Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAIDAH FIQIH TAFSILIYAH

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Melengkapi Tugas

Mata Kuliah Qawaidul Fiqhiyyah

Dosen pengampu: Dr. Rupi’i Amri, M.Ag.

Disusun oleh:

1. Reka Ayu Oktaviani 2102026087


2. Muhammad Habib Al Hadi 2102026090
3. Prabowo Rizqi Dewantoro 2102026102
4. Djazuli Abdul Jabar 2102026110

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang
merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-
masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan
bagi kita semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang
belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami
selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh,
mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari
kaidah-kaidah fiqh terutama pada kaidah fiqih tafsiliyah

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Kaidah fiqih tafsiliyah?
2. Bagaimana Pertumbuhan dan perkembangan dari Kaidah fiqih
tafsiliyah?
3. Apa saja macam-macam dari Kaidah fiqih tafsiliyah?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian dari Kaidah fiqih tafsiliyah.
2. Mengerti bagaimana pertumbuhan dan perkembangan dari Kaidah
fiqih tafsiliyah.
3. Mengetahui dan memahami Macam-macam Kaidah fiqih tafsiliyah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fiqih Tafsiliyah


Secara bahasa, Kaidah Tafsiliyyah bermakna asas, dasar, atau
fondasi, baik dalam arti yang sempit maupun yang luas. Seperti kata-kata
qawa'id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa'id al-din, artinya dasar-
dasar agama, qawa'id al-'ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. 1
Sumber pengertian Kaidah secara bahasa:
Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26:

‫ والتفاصيل البيت من القوامة الراعية ترفع وال‬.

"Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah


bersama Ismail..." (QS. al-Baqarah: 127).

... ‫القواعد من بنيانهم هللا فأتى‬

"... Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-


fondasinya ." (QS. an-Nahl: 26).

Secara istilah, terdapat beberapa pendapat ulama terkait pengertian


kaidah tafsiliyyab secara Istilah, diantaranya:
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan:

‫يجمعها واحد قياس إلى ترجع التي المتشبهات األحكام مجموعة‬

1
Djazuli, A, 2019. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta. Jakarta Putra Grafika

2
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/
analogi yang mengumpulkannya"

Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:

‫جزئياتها جميع على منطبقة كلية قضية‬

"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup


seluruh bagian-bagiannya"

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan:

‫منها أحكامها يفهم كثيرة جزئيات عليه ينطبق الذي الكلي األمر‬

"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian


yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan
kaidah tadi”

Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu


Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat
mengatakan bahwa kaidah itu adalah:

‫عليها األحكام وفرغوا إليها ترد التي القواعد معرفة‬

"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari


padanya hukum "
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan
mukallaf sendiri, dan materi fikih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-
kaidah fikih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash nya secara
khusus di dalam Al-Qur'an atau Sunnah atau Ijinu (konsensus para ulama).

3
Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam me
nemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak
jelas nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi
materi fikih yang lain yang tersebar di berbagai kitab fikih serta me
mudahkan di dalam memberi kepastian hukum.
Orang yang ingin tafaqquh (mengetahui, mendalami, menguasal)
ilmu fikih, akan mencapainya dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih, oleh
karena itu ulama berkata :

‫المقاصد بإدراك علينا راضي من األصول القواعدحقيقاكان راعي ومن بالوصول كان‬

"Barangsiapa menguasai uslud fiqh, tentu dia akan sampai kepada


maksudnya, dan harangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah fikih pasti
dialah yang pantas mencapai maksudnya"

B. Pertumbuhan dan perkembangan dari Kaidah fiqih tafsiliyah


Arti penting pengetahuan sejarah pertumbuhan dan perkembangan
kaidah-kaidah fiqih bagi kita dapat dilihat dari tiga alasan sebagai berikut:
Pertama, kita dapat mengetahui kesungguhan para ulama dalam
menciptakan pengetahuan tentang kaidah-kaidah fiqh sebagai pedoman
umum yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah fiqih.
Kedua, kesungguhan mereka tersebut dapat dijadikan sebagai I’tibar atau
pelajaran berharga sehingga mendorong kita untuk terus berkreasi,
melanjutkan usaha keras mereka, dengan mempertahankan dan
mengembangkan kaidah-kaidah fiqih dalam rangka memelihara eksistensi
hukum Islam, terutama dalam menghadapi perubahan sosial. Ketiga,
kaidah-kaidah fiqih yang secara historis telah dirumuskan oleh ulama

4
dimasa yang lalu dapat langsung dimanfaatkan dalam menghadapi
persoalan hukum Islam kontemporer, tanpa harus membuang energi lagi. 2
Ketika melacak tentang pembentukan dan pertumbuhan hukum
Islam, termasuk kaidah-kaidah fiqih, kita harus memulainya dari masa
Rasul Allah, sebagai pembawa agama dan aturan-aturannya, dengan Al-
Qur‟an dan Sunnah sebagai dasarnya. Pada masa Nabi, otoritas tertinggi
dalam pengambilan keputusan suatu hukum Islam ada pada Nabi sendiri,
tidak ada yang lain. Semua masalah hukum yang muncul dalam masyarakat
diselesaikan langsung oleh Nabi melalui petunjuk wahyu, seperti yang
terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Pada periode ini belum ada
spesialisasi ilmu tertentu, termasuk fiqih dan ushul alfiqh, belum ada teori-
teori dan kaidah-kaidah fiqih dalam bentuknya yang praktis seperti yang
dapat kita lihat dalam kitab-kitab sekarang ini.
Manakala muncul suatu persoalan hukum dalam masyarakat, Nabi
langsung menyelesaiannya atau para sahabat langsung menanyakannya
kepada Rasul, bukan diselesaikan dengan mempedomani kaidah-kaidah
tertentu. Kendatipun demikian, Rasul telah meninggalkan prinsip-prinsip
hukum Islam yang universal, kaidahkaidah umum, di samping memang
ditemukan hukumhukum spesifik dalam Al-Qur`an dan hadits. Prinsiprinsip
dan kaidah-kaidah umum tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir
dalam penyelesaian suatu persoalan hukum.
Para pembangun kaidah-kaidah fikih adalah ulama-ulama yang
sangat dalam ilmunya di dalam ilmu fikih (al-rasikhuna fi al-furú) sampai
muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan
awal abad ke-4 Hijriyalı, yang baru mengumpulkan 17 kaidah fikih. Di
kalangan tiap mazhab, ada ulama-ulamu yang merupakan tokoh-tokoh di
dalam hal kaidah fikih, misalnya dalam mazhab al-Syafi 1, ulama besar
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam (w. 660 H), telah menyusun kitab berjudul

2
Ibrahim, Duski. 2019. Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang. CV. AMANAH

5
Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (kandah-kuidah hukum untuk
kemaslahatan manusia) yang menjelaskan tentang maksud Allah
mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada satu kaidah
pokok.

‫المفاسد ودفع المصالح جلب‬

“Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"

Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al


khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) kembali untuk
kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat. Bagaimanapun ke tautan
hamba, tidak akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba
tidak akan mengurangi apa pun terhadap kemaluakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah."
.

C. Macam-macam dari Kaidah fiqih tafsiliyah


Kaidah Fiqih tafsiliyah ini pembagiannya ada 5, yaitu:3

١ ‫بمقاصدها األمور‬

“Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya “

Misalnya:
1. Berwudhu itu harus dengan niat, seperti itu pula mandi wajib, sholat dan
puasa.

3
Syaikh Abdul Hamid Hakim. 1976, Mabadi al awwaliyah. Padang.

6
2. Jika ia melakukan perbuatan yang hukumnya Mubah, tetapi ia beri'tikad
bahwa ia melakukan perbuatan yang tidak halal, seperti ketika seseorang
menggauli seorang perempuan dan dalam hatinya menyatakan bahwa
perempuan itu bukan istrinya, dan ia sedang melakukan perbuatan zina,
walaupun ternyata perempuan itu adalah istrinya, maka perbuatan itu
tetap haram.
3. Ketika seseorang berniat dalam makan dan minum itu untuk
menguatkan dalam beribadah, maka ia akan mendapatkan pahala, jika
tidak diniati maka ia tidak akan mendapatkan pahala.
4. Orang yang memeras anggur itu juga tergantung tujuan/niatnya untuk
dijadikan cuka atau khamer (minuman keras)
5. Tidak berbicara dengan orang lain diatas 3 hari itu hukumnya haram,
jika diniati, tapi kalau tanpa ada niat untuk itu maka hukumnya tidak
haram.
6. Tidak memakai wewangian dan berhias diri diatas 3 hari karena
berkabung atas kematian seseorang yang bukan suaminya itu hukumnya
haram, jika ia bertujuan untuk turut berduka cita, jika tidak ada niat itu,
maka tidak apa-apa.
7. Jika seseorang mengambil harta orang lain yang punya hutang
kepadanya dengan niat untuk bayar hutang orang itu kepadanya dan juga
dengan niat maling, maka ia tidak terkena hukuman potong tangan untuk
niat yang pertama, tetapi hanya pada niat yang kedua.
8. Tentang Kinayah (sindiran) Thalaq dan selain thalaq, ketika seorang
suami berkata pada istrinya: "Kamu adalah perempuan yang tidak punya
suami", jika la berniat untuk menjatuhkan thalaq maka jatuhlah
thalaqnya itu kepada istrinya, namun jika tidak, maka tidak apa-apa.

7
٢ ‫بشك يزال ال اليقين‬

"Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan"

Misalnya:
1. Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka
peganglah 3 karena itulah yang lebih meyakinkan.
2. Barang siapa yakin dalam keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats
maka ia adalah suci.
3. Barang siapa yakin mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan
suci, maka la adalah orang yang mempunyai hadats.

٣ ‫التيسير تجلب المشقة‬

"Kesulitan itu akan menghasilkan kemudahan "

Misalnya:

1. Ketika seseorang tidak bisa berdiri dalam sholat fardhu maka baginya
diperbolehkan sholat sambil duduk, begitu pula jika ia tidak bisa untuk
duduk maka diperbolehkan sholat sambil berbaring miring.
2. Jika seseorang tidak boleh menggunakan air maka ia boleh
bertayammum.
3. Ketika dirasakan sukar bagi seseorang untuk
menghindari/menghilangkan najis pada dirinya, maka najis itu diampuni
oleh Allah Swt, seperti najis darah akibat luka, bisul, kotoran jalan, dan
bekas najis yang susah untuk dihilangkan.

8
4. Imam Syafi'i ra, berkata: "Ketika seorang perempuan tidak mempunyai
wali dalam perjalanannya, maka ia boleh menyerahkan sepenuhnya
kepercayaan kepada orang lain yang dipercayanya."
5. Ucapan Imam Syafi'i yang lain tentang tempat-tempat yang dibuat dari
tanah dan dipanaskan dengan kotoran itu boleh dipergunakan untuk
berwudhu.

٤ ‫بزال الضرر‬

"Kemadharatan itu dihilangkan"

Misalnya :

1. Si pembeli itu boleh khiyar (memilih mengembalikan atau tidak) dengan


adanya cacat benda yang telah dibelinya.
2. Bagi suami istri itu boleh fasakh (bubar) nikah dengan adanya beberapa
cacat.
3. Diperbolehkan bagi istri meminta fasakh nikah karena
susahnya/miskinnya suami.
4. Menjaga kelestarian umat, menetapkan hukum, mencegah kedzaliman,
Qishash dan memberikan hukum harus mengganti bagi para perusak.

٥ ‫محكمة العادة‬
"Adat itu bisa menjadi hukum"

Misalnya:
1. Berjual beli dengan memuthlakan bahasa singkat, maka ketentuannya
adalah sesuai dengan mata uang yang berlaku.
2. Mu'amalah dalam jenis barang-barang atau macam-macam jenisnya
yang lain itu pada dasarnya berlaku harga yang sesuai dengan mata uang
yang berlaku.

9
3. Dalam hal menggunakan kamar mandi dan makan makanan yang
disuguhkan kepada tamu dengan tidak ada lafadz/ucapan apapun, maka
hukumnya tergantung adat yang berlaku, apakah itu gratis (cuma-cuma)
atau tidak.
4. Dalam hitungan haidh, sedikitnya haid, nifas dan suci, serta kebiasaan
dan paling banyaknya itu tergantung kebiasaan yang berlaku.
5. Untuk memberikan upah pada tukang jahit dan tukang tenun, menurut
Imam Rafi'i rahimahullah sebaiknya bersandar pada kebiasaan yang
berlaku.

10
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa, Kaidah Tafsiliyyah bermakna asas, dasar, atau
fondasi, baik dalam arti yang sempit maupun yang luas. Seperti kata-
kata qawa'id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa'id al-din,
artinya dasar-dasar agama, qawa'id al-'ilm, artinya kaidah-kaidah
ilmu.

Kaidah tafsiliyyab secara istilah, menurut Muhammad Abu


Zahrah mendefinisikan kaidah yaitu dengan Kumpulan hukum-
hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/ analogi yang
mengumpulkannya

Macam-macam kaidah dari fiqih tafsiliyah sendiri ada 5, yaitu:

١ ‫بمقاصدها األمور‬

“Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya “

٢ ‫بشك يزال ال اليقين‬

"Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan"

٣ ‫التيسير تجلب المشقة‬

"Kesulitan itu akan menghasilkan kemudahan "

٤ ‫بزال الضرر‬

"Kemadharatan itu dihilangkan"

٥ ‫محكمة العادة‬

"Adat itu bisa menjadi hukum"

11
DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Abdul Hamid Hakim. 1976, Mabadi al awwaliyah. Padang.

Djazuli, A. 2019. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta. Jakarta Putra Grafika

Ibrahim, Duski. 2019. Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang. CV.


AMANAH

12

Anda mungkin juga menyukai