Anda di halaman 1dari 18

PERIODE ATBA AL-FUQAHA

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’

Dosen Pengampu : Syukron Suhardi, SHI

Disusun oleh:

Syahroni Rifki N

Nurastriani

Muhammad Rangga

Wahdiyyat

Ujang Mustofa

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MAS’UDIYYAH

SUKABUMI

TP. 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT. Sholawat dan salam
semoga tercurah limpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. dengan segala
karunia dan nikmat yang telah Allah SWT. berikan kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Dengan kerja keras dan penuh rasa syukur kami telah menyelesaikan tugas
untuk memenuhi mata kuliah Tarikh Tasyri’ dalam tema/judul Periode Atba’ Al-Fuqaha.

Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Syukron Suhardi,
SHI sebagai Dosen dari mata kuliah Tarikh Tasyri’ yang telah membimbing kami sehingga
makalah ini telah selesai, juga tidak kami lupakan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik.

Kami sadari bahwa dalam pembuatan tugas makalah ini masih banyak kekurangan
dan sangat jauh dari kata sempurna, segala kesalahan yang kami buat akan kami jadikan
pembelajaran untuk lebih baik dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat berguna
dan dapat diterima dengan baik, khususnya bagi kami umumnya bagi kita semua.

Sukabumi, 10 Maret 2023

Tertanda

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar....................................................................................................................

Daftar Isi..............................................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang...........................................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN

2.1. Faktor perkembangan tasyri’.....................................................................................

2.2. Madzhab-madzhab Fiqh............................................................................................

2.3 Pengaruh pembukuan usul fiqh dan fiqh terhadap perkembangan tasyri’……..…….

2.4 Pengaruh pembukuan hadits terhadap tasyri’………………………………………..

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................

3.2 Saran..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Tuhan yang menciptakan
syari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan Nabi selalu terawasi. Jadi tidak
diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan eksekutif
selalu menjadi acuan bagi masyarkat Arab pada masa itu.

Perkembangan tasyri’ pada masa sahabat tidak begitu drastis. perubahan yang
terjadi hanya pada pola aplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat terkait
dengan tasyri’ masih bisa disatukan. Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa embrio
pertama eksisnya perbedaan mazhab itu adalah pada masa para sahabat setelah Nabi
wafat.

Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum syari’ah pada masa ini


sengan berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam
Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda, yang menjadi
tanda tanya apakah di balik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan
sekte-sekte sendiri, apakah perbedaan yang terjadi itu karena dilatar belakangi oleh
tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan background Iraq dan
Mesir sehingga hadirnya qaul qadim dan qaul jadidnya, Imam Hanifah yang
dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz,
dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-
faktor yang lainnya.[1]

Dilatar belakangi oleh hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba
mengkaji masalah tersebut, dengan makalah kami yang berjudul Periode Atba’ Al-
Fuqaha/Periode Mazhab. Mudah-mudahan makalah kami dapat memberi sedikit
pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh tasyri’ pada
masa imam mazhab.perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor Perkembangan Tasyri’

Berdasarkan sejarah Islam, bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh pada


periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya
mazhab-mazhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena
pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyri’ pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-
kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu,
bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan lainnya.

Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan
Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu munculnya mazhab
dalam sejarah terlihat adanya pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga
muncul mazhab-mazhab fiqh pada periode ini pendapat tersebut, sehingga munculnya
mazhab-mazhab yang dianut.

Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya mazhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,
diantaranya.

1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islam


menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri mazhab-mazhab fiqh berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang
fiqih, yang diberi nama al-Madzhab atau al-Madrasah yang diterjemahkan oleh
bangsa Barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-
muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari
ulama-ulama mazhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah
(khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang
masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut
memberikan saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum Islam.

B. Mazhab-Mazhab Fiqh (dasar pemikiran dan perkembangannya).

1) Mazhab Hanafi

Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama
lengkapnya adalah al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu
Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada Tahun 80 H, artinya ia
lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman
kekuasaan Abdul Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah
pada saat beliau berumur 70 tahun.

Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman
Abbasyiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau
diberi gelar Abu Hanifah, karena di antara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain
itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat
beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab "haniif yang artinya condong
atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu
Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut
bahasa Irak adalah tinta.

Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran
al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada
ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan.
Mula-mula beliau mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi,
difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu
Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqih yang merangkum
berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir
dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah. Beliau banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, diantaranya:
 Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani
perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi
saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan
menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’i.
 Abu Hanifah dan ulama Kufah berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dua rakaat
sebagai mana shalat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula
menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami
situasi perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani
Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antara kedua
masa tersebut.

Mazhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke


masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan
pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang
memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya. Murid Imam
Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah: Imam
Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lain. Ulama
Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, di antaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam,
kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.

 Sumber-sumber hukum mazhab Hanafi:

1) al-Qur’an, sunnah dan ijma’

Bagi mazhab Hanafi al-Qur’an, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum
yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat di dalam al-Qur’an maka merujuk
ke hadis dan jika tidak terdapat di dalam hadis maka merujuk ke ijma’. Terkait
dengan sunnah, Imam Hanafi hanya menggunakan hadis yang shahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, Imam Hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai
permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip
penting mazhab Hanafi.
2) Qiyas (Deduksi Analogis)

Konsep yang di utarakan oleh Hanifah bahwa beliau tidak harus


menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia
memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau
menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.

3) Istihsan (Preperensi)

Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti
lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya, walupun bukti yang
dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.

4) ‘Urf (Tradisi Lokal)

Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah di mana tidak terdapat
tradisi Islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang
beragam dalam budaya yang berbeda di dalam dunia Islam menjadi sumber
hukum.

2) Mazhab Maliki

Nama lengkap pendiri mazhab Maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir.
Lahir pada tahun 93 H (721 M) di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau
dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda
29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya
yang berbeda.

Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan
ini tidak menghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, di
samping itu dia juga menuntut ilmu nahwu, syair dan juga menghafal al-Qur,an,
beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama yang dikenal sangat cerdas di
antara para ulama lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya
tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya. Imam Malik belajar kepada ulama-
ulama Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin
Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibn Umar, Imam Malik diakui
oleh ulama di Madinah sebagai ahli hadis.

Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadis bergaya
fiqh. Inilah kitab tertua hadis dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang
imam dalam ilmu hadis dan fiqih sekaligus. Dalam fatwa hukumnya ia bersandar pada
kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk
madinah dari pada hadis ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada
penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat. Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke
qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar
mashutih mursalah.

Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih mazhab Maliki dan sudah dicetak
dua kali di Mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’.
Pembuatan undang-undang di Mesir sudah memetik sebagian hukum dari mazhab
Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah Mesir.

 Sumber-sumber hukum mazhab Maliki

Dalam menentukan hukum-hukum, Imam Maliki memeberi runtutan


pengambilan sumber hukum, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan Imam
Malik antara lain:

1) Al-Qur’an
2) Hadist (yang berkualitas shahih dan masyhur)
3) Ijma’ (amalan ulama Madinah ketika itu)
4) Qiyas (analogis)
5) Maslahah mursalah (kepentingan umum)

Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh Imam Malik di dasari oleh
kondisi masyarkat Madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan
penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang
menunjukkan terhadap metode tersebut. Imam Malik lebih banyak menggunakan
ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hukum-hukum baru yang tidak
terdapat didalam al-Qur’an dan hadis.
3) Mazhab Syafi’i

Mazhab ini dibangun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin
Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i,
Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul,
beliau lahir di Ghazah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H pada
saat beliau berumur 52 tahun.

Syafi’i pernah belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-
Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah
sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan
mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang
cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran
Madinah maupun Kuffah. Dalam kontek fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran
bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma’ dan apabila
ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari
perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.[8]

Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :

 Ar-Risalah: merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.


 Al-Umm: isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok
pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

 Sumber-sumber hukum mazhab Syafi’i

Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang


dalil-dalil yang mengandung permasalahan perintah dan larangan. Pengetahuan-
pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan
baik. Asas-asas yang dimaksud misalnya asas tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak
berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya fikir dan daya kepahaman dalam
menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali
hukum syari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan
Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah:

1) Al-Qur’an
2) Al-Hadist
3) Ijma’
4) Ra’yu (Qiyas)

1) Al-Qur’an

Dalam menggali hukum di dalam al-Qur’an Imam Syafi’i lebih menekankan


kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak
mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat al-
Qur’an setiap kali beliau berfatwa, namun Syafi’i menganggap bahwa al-Qur’an tidak
bisa dilepaskan dari al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat.

2) Al-Sunnah

Untuk hadis Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadis yang bersifat
mutawatir dan ahad, sedangkan untuk hadis yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil
‘amal, dalam menerima hadis ahad mazhab Syafi’i mnsyaratkat.

1) Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq

2) Perawinya cerdik dan mahami hadis yang diriwayatkannya

3) Perawinya dengan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bil makn.

4) Perawinya tidak mnyalahi ahl-Ilmi

Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk
keshahihan suatu hadis, hadis ahad yang diterimanya sebatas kalau hadis tersebut sahih
dan bersambung. Faktor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadis
karena sesudah Nabi wafat banyak dari kalangan aliran politik yang membuat hadis-hadis
palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadis pun bisa diatur dan
diubah sesuai dengan keinginan pemimpin.
3) Ijma’

Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’ para sahabat, dalam arti perkara
yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum
yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik al-Qur’an maupun hadis, contoh ijma’ yaitu
shalat terawih 20 rakaat. Jika terjadi perbedaan di antara para sahabat, maka Imam Syafi’i
memilih pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah.

Ijma’ menurut para ulama menempati posisi ketiga setelah al-Qur’an dan hadis,
begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan
merujuk kepada dalil yang ada yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki hubungan
kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada
nash:

Bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai
kepada kebenaran.

 Bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi, sementara Nabi tidak pernah
menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil al-Qur’an.
 Pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar.
 Pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hukum syara’ nya.

4) Qiyas

Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu
pengambilan kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang
baru dibandingkan dengan hukum yang lama. Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran
analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang
diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash al-Qur’an dan sunnah.

4. Mazhab Hambali

Pendiri Mazhab Hambali ialah Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara
untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah.
Beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab musnadnya. Sebagaimana
diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan
ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah,
Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan
hadis, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadis Imam Ahmad bin
Hanbal menurut beberapa ulama dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh.

Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu fiqih yang
berkesan yaitu Imam syafi’i yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam
syafi’i yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang belajar
hadis akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh. Karena belajar
kepada Imam Syafi’i, para pengikut Imam Syafi’i menilai bahwa Ahmad Ibn Hanbal
adalah pengikut Imam Syafi’i, meskipun dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain
Imam Syafi’i yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid
dan penerus Mazhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses tasyri’ Imam Hambali banyak
Terpengaruh oleh Imam Syafi’i, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti
Imam Hanafi yang menggunakan ra’yu dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum.

 Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali

Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut:

1) Al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam al-
Qur’an dan sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang
tersiratnya ia abaikan.

2) Apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah ia menukil fatwa sahabat
memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.

3) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih
dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

4) Imam Ahmad mengambil hadis mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil yang
menghalanginya. Dimaksud dengan dhaif disini bukan dhaif yang bathil dan yang
mungkar, tetapi dhaif yang tergolong shahih atau hasan. Dalam pandangan Imam
Ahmad, hadis itu tidak terbagi atas shahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua
yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadis menjadi shahih, hasan dan dhaif
dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya tidak mengherankan kalau di
masa Imam Ahmad pembagian hadis masih kepada shahih dan dhaif. Hadis dhaif ada
bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas.
Menggunakan hadis semacam ini lebih utama daripada menggunakan qiyas.

5) Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada senjata yang
disebut sebelumnya.

B. Pengaruh pembukuan usul fiqh dan fiqh terhadap perkembangan tasyri’

Pembukuan ushul fiqh dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab


(Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:

1) Imam Abu Hanifah (80—150H)

2) Malik bin Anas (93-179 H)

3) Imam Syafi’I (150-204 H)

4) Ahmad bin Hanbal (164-241 H)

Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah


perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya
berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara’. Untuk itu para
ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri mazhabnya)


sebagai penyusun pertama ushul fiqh, yaitu:

a) Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun ilmu ushul fiqh alasannya, Abu
Hanifah adalah orang pertama yang menjelaskan metode istinbath, sedangkan Abu
Yusuf menyusun tulisan ushul fiqh. Demikian pula Muhammad bin Hasan menyusun
kitab ushul fiqh sebelum Syafi’i.

b) Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama berbicara
ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama
menyusun kitab ushul fiqh.

c) Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir ibn Ali ibnu Zainal Abidin
kemudian diteruskan putranya Ja’far Shodiq,
d) Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama
menyusun kitab ushul fiqh dengan nama ar-Risalah.

Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf dan asy-Syabani
menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung metode istihsan gurunya yang
sangat ditentang ahli hadis. Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan
komprehensif dan tidak sektarian adalah Imam Syafi’i dengan karya ar-Risalah. Klaim
Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa pembahasan ushul fiqh dengan
metodologi ushul juga sudah terjadi di masa sahabat dan tabi’in, Jadi bukan Imam Malik
yang pertama membicarakan ushul fiqh. Imam Syafi’i dianggap sebagai ulama pertama
menyusun ilmu ushul fiqh, karena beliau secara komprehensif telah merumuskan
kaidah-kaidah fiqiyyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqh, menganalisisnya serta
mengaplikasikan kaedah-kaedah itu atas masalah furu’.

Imam Syafi’i dalam ar-Risalah berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang dapat


menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i, tanpa terikat
pendapat seorang faqih (ulama) tertentu, sehingga ushul fiqhnya betul-betul independen
dan sempurna. Jalaluddin al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafi’i adalah
peletak batu pertama ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama
yang menulis ilmunya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha hanya
menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad
Hasan Syaibani.

C. Pengaruh pembukuan hadits terhadap tasyri’

Setelah kita ketahui tetang perkembangan tasyri’ adalah sesuatu yang telah
memaparkan segala macam peristiwa yang behubungan dengan perumusan dan
pentapan hukum islam baik waktu, tempat terjadinya, dan tokoh-tokohnya, oleh karena
itu maka pengaruh pentatwinan sunnah dalam perkembangan tasyri’ adalah:

a. Munculnya madzhab- mazahab fiqigh

b. Banyaknya fuqaha’ tabiin yang mengumpulkan hadis ,fatwa sahabat kemudian


mempelajarinya dan mengembangkannya

c. mempermudah melakukan ijtihad


d. Menanbah kommetmen untuk menjalankan hukum Islam secara mantap karena
berdasarkah pada ajaran Sunnah yang sudah mashur perowi hadisnya.

e. Dapat mengetahui perkembangan pembukuan hadis dan perowinya serta


bermanfaat terhadap sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam

f. Dapat menambah cakrawala pemikiran tentang sejarah pentatwinan sunnah serta


bermanfaat untuk perumusan dan penetapan hukum Islam

g. Dapat menguragi dan atau menghilangkah Fanatisme madhab. Dan menambah


kuat dalam berijtihad.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Munculnya mazhab-mazhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri,


bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para
orientalis. Munculnya mazhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari
zaman sahabat, tabi’in hingga muncul mazhab-mazhab fiqih pada periode ini.

Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah


perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya
berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara’. Untuk itu para
ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri


mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, namun Jalaluddin al-Suyuthi
berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama ilmu ushul fiqh
yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara
tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha hanya menunjukkan sebagian kaedah-
kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.

B. Saran

Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini
masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik
dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan
adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami
dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat
untuk menambah wawasan mengenai salah satu periodisasi yang ada dalam sejarah
tasyri’.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Mansur, Asep Saifuddin, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka
Al-Hhsna, 1984.

Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat: Risalah Bush, 1995.

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Khallaf, Abdul Wahhab, Tarikh Tasyri’ Islam, Solo: Ramadhani, 1991.

Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember: GBI Pasuruan, 1991.

Philip, Ameanah Bilah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh. Bandung: Nusa Media,
2005.

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Syafi’i, Rahmat, Usul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia,1998

Anda mungkin juga menyukai