak
karena kata superioritas dan inferioritas dalam kacamata barat diukur dengan teori evolusi
Darwin.
Daftar Pustaka

Dr. Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama – Agama ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015)

https://www.umy.ac.id/dialog-antar-agama-dinilai-bagus-sebagai-konsep-perdamaian

Anda mungkin juga menyukai