Anda di halaman 1dari 25

KAIDAH USHULIYAH

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu &
Ushul Fiqih Dosen pengampu: Asep Ganjar S, S. Pd. I., M. Pd. I.

Penyusun :
Gias Abdul Adim
Fira Cindyani
Noviana Denianti
Reiky Rizal Fadhillah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI SEBELAS APRIL SUMEDANG
2021/ 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Kaidah
Ushuliyah disusun guna memenuhi tugas bapak Asep Ganjar S, S. Pd. I., M. Pd.I.
pada mata kuliah Pengantar Ilmu & Ushul Fiqih di Universitas Sebelas April
Sumedang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang Asbabun nuzul dan munasabah dalam ilmu al-
Qur’an.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Asep
Ganjar S, S. Pd. I., M. Pd. I. selaku dosen mata kuliah Pengantar Ilmu & Ushul
Fiqih terhadap tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Sumedang, September 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................I
DAFTAR ISI.............................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1............................................................................................................................... Latar Belakang
..............................................................................................................................1
1.2............................................................................................................................... Rumusan Masala
..............................................................................................................................1
1.3............................................................................................................................... Sasaran dan Targ
..............................................................................................................................1
1.4............................................................................................................................... Sistematika Penu
..............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
2.1. ‘Amm dan Khash Beserta Kaidahnya.................................................................3
A. Kaidah Ushuliyah ‘Amm...............................................................................3
1. Pengertian lafal ‘Amm........................................................................3
2. Bentuk-bentuk Lafaz ‘Amm..............................................................3
3. Macam-Macam Lafaz ‘Amm.............................................................5
4. Macam-macam ‘Amm.......................................................................6
B. Kaidah Ushuliyah Khash................................................................................7
1. Pengertian Al-Khash..........................................................................7
2. Karaktristik lafal al-khas....................................................................9
3. Dalalah al-Khas dan pandangan ulama..............................................9
4. Hukum Khash.....................................................................................10
5. Macam-macam lafadz Khash.............................................................10
2.2. Amr dan Nahyi Beserta Kaidahnya.....................................................................11
A. Kaidah Ushuliyah Amr..................................................................................11
1. Pengertian ‘Amr.................................................................................11
2. Bentuk-Bentuk Amr...........................................................................11
3. Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan dengan Amr..............................12
B. Kaidah Ushuliyah Nahyi................................................................................13

II
1. Pengertian Nahyi................................................................................13
2. Sighat Al-Nahyi.................................................................................14
3. Macam-Macam Makna Nahyi............................................................15

BAB III PENUTUP..................................................................................................20


3.1. Kesimpulan.........................................................................................................20
3.2. Saran....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

III
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Objek utama yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh adalah Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut,
para ulama telah menyusun semacam “Semantik” yang akan digunakan dalam
praktik penalaran Fiqh. Ayat-ayat Al-Quran dalam menunjukan pengertiannya
menggunakan berbagai cara, ada yang tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan
ada pula yang melalui maksud hukumnya. Disamping itu di satu kali terdapat pula
perbenturan antara satu dalil dengan yang lain karena memerlukan penyelesaian.
Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba
pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menarik hukum dari Al-Quran dan Sunnah
yaitu dengan metode istinbat. Berikut ini kami akan memaparkan beberapa
metode istinbat dari segi bahasa (‘Am dan khas, dan Amr dan Nahy) .
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian dari lafal Amm,bentuk-bentuknya,
serta contohnya?
2. Apa yang dimaksud dengan pengertian dari lafal Khash, bentuk-
bentuknya, serta contohnya?
3. Apa yang dimaksud dengan pengertian dari lafal Amr, bentuk-bentuknya,
serta contohnya?
4. Apa yang dimaksud dengan pengertian dari lafal Nahi, bentuk-bentuknya,
serta contohnya?
1.3. Sasaran dan Target
1. Pembaca dan penulis dapat memahami penjelasan mengenai pengertian
dari lafal Amm,bentuk-bentuknya, serta contohnya.
2. Pembaca dan penulis dapat memahami penjelasan mengenai pengertian
dari lafal Khash,bentuk-bentuknya, serta contohnya
3. Pembaca dan penulis dapat memahami penjelasan mengenai pengertian
dari lafal Amr,bentuk-bentuknya, serta contohnya.

1
4.  Pembaca dan penulis dapat memahami penjelasan mengenai dari lafal
Nahi,bentuk-bentuknya, serta contohnya.
1.4 Sistematika Penulisan
1. BAB I PPENDAHULUAN
Dalam BAB ini, penulis menyajikan point-point berupa latar belakang,
rumusan masalah, sasaran dan target, serta sistematika penulisan.
2. BAB II PEMBAHASAN
Dalam BAB ini, penulis menyajikan pembahasan materi tentang kaidah
ushuliyah. Adapun point yang lebih jelasnya lagi, materinya akan
disajikan sesuai dengan apa yang telah ditulis di dalam rumusan masalah.
3. BAB III PENUTUP
Dalam BAB ini terdapat kesimpulan pembahasan materi yang telah ditulis
oleh kami, serta terdapat saran yang ditujukan kepada pembaca.
4. Daftar Pustaka
BAB ini hanya berisi referensi dari materi-materi yang telah disajikan.
Baik itu berupa buku acuan, maupun dari situs internet yang terpercaya.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 ‘Amr dan Khash Beserta Kaidahnya


A. Kaidah Ushuliyah ‘Amm
1. Pengertian lafal ‘Amm
‘Amm dalam bahasa arab berarti: Peliputan sesuatu terhadap sesuatu yang
berbilang, baik sesuatu ini merupakan lafal atau lainnya. Adapun Amm
menurut istilah ulama ushul fiqh ialah: Suatu lafal yang menunjuk kepada
banyak satuan yang tidak terbatas, yang dalalahnya menghabiskan dan meliputi
seluruh satu-satuannya itu. Baik dalalah itu berdasarkan lafal dan maknanya
seperti bentuk jamak, mislanya; ka al-rijal merupakan lafal yang umum, karena
menunjuk kepada seluruh laki-laki tanpa yang tersisa, sesuai dengan kelayakan
arti yang diciptakan untuknya, maupun berdasarkan maknanya saja, seperti
kata; al-qawn, dan al-jinn. Adapun yang dimaksudkan, “tidak terbatas” ialah
bahwa pada lafal itu tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan pembatasan
jumlahnya, meskipun dalam kenyataannya, satuan-satuannya terbatas, seperti
kata al samawat (langit) yang jumlahnya terbatas. Seperti disimpulkan
Muhammad Adib Saleh, lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi
dengan jumlah tertentu.
2. Bentuk-bentuk Lafaz ‘Amm
Lafaz ‘amm mempunyai beberapa bentuk yang secara hakiki diperuntukkan
baginya, yakni sebagai berikut:
a. Lafaz ‫ كل‬- kulli (setiap / tiap-tiap) dan ‫ ج امع‬- jami’ (seluruhnya /

segala). Misalnya:
ِ ‫س َذائَِقةُ الْمو‬
‫ت‬ ٍ ‫ ُك ُّل َن ْف‬:
َْ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)

ِ ‫ُه َو الَّ ِذي َخلَ َق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َْر‬


‫ض َج ِم ًيعا‬

3
Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi
secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
b. Kata benda tunggal (lafaz mufrad) yang di ma’rifatkan dengan alif-lam
yang dipergunakan untuk memakrifatkan jenis. Contoh:

ِّ ‫َح َّل اللَّهُ الَْب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربَا‬ َ ‫َوأ‬
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba” (Al-Baqarah: 27). Lafaz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata
benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam.
c. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya yang
dipergunakan untuk memakrifatkan jenis, dan bentuk jamak yang
dimakrifatkan dengan idhafah Seperti:

‫ض ْع َن أ َْواَل َد ُه َّن َح ْول َْي ِن َك ِاملَْي ِن‬


ِ ‫ات ير‬ ِ
ْ ُ ُ ‫َوال َْوال َد‬
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”.
(Al-Baqarah:233)
Contoh lain al-muhsanatu (wanita-wanita yang bersuami), al-mutallaqatu
(wanita-wanita yang ditalak). Contoh bentuk jamak yang dimakrifatkan
dengan idhafah adalah amwalakum (harta-hartamu).
a. Isim Mausul (kata sambung). Seperti ma, alladzina, al-ladzi dan
sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:

ْ َ‫ال الْيَتَ َامى ظُل ًْما إِنَّ َما يَأْ ُكلُو َن فِي بُطُونِِه ْم نَ ًارا َو َسي‬
‫صلَ ْو َن َس ِع ًيرا‬ ِ َّ
َ ‫إِ َّن الذ‬
َ ‫ين يَأْ ُكلُو َن أ َْم َو‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
b. Isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan, seperti kata ma, man
dan sebagainya. Misalnya:

4
َّ َ‫َو َم ْن َقتَ َل ُم ْؤِمنًا َخطَأً َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ُم ْؤِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَى أ َْهلِ ِه إِاَّل أَ ْن ي‬
‫ص َّدقُوا‬

Artinya : “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah


(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
c. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), nahi (larangan) atau
syarat seperti kata ‫ اَل ُجنَاح‬dalam ayat berikut:

‫ور ُه َّن‬
َ ‫ُج‬
ُ ‫وه َّن أ‬ ُ ‫اح َعلَْي ُك ْم أَ ْن َت ْن ِك ُح‬
ُ ‫وه َّن إِذَا َآَت ْيتُ ُم‬ َ َ‫واَل ُجن‬..…..
َ
Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10) [2]
3. Macam-macam Lafaz ‘Amm
Melihat bentuk lafadz di atas, dapat diambil bahwa lafadz yang menunjukkan
arti umum ada 3 macam, di antaranya adalah:
a. Lafaz umum yang dikehendaki keumumannya secara pasti, yaitu lafaz-
lafaz umum yang disertai qarinah (tanda). Lafaz ‘amm yang yang tidak
mungkin bisa ditakhsis. Misalnya:

ِ ‫َو َما ِم ْن َدابٍَّة فِي اأْل َْر‬


‫ض إِاَّل َعلَى اللَّ ِه ِر ْز ُق َها‬

Artinya : ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya.(Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
1. Lafaz ’amm yang dimaksud secara qathi’ khusus, yaitu didampingi dengan
qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang
dimaksud dari lafaz itu adalah sebagian dari satuan-satuannya. Lafaz
’amm yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan
kekhususannya.
Contohnya:
‫ول اللَّ ِه َواَل َي ْرغَبُوا بِأَْن ُف ِس ِه ْم‬ ِ ‫َما َكا َن أِل َْه ِل ال َْم ِدينَ ِة َو َم ْن َح ْول َُه ْم ِم َن اأْل َ ْعر‬
ِ ‫اب أَ ْن َيتَ َخلَّ ُفوا َع ْن ر ُس‬
َ َ
‫َع ْن َن ْف ِس ِه‬

5
Artinya : Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang
Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Penduduk Madinah dan orang-orang Badui di sekitarnya adalah lafaz yang
umum, namun yang dimaksudkan adalah khusus orang-orang kaya dan
mampu di kalangan kedua itu. Sebab orang yang tidak mampu tidak
mungkin sanggup untuk keluar menyertai Nabi SAW dalam peperangan,
karena tidak memiliki bekal yang mutlak diperlukan dalam peperangan.
2. Lafadz ‘amm yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti
lafadz umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan
ditakhsis. Contoh:

ٍ ‫ات يتربَّصن بِأَْن ُف ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ ُقر‬


‫وء‬ ُ َ ْ َ ََ ُ ‫َوال ُْمطَلَّ َق‬
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqatu (wanita-wanita
yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
4. Macam-macam ‘amm
‘Amm terdiri atas 3 macam :
1. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-‘amm al-baqi’ ‘ala ‘umumih).
Qadi Jalaludin al-Baqini mengatakan, ’amm seperti ini jarang ditemukan,
sebab tidak ada satu pun lafaz ‘amm kecuali didalamnya terdapat
takhsis(pengkhususan). Tetapi Zakarsyi dalam al-Burhan mengemukakan,
‘amm demikian banyak terdapat pada al-Qur’an.
2. ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
3. ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhsus)
Perbedaan antara al-’Amm al-murad bihil khusus dengan al-‘Amm al-
makhsus dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain :
a. Yang pertama tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau
individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna

6
lafaz atau dari hukumnya. Lafaz tersebut memang mempunyai individu-
individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang
yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi
semua individunya, dari segi cakupan makna lafaz, tidak dari segi
hukumnya.
b. Yang pertama adalah majaz secara pasti, karena ia telah baralih dari
makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja.
Sedang yang kedua ,menurut pendapat yang lebih shahih adalah hakikat.
Inilah pendapat sebagian besar ulama’ Syafi’i, mayoritas ulama’ Hanafi
dan semua ulama’ Hambali, Pendapat ini dinukil pula oleh Imam
Haramain dari semua fuqaha, Menurut Abu Hamid al-Ghazali, pendapat
tersebut adalah pendapat mazhab Syafi’i dan pendapat murid-muridnya,
dan dinilai shahih oleh as-Subki. Hal ini dikarenakan jangkauan lafaz
kepada sebagian maknanya yang tersisa, sesudah dikhususkan, sama
dengan jangkauannya terhadap sebagian makna tersebut tanpa
pengkhususan. Oleh karena jangkauan lafaz seperti ini bersifat hakiki
menurut konsensus ulama, maka jangkauan seperti itu pun hendaknya
dipandang hakiki pula.
c. Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak
pernah terpisah, sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafdziyah dan
terkadang terpisah.
B. Kaidah Ushuliyah Khash
1. Pengertian al-khash
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti
umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi
khas adalah: “Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis,
seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas,
seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan
lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak
mencakup semua satuan-satuan itu”

7
Lafaz khash ialah lafaz yang diciptakan untuk memberi pengertian satu satuan
yang tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang, seperti lafaz Muhammad, atau

menunjuk macam sesuatu, seperti lafaz insan (manusia) dan rajulun (orang
laki-laki), atau menunjuk jenis sesuatu, seperti lafaz hayawan (hewan), atau
menunjuk benda konkrit atau abstrak, seperti lafaz 'ilm (ilmu) dan jahl
(kebodohan), atau penunjukkan arti kepada satu satuan itu secara hakiki atau
i'tibari (anggapan) seperti lafaz-lafaz yang diciptakan untuk memberi
peringatan banyak yang terbatas, seperti lafaz tsalasah (tiga), mi'atun (seratus) ,
jam'un (seluruhnya) dan fariq (kelompok).
Dalam pengertian lain khas adalah lafaz yang khash itu lafaz yang diletakkan
untuk menunjukkan suatu individu yang satu perseorangannya, seperti seorang
laki-laki, atau menunjuk kepada sejumlah individu dan tidak menunjukkan
terhadap penghabisan seluruh individu-individu. Atau khas ialah lafadz yang
tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa
hal tanpa menghendaki kepada batasan.
Abdul Wahab Khallaf misalnya menyebutkan:
ِ ‫لداَلَ ل َِة علَى َفر ٍدو‬
‫اح ٍد‬ ِّ ِ‫ض َع ل‬
ِ‫ظو‬
َ ْ َ ُ ٌ ‫اص ُه َو لَ ْف‬
ُّ ‫ال َخ‬
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian pada
suatu satuan objek tertentu saja”.
Kemudian Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai berikut:
ِ ِ ٍ ٍِ ِ ِ ٍ
‫ص‬
َ ‫ص ْو‬
ُ ‫ص الْج ْنسأ َْو ُخ‬ ُ ‫اص فَ ُك ُّل لَ ْفظ ُوض َع ل َم ْعنًى َواحد َم ْعلُ ْوم َعلَى اأْل َ ْف َراد َو ُه َوإِ َّما أَ ْن يَ ُك ْو َن ُخ‬
َ ‫ص ْو‬ ُ ‫ال َخ‬
‫ص ال َْع ْي ِن‬ ٍ
َ ‫ص ْو‬
ُ ‫الن َّْوعأ َْو ُخ‬
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian
tertentu atau khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis
dan macamnya maupun segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-
laki”.
Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh, menjelaskan
bahwa yang disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang menunjukan
kepada satu sebutan saja.

8
Dari pengertian yang digunakan untuk menunjukan pengertian yang tertentu
saja. pengertian tertentu ini berkaitan sifat satuan yang disebutkan, yaitu segi
jenisnya, macam-macamnya, maupun segi zat dan subtansinya. Dengan kata
lain al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang secara
khusus memang disebutkan.
2. Karaktristik lafal al-khas
Suatu lafal nash dikatagorikan kepada al-khas, bila lafal tersebut diungkapkan
dalam bentuk atau karaktristik berikut ini:
a. Diungkapkan dengan menyebut jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
b. Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
c. Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat
Dari ketiga ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafal al-khas
menunjukan makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu
objek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari
sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan lafal-lafal seperti karaktristik diatas,
maka digolongkan pada al-khas.
3. Dalalah al-Khas dan pandangan ulama
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i,
bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di
jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah
qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban
bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun
lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami
perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang
menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang
qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti
qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada
arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri
kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.

9
4. Hukum Khash
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’iy maka makna yang khash yang

ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy ( ‫ ) ﻗﻄﻌﻰ‬bukan dzhanniy ( ‫) ﻇﻨّﻰ‬

contohnya:
ٍ ‫ات يتربَّصن بِأَْن ُف ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ ُقر‬
‫وء‬ ُ َ ْ َ ََ ُ ‫َوال ُْمطَلَّ َق‬
Artinya: “ Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu
iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (QS. Al Baqarah : 228).
Lafadz tsalatsah di situ adalah khash dan maknanya qath’iy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlak tanpa ada batasan/ikatan
apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan.
Contoh: ‫( ﺇﺗﻘﻮ ﺍﻪﻠﻟ‬bertakwalah kepada Allah). Seringkali terdapat dalam bentuk

larangan perbuatan, seperti ‫ﺗﺠﺴﺴﻮﺍ‬


ّ ‫( ﻭﻻ‬dan janganlah kamu memata-matai).
Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan, perintah dan
larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang
maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada
hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan pengertiannya diambil hukum
dengan pasti, tidak dengan dugaan.
Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum qoth’iy
dari lafadz khash.
5. Macam-macam lafadz Khash
a. Lafadz khash berbentuk mutlak

َّ ‫ودو َن لِ َما قَالُوا َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ِم ْن َق ْب ِل أَ ْن َيتَ َم‬


‫اسا ۚ ٰذَلِ ُك ْم‬ ُ ُ‫اه ُرو َن ِم ْن نِ َسائِِه ْم ثُ َّم َيع‬
ِ َ‫والَّ ِذين يظ‬
َُ َ

‫وعظُو َن بِ ِه ۚ َواللَّهُ بِ َما َت ْع َملُو َن َخبِ ٌير‬


َ ُ‫ت‬
Artinya:“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya
memerdekakan seorang budak abdum kedua suami istri itu bercampur.

10
Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
(QS. Al Mujadalah : 3)
b. Lafadz khash berbentuk muqayyad
‫َو َم ْن َقتَ َل ُم ْؤِمنًا َخطَأً َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ُم ْؤِمنَ ٍة‬

Artinya : “Barangsiapa membunuh orang mukmin karena tersalah hendaknya


ia memerdekakan budak yang beriman”. (QS. An Nisa’ : 92)
c. Lafadz khash berbentuk amr
‫َى أ َْهلِ َها‬ ِ َ‫إِ َّن اللَّهَ يأْمر ُكم أَ ْن ُت َؤدُّوا اأْل َمان‬
ٰ ‫ات إِل‬ َ ْ ُُ َ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya”. (QS. An Nisa’ : 58)

d. Lafadz khash yang berbentuk larangan


‫َّى ُي ْؤِم َّن‬ ِ ‫واَل َت ْن ِكحوا الْم ْش ِر َك‬
ٰ ‫ات َحت‬ ُ ُ َ
Artinya : “ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman”. (QS. Al Baqarah : 221).
2.2 Amr dan Nahyi Beserta Kaidahnya
A. Kaidah Ushuliyah Amr
1. Pengertian Amr
a. Amr menurut bahasa artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Sedangkan
menurut istilah yaitu tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan.
b. Menurut mayoritas ulama’ Ushul Fiqh, amr adalah:
‫الفظ الدال على طلب الفعل على جهة االستعالء‬

Suatu tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
2. Bentuk-bentuk Amr
a. Bentuk fi’il amr
b. Bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang)
yang disertai oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah)
c. Bentuk isim fi’il amr

11
d. Bentuk masdar pengganti fi’il
e. Bentuk jumlah khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah,
perintah atau permintaan.
Kata-kata yang mengandung makna suruhan atau perintah, wajib, fardlu,
seperti :
a)        Kata amrun
b)        Kata fardlun
c)        Kata kataba
e)        Jawab syarat
3. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr
Kaidah-kaidah amar ialah ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para
mutjahid dalam mengistinbatkan hokum. Ulama ushul merumuskan kaidah-
kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
a. Kaidah pertama
Pada dasarnya amar(perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak
menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qaninah.
Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan
yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat. Tapi dalam
perkembangannya amar itu bisa dimaksudkan bukan wajib,antara lain
seperti berikut ini:
1.         Nadab: anjuran sunah,
2.         Irsyad : membimbing atau memberi petunjuk,
3.         Ibahah: boleh dikerjakan dan boleh ditinggal,
4.         Tahdid: mengancam atau menghardik,
5.         Taskhir: menghina atau merendahkan derajat,
6.         Ta’jiz: menunjukan kelemahan lawan,
7.         Taswiyah: sama antara dikerjakan atau tidak,
8.         Takdzib: mendustakan,
9.         Talhif: membuat sedih atau merana,
10.     Doa: permohonan,
b. Kaidah kedua

12
“Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan”
Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula
dilarang ,lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan
perintah wajib tetapi bersifat membolehkan.
c. Kaidah ketiga
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”
Misalnya tentang haji seperti firman Allah swt.

“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji”{ QS. Al-haji/ 22:27}


Dalam hadist Nabi saw dinyatakan: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu{untuk melaksanakan}haji, maka berhajilah kamu.
d. Kaidah Keempat
Pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan{berkali-kali
mengerjakan perintah}.Misalnya dalam ibadah haji , yaitu satu kali seumur
hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan,maka harus ada
qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.Menurut ulama,
qarinah dapat dikelompokan menjadi 3 :
1. Perintah itu dihubungkan dengan syarat,seperti wajib mandi setelah junub.
2. Perintah itu dihubungkan dengan ‘illat,seperti hukumm rajam kalau
melakukan zina.
3. Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku
sebagai‘illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu shalat.
e. Kaidah Kelima
Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala
wasilahnya.Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan
itu tidak bisa terwujud,tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang
dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu, seperti kewajiban
mengerjakan shalat.
B. KAIDAH USHULIYYAH NAHYI
1. Pengertian Nahyi
Secara etimologi, al-Nahi  berasal dari bahasa arab (‫النهي‬ ) yang artinya

mencegah atau melarang. Adapun menurut syara’ ialah: 

13
  ‫طلب الترك من االعلى الى االدنى‬ 

“Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya


kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”
Menurut ulama ushul, definisi nahy adalah kebalikan dari amr, yakni lafaz
yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada
bawahan.
2. Shighat al-Nahi
Shighat al-Nahi merupakan tuntutan yang berisi larangan, maka bagian ini
akan diuraikan berbagai macam shighat al-Nahi. Adapun bentuk shighat al-
Nahi itu adalah:
a. Fi’il Mudhari’ yang dihubungkan dengan ‫ال ناهيه‬ yaitu yang menunjukkan

larangan atau menyatakan tidak boleh melakukan perbuatan.sebagaimana


firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 152:
ِ
ُ‫َّى َي ْبلُ َغ أَ ُشدَّه‬ ْ ‫ال الْيَتِ ِيم إِاَّل بِالَّتِي ه َي أ‬
ٰ ‫َح َس ُن َحت‬ َ ‫َواَل َت ْق َربُوا َم‬

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
b. Kata yang berbentuk perintah untuk meninggalkan suatu
perbuatan.Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hajj:30

ُّ ‫اجتَنِبُوا َق ْو َل‬
‫الزو ِر‬ ِ ِ ‫الرج‬ ِ ْ َ‫ف‬  
ْ ‫س م َن اأْل َْوثَان َو‬
َ ْ ِّ ‫اجتَنبُوا‬
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta.”(Q.S.al-Hajj:30)
c. Menggunakan kata (‫ )نهي‬itu sendiri dalam kalimat.sebagaimana dalam

firman Allah
‫ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْربَ ٰى َو َي ْن َه ٰى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوال ُْم ْن َك ِر َوالَْبغْ ِي ۚ يَِعظُ ُك ْم‬
ِ ‫إِ َّن اللَّهَ يأْمر بِالْع ْد ِل واإْلِ حس‬
َ ْ َ َ ُُ َ
‫ل ََعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن‬.

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS.al-Nahl: 90)

14
d. Jumlah Khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk
menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan
tidak halalnya sesuatu.
ِ ِ َّ
‫اء َك ْر ًها‬ َ ‫آمنُوا اَل يَح ُّل لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِرثُوا الن‬
َ ‫ِّس‬ َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
“ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa”( Q.S. an-Nisa’ : 19)
Dari keempat macam bentuk yang telah disebutkan di atas, merupakan
shighat al-Nahi yang dapat digolongkan kepada larangan.Akan tetapi,
menurut Mustafa Said al-Khin,bahwa shighat al-Nahi yang sebenarnya
adalah fi’il mudhari’, yang dimasuki atau yang dihubungkan dengan

( ‫)الناهيه‬.

Pada dasarnya,terdapat keempat shighat al-Nahi yang telah disebutkan di


atas tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqih.
3. Macam-macam Makna Nahi
Nahi pada dasarnya ialah untuk menunjukkan haram, tetapi dalam pemakaian
bahasa arab, kadang-kadang bentuk nahi di gunakan untuk beberapa arti
(maksud) yang bukan asli, yang maksudnya dapat di ketahui dari susunan
perkataan itu, yang antara lain:
a. Untuk menunjukkan makruh  ‫للكراهة‬

‫ال تصلوا في اعطان االبل‬

Artinya: “janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan


unta” (H.R. Ahmad dan Turmidzi).
Larangan dalam hadits tersebut di atas untuk menunjukkan makruh, karena
kurang bersih, walaupun suci.
b. Untuk do’a  ‫للدعاء‬

ِ ‫ر َّبنا اَل ُت َؤ‬


‫اخ ْذنَا إِ ْن نَ ِسينَا أ َْو أَ ْخطَأْنَا‬ ََ
Artinya: “Ya Tuhan kami! janganlah engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami bersalah.”(QS. Al-Baqarah: 386)

15
Perkataan “janganlah engkau hukum kami....” bukan menunjukkan
larangan, sebab manusia tidak berhak melarang Tuhan, karena manusia di
bawah kekuasaan-Nya, tetapi perkataan itu menunjukkan permohonan
sebagai do’a kepada Allah SWT.
c. Untuk memberikan pelajaran ‫لالرشاد‬

ِ ِ َّ
َ ‫س ْؤ ُك ْم َوإِ ْن تَ ْسأَلُوا َع ْن َها ح‬
‫ين ُيَن َّز ُل الْ ُق ْرآ ُن‬ ِ َ َ‫آمنُوا اَل تَ ْسأَلُوا َع ْن أَ ْشي‬
ُ َ‫اء إ ْن ُت ْب َد لَ ُك ْم ت‬ َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
‫يم‬ ِ ‫ُتب َد لَ ُكم َع َفا اللَّه َع ْنها واللَّه غَ ُف‬
ٌ ‫ور َحل‬
ٌ ُ َ َ ُ ْ ْ
Artinya: “jangan lah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal yang jika
di terangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (QS. Al-maidah:
101).
Larangan ini sebagai pelajaran, agar kita jangan selalu menanyakan
sesuatu yang akan merugikan diri kita sendiri, terutama hal-hal
yang  menyangkut perhubungan antar manusia.
d. Untuk memutus-asakan ‫للتيئيس‬

‫ين َك َف ُروا اَل َت ْعتَ ِذ ُروا الَْي ْو َم إِنَّ َما تُ ْج َز ْو َن َما ُك ْنتُ ْم َت ْع َملُو َن‬ ِ َّ
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬  
Artinya: “janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari kiamat)” (QS.
At-Tahrim: 07)
Untuk memutus-asakan mereka, bahwa pada hari kiamat tidak ada
gunanya lagi mengadakan pembelaan; tidak dapat di harapkan lagi untuk
memperoleh ampunan karena pada hari kiamat pintu taubat sudah di tutup.
e. Untuk menghibur   ‫لالئتناس‬

‫اَل تَ ْح َز ْن إِ َّن اللَّهَ َم َعنَا‬

Artinya: “janganlah engkau berduka (karena) sesungguhnya Allah


bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)
Sewaktu Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat beliau Abu Bakar
bersembunyi di gua Tsaur, datang kaum kafir Quraisy hingga Abu Bakar
takut, kemudian Nabi SAW. menghiburnya, “janganlah engkau bersusah
(khawatir) karena Allah bersama kita”.

16
f. Untuk ancaman  ‫للتهديد‬

Ucapan majikan kepada pelayan:


‫ال تطع امري‬

Artinya:"  tak usah engkau turuti perintah ini”


Yang dimaksud bukan melarang, tetapi menggertak kepadanya agar iya
takut.
g. Qaidah-qaidah an-nahyu
 Nahi menunjukkan kepada haram

‫َّح ِريْ ِم‬ ِ ْ ‫اَاْل َصل فِى الن‬


ْ ‫َّه ِي للت‬ ُْ
“Asal pada larangan untuk haram”
Menurut kepada pemikiran tiap-tiap masalah yang sunyi daripada qarenah
yang menunjukkan kepada larangan mengandung akan arti yang hakiki
yaitu haram.
Contohnya: seperti firman Allah SWT:
‫الزنَى‬
ِّ ‫َواَل َت ْق َربُوا‬

“Dan janganlah kamu dekati zina”.


Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat larangan yang sunyi dari qarenah,
menunjukkan kepada haqiqat larangan yang mutlak. Dan jika kalimat itu
mempunyai qarenah, tidak menunjukkan haqiqat larangan, seperti firman
Allah SWT.
‫الصاَل ةَ َوأَْنتُ ْم ُس َك َار ٰى‬
َّ ‫آمنُوا اَل َت ْق َربُوا‬ ِ َّ
َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu kerjakan shalat
dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa: 43)
 Nahi menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya
ِ ‫ضد‬ِ ِ‫الشى ِء اَ ْمر ب‬
‫ِّه‬ ٌ ْ َّ ‫َّه ُي َع ِن‬
ْ ‫اَلن‬
“Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”
Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh
mengerjakannya.

17
Jika dilarang mengerjakan suatu perbuatan, perbuatan mana kalau
dikerjakan dihukum menutut hakikatnya (haram), mesti disuruh
menghentikannya, seperti dilarang meninggalkan sembahyang, tentu di
suruh mengerjakannya. 
 Nahi menunjukkan larangan yang mutlak

‫َّو َام فِى َج ِم ْي ِع اْالَ ْزِمنَ ِة‬ ِ


َ ‫َّه ُي اْلُمطْلَ ُق َي ْقتَضى الد‬
ْ ‫اَلن‬
“Larangan yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”
Dalam suatu larangan yang berbentuk mutlak, baik membawa kebinasaaan
maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna, apabila di
jauhi yang membinasakan itu selama-lamanya.seperti: perkataan seorang
bapak kepada anaknya ‘jangan kamu dekati singa’, maka anak itu disuruh
menjauhi binatang tersebut selama-lamanya karena untuk melepaskan diri
dari kebinasaan.
 Nahi menunjukkan larangan dalam beribadah

‫ات‬ َ َ‫َّه ُي يَ ُد ُّل َعلَى فَ َس ِاد اْلُم ْن ِه ِّي َع ْنهُ فِى ِعب‬
ِ ‫اد‬ ْ ‫اَلن‬
“Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”
Untuk mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan
ibadat, haruslah ia mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Kalau
seorang umpamanya mengerjakan apa yang di larang, berarti ia melanggar
apa yang diperintahkan. Orang yang melanggar perintah masih dituntut
untuk mengerjakannya, jika masih dituntut mengerjakannya berarti dia
belum bebas dari suatu perbuatan, oleh sebab itu harus mengulangi
ibadatnya misalnya: wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan
shalat dan puasa, berarti dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.
 Nahi menunjukkan larangan dalam mu’amalah

‫َّه ُى يَ ُد ُّل َعلَى فَ َس ِاد اْلُم ْن ِه ِّي َع ْنهُ فِى اْلعُ ُق ْو ِد‬
ْ ‫اَلن‬
“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam
ber’akad”
Apabila larangan itu kembali kepada aqad itu sendiri bukan kepada yang
lain, seperti: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam

18
kandungan ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang
diperjualbelikan itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli,
antara lain:
a. adanya dua orang yang berakad (penjual & pembeli).
b. ada sighat (lafadz) jual beli.
c. ada barang yang diperjual belikan.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ َع ْن َب ْي ِع اْلَماَل قِ ْي ِح‬ ‫صلى اهلل عليه وسلم‬ ‫َن َهى النَّبِ ُّي‬

“Melarang Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.


Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual beli
waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera
mengerjakan shalat Jum’at. Firman Allah SWT:
ِ ‫اسعوا إِلَى ِذ ْك ِر‬
‫اهلل َو َذ ُروا اْ َلب ْي َع‬ ِ ْ‫لصالَ ِة ِمن يوِم ا‬
َّ ِ‫ي ل‬ ِ ِ
ْ َ ْ َ‫لج ُم َعة ف‬
ُ َْ ْ َ ‫ا َذا ُن ْود‬
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari
Jum’at, hendaklah bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan
tinggalkan jual beli”.

19
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
  Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan
pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi sengan jumlah tertentu.
  Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas.
Amr menurut bahasa artinya perintah, suruhan, tuntutan. Menurut istilah ushul
fiqh yaitu : “suatu tuntutan (perintah) untuk melaksanakn sesuatu dari pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
tingkatannya”.
  Nahy menurut bahasa artinya larangan atau yang terlarang, sedang menurut
istilah adalah “larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan
kalimat yang menunjukan atas hal itu”
3.2 Saran
Inilah Makalah yang kami susun mengenai Akidah Ushuliyah. Semoga penulis
dan pembaca dapat memahami isi materi yang kami sajikan dalam makalah ini.
Besar harapan kami kepada pembaca untuk memberikan kritik atau masukan
kepada kami untuk meningkatkan kualitas dalam penyajian materi dalam
makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/04/kaidah-kaidah-amm-dan-khas-
didalam-al-quran/
https://shohifu.blogspot.com/2013/05/blog-post_5051.html
http://www.den4me.com/sites/default/files/DIKTAT_USHUL_FIQIH.pdf
https://jhodymrazbraine.blogspot.com/2015/05/mengenal-kaidah-al-am-dan-
kaidah-al-khas.html
http://www.seaskystone.web.id/2014/12/makalah-fiqih-amm-khas-mutlaq-
muqayyad.html
https://greenpendidikan.blogspot.com/2017/03/pengertian-nahyu-sighat-shigat-
nahyu.html?m=1

21

Anda mungkin juga menyukai