Anda di halaman 1dari 16

HADITS SHAHIH DAN KRITERIANYA

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi al-Hadits Yang Diampu Oleh
Bapak Dr. Mohammad Subhan Zamzami, M.Th.I

Disusun Oleh :

Nurul Imamah

Prodi Ekonomi Syariah

PROGRAM STUDI PASCASARJANA EKONOMI SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
TAHUN AKADEMIK 2020

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirohim

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,

karena berkat rahmat dan karunia-Nya tugas makalah ini dapat diselesaikan. Saya

juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan sehingga

penyusun dapat mengumpulkan bahan-bahan materi makalah ini dari baik dari

sumber online maupun offline. Penyusun telah berusaha semampunya untuk

mengumpulkan berbagai macam bahan tentang Hadits Shahih dak Kriterianya.

Penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena itu

diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah

ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu dimohon bantuan pada Dosen

Pengampu Mata Kuliah dan juga para pembaca.

Demikianlah makalah ini dibuat, apabila ada kesalahan dalam penulisan,

penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya dan sebelumnya kami

mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alikum Wr.Wb

Pamekasan, 6 Oktober 2020


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................1

C. Tujuan Penulisan............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................3

A. Pengertian Hadits Shahih...............................................................3

B. Syarat-syarat Hadits Shahih...........................................................3

C. Macam-macam Hadits Shahih.......................................................7

D. Tingkatan Hadits Shahih................................................................9

BAB III PENUTUP.......................................................................................11

A. Kesimpulan..................................................................................11

B. Saran.............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits adalah sumber hukum islam kedua setelah Al-Quran. Dalam

menentukan hukum taklifi, umat islam harus berpedoman menggunakan Al Quran

dan jika tidak ada keterangan yang jelas di dalam Al-Quran maka selanjutnya

umat islam dianjurkan mencari atau mengambil penjelasan dari hadits.

Dari mulai wafatnya Rasulullah SAW hingga masa penulisan hadits, sangat

mungkin jika terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits, hal inilah yang membuat para

ulama berbondong-bondong untuk mencari dan mengumpulkan hadits, para ulama

dalam melakukan penelitian menitikberatkan fokus dan perhatiannya pada matan

dan sanad hadits. Oleh karena itu para ulama menetapkan kaidah-kaidah

berkenaan dengan dua hal tersebut sebagai syarat diterimanya suatu hadits.

Sebuah hadits dikategorikan shahih apabila telah memenuhi kriteria-kriteria

keshahihan suatu hadits baik dari segi kualitas sanad, matan, maupun perawinya.

Dalam mengambil dalil dari hadis ada klasifikasi hadis yang bisa dijadikan

hujjah untuk menentukan masalah aqidah atau keimanan dan menentukan halal

atau haram dan ada yang bisa dijadikan dalil untuk anjuran agar meninggalkan

hal-hal yang makruh atau tarhib. Adapun hadits yang bisa dijadikan hujjah yaitu

shahih lidhatihi dan sahih lighairihi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hadits shahih ?

2. Bagaimana kriteria hadits shahih ?

1
2

3. Apa saja macam-macam hadits shahih ?

4. Bagaimana tingkatan hadits shahih ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian hadits shahih.

2. Untuk menganalisis kriteria hadits shahih.

3. Untuk mengetahui macam-macam hadits shahih.

4. Untuk mengetahui tingkatan hadits shahih.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Shahih

Hadits shahih merupakan salah satu jenis dari hadits maqbul, yang mana

hadits maqbul sendiri memiliki pengertian hadits yang memenuhi syarat-syarat

qabul, yaitu syarat untuk dapat diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum

atau untuk beramal dengannya. Sedangkan hadits maqbul merupakan jenis hadits

yang ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan-nya atau berdasarkan kuat dan

lemahnya suatu hadits. Hadits maqbul terdiri atas hadits shahih dan hadits hasan.

Kata shahih berasal dari bahasa Arab as-shahih, bentuk pluralnya

ashihha’ dan berakar pada kata shahha. Dari segi bahasa, kata ini memiliki

beberapa arti di antaranya, selamat dari penyakit, bebas dari aib/cacat. Sedangkan

pengertian hadis adalah khabar (berita). Sedangkan dalam istilah ilmu hadits,

hadits shahih berarti:

‫ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ْال َع ْد ِل الضَّابِ ِط ع َْن ِم ْثلِ ِه ٳِلَى ُمنَّهَاهُ ِم ْن َغي ِْر ُش ُذوْ ٍذ َوالَ ِعلَّ ٍة‬
َ َّ‫َماات‬

Hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan


oleh perawi yang adil, dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama
(kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan
tidak pula ber-‘illat.1

B. Syarat-syarat Hadits Shahih

Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu hadits dapat

dinyatakan sebagai hadits shahih apabila telah memenuhi kriteria tertentu.

1
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), 220.
4

Adapun kriteria yang telah ditetapkan oleh para Ulama tentang hadits shahih ialah

sebagai berikut:

1. Sanadnya Bersambung

Hadits dikatakan shahih apabila sanadnya bersambung, maksudnya ialah

bahwa setiap perawi menerima hadits secara langsung dari perawi yang berada

di atasnya, dari awal sanad sampai pada akhir sanad dan seterusnya sampai

kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadits tersebut. Hadits-hadits

yang tidak bersambung sanadnya, tidak bisa disebut shahih, misalnya seperti

hadits munqathi’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas, dan lainnya yang sanadnya

tidak bersambung.

Menurut M. Syuhudi Ismail untuk mengetahui bersambung atau tidaknya

sanad suatu hadits, biasanya para ulama menempuh beberapa tata kerja

penelitian sebagai berikut:

a. Mencatat nama semua periwayat dalam sanad hadits yang diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat. Hal ini bertujuan

untuk mengetahui apakah periwayat tersebut dikenal sebagai orang yang

tsiqah (adil dan dhabith), serta bukan termasuk orang yang tadlis. Selain

itu, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan sezaman

antara guru-murid dalam periwayatan hadits.

c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi yang

terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana, haddatsani,

akhbarana, sami’tu, ‘an, ‘anna, dan lainnya.2

2
Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), 162.
5

Dengan cara yang disebutkan di atas dapat diketahui ketersambungan

sanad hadits dengan mengetahui kedekatan perawi antara perawi satu dengan

perawi sebelumnya.

2. Perawinya Adil

Setiap perawi harus memiliki sifat adil. Adil yang dimaksud yaitu

memenuhi kriteria: muslim, balig, berakal, taat beragama, tidak melakukan

perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah-nya.

Untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadits, ulama telah menetapkan

beberapa cara, yaitu pertama, melalui popularitas keutamaan periwayat di

kalangan ulama hadits. Adapun periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya

misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan keadilannya.

Cara kedua, penilaian dari para kritikus hadits. Penilaian ini berisis

pengungkapan kelebihan (al—Ta’dil) dan kekurangan (al-Tarjij) yang ada

pada diri periwayat hadits tersebut. Ketiga, dengan menerapkan kaidah kaidah

al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh jika para kritikus periwayat hadits tidak

sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.3

3. Perawinya Dhabith

Dalam hal ini, perawi hadits harus memiliki ketelitian dalam menerima

hadits, memahami apa yang telah ia dengar, serta mampu mengingat dan

menghafalnya sejak ia menerima hadits tersebut sampai pada masa ketika ia

meriwayatkannya. Atau ia mampu memelihara hadits yang ada dalam

catatannya dari kekeliruan, atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan

sebagainya yang dapat mengubah hadits tersebut. Dengan demikian, ke-

3
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 134.
6

dhabit-an seorang perawi dapat dibagi dua, yaitu dhabith shadran (kekuatan

ingatan atau hafalannya) dan dhabith kitaban (kerapian dan ketelitian tulisan

atau catatannya).

4. Tidak Syadz

Menurut bahasa, Syadz merupakan bentuk isim fa’il dari syadzdza yang

berarti menyendiri. Sedangkan menurut istilah ulama hadits, Syadz adalah

hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan

riwayat yang lebih tsiqah.4 Pendapat ini disampaikan oleh al-Syafi’i dan

diikuti oleh sebagian besar ulama hadits. Menurut al-Syafi’i, suatu hadits

dinyatakan mengandung Syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat

yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak periwayat yang lebih

tsiqah.

5. Tidak Ber-‘illat.

‘illat adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau bersembunyi yang

akan melemahkan hadits tersebut. Pengertian ‘illat disini bukanlah

sebagaimana pengertian ‘illat secara umum, yakni cacat yang disebut sebagai

tha’nu al-hadits atau jarh. Maksud ‘illat dalam hal ini adalah sebab-sebab

tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan

hadits yang secara lahiriyah tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.5

Para ulama mengakui bahwa untuk menemukan ‘illat dalam suatu hadits

tidaklah mudah dikarenakan sangat tersembunyi bahkan secara lahiriyah

tampak shahih. Oleh karena itu, diperlukan ketajaman intuisi, kecerdasan dan

hafalan serta pemahaman hadits yang cukup luas.


4
Ibid.
5
Zainuddin dkk, Studi Hadits (Surabaya: IAIN SUNAN AMPEL PRESS, 2011), 163
7

Langkah-langkah yang perlu dilakukan yakni dengan menghimpun seluruh

sanad untuk matan yang satu tema, kemudian diteliti denngan cara

membandingkan sanad yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula dengan

matannya. Ia perlu dibandingkan dengan matan-matan yang lain. Apabila

bertentangan dengan matan-matan hadits yang lain namun serupa, atau

kandungannya bertentangan dengan al-Qur’an, hal ini berarti, ia mengandung

‘illat.6

Menurut penjelasan para ulama, ‘illat hadits pada umum ya ditemukan

pada:

a. Sanad yang tampak muttasil dan marfu’, tetapi kenyataannya mauquf,

walaupun sanad-nya dalam keadaan muttasil.

b. Sanad yang tampak marfu’ dan muttasil tetapi kenyataannya mursal,

walaupun sanadnya dalam keadaan muttasil.

c. Dalam hadits itu terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadits lain

dalam sanad hadits itu terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang

memiliki kemiripan atau kesamaan nama dengan perawi lain yang

kualitasnya berbeda.

Kelima kriteria di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan ke-shahih-

an suatu hadits shahih. Apabila kelima kriteria tersebut dapat dipenuhi secara

sempurna, maka hadits tersebut dinamai dengan hadits shahih lidzatihi.

6
Afif Muhammad MA, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual atas Hadits Nabi SAW,
dalam Madhzab Masa Depan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 121.
8

C. Macam-macam Hadits Shahih

Para ulama membagi hadits shahih menjadi dua yaitu shahih lidzatihi dan

shahih lighairihi.7

1. Shahih Lidzatihi

Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi

kriteria ke-shahih-an sebagiamana criteria yang ada di atas, serta tidak

memerlukan penguat dari yang lainnya.

Dalam pengertian lain, hadits shahih ialah hadits yang memenuhi secara

lengkap syarat-syarat hadits yaitu bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh

orang yang adil, yang sukup kuat ingatannya dari orang yang seumpama juga

yang berturut- turut sampai penghujung sanad dan terhindar dari hal yang

mengganjal dan cacat. Maksud sanad yang bersambung ialah selamat

sanadnya dari terputus- putus dan gugur seorang perawi ditengah- tengahnya.8

2. Shahih Ligairihi

Hadits shahih ligairihi ialah:

ُ‫خَر ِم ْثلَهُ أَوْ أ ْق َوى ِم ْنه‬


َ َ‫ق أ‬ َ ‫ هُ َو ْال َح َس ُن لِ َذاتِ ِه ٳِ َذار ُِو‬.
ٍ ‫ي ِم ْن طَ ِر ْي‬
Yaitu hadits hasan lidzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain
oleh perawi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

Hadits tersebut dinamakan shahih ligairihi karena ke-shahih-annya tidak

berdasarkan pada sanadnya sendiri, tetapi berdasarkan pada dukungan sanad

7
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, 227
8
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Jakarta: Renaisan, 2005), 110.
9

yang lain yang sama kedudukannya dengan sanadnya atau lebih kuat

daripadanya.

Contoh hadits shahih ligairihi :

‫ص {لَّى هّللا ُ َعلَ ْي{ ِه‬


َ ِ ‫ْث ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ْم ٍرو ع َْن أَبِ ْي َسلَ ِمةَ ع َْن أَبِ ْي هُ َري َْرةَ أَ َّن َرسُوْ َل هّللا‬
ُ ‫َح ِدي‬

)‫(رواه الترمذي‬ َ ِّ‫اك ِع ْن َد ُكل‬


‫صاَل ٍة‬ ِّ ‫ق َعلَى أُ ِّم‬
ِ ‫ىي أَل َ َمرْ تُهُ ْم بِالس َِّو‬ َّ ‫ لَوْ الَ أَ ْن أَ ُش‬: ‫ال‬
َ َ‫َو َسلَّ َم ق‬

Hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn ‘Amrin dari Abu Salamah dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda: jikalau, tidaklah
memberatkan atas umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk
bersiwak setiap hendak shalat. (H.R Tirmidzi)
Hadits di atas diriwayatkan juga oleh Bukhari dan Muslim melalui jalan

Abu Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah.

Ibn al-Shalah mengatakan bahwa Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Alqamah

dikenal dengan sifat al-shidqi dan al-shinayah, tetapi dia bukanlah seorang

seorang yang itqan (kuat hafalan), sehingga sebagian ulama melemahkannya

karena kekurangan hafalannya tersebut. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain

menguatkannya karena sifat shidqi dan shinayah yang dimilikinya. Dengan

demikian, maka haditsnya dinyatakan sebagai sebagai hadits hasan. Akan

tetapi, karena hadits tersebut diriwayatkan juga melalui jalan yang lain, maka

kelemahan pada perawi di atas dapat tertutupi, sehingga haditsnya yang

melalui jalan lain tersebut dinyatakan sebagai hadits shahih ligairihi.


10

D. Tingkatan Hadits Shahih

Sebagian ulama hadits membagi tingkatan hadits shahih berdasarkan

kriteria yang dipedomani oleh para mukharrij (perawinya yang terakhir yang

membukukan) hadits shahih tersebut terbagi menjadi tujuh tingkatan, yaitu

sebagai berikut :

1. Hadits yang di sepakati oleh Bukhari dan Muslim

2. Hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari saja.

3. Hadits yang di riwayatkan oleh Muslim saja.

4. Hadits yang di riwayatkan sesuai dengan persyaratan dengan Bukhari dan

Muslim

5. Hadits yang di riwayatkan menurut persyaratan Bukhari.

6. Hadits yang di riwayatkan menurut persyaratan Muslim.

7. Tingkatan selanjutnya adalah hadits shahih menurut Imam-Imam hadits

lainnya yang tidak mengikuti syarat Bukhari dan Muslim, seperti Ibn

Khuzaimah dan Ibn Hibban.

.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perencanaan sumber daya manusia (PSDM) merupakan fungsi utama yang

harus dilaksanakan dalam organisasi, guna menjamin tersedianya tenaga kerja

yang tepat untuk menduduki berbagai posisi, jabatan, dan pekerjaan yang tepat

pada waktu yang tepat. Kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan dan

berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan.

Perencanaan sumber daya manusia merupakan serangkaian kegiatan yang

dilakukan untuk mengantisipasi permintaan bisnis dan lingkungan pada organisasi

di waktu yang akan datang, dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang

ditimbulkan oleh kondisi tersebut.

Ada dua kepentingan perencanaan SDM, yaitu kepentingan individu dan

organisasi.Kepentingan individu, perencanaan SDM sangat penting bagi setiap

individu karyawan, karena dapat membantu meningkatkan potensinya, begitu pula

kepuasan karyawan dapat dicapai melalui perencanaan karier, sedangkan

kepentingan organisasi, perencanaan SDM sangat penting bagi organisasi dalam

mendapatkan calon karyawan yang memenuhi kualifikasi. Dengan adanya

perencanaan SDM, dapat dipersiapkan calon-calon karyawan yang berpotensi

untuk menduduki posisi manajer untuk masa yang akan datang.


12

B. Saran

Dalam penulisan ini kami sadari masih banyak kekurangan, saran dan

kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah

selanjutnya.
13

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi .Jakarta: Renaisan,


2005

Idri, Studi Hadits. Jakarta: Kencana Predata Group, 2010.

Ismail M. Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang,


1995.

Muhammad Afif, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual atas Hadits


Nabi SAW, dalam Madhzab Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah,
1998.

Yuslem Nawir, Ulumul Hadits . Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001

Zainuddin dkk, Studi Hadits .Surabaya: IAIN SUNAN AMPEL PRESS, 2011.

Anda mungkin juga menyukai