Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH STUDI HADIS DAN ILMU HADIS

Achmad yusuf

Pai IIIB

BAB I

PEMBAHASAN

A.Latar Belakang

Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, Hadits berisi perkataan Nabi,
perbuatan dan taqrir (ketetapan) beliau. [1] Sebagai sumber ajaran Islam lainnya, kedua hadits ini
perlu kajian yang mendalam karena hadits memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan al-
Qur'an, salah satunya harus melengkapi hukum-hukum agama yang tidak diatur oleh al-Qur'an.
Pembahasan dan penelitian hadis harus mendalam dan komprehensif, mencakup aspek transmisi
dan kualitas serta validitas hadis. Meneliti dan memverifikasi hadis ini merupakan kegiatan yang
sulit mengingat kodifikasi hadis dilakukan dua abad setelah hijrahnya Nabi, sehingga ada
kemungkinan hadis tersebut akan terdistorsi. Oleh karena itu, kajian Hadits harus teliti dan serius
agar diperoleh Hadits yang berkualitas baik. Hadits sebagai sumber ajaran Islam tentunya
memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat, khususnya umat Islam. Baik
pada zaman dulu maupun sekarang, seperti sekarang ini, Hadits harus dijadikan acuan atau
pedoman untuk memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, artikel ini berkaitan dengan tujuan kajian Hadits dan penilaian apakah Hadits benar-
benar dapat dimintai pertanggungjawaban historis atas keasliannya yang berasal dari Nabi atau
tidak. Untuk memberikan cara untuk memecahkan hadits yang diterima atau ditolak. Hal ini
sangat penting, karena tingkat kualitas sebuah hadits sangat erat kaitannya dengan dapat atau
tidaknya sebuah hadits dijadikan sebagai dalil agama.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadits dan ilmu hadits?

2. Bagaimana sejarah hadits dan ilmu hadits?

3. Bagaimana keadaan hadits dan ilmu hadits di era modern?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mendekripsikan pengertian hadits dan ilmu hadits.

2. Untuk menjelaskan sejarah hadits dan ilmu hadits.

3. Untuk menjelaskan keadaan hadits dan ilmu hadits di era modern.

Abstrak

Membicarakan hadis merupakan hal yang pelik karena sejarah hadis sendiri tercatat dua abad
setelah hijrahnya Nabi, tepatnya pada masa Dinasti Bani Umayyah di bawah Umar bin Abdul
Aziz. Dengan demikian ilmu Hadits sangat penting dari segi mengkritisi Hadis, sedangkan ilmu
Hadits adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengaitkan hadis dengan Nabi SAW, dsb.
Namun Hadits tidak hanya dikaitkan dengan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga dapat dikaitkan
dengan perkataan para sahabat dan sebagainya, perkataan para tabin dan sebagainya, karena itu
adalah perkataan para sahabat dan sebagainya yang dapat memberikan solusi. . untuk masalah
era baru ini. Artikel ini membahas lebih lanjut Hadits, ilmu Hadits, sejarah dan statusnya di
zaman modern.

Kata kunci: hadits, ilmu hadits, era modern.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits dan Ilmu Hadits

1. Pengertian Hadits
Menurut Ibnu Manzhuri, kata hadis berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamak al-ahadits,
al-haditsan dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata tersebut memiliki banyak arti, antara lain al-
jadid (baru) versus al-qadim (lama) dan al-khabar, yang berarti berita atau pengumuman. [2]
Juga, jika kata Hadis sesuai dengan etimologi (asal kata), kata Hadis dapat berarti al-kalam
(berbicara), untuk waq'u (peristiwa), Ibtada'a (melestarikan), untuk . . -sabab (penyebab), suo
(diucapkan) dan al-qadim (lawan kata). [3] Hadits ini disebutkan sebanyak 23 kali dalam Al-
Qur'an. Berikut adalah beberapa sampel. tahun Hadis sebagai Komunikasi: Risalah atau Al-
Qur'an.

Allah SWT. berfirman,

Artinya: “Allah telah menurunkan kata-kata yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa
(ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar memaksa kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah
petunjuk kepada Allah, dengan kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-
Nya.dan barangsiapa yang diminta oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi
petunjuk.” (QS Az-Zumar: 23).

b. Hadits sebagai kisah tentang suatu watak sekuler atau umum.

Allah SWT. berfirman,

Artinya: “dan apabila kamu (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat


kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika syaitan
benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau
duduk bersama orang-orang yang zalim.” (QS Al An'am: 68).

c. Hadits sebagai kisah sejarah.

Allah SWT. berfirman,

Artinya: “apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?”. (QS Thaha:9).

d. Kisah kontemporer atau percakapan.

Allah SWT. berfirman,

Artinya: “dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya
(Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan
Allah menunjukkan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu
Muhammad menunjukkan sebagian (yang menyakiti Allah) dan menyembunyikan sebagian yang
lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) membahas pembicaraan (antara Hafsah dan
Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah mengungkapkan hal Ini kepada Anda?"
Nabi menjawab: “Telah diberi tahu seseorang oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS At-Tahrim: 3).

Dari ayat-ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa kata Hadits digunakan dalam Al-Qur'an
untuk mengartikan sebuah cerita, komunikasi atau risalah, baik itu agama atau sekuler, dulu atau
sekarang. [ ] Secara terminologis, pengertian hadits berbeda-beda menurut para ulama, baik itu
muhaditsin, ushul ulama maupun fuqaha. [5] Menurut para ahli ushul fiqh, Hadits merujuk pada
segala sesuatu yang berlandaskan Nabi SAW, kecuali Al-Qur'an, berupa taqrir yang berkaitan
dengan perbuatan, perbuatan dan hukum syara Nabi. [6] Menurut para ahli hukum, Hadits adalah
segala sesuatu yang ditetapkan oleh Nabi SAW. yang tidak terkait dengan hal-hal fardhu atau
wajib. [7] Sebaliknya, perbedaan pandangan disebabkan oleh objek yang terbatas dan
komprehensif yang diekspos masing-masing, yang tentu saja mencakup bias aliran informasi.
Perbedaan tersebut mengarah pada dua pengertian Hadits, yaitu khusus atau terbatas dan umum
atau menyeluruh. [8] Tafsir terbatas hadits yang diberikan oleh Jumhur al-Muhaditsin adalah
“sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi SAW. dan berupa perbuatan, perbuatan, perbuatan (taqrir)
dll.” [9] Dengan demikian, menurut para ulama hadits, hakikat hadits adalah segala berita yang
berkaitan dengan ucapan, perbuatan, taqrir dan hal-hal Nabi Muhammad SAW. Ikhwal mengacu
pada semua sifat dan kondisi Nabi SAW. [10] Mengenai makna hadis yang lebih luas, menurut
pendapat Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, “sebenarnya hadis tidak hanya ditujukan kepada
Nabi Muhammad SAW, tetapi juga dapat disebutkan kepada orang-orang yang mauquf. (karena
doa para sahabat, dll) dan maqthu' (tab kata-kata, dll). [11] Perbedaan ini mendorong ulama
untuk menafsirkan hadis secara berbeda untuk mencapai tujuan hadis.

Istilah sunnah, khabar dan atsar sering disebut dengan istilah hadits lainnya. Dari segi
terminologis, para ahli tidak membedakan antara hadits dan sunnah. Menurut mereka, hadits atau
sunnah adalah hal-hal yang datang dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, keputusan dan
sifat-sifatnya, dan berupa sifat-sifat itu dan berupa sifat-sifat fisik, akhlak dan perilaku
sebelumnya. dia menjadi nabi dan setelah itu. [12] Selain identik dengan sunnah, Hadits juga
identik dengan berita. Khabar adalah al-naba' (berita) menurut lughi. Kalangan muhaditsin
menganggap khabar dan hadis itu sinonim. Pendapat lain membedakan kedua istilah tersebut,
yaitu bahwa Hadits adalah yang berasal dari Nabi SAW. [13] Istilah khabar mengacu pada segala
sesuatu yang berdasarkan atau berasal dari Nabi SAW atau selain Nabi SAW. Artinya cakupan
berita lebih luas dari hadis. Khabar meliputi segala sesuatu dari Nabi Muhammad SAW dan
bukan Nabi, seperti perkataan para sahabat dan Tabiin, sedangkan Hadis adalah segala sesuatu
yang dikaitkan dengan Nabi SAW, serta tindakan dan perbuatan. taqrirnya (ketetapan). [1 ] Kata
atsar secara harfiah berarti sisa-sisa sesuatu, namun mengenai kata atsar, ada yang menyamakan
ungkapan tersebut dengan hadis dan ada yang mengklaim bahwa kata atsar secara khusus
didasarkan pada sesuatu selain Nabi SAW (para sahabat dan tabi). ) . di dalam). [15]
Berdasarkan pengertian hadits, sunnah, khabar dan atsar di atas, menurut beberapa ahli hadits
dapat digunakan untuk tujuan yang sama, yaitu hadits disebut juga sunnah, khabar atau atsar.
Demikian pula sunnah bisa disebut hadits, khabar atau atsar. Oleh karena itu, hadits mutawatir
bisa juga disebut mutawatir sunnah atau mutawatir khabar. Demikian pula, hadits shahih bisa
disebut sunnah shahih, riwayat shahih, atau atsar shahih. [16]

Sedangkan bentuk-bentuk hadits itu antara lain:

A. Hadits Qauli

Adalah segala bentuk kata atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain,
hadits qauli adalah hadits berupa kata-kata Nabi SAW. yang berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk syara', peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun
akhlak. [17]

b. Hadits Fi'li

Adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW.Dalam hadits tersebut terdapat
berita tentang perbuatan Nabi SAW.yang menjadi perilaku anutan para sahabat pada saat itu, dan
menjadi keharusan bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya. [18]

c. Hadits Taqriri

Adalah hadits berupa ketetapan Nabi SAW.terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para
sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh
para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah dia mengizinkan atau
mempersalahkannya. Sikap Nabi yang demikian inidijadikan dasar oleh para sahabat sebagai
dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hokum untuk menetapkan
suatu kepastian syara'. [19]

d. Hadits Hammi

Adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW.yang belum terealisasikan, seperti
halnya ibadah berpuasa tanggal 9 'asyura. Nabi belum sempat mewujudkan hasratnya ini karena
beliau wafat sebelum datang bulan 'asyura tahun berikutnya. [20]

e. Hadits Ahwali

Adalah hadits yang berupa hal ikhwal Nabi SAW.yang tidak termasuk ke dalam keempat
kategori bentuk hadits di atas. Hadits yang termasu kategori ini adalah hadits-hadits yang
menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik Nabi SAW. [21]

2. Pengertian Ilmu Hadits


Imu hadits ('ulum al-hadits) , secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Kata ' ulum
adalah bentuk jamak dari kata 'ilm (ilmu). [22] Secara etimologis, seperti yang ditulis oleh As-
Suyuthi, ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan
hadits sampai kepada Nabi SAW.dari segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhabitan
dan ke adilannya dan dari bersambung dan terputus sanadnya , dan sebagainya. [23]

Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadits tersebut ke dalam dua bidang
pokok, yakni ilmu haditsriwayah dan ilmu haditsdirayah. [24]

sebuah. Ilmu hadits riwayah . Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadits
riwayah, menurut bahasa, berarti ilmu hadits yang berupa periwayatan. Menurut 'Itr secara istilah
adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW.,
periwayatannya, dan penelitian lafaz-lafaznya. [25]

b. Ilmu hadits dirayah . Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmuushulal-hadits , 'ulum al-
hadits , musththalah al-hadits , dan qawa'id al-hadits. [26] Definisi yang paling baik, seperti yang
sepintas oleh 'Izzuddin bin Jama'ah, yaitu, ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang
dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan. [27] Dari pengertian tersebut, kita bisa
mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk
mengetahuai hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan mnyampaikan hadits, dan sifat rawi.

B. Sejarah Hadits dan Ilmu Hadits

Di masa lalu, bermula sejak masa Nabi saw dan sahabat, memang membuka peluang untuk
membukukan Hadits, tetapi untuk menghindarkan tercampur baurnya dengan al-Qur'an, maka
nanti pada masa tabi'in barulah hadits-hadits dibukukan. Puncaknya adalah pada masa
kekhalifahan Abbasiyah, yakni ketika Umar bin Abd al-Azis menangguhkan gubernur Mesir (65-
85 H), ia menginstruksikan agar hadits-hadits ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab. [28]

Usaha pengkodifikasian Hadits pada masa ini, merupakan tahap awal yangdalam sejarah atau
disebut sebagai periode, tepatnya pada abad pertama 1 H. [29] memasuki abad II H,
pengkodifikasian hadits-hadits sudah mengalamiperkembangan, karena ia terhimpun dalam
beberapa kitab hadits dengan metode juz dan atraf (penghimpunan hadits dengan metode juz
dalam arti “bagian” adalah hadits-hadits yang disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan
kepada penulis kitab. Sedangkan metode atraf adalah setiap bagian hadis terkadang dicantumkan
nama-nama periwayat hadits yang merupakan sumber referensi), metode muwatta dan metode
musannaf (penghimpunan hadits dengan metodemuwattha dalam arti “bab-bab” adalah hadits-
hadits yang dipisahkan antara hadits Nabi SAW. dengan fatwa para sahabat dan tabi'in, atau
memisahkan catatan hadits fiqhi, akidah dan lain-lain.Sedangkan Musannaf yaitu metode
penghimpunan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam dalam mencantumkan hadits-hadits
marfu', mawquf, dan maqtu' , atau menyusun kitab-kitab hadis dengan memuat bab-bab tertentu).
Memasuki abad III H, Hadis-hadis terhimpun dalam kitab musnad ( hadits-hadits yang
terhimpun dalam kitab musnad , tidak tersusun secara bab per bab, melainkan tersusun dari
nama-nama sahabat berdasarkan alfabetis dan juga berdasarkan urutan kedekatannya pada Nabi
SAW. dengan demikian, jika seseorang ingin mencari hadits melalui kitab musnad maka terlebih
dahulu harus mengetahui nama sahabat yang pertama meriwayatkan hadits itu.Kitab-kitab
musnad yang dapat ditemukan saat ini adalah antara lain Musnad al-Humaidiy (w.219), Musnad
Abu Dawud al-Tayalisiy ( w.204) dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w.241 H)), kitab
sunan(hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab sunan tersusun dalam bentuk klasifikasi
sumbernya; marfu' jika berasal dari Nabi saw, mawquf jika berasal dari sahabat dan maqtu' jika
berasal dari tabi'in. Klasifikasi kualitasnya, yakni hadits sahih, hasan, da'if Di antara kitab-kitab
himpunan hadits yang tersusun dengan metode ini adalah: Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu
Majah, Sunan al-Darimiy ), dan kitab jami' (hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab
jami'disusun berdasarkan metode berdasarkan topik-topik masalah yang dibahasa dalam agama;
masalah akidah, hukum, adab, tafsir, dan lain-lain. Antara lain kitab hadits yang menggunakan
metode ini adalah kitab jami' sahih al-Bukhari, dan Shahih Muslim ).

Pada perkembangan selanjutknya, yakni pada abad IV H, himpunan Hadis dalam beberapa kitab
bermasalah penghimpunannya dalam metode mu'jam (metode mu'jam yaitu suatu metode
penyusunan kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadis dan
lazimnya huruf-hurufnya Disusun berdasarkan alfabetis .Di antara kitab-kitab himpunan hadis
yang menggunakan metode ini adalah kitab Mu'jam al-Kabir, Mu'jam al-Awsat) , mustakhraj
(metode mustakhraj adalah suatu kitab himpunan hadis yang metode penyusunannya mengutip
kembali hadis-hadis dari kitab-kitab lain, kemudian dikutip pula sanad-sanadnya secara
menyendiri.Kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini antara lainMustakhraj
Sahih Bukhari karya Isma‟iliy (w.371 H).), mustadrak (metode mustadrak adalah himpunan
kitab hadits yang didalamnya memuat kitab hadits lain dan mengikuti persyaratan-persyaratan
hadits yang dipakai oleh kitab lain. Adapun kitab mustadrak yang terkenal saat ini, antara lain
kitab Mustadrak al Hakimal Naisaburi .Kitab tersebut disusun berdasarkan bab-bab fiqh
sebagaimana terdapat dalam sahih Bukhari di mana hadits-hadits yang termuat di dalamnya, juga
diteliti sesuai kualitas keshahihannya berdasarkan syarat-syarat Imam Bukhari), dan majma'
(metode majmu'adalah pengumpulan hadits-hadits dengan menggabungkan kitab-kitab hadits
yang telah ada. Di antara kitab-kitab himpunan hadits yang menggunakan metode ini adalah
Jami' Bayna al-sahihayn karya al-Humaidi (w. 488H). Isi kitab tersebut merupakan kutipan
hadits- hadits yang digabungkan dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim ). [30]

Dengan terhimpunnya hadits-hadits ke dalam kitab-kitab dengan berbagai metode yang terpakai
itu, menjadikan pula keorisinilan hadits-hadits Nabi SAW.yang periwayatannya senantiasa
terjaga dari generasi ke generasi dan apalagi karena ia didukung oleh berkembangnya kaidah-
kaidah lahirnya ulum hadits. Ulum hadits sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, muncul
seiring dengan peliknya memahami hadits-hadits. Oleh karena itu, pembahasan tentang latar
belakang sejarah ulum hadits terkait dengan perkembangan hadits itu sendiri, mulai dari masa
Nabi SAW., hingga masa pengkodifikasian hadits-hadits itu sendiri. sendiri.

Menurut sejarah data, faktor utama munculnya ulum hadits , disebabkan munculnya hadits-hadits
palsu, yang telah mencapai klimaksnya pada abad III H. Atas kasus ini, maka ulama hadits
menyusun berbagai kaidah dalam ilmu hadits yang secara ilmiah dapat digunakan untuk
penelitian hadits. [31] Adapun orang yang pertama kali menyusun kitab ulum hadits secara
sistematis adalah Abu Muhammad al Ramahurmuzi (360 H), setelah itu ulama-ulama yang ada
pada abad IV H, ikut meramaikan arena ulum hadits , seperti al Hakim Muhammad ibn Abdillah
al-Naysaburiy , Abu Nu'im al-Asbahani, al-Khatib dan generasinya. [32] Kitab-kitab ulum hadits
yang ditulisnya dijadikan panduan oleh muhaditsin sesudahnya.

Memasuki abad VH dan VI H, ulama-ulama hadits menitik beratkan usaha untuk memperbaiki
susunan kitab dan memudahkan jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan hadits-hadits
hukum dalam satu kitab dan hadits-hadits targib dalam sebuah kitab. Bersamaan dengan itu,
bermunculannya kitab-kitab syarah yang memudahkan para muhadits untuk memahami hadits.
Pada abad selanjutnya (abad VII H) pusat kegiatan perkembangannya ulum hadits berada di
Mesir dan India. Dalam masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang
hadits. Atas kebijakan mereka pulalah, sehingga kitab-kitab ulum hadits diterbitkan.

Demikian ulum hadits terus berkembang dan dipelajari banyak orang. Meskipun terjadi
perubahan-perubahan dalam sistematikanya dan metodepenulisannya, namun tidak terlepas dari
ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama yang merintisnya. Perubahan
sistematika dan metode penulisannya berkaitan erat dengan proses perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebutuhan manusia di sekitarnya.

Ulum hadits yang substansinya terdiri atas ilmu hadis dirayah dan riwayah memiliki cabang yang
menurut sebagian ulama telah mencapai 60-anjenis. Bahkan setelah itu berkembang lagi
sehingga menjadi 90-an jenis. [33] Adapuncabang ulum hadits yang termasyhur dan
diperpegangi para muhaditsin selamaini berjumlah tujuh jenis, yakni:

1. Ilmu Rijal Hadis , yang menerangkan para periwayat hadits, baik darisahabat, tabi'in dan
tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitabyang membahas masalah ini adalah al Isti'ab
karya Ibnu Abdil Barr dan Usul al Ghabah karya Izzuddin Ibu Asir.

2. Ilmu Jarh wa al-Ta'dil , yang menerangkan tentang keaiban dan keadilanseorang periwayat
hadits. Kitab yang terkenal membahas masalah ini adalah kitab Tabaqat karya Muhammad Ibn
Sa'ad al-Zuhry al-Basri.

3. Ilm Gharib al-Hadis , yang menerangkan makna-makna atau kalimat yang sukar dipahami
dalam matan hadits. Kitab yang membahas masalah ini adalah al Faiq fi Gharib al Hadits karya
al Zamakhsyari dan al Nihayah fiyGarab al-Hadits , karya Majd al-Din Ibnu Asir.
4. Ilm Ilal al-Hadis , yang menerangkan tentang sebab-sebab yangtersembunyi (tidak nyata)
yang dapat mengungkapkan hadits. Kitab yangmembahas masalah ini adalah 'Ilal al-Hadits karya
Ibnu Abi Hatim.

5. Ilm Nasikh wa al-Mansukh , yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dihapus, dalam
arti (hadits-hadits) yang tidak relevan untuk diamalkan saat ini, tetapi ditemukan hadits lain
sebagai alternatif pengganti. Kitab yangmembahas masalah ini adalah al-I'tibar karya
Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy.

6. Ilm Asbab al Wurud al Hadits , yang menerangkan tentang latar belakangdisabdakan


hadits-hadits oleh Nabi saw. kitab yang membahas masalah ini adalah al-Bayan wa al-Ta'rif
karya Ibnu Hamzah al-Husayni.

7. Ilmu Talfiq al-Hadits atau disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadits , yang menerangkan
tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan pada zahirnya. Kitab yang
membahas masalah ini adalah Mukhtalif al-Hadits karya Imam Syafi'i.

Berdasarkan klasifikasi Ulum hadits diatas, maka secara ontologisia merupakan sebuah cabang
ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam dan sistematis
terhadap hadits-hadits, serta pembuktiannya terhadap kevalidan hadits-hadits itu sendiri. [34]

C. Hadits dan Ilmu Hadits di Era Modern

1. Modernisasi dalam Islam

Harun Nasution mengemukakan, bahwa dalam masyarakat barat “moderenisme” diartikan


pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat istiadat, istitusi lama, agar
sesuai dengan pendapat dan kondisi baru yang ditimbulkan oleh iptek modern. Dalam gerakan
pembaharuan Islam terjadi bukan disebabkan karena pertentangan antara kaum agama dan
ilmuan sebagaimana di barat, melainkan karena adanya kesadaran di kalangan para tokoh
pembaharu akan keterbelakangan umat Islam dari dunia barat. [35]

Dalam hadits disebutkan “sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini di penghujung setiap
seratus tahun seorang yang memperbaruhi agamanya.” (HR Abu Dawud). [36]

Para ilmuan memberikan komentar yang berbeda tentang pengertian modernisasi dalam Islam,
salah satunya al-Alqamiy yang mengatakan al- Tajdid atau modernisasi adalah menghidupkan
kembali pengalaman al-Kitab dan sunnah setelah menyelesaikan dan melaksanakan apa yang
dikehendaki keduanya. [37]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modernisasi Islam berarti proses usaha
pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan al-Qur'an dan sunnah sesuai dengan tuntutan
perkembangan kondisi masyarakat, sains dan pemurnian akidah islamiyah dari berbagai kurafat,
takhayul, tradisi, dan bid'ah yang bertentangan dengan Islam. [38]
2. Modernisasi dalam Sunnah

Modernisasi dalam sunnah merupakan proses usaha pembaharuan dalam pemahaman dan
pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kondisi masyarakat dan sains dan
pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul, tradisi, dan bid'ah dengan cara mengadakan
penelusuran dan penelitian keauntetikan secara adil dah jujur.

Dari pengertian modernisasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa modernisasi sunnah harus
mengakomidasi beberapa hal, yaitu:

sebuah. Adanya usaha pembaharuan. Di sisni berarti perlu adanya pemabaru suunah yang
memiliki persyaratan tertentu pada wialayah sunnah tertentu yang nantinya akan dijelaskan pada
keterangan berikutnya yakni persyaratan pembaruan dan wilayah modernisasi.

b. Tututan perkembangan sosial. Modernisasi suunah sangat diperlukan sesuai dengan


perkembangan sosial masyarakat. Karena datangnya sunnah secara menghindari-angsur
menjawab permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

c. Tututan pemurnian sunnah dari khurafat dan bid'ah. Sunnah adalah perjalanan Rasulullah
SAW. dalam membimbing umat manusia menuju jalan yang lurus dan benar. Namun dalam
sejarah, sunnah tidak tercatat secara keseluruhan seperti al-Quran. Terdapat pemalsuan yang
dengan sengaja memasukkan khurafat, bid'ah, takhayul, dan tradisi ke dalam hadits. [39]

3. Syarat-syarat Modernisasi dalam Sunnah

sebuah. Modernisasi Wialayah. Sunnah menjadi penjelas al-Qur'an, menurut Quraish Shihab
terbagi menjadi dua kategori yaitu; 1) di luar wilayah nalar, seperti metafisika, dan perincian
ibadah, 2) di wilayah nalar, seperti masalah kemasyarakatan. Pertama , jika nilai periwayatannya
shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa adanya pengembangan pembaruan, karena ia berada
di luar jangkauan rasio manusia. Kedua, sekalipun harus meyakini kebenaran menemukan nabi
SAW. Namun, harus didudukkan pada proposisi yang tepat, karena bentuk sifat penemuan beliau
sangan bervaritif, adakalanya berbentuk ta'rif (pemberitahuan), dan irsyad (petunjjuk), tash'hih
(pelurusan). [40]

b. Seorang modernis memenuhi persyaratan. Semua ulama mempersyaratkan bagi seorang


yang ingin melakukan ijtihad dalam bidang ilmu tertentu harus sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan, persyaratan ijtihad dalam bidang hadits juga demikian.

c. Pengambilan teks sunah secara benar dan dinamis. Misalnya pada masa sahabat
disepakati bahwa diantara persyaratan deorang khalifah harus berketurunan quraisy . Akan
tetapi, karena kemampuan bangsa quraisy yang semakin melemah, maka persyaratan tersebut
digugurkan dan Ibnu Khaldun memberikan iterpretasi makna kata “quraysy” menjadi yang kuat,
cerdik, pandai, religius, sehingga dapat menyatukan suku-suku, dan memelihara stabilitas
pemerintahan. [41]
d. Memelihara sunnah secara kritis. Seorang modernis kritis dan berhati-hati terhadap hadits.
Baik dari pemalsuan, penyimpangan, khurafat, maupun dari bid'ah yang bertentangan dengan
sunnah itu sendiri. Pemeliharaan sunnah dilakukan secara serius dengan cara mengkeritik
berbagai buku hadits baik kritik internal ( matan ) maupun kritik eksternal ( sanad ). Kritik hadits
dilakukan dalam rangka pengamalan ajaran Islam yang benar sesuai dengan al-Qur'an dan
sunnah serta menjaga diri dari cercaan musuh Islam. [42]

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits , kata inimemiliki al-jadid (yang baru), dan
al-khabar, yang berarti kabar atau berita. Penegertian hadits secara terbatas, adalahsesuatu yang
dinisbatkankepadaNabi SAW.baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir)
dansebagainya. Sedangkan pengertian hadits secara luasyaituhaditsbukanhanya yang
dimarfukkankepadaNabi Muhammad SAW., melainkandapat pula disebutkanpada yang mauquf
(dinisbatkankepadaperkataandansebagainyadarisahabat) dan maqthu'
(dinisbatkanpadaperkataandansebagainyadaritabiin).

Sedangkan imuhadits, berartiilmu-ilmutentanghadits.Secaraetimologis, ilmu hadits


adalahilmupengetahuan yang membicarakancara-carapersambunganhaditssampaikepadaNabi
SAW.darisegihalihwalpararawinya, yang
menyangkutkehabitandankeadilannyadandaribersambungdanterputusnyasanad, dansebagainya.

Dalam modernisasi modernisasi dunia Islam


adalahlatarbelakangdariterjadinyamodernisasidalamsunnah. Modernisasidalamsunnahmerupakan
proses
usahapembaharuandalampemahamandanpengalamansunnahsesuaidengantuntutanperkembangan
dankondisimasyarakatdansainsdanpemurniansunnahdari berbagaikhurafat, takhayul, tradisi,
danbid'ahdengancaramengadakanpenelusururandanpenelitiankeauntetikansecaraadil dah jujur.

DAFTAR PUSTAKA

'Itr,Nuruddin, 1994, Manhaj An-Naqd fi' Ulum Al-Hadits, Bandung: RemajaRosdaKarya.

AbiDawud, Al-Azdiy, Sunan AbiDawud, Juz 4.

Ahmad,Muhammad & Mudzakir,M., 2000, Ulumul Hadits , Bandung: Pustaka Setia.

Al-HaqqAbadiy,Abi al-Thayyib Muhammad Syam, 1998, 'Awn al-


Ma'budSyarhSunanAbiDawud, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Khatib,Muhammad Ajaj, 1975, As-SunnahQabla At-Tadwin , Kairo:MaktabahWahba.

Al-MunawwirAhmad Warson, 1984, Al-Munawwir, Yogyakarta: PonpesKrapyak.

Al-Siba'I, Mustafa, 1966, al-Sunnahwa Makanatuha fi Tasyri' al-Islami, Dar: al-Qawmiyah.

Ash-Siddieqy,1997, Hasbi, SejarahdanPengantarIlmuHadits, Semarang: PustakaRizki Putra.

As-Suyuthi, 1988, TadribAr-Rawi fi SyarhTaqrib An-Nawawi , Beirut: Dar Al-Fikr.

Azami, MM, 2003, Kajian Metodologi dan Sastra Hadis , Jakarta: Lentera.

Ibnu Manzhur,Muhammad Ibnu Mukaram, 1992, Lisan Al-Arab, Juz II.

Khon,Abdul Majid, 2011, Pekikiran Modern dalamSunnahPendekatanIlmuHadis, Jakarta:


KencanaPernada Media Group

Nasution, Harun, 1984, Pembaruandalam Islam: Sejarah, PemikirandanGerakan , Jakarta:


BulanBintang.

Rahman,Fachtur, 1991, Ikhtisar MutshalahHadis, Bandung: Alma'arif.

Ranuwijaya, Utang, 1996, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya media Pratama.


Saleh, Subhi, 1998, Ulum al-Hadiswa Mustalahuh, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin.

Shihab,Quraish, 1996, Membumikan al-Qur'an:


FungsidanPeranWahyudalamKehidupanMasyarakat, Bandung: Mizan.

Sholahudin,M. Agus&Suyadi,Agus, 2009, Ulumul Hadits , Bandung: Pustaka Setia.

Soetari, Endang, 2005, IlmuHadits: KajianRiwayahdanDirayah, Bandung: MimbarPustaka.

Sunusi, 2013, MasaDepanHaditsdanIlmuHadits , Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2.

Tahhan Mahmud , 1979, TaysirMustalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Qalam al-Karim.

Anda mungkin juga menyukai