Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“LAFADZ ‘AM, KHAS, TAKHSIS, MUTLAQ, DAN


MUQAYYAD“

Dosen Pembimbing:
Ust. Ali Mahfudz, Lc, M.H.I

Disusun Oleh :
Afriyadi Setiyawan (NIM 04.18.019)
Ade Fauzi (NIM 04.18.018)
(Mata Kuliah Ushul Fikih 2)

Progam Study Perbandingan Mazhab

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH AL AMANAR

Tahun Akademik 2019/2020

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


(STIS) AL MANAR
i
2019/2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah ‫ ﷻ‬yang telah melimpahkan rahmat dan karunia
Nya sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah Ushul Fikih 2
dengan judul “Lafadz ‘Am, Khas, Takhsis, Mutlaq, dan Muqayyad”.
            Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fikih 2 jurusan Perbandingan
Mazhab, STIS Al Manar. Kami menulis makalah ini untuk membantu mahasiswa supaya lebih 
memahami mata kuliah khususnya mengenai lafadz ‘am, khas, takhsis, mutlaq, dan muqayyad.
            Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman  yang telah
berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas ini sehingga memungkinkan
terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat kekurangan.
            Akhir kata, kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan pikiran
dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu
dengan terbuka dan senang hati kami menerima kritik dan saran dari semua pihak.

Jakarta, 05 April 2020

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................................ iii
ii
BAB I PENDAHULUAN
Rumusan Masalah........................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Takbir............................................................................................................................. 5
B.     Lafadz Takbir................................................................................................................. 5-6
C.     Do’a Iftitah..................................................................................................................... 6
D.    Hukum Membaca Basmalah........................................................................................... 6-8
E.    Membaca Surat Al Qur’an.............................................................................................. 8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................................................... 9
B.     Kritik dan Saran.............................................................................................................. 9
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaiman telah diketahui, sumber ajaran Islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah adalah sumber
ajaran yang berbahasa Arab. Hal ini dimaklumi karena ajaran Islam pertama kali diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad yang tinggal di Jazirah Arab. Oleh karena itu, untuk memahami hukum-hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah harus benar-benar memahami gaya bahasa (uslub) yang ada
dalam bahasa Arab dan cara penunjukan nash kepada artinya.
Para ulama ahli ushul fiqh mengerahkan perhatian mereka kepada penelitian terhadap uslub-uslub
dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim digunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar
sesuai pemahaman orang Arab sendiri yang nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Oleh karena hal tersebut, maka diperlukan adanya pembelajaran yang dapat memberikan
pemahaman tentang uslub-uslub bahasa Arab untuk memahami sumber hukum Islam dengan benar.

Para ushuliyun menetapkan bahwa, perhubungan lafadz dengan makna mempunyai beberapa segi
yang harus dibahas.
Setiap lafadz (kata) yang digunakan dalam teks hukum, mengandung suatu pengertian yang
mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafadz itu. Ada pula lafadz yang mengandung beberapa
pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafadz itu. Bila hukum berlaku untuk lafadz itu maka
hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung didalamnya. Disamping itu, ada pula
suatu lafadz, yang hanya mengandung suatu pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku
untuk pengertian tertentu itu saja.
Lafadz yang mengandung beberapa pengertian itu secara sederhana disebut “am” atau “umum”,
sedangkan yang mengandung satu pengertian tertentu disebut “khas” atau khusus. Lafadz yang “khusus”
itu ada yang digunakan tanpa dikaitkan kepada kata sifat apapun, dan ada pula yang dikaitkan kepada
sifat atau keadaan tertentu. Lafadz yang tidak dikaitkan kepada sesuatu apapun disebut “mutlaq” atau
“mutlak”, sedangkan lafadz yang yang dikaitkan dengan sesuatu disebut “muqayyad”.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu lafadz “am”? Bagaimana bentuk-bentuk dan penunjukkannya terhadap hukum?
2. Apa itu lafadz “khas”? Bagaimana bentuk-bentuk dan penunjukkannya terhadap hukum?
3. Apa itu lafadz “takhsis”? Bagaimana bentuk-bentuk dan penunjukkannya terhadap hukum?
4. Apa itu lafadz “mutlaq”? Bagaimana klasifikasi dan penunjukkannya terhadap hukum?
5. Apa itu lafadz “muqayyad”? Bagaimana klasifikasi dan penunjukkannya terhadap hukum?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. ‘AM
1. Pengertian

Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘am berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘am
menurut istilah setiap ahli ushul mengartikan dengan berbeda-beda, tetapi memiliki esensi makna yang
sama. Salah satunya yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid Hakim sebagai berikut:

ً‫ض ٍع َوا ِح ٍد َد ْف َعة‬


ْ ‫ب َو‬ ْ ‫صلُ ُح لَهُ بِ َح‬
ِ ‫س‬ ْ َ‫ق بِ َج ِم ْي ِع ماَي‬ ْ ‫اَ ْل َعا ُم ُه َواللَّ ْفظُ ْال ُم‬
ُ ‫ستَ ْغ ِر‬

Artinya:
‘Am adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada
dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.

Contoh bentuk lafadz ‘am;

ْ ‫سانَ لَفِ ْي ُخ‬


)2( ‫س ۙ ٍر‬ َ ‫اِنَّ ااْل ِ ْن‬

)3( ‫ص ْب ِر‬
َّ ‫ص ْوا بِال‬ ِّ ‫ص ْوا بِا ْل َح‬
َ ‫ق ەۙ َوت ََوا‬ َ ‫ت َوتَ َوا‬ ّ ٰ ‫اِاَّل الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صلِ ٰح‬

Artinya :

(2) sungguh, manusia berada dalam kerugian, (3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Arti manusia disini meliputi semua jenis manusia tanpa memperdulikan usia, jenis kelamin, jabatan/
kedudukan dan segala gelar-gelar yang melekat pada diri manusia. Baik anak-anak dan orang tua, laki-
laki dan perempuan, juragan dan buruh, guru dan siswa, semuanya adalah termasuk manusia.

)49( …‫َواَل يَ ْظلِ ُم َربُّ َك أَ َحدًا‬

Artinya : (49) “…Dan Tuhanmu tidak mendzalimi seorangpun jua.”

5
Karena lafadz (‫ دًا‬M‫ )أَ َح‬dibuat untuk arti seseorang, sehingga lafadz ini layak untuk setiap orang dan
mencakup semua manusia. Artinya, Allah tidak mendzalimi Adam, Acep, Ade, Afri, Rimba, dan
seterusnya hingga manusia terakhir. Mereka semua dimaksudkan oleh lafadz (‫)أَ َحدًا‬.

2. Bentuk-Bentuk Lafadz ‘Am


a. Lafadz-lafadz tertentu yang dibuat untuk menunjukkan makna umum, seperti kata kull ( ‫كل‬/
setiap) dan jami’ ( ‫ جميع‬/ semua ). Misalnya : (QS. at Thur : 21)

ٍ ۭ ‫ُك ُّل ٱ ْم ِر‬


َ ‫ئ بِ َما َك‬
)21(… ٌ‫س َب َر ِهين‬

Artinya : (21) “…Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

b. Lafadz jama’, yang dima’rifatkan dengan “alif lam” atau dengan “idhafah”. Misalnya pada lafadz
(‫ )الوالدات‬yang berarti para ibu. (QS. al Baqarah : 233)

)233( ۖ ‫ضعْنَ أَ ْو ٰلَ َدهُنَّ َح ْولَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن‬


ِ ‫َوٱ ْل ٰ َولِ ٰ َدتُ يُ ْر‬

Artinya : (233) “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh…”
c. Lafadz ism mufrad yang dima’rifatkan dengan alif lam. Misalnya pada lafadz (‫ )السارق‬dan (
‫ )السارقة‬yang berarti semua jenis pencuri laki-laki dan perempuan. (QS. al Maidah : 38)

)38( ‫سا ِرقَةُ فَٱ ْقطَ ُع ٓو۟†ا أَ ْي ِديَ ُه َما‬


َّ ‫ق َوٱل‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوٱل‬
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”

d. Ism isyarah (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ‫من‬. Contoh : (QS. an Nisa’: 92)

۟ ُ‫ص َّدق‬
)92( ۚ ‫وا‬ َّ َ‫سلَّ َمةٌ إِلَ ٰ ٓى أَ ْهلِ ِٓۦه إِٓاَّل أَن ي‬
َ ‫وَ َمن قَتَ َل ُمؤْ ِمنًا َخطَٔـًًٔ†ا فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ُّمؤْ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُّم‬
Artinya : “…dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah…”

e. Ism nakiroh dalam susunan kalimat yang menunjukkan pengertian nafiy, maupun nahiy.
Misalnya seperti kata ‫ ال جناح‬dalam QS. al Mumtahanah ayat 10.

)10( ۚ َّ‫اح َعلَ ْي ُك ْم أَن تَن ِك ُحوهُنَّ إِ َذٓا َءاتَ ْيتُ ُموهُنَّ أُ ُجو َرهُن‬
َ َ‫َواَل ُجن‬
Artinya : “…Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya…”

6
f. Ism maushul (kata ganti penghubung). Misalnya dalam lafadz ‫الدين‬

َ َ‫صلَ ْون‬
)10( ‫س ِعي ًرا‬ َ ‫إِنَّ ٱلَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ أَ ْم ٰ َو َل ٱ ْليَ ٰتَ َم ٰى ظُ ْل ًما إِنَّ َما يَأْ ُكلُونَ فِى بُطُونِ ِه ْم نَا ًرا ۖ َو‬
ْ َ ‫سي‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka).” (QS. an Nisa’ : 10)

g. Ism istifham (kata tanya). Contoh : (QS al Baqarah : 214)

)214( ..‫يب‬ ْ َ‫ص ُر ٱهَّلل ِ ۗ أَٓاَل إِنَّ ن‬


ٌ ‫ص َر ٱهَّلل ِ قَ ِر‬ ْ َ‫َمت َٰى ن‬
Artinya : “…"Kapan datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat.”

3. Pembagian Lafadz ‘Am

a. Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya, karena ada dalil atau indikasi yang
menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis. Misalnya:

ِ ‫َو َما ِمن دَٓابَّ ٍة فِى ٱأْل َ ْر‬


)6( ‫ض إِاَّل َعلَى ٱهَّلل ِ ِر ْزقُ َها‬
“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rizqinya . . ” (QS. Hud : 6 )
Ayat ini menjelaskan tentang hukum alam yang berlaku bagi setiap makhluk hidup, kerenanya status
dhalalahnya itu adalah qathiyyah, dan tidak menerima takhsis.

b. Lafadz umum yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya.
Contohnya :

َ ‫ستَطَا َع إِلَ ْي ِه‬


)97( ۚ ‫سبِياًل‬ ِ ‫س ِح ُّج ٱ ْلبَ ْي‬
ْ ‫ت َم ِن ٱ‬ ِ ‫َوهَّلِل ِ َعلَى ٱلنَّا‬
Artinya : “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah…” (QS. ali Imran : 97)

Lafadz “manusia” dalam ayat ini adalah lafadz umum, namun yang dimaksudkan adalah manusia
mukallaf saja, sebab dengan akalnya saja, anak kecil dan orang gila dapat dikeluarkan dari
keumumuman lafadz ini.

7
c. Lafadz umum yang memang dipakai untuk hal-hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak
ditemukan adanya tanda-tanda yang menunjukkan di takhsis. Contoh :

.)228( ۚ ‫هنَّ ثَ ٰلَثَةَ قُ ُر ٓو ٍء‬ ْ َّ‫َوٱ ْل ُمطَلَّ ٰقَتُ يَتَ َرب‬


ِ ُ‫صنَ بِأَنف‬
ِ ‫س‬

Artinya : “ Dan wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali
quru”. (QS. al Baqarah : 228)

4. Kaidah-Kaidah Berkaitan Lafadz ‘Am


a. ‘Am dan Maksudnya.

Makna ‘am itu sesuai dengan maksud lafadznya, demikian yang banyak dipegangi jumhur Ulama’.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa maksud dari lafadz umum itu tidak hanya berlaku pada
lafadznya tetapi juga berlaku pada maknanya.

b. ‘Am dan Ketentuan Umum.

Jumhur Ulama menetapkan bahwa keumuman lafadz itu belum menunjukkan pada suatu hukum,
karena hukum mencakup perkataan, perbuatan, sedang umum itu masih belum mencakup
keseluruhan itu. Contoh, semua pencuri harus dipotong tangannya, padahal ketentuan potong tangan
bagi pencuri itu ada ketentuan-ketentuan khusus.

c. ‘Am dan Cakupannya.

Lafadz ‘am itu keumumannya bersifat keseluruhan, sedang lafadz umum yang mutlaq itu bersifat
sebagian. Lafadz umum yang mencakup keseluruhan itu hukumnya ditujukan kepada setiap individu,
sedang lafadz umum yang menunjukkan sebagian maka hukumnya berlaku bagi individu tertentu.

B. KHASH
1. Pengertian

Dari segi bahasa, kata khash berarti tertentu dan khusus. Sedangkan dalam Istilah Ushul fikih, khash
adalah :

8
‫’اَللَّ ْفظُ الَّ ِذى يَ ُد ّل َعلَى َم ْعنًى َوا ِحد‬

Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu’. Makna tertentu tersebut biasa menunjukkan
perorangan seperti Aisyah, atau menunjukkan satu jenis seperti perempuan atau menunjukkan
bilangan seperti lima, tujuh, dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan
sebagainya.

Secara bahasa khash berarti lawan dari ‘am. Secara istilah ialah :

‫اللفظ الدال على محصور بشحص او عدد‬

“ Lafadz yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan pribadi atau bilangan”.

Menurut Ulama’ Imam al Syaukani, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu
sebutan saja. Oleh karena itu, karakteristik lafadz khash adalah :

 Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam satu kalimat.


 Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang.
 Suatu lafadz yang diberi batasan dengan sifat atau idhafah.

Dari ketiga karakteristik diatas dapat dipahami bahwa lafadz khash menunjukkan makna tertentu
dan spesifik, yang cakupannya terbatas pada satu obyek atau satu satuan yang menggambarkan
jumlah, jenis dan macam dari sesuatu.

2. Macam-Macam Lafadz Khash


a. Lafadz Khash Berbentuk Mutlak, yaitu lafadz khash yang ditentukan sesuatu. Maksudnya, jika
didalam nash ditemukan lafadz khas, maka harus diartikan sesuai dengan arti hakiki, selama tidak
ada dalil lain yang memalingkan arti hakiki tersebut ke makna lainnya. Contoh :

‫سا ۚ ٰ َذلِ ُك ْم تُو َعظُونَ بِ ِۦه ۚ َوٱهَّلل ُ بِ َما‬ ۟ ُ‫سٓائِ ِه ْم ثُ َّم يَ ُعودُونَ لِ َما قَال‬
َّ ‫وا فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ِّمن قَ ْب ِل أَن يَتَ َمٓا‬ ٰ
َ ِّ‫َوٱلَّ ِذينَ يُظَ ِهرُونَ ِمن ن‬
‫تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬
Artinya : “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al Mujadalah : 3)

9
b. Lafadz Khash Berbentuk Muqayyad, yaitu lafadz khash yang ditentukan dengan sesuatu.
Maksudnya jika lafadz khash tersebut yang berbentuk mutlak itu ditemukan dalam nash yang lain
dan diterangkan secara muqayyad, sedang pokok pembicaraan dan sebab-sebabnya sama, maka
semua hukumnya harus ikut sama.
 Hukum dan sebabnya sama, contohnya seperti masalah darah. Lihat QS. al Maidah ayat 3
dan QS. al An’am ayat 145! (akan dijelaskan lebih detail pada bab “lafadz muqayyad)

‫ِر ٱهَّلل ِ ِبهِۦ‬ ‫َّل ل َِغ ْي‬ ‫ٓا أ ُ ِه‬ ‫ير َو َم‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫َّد ُم َولَحْ ُم ْٱل ِخ‬ ‫ُة َوٱل‬ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْٱل َم ْي َت‬
ْ ‫رِّ َم‬ ُ‫ح‬
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al Maidah : 3)

‫ير‬ َ َ َ ‫قُ ل ٓاَّل أَ ِج ُد فِى َم ٓا أُوح َِى إِلَىَّ م َُحرَّ ًم ا َعلَ ٰى َط اعِ ٍم َي ْط َع ُم ُه ٓۥ إِٓاَّل أَن َي ُك‬
ِ ‫ون َم ْي َت ًة أ ْو دَ ًم ا م َّْس فُوحً ا أ ْو لَحْ َم ِخ‬
ٍ ‫نز‬
Artinya : “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi…” (QS. Al An’am : 145)

Dalam QS. al Maidah ayat 3, kata “darah” ditemukan dalam bentuk lafadz “am”, baik yang
membeku maupun yang mengalir. Namun dalam QS. al An’am ayat 145 darah ditentukan dalam
bentuk lafadz muqayyad yaitu darah yang mengalir. Dengan demikian lafadz yang mutlak harus
mengikuti lafadz yang muqayyad yaitu darah yang mengalir.

 Hukum dan sebabnya berbeda, jika demikian yang mutlak tetap berlaku sesuai dengan arti
kemutlakannya. (akan dijelaskan lebih detail pada bab “lafadz muqayyad)
 Hukum berbeda dan sebabnya sama, contohnya seperti pada masalah bersuci. Lihat QS. al
Maidah ayat 6. (akan dijelaskan lebih detail pada bab “lafadz muqayyad)
 Hukum sama, dan sebabnya berbeda, misalnya bagi pembunuhan khata’ (bersalah/tidak
sengaja) sanksi hukumannya adalah membayar kafarat dengan memerdekakan budak
mukmin, dan bagi seseorang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan
ramadhan juga memiliki kafarat yang sama yaitu memerdekakan budak mukmin. Lihat QS.
an Nisa ayat 92 dan HR. Bukhari no. 1936, HR. Muslim no. 1111.

c. Lafadz khash berbentuk amr atau mengandung makna/arti amr, maka hukumnya adalah wajib.
 Berbentuk amr, dalam bentuk fi’il amr, misalnya: (QS. al Maidah : 38)
)38(…‫فَٱ ْقطَ ُع ٓو۟†ا أَ ْي ِديَ ُه َما‬
Artinya : “…potonglah tangan keduanya…”

10
 Berbentuk khabar, dalam wujud kalam khabar, fi’il mudhari’ yang disertai lam amr,
misalnya: (QS. al Baqarah : 233)

َ ‫ضعْنَ أَ ْو ٰلَ َدهُنَّ َح ْولَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِ َمنْ أَ َرا َد أَن يُتِ َّم ٱل َّر‬
)233( ۚ َ‫ضا َعة‬ ِ ‫َوٱ ْل ٰ َولِ ٰ َدتُ يُ ْر‬

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…”

 Berbentuk khabar, dalam wujud fi’il mudhari’ yang disertai lam amr, misalnya :

ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
)185( …ۖ ُ‫ص ْمه‬ َ ‫فَ َمن‬
َّ ‫ش ِه َد ِمن ُك ُم ٱل‬
Artinya : “…Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…” (QS. al Baqarah : 185)

d. Lafadz khash yang berbentuk larangan (nahiy), maka hukum yang terkandung didalamnya adalah
haram, misalnya : (QS. al Baqarah : 221)
ِ ‫ش ِر ٰ َك‬
)221( ۚ َّ‫ت َحت َّٰى يُؤْ ِمن‬ ۟ ‫َواَل تَن ِك ُح‬
ْ ‫وا ٱ ْل ُم‬
Artinya : “ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman…”

3. Hukum Lafadz Khash

Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’i maka makna khash yang ditunjuk oleh lafadz itu
adalah qath’iy ( ‫ ) قطعى‬bukan dhonny ( ‫) ظنى‬, contohnya:

‫س ِهنَّ ثَ ٰلَثَةَ قُ ُر ٓو ٍء‬ ْ َّ‫ۚ َوٱ ْل ُمطَلَّ ٰقَتُ يَتَ َرب‬


ِ ُ‫صنَ بِأَنف‬

“ Dan wanita-wanita yang ditalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga
kali…” (QS. Al Baqarah : 228)

Lafadz tsalatsah disitu adalah khash dan maknanya qath’iy. Seringkali lafadz khash itu terdapat
secara mutlaq tanpa ada batasan atau ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan
perbuatan. Contohnya ‫ ( اتقواهللا‬bertaqwalah kepada Allah ). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan
perbuatan, seperti ‫وا‬M‫ ( وال تجسس‬dan janganlah kamu memata-matai ). Jadi dalam lafadz khash itu
terdapat lafadz muthlaq, ikatan atau batasan, perintah dan larangan.

11
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus
menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat dengan pengertian
hukum yang pasti, tidak dengan dugaan. Tidak ada pertentangan antara Ulama’ Ushul Fiqh
mengenai ketetapan hukum qath’iy dari lafadz khash.

C. TAKHSIS
1. Pengertian
Menurut Hanafi, yang dimaksud dengan Takhsish ialah mengeluarkan sebagian daripada satuan-
satuan lafadz ‘amm dari ketentuan lafadz (dalil) ‘amm dan lafadz ‘amm tersebut hanya berlaku bagi
satuan-satuan yang masih ada (yang tidak dikeluarkan).
Menurut Mudzakir, takhsis adalah menegeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz ‘amm.
Definisi takhsish menurut Wahab:

‫ض أّْفَر ِاد ِه‬ ِ


َ ‫الع ِّام ابْت َداءُ َب ْع‬
ِ ِ ‫َن مراد الشَّار‬
َ ‫ِع م َن‬ َ َ ُ َّ ‫ص ُه َو َتْبيِنْيٌ أ‬
ِ ‫الت‬
ُ ‫َّخصْي‬
ْ
Takhsish ialah penjelasan bahwa yang dimaksud oleh syar’i (Pembuat hukum) tentang lafadz ‘amm itu
pada mulanya adalah sebagian afradnya.
Definisi takhsish menurut al-Baidhawi:

ُ ‫اج َما َيَتنَ َاولُهُ اللَّ ْف‬


‫ظ‬ ِ
ُ ‫ُه َو إ ْخَر‬
Takhsish ialah membatasi lafadz ‘am kepada sebagian afradnya.

Dari penjelasan para ulama’ tersebut bahwa yang dimaksud dengan takhsish adalah penjelasan
tentang hukum lafadz ‘amm yang sejak mula memang ditentukan untuk sebagian afradnya. Lebih
singkat lagi takhsish itu merupakan penjelasan atau menjelaskan.

Dalam pengertian takhsish ini, para ulama’ sepakat bahwa takhsish itu tidak boleh terlambat
datangnya, supaya manusia tidak berada dalam ketidaktahuan tentang hakikat yang diruju oleh
pembuat hukum (Syar’i). Apabila terlambat maka bukan dinamakan takhsis, melainkan nasakh.

Menurut pendapat al-Baidhowi, takhsis itu bukan penjelasan. Jadi, tidak masalah apabila takhsish
itu datangnya terlambat dari lafadz ‘amm.

Adapun hukum takhsish itu adalah boleh, apabila takhsis itu memang dilakuan dengan dalil naqli,
dalil ‘aqli dan lainya. Tidak ada perbedaan tentang bolehnya takhsish dengan dalil.

12
2. Macam-Macam Mukhasshish (Dalil Yang Mengkhususkan Lafadz Umum)

Apabila suatu hukum datang dalam bentuk ‘amm, maka diamalkanlah hukum tersebut menurut
keumumannya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan adanya takhsish. Contohnya dalam Hadits
yang mengatakan “jangan potong bila kurang dari empat dinar”. Ini men-takhsish-kan ‘amm pada
firman Allah yaitu “orang laki-laki dan perempuan yang mencuri hendaklah dipotong tangan kedua
orang tersebut”. Dalam syari’at Islam dijelaskan bahwa hukum potong tangan itu berlaku bagi laki-
laki dan perempuan.

Takhsish atau mukhassish itu ada dua macam, yaitu Pertama berbentuk nash (teks), kedua bukan
dalam berbentuk nash. Dalam hubungan dengan lafadz ‘amm, mukhasis itu ada yang terpisah dari
lafadz ‘amm dan ada yang menyatu dengan lafadz ‘amm.

a. Mukhassish munfashil
i. Takhsish dengan nash, baik berupa nash al-Qur’an ataupun as-Sunnah.
Terkadang ayat al-Qur’an men-takhsish, membatasi, keumuman Sunnah. Para ulama’
mengemukakan contoh dengan Hadits riwayat Abu Waqid al-Laisi. Ia menjelaskan dari
perkataan Nabi, yaitu:

ِ ِ ِ ِ
ٌ ِّ‫َما قُط َع م َن البَ ِهْي َمة َوهي َحيَّةٌ َف ُه َو َمي‬
)‫ (اخرجه ابو داود والرتمذى‬.‫ت‬
َ
Barang apasaja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai.
Hadits ini di takhsish oleh Al-Qur’an dalam surat An-Nahl (16): 80:

ْ‫َوٱهَّلل ُ َج َع َل لَ ُكم م ِّۢن ُبيُو ِت ُك ْم َس َك ًنا َو َج َع َل لَ ُكم مِّن ُجلُو ِد ٱأْل َ ْن ٰ َع ِم ُبيُو ًتا َتسْ َت ِخ ُّفو َن َها َي ْو َم َظعْ ِن ُك ْم َو َي ْو َم إِ َقا َم ِت ُك ْم ۙ َومِن‬
ٰ ٰ
ٍ ‫ار َهٓا أَ َث ًثا َو َم َتعً ا إِلَ ٰى ح‬
‫ِين‬ َ
ِ ‫ار َها َوأ ْش َع‬
َ
ِ ‫أصْ َوافِ َها َوأ ْو َب‬
َ

”Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan
bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan
(membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula)
dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu
pakai) sampai waktu (tertentu).”

ii. Pemikiran.

Contoh dalam bentuk penyaksian:

)۲۵ :‫تُ َد ِّم ُر ُك َّل َش ْي ٍء (األحقاف‬

13
Ayat tersebut menjelaskan bahwa “angin menundukkan segala sesuatu”. Secara ‘amm dalam
ayat ini memiliki makna: apa saja akan ditundukkan oleh angin. Namun secara akal pikiran kita
melalui penyaksian, mengatakan bahwa ada yang tidak tunduk kepada angin yaitu langit.
Cotoh takhsish ayat ini adalah firman Allah, yaitu:

)١٦ :‫اهللُ َخالِ ُق ُك ِّل َش ْي ٍء (الرعد‬


Dalam ayat ini secara ‘amm dikatakan bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Namun, akal dapat
memahami bahwa Allah tidak termasuk dalam pengertian ‘amm ayat tersebut, karena Allah tidak
diciptakan.

iii. Takhsish dengan adat.

Maksudnya adalah adat kebiasaan bisa memiliki makna yang terkandung dalam lafadz ‘amm.
Contoh firman Allah, yaitu:

ِ ‫والوالِ َدات ير‬


)٢٣٣ :‫ض ْع َن أ َْوالَ َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ (البقرة‬ ُْ ُ َ َ
Para ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh.
Secara ‘amm ayat ini menghendaki setiap ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh.
Tetapi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak menyusui sendiri anaknya mentakhsishkan
keumuman maksud ayat tersebut.
Kemudian contoh Hadits Nabi:

)‫(رواه مسلم‬ ٍ ‫أَمُّيَا إِ َه‬


‫اب ُدبِ َغ فَق ْد طَ َهَر‬
Tiap-tiap kulit yang disamak menjadi suci.
Hadits tersebut tidak meliputi kulit anjing dan babi, karena menurut adat kebiasaan, kulit anjing
dan babi tidak disamak dan tidak di pakai.

b. Mukhassish muttashil
Mukhassish Muttashil adalah mukhassish yang menyatu dengan lafadz ‘amm. Sedangkan
menurut Hanafi, mukhassish muttashil adalah mukhassish yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
pengertiannya selalu berhubungan berhubungan dengan dalil. Mukhassish muttashil ada lima
macam, yaitu:
1. Istisna’ (pengecualian)
Menurut Hanafi, Istisna’ adalah mengeluarkan sesuatu dari pada lainnya, contohnya semua
orang pergi kecuali Ahmad. Disini Ahmad dikeluarkan dari keadaan pergi. Istisna’ adalah
14
mengeluarkan sesuatu dari pembicaraan yang sama dengan menggunakan “kecuali”, atau kata
lain yang sama maksudnya dengan itu. Contohya firman Allah dalam surat al-‘Ashr: 2-3, yaitu:
ِ ‫ْر إِالَّ اللَّ ِذ ْينَ أَ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
‫ت‬ ٍ ‫إِ َّن ا ِإل ْن َسانَ لَفِ ْي ُخس‬.
Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan melakukan amal
shaleh.
Lafadz َ‫ان‬M ‫ ا ِإل ْن َس‬dalam ayat diatas adalah ‘amm karena ia lafadz jama’ yang disertai alif-lam
jinsiyyah. Secara ‘amm ayat ini mecakup makna seluruh manusia akan merugi. Keumuman ayat
tersebut di-takhsish oleh istina’ (pengecualian) ayat setelahnya yaitu yang dikecualikan orang-
orang yang rugi itu adalah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sehingga orang yang

َ ‫اإل ْن‬.
beriman dan beramal shaleh itu keluar dari keumuman lafadz َ‫سان‬ ِ

Syarat-syarat sahnya istisna’:


a. Dalam mengucapkan istisna’, antara mustasna dan mustasna minhu harus bertemu.
Berbentuk, terhenti sebentar, pertanyaan-pertanyaan orang lain dan keadaan-keadaan lain
yang menurut kebiasaan tidak memutuskan pembicaraan, tidak dianggap membatalkan
sahnya istisna’.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang menghabiskan adalah
batal. Contoh: hutangku seribu rupiah, kecuali seribu rupiah.
Istisna’ dari lafadz nafy (meniadakan) adalah istinbat (mengiyakan). Begitupula sebaliknya.
Contohnya: tidak ada Tuhan, kecuali Allah. Tidak ada Tuhan adalah kalimat nafy, maka
pengecualiannya (istisna’) menetapkan adanya Tuhan, yaitu Allah.
Ulama’ Syafi’iyyah, Malikiyah, dan HaNabilah mengatakan Istisna’ sesudah beberapa
jumlah yang bersambung-sambung, maka istisna’ itu kembali kepada semua jumlah.
Menurut ulama’ hanafiyah mengatakan bahwa istisna’ itu kembali kepada jumlah yang
terakhir.

Contoh firman Allah dalam surat An-Nur: (24): 4-5:


ٓ
‫وا لَهُ ْم َش ٰهَ َدةً أَبَدًا ۚ َوأُ ۟و ٰلَئِكَ هُ ُم‬
۟ ُ‫وا بأَرْ بَ َع ِة ُشهَدَٓا َء فَٱجْ لِدُوهُ ْم ثَ ٰمنِينَ َج ْل َدةً َواَل تَ ْقبَل‬
َ
۟
ِ ُ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْت‬
ِ َ‫ص ٰن‬
َ ْ‫َوٱلَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ ْٱل ُمح‬
َ‫ْٱل ٰفَ ِسقُون‬
ِ ‫ُوا فَإِ َّن ٱهَّلل َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬ M۟ ‫ك َوأَصْ لَح‬ َ ِ‫ُوا ِم ۢن بَ ْع ِد ٰ َذل‬
۟ ‫إِاَّل ٱلَّ ِذينَ تَاب‬

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-

15
orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pengecualian (istisna’) pada ayat tersebut bisa kembali pada orang-orang fasiq saja (jumlah
terakhir), bisa juga kembali pada orang-orang fasiq dan persaksian mereka (seluruh jumlah). Jika
kembali pada jumlah yang terakhir, maka meskipun sudah taubat, orang yang menuduh itu tetap
tidak bisa menjadi saksi.

2. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang lazim dengan tidak adanya, tidak ada yang diberi sifat (maushuf),
tetapi tidak lazim dengan adanya maushuf. Contohnya, sebagaimana terdapat dalam surat An-
Nisa (4): 101:

َ ‫صلَ ٰو ِة إِنْ ِخ ْف ُت ْم أَن َي ْف ِت َن ُك ُم ٱلَّذ‬


َّ‫ِين َك َفر ُٓو ۟ا ۚ إِن‬ َّ ‫ُوا م َِن ٱل‬ ۟ ‫صر‬ ُ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُج َنا ٌح أَن َت ْق‬ ِ ْ‫ض َر ْب ُت ْم فِى ٱأْل َر‬
َ ‫ض َفلَي‬ َ ‫َوإِ َذا‬
َ ‫ْٱل ٰ َكف ِِر‬
۟ ‫ين َكا ُن‬
‫وا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا م ُِّبي ًنا‬

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir
itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Kebolehan meng-qashar shalat yang disebutkan secara ‘amm dalam ayat tersebut dibatasi
dengan syarat bahwa shalat itu dilakukan dalam perjalanan.
Dalam syarat berbilang yang tidak dapat berdiri sendiri, masyrut baru terwujud dengan
terwujudnya syarat-syarat keseluruhannya. Dalam syarat yang dapat berdiri sendiri, masyrut
dapat terwujud dengan salah satu dari syarat-syarat yang disebutkan.

3. Sifat
Sifat adalah suatu hal atau keadaan yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat atau perbuatan.
Contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 25:

ِ َ‫م ْٱل ُم ْؤ ِم ٰن‬Mُ ‫ت أَ ْي ٰ َمنُ ُكم ِّمن فَتَ ٰيَتِ ُك‬


‫ت‬ ِ َ‫ت ْٱل ُم ْؤ ِم ٰن‬
ْ ‫ت فَ ِمن َّما َملَ َك‬ ِ َ‫ص ٰن‬
َ ْ‫ۚ َو َمن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع ِمن ُك ْم طَوْ اًل أَن يَن ِك َح ْٱل ُمح‬
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-
budak yang kamu miliki.
Lafadz ‫ فَتَيَاتِ ُك ُم‬merupakan lafadz ‘amm dapat meliputi yang beriman atau yang tidak

ِ ‫ال ُم ْؤ ِمنَا‬, maka tidak termasuk didalamnya hamba sahaya yang


beriman. Dengan adanya sifat ‫ت‬
tidak beriman.

16
4. Ghayah (limit waktu)
Ghayah adalah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi sebelumnya dan
tidak adanya hukum bagi sesudahnya. Mughiyah adalah lafadz yang jatuh setelah ghoyah. Lafadz
ghoyah itu ada dua yaitu ‫( َحتَّى‬sehingga) dan ‫( إِلَى‬sampai ). Contoh firman Allah dalam surah at-
Taubah: (9): 29 :

۟ ُ‫ق ِمنَ ٱلَّ ِذينَ أُوت‬


‫وا‬ ِّ ‫اخ ِر َواَل يُ َح ِّر ُمونَ َما َح َّر َم ٱهَّلل ُ َو َرسُولُهۥُ َواَل يَ ِدينُونَ ِدينَ ْٱل َح‬ ۟ ُ‫ٰقَتِل‬
ِ ‫م ٱلْ َء‬Mِ ْ‫وا ٱلَّ ِذينَ اَل ي ُْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َواَل بِ ْٱليَو‬
َ ٰ ‫وا ْٱل ِج ْزيَةَ عَن يَ ٍد َوهُ ْم‬
َ‫ص ِغرُون‬ ۟ ُ‫ب َحتَّ ٰى يُ ْعط‬ َ َ‫ْٱل ِك ٰت‬

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk.
Ayat tersebut mengandung arti keharusan untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman.
Datangnya ucapan “sehingga mereka membayar jizyah” mentakhsishkan atau membatasi
keumuman kewajiban memerangi orang kafir itu. Dengan ghoyah tersebut berarti sesudah
mereka memberi jizyah, maka tidak da lagi kewajiban memerangi mereka.

5. Badal ba’ad min Kul (sebagian yang menggantikan keseluruhan)


Diantara empat macam badal hanya badal ba’ad min kul yang bisa men-takhsish-kan. Conotoh
firman Allah dalam surah Ali Imran (3) : 97:

ِ ‫اس ِحجُّ ْٱلبَ ْي‬


‫ت َم ِن ٱ ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِياًل ۚ َو َمن َكفَ َر‬ ِ َّ‫ت َّمقَا ُم إِ ْب ٰ َر ِهي َم ۖ َو َمن َد َخلَ ۥهُ َكانَ َءا ِمنًا ۗ َوهَّلِل ِ َعلَى ٱلن‬ ٌ ۢ َ‫فِي ِه َءا ٰي‬
ٌ َ‫ت بَيِّ ٰن‬
َ‫فَإِ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّى ع َِن ْٱل ٰ َعلَ ِمين‬
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

ِ َّ‫الن‬, potongan pertama ayat mengandung arti


Lafadz ‫ َم ِن‬adalah pengganti (badal) dari lafdz ‫اس‬
“semua manusia” harus menunaikan haji. Kemudian manusia yang diberi kewajiban haji itu
dijelaskan lagi oleh ayat terusannya yaitu “orang-orang yang memunyai kesanggupan”, sehingga
dengan adanya takhsish ini berarti orang-orang yang memunyai kesanggupan tidak termasuk
dalam pengertian ‘amm yang dikenai kewajiban haji.

17
3. Macam-Macam Takhsish dan Contohnya
Berikut ini adalah uraian tentang kemungkinan bentuk takhsish dari segi dalil khas-nya yang
terpisah dari dalil ‘amm:
a. Takhsish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an dapat men-takhsish Al-Qur’an. Mereka
berargumen dengan dalil aqli dan dalil naqli. Dalil naqli yang dikemukakan jumhur adalah
kenyataan banyaknya ayat Al-Qur’an yang men-takhsish-kan lafadz ‘amm dalam Al-Qur’an.
Contohnya dalam QS. Al-Baqarah (2): 228:
‫ت يَتَ َربَّصْ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٍء‬
ُ َ‫ۚ َو ْٱل ُمطَلَّ ٰق‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Ayat tersebut berlaku umum, tanpa melihat keadaan dan sifat perempuan itu saat bercerai.
Pengertian ‘amm dalam ayat tersebut kemudian di takhsish dengan firman Allah QS. Al-
Baqarah (2): 234:

‫ يَتَ َربَّصْ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬M‫ۖ وٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز ٰ َو ًجا‬
َ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah


Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Dengan adanya ayat khushush tersebut, maka hukum ‘amm yang mengharuskan wanita ber-
iddah tiga kali quru’ tidak lagi mencangkup perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.

b. Takhsish Al-Qur’an dengan Sunnah


Untuk sunnah yang kekuatannya mutawattir, para ulama tidak berbeda pendapat tentang
bolehnya sunnah itu men-takhsish Al-Qur’an. Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah (5):
38:

‫َّارقَةُ فَٱ ْقطَع ُٓو ۟ا أَ ْي ِديَهُ َما‬ Mُ ‫َّار‬


ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya .
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan batasan nilai barang yang telah dicuri. Kemudian ayat
diatas di-takhsis oleh sabda Nabi Muhammad SAW:
ْ َ‫اَل ق‬
ٍ ‫ط َع فِى أَقَ َّل ِم ْن ُرب ِْع ِدن‬
‫ رواه الجماعه‬.‫َار‬
“Tidak ada hukuman potong tangan didalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang
dari seperempat dinar”. (HR. Jama’ah).
Dari ayat dan hadis diatas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari
seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

18
Tetapi untuk Sunnah yang kekuatannya ahad, para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau
tidaknya. Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat para ulama:
a. Empat imam madzhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) berpendapat bolehnya men-
takhsish Al-Qur’an dengan khabar ahad. Pendapat ini juga dianut oleh kalangan ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah.
b. Segolongan kecil ulama kalam menolak takhsish Al-Qur’an dengan Sunnah secara mutlak.
c. Isa Ibnu Abban (dari kalangan ulama Hanafi) berpendapat bahwa, bila ‘amm itu telah
mengalami takhsish dengan dalil qath’i, maka untuk selanjutnya boleh di-takhsish dengan
khabar ahad, tetapi tahksish pertama tidak boleh dengan khabar ahad.
d. Al-Karakhi (dari kalangan ulama Hanafi) berpendapat bahwa, bila ‘am itu telah di-takhsish
sebelumnya dengan dalil terpisah, boleh selanjutnya di-takhsish dengan khabar ahad.
e. Qadhi Abu Bakar memilih sikap tawaqquf, yaitu mengabaikan semuanya, atau tidak
memakai kedua-duanya sampai datang dalil.
Ulama yang membolehkan takhsish Al-Qur’an dengan khabar ahad mengemukakan
argumen sebagai berikut:
1) Ijma’ sahabat yang mengakui yang mengakui terjadinya takhsish Al-Qur’an dengan khabar
ahad. Contohnya:
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 24:

۟ ‫ب ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َوأُ ِح َّل لَ ُكم َّما َو َرٓا َء ٰ َذلِ ُك ْم أَن تَ ْبتَ ُغ‬
‫وا بِأ َ ْم ٰ َولِ ُكم‬ َ َ‫ت أَ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۖ ِك ٰت‬ Mُ َ‫ص ٰن‬
ْ ‫ت ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء إِاَّل َما َملَ َك‬ َ ْ‫َو ْٱل ُمح‬
‫ض ْيتُم بِِۦه ِم ۢن‬ َ ‫ضةً ۚ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما تَ ٰ َر‬ َ ‫َاتُوه َُّن أُجُو َره َُّن فَ ِري‬Mَٔ‫ بِِۦه ِم ْنه َُّن فَٔـ‬M‫صنِينَ َغ ْي َر ُم ٰ َسفِ ِحينَ ۚ فَ َما ٱ ْستَ ْمتَ ْعتُم‬ ِ ْ‫ُّمح‬
‫يض ِة ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫بَ ْع ِد ْٱلفَ ِر‬
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut mengandung arti ‘am: boleh mengawini siapa saja perempuan yang tidak
disebutkan sebelumnya. Ayat tersebut di takhsish oleh Hadits Nabi dari Abu Hurairah yang
mengatakan:

‫اَل ُتْن َك ُح اْمل ْرأَةُ َعلَى َع َّمتِ َها َواَل َعلَى َخلَتِ َها‬
َ

19
Tidak boleh memadu seorang perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak pula dengan
saudara ibunya (ibu).

2) Khabar ahad menjadi dalil dalam beramal. Menurut para ulama kewajiban beramal
dengan khabar ahad itu sama dengan sebagaimana wajibnya beramal dengan khabar mutawattir.
Maka demikian pula, kebolehan men-takhsish dengan khabar ahad sebagaimana di bolehkannya
men-takhsish dengan khabar mutawattir.
Ulama yang tidak menerima takhsis dengan khabar ahad mereka mengemukakan argumen
sebagai berikut:
i. Lafadz ‘amm yang tidak disepakati tentang takhsish-nya meyakinkan (qhat’i) kandungannya
terhadap penerimaan afrad-nya menjadi tidak meyakinkan (dzanni). Bila lafadz itu
kedudukannya qath’i, maka tidak boleh di takhsish oleh sesuatu yang dzanni, sebagaimana tidak
bolehnya nasakh dengan khabar ahad.
ii. Al-Qur’an itu kedudukannya lebih kuat dari pada Sunnah. Apabila diantara keduanya
berbenturan, maka gugurlah Sunnah. Dengan demikian, maka yang kuat tidak boleh di-takhsish
dengan yang lemah.

c. Takhsish Sunnah dengan Al-Qur’an


Para ulama berbeda pendapat dalam hal bolehnya men-takhsish Sunnah dengan Al-Qur’an.
Diantara beberapa pendapat mereka adalah:
1. Kebanyakan ulama fiqih dan ulama kalam yang juga di ikuti oleh pengikut madzhab
Hambali dan Syafi’i berpendapat boleh men-takhsis Sunnah dengan Al-Qur’an.
2. Sebagian ulama Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad berpendapat tidak boleh Sunnah di
takhsish oleh Al-Qur’an.
Ulama yang membolehkan takhsish Sunnah dengan Al-Qur’an berargumentasi sebagai
berikut:
a. Banyak terjadi keumuman Sunnah di-takhsish oleh Al-Qur’an. Seperti Sunnah Nabi
yang mengatakan:

ٍ ‫الْبِ ْكر بِالْبِ ْك ِرج ْل ُد ِمأ‬


‫َت َو َن ْف ٌي َسنَ ٍة‬ َ ُ
Perawan yang berzina dengan bujangan hukumnya adalah dipukul 100 kali dan
dibuang setahun.
Pengertian ‘amm Hadits itu di-takhsish oleh ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa sangsi
untuk hamba sahaya hanya separuh yang dikenakan kepada orang yang merdeka, dalam
aurat An-Nisa’ (4): 25:

20
ِ ‫ت ِمنَ ْٱل َع َذا‬
‫ب‬ َ ْ‫ص َّن فَإِ ْن أَتَ ْينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِصْ فُ َما َعلَى ْٱل ُمح‬
ِ َ‫ص ٰن‬ ِ ْ‫ۚ فَإِ َذٓا أُح‬

“..dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-
wanita merdeka yang bersuami..”

b. Firman Allah dalam surat An-Nahl (16): 89:


َ َ‫ك ْٱل ِك ٰت‬
َ‫ى لِ ْل ُم ْسلِ ِمين‬Mٰ ‫ب تِ ْب ٰيَنًا لِّ ُك ِّل َش ْى ٍء َوهُدًى َو َرحْ َمةً َوبُ ْش َر‬ َ ‫ َعلَ ْي‬M‫َونَ َّز ْلنَا‬

“..Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.”

Kata‫ تبيان‬dalam ayat diatas artinya adalah “penjelasan”, sedangkan takhsish itu adalah
semacam penjelasan. Hal ini berarti bahwa Al-Qur’an itu dapat men-takhsish apa saja,
termasuk Sunnah.
Al-Qur’an itu lebih kuat dari pada Sunnah karena Al-Qur’an itu seluruhnya qath’i,
sedangkan Sunnah hanya sebagian saja yang qath’i dan sebagian yang lainnya masih
dzanni.
Sedangkan ulama yang menolak kebolehan tahksish Sunnah dengan Al-Qur’an mereka
berargumen sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam surat An-Nahl (16):44:

َ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫ٱلزب ُِر ۗ َوأَن َز ْلنَٓا إِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ٱل ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ ِ َ‫بِ ْٱلبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al


Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
merekadan supaya mereka memikirkan.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa, tugas bayan (penjelas) itu telah Allah serahkan
kepada Nabi. Kalau Al-Qur’an dapat men-takhsish Sunnah, berarti Al-Qur’an yang
menjadi bayan, bukan Nabi. Dan hal tersebut tidak sejalan dengan maksud ayat diatas.
b. Kalau kita menjadikan Al-Qur’an sebagai takhsish (penjelas) terhadap Sunnah berarti
kita menempatkan Sunnah itu sebagai “asal" dan itu berarti Al-Qur’an sebagai
pengikutnya terhadap Sunnah. Hal ini berarti mengurangi nilai Al-Qur’an.

21
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ada banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama fuqaha dalam merumuskan beberapa masalah
fikih, termasuk diantaranya pada ibadah sholat. Hal ini tentu sangat wajar terjadi mengingat banyaknya
hadist yang menerangkan akan hal itu. Yang terpenting bagi setiap muslim adalah beribada berdasarkan
dalil, selama berpanutan pada dalil, sekalipun berbeda satu sama lain maka itu tidak mengapa karena ia
telah beribadah dengan ilmu dan mencoba ittiba’ kepada Rasul ‫ﷺ‬, bukan hanya sekedar
taklid buta. Adapun perbedaan khilafiyah harus kita sikapi sebagai kemudahan dalam beribadah, kita
dituntut untuk memilih pendapat mana yang paling mendekati Rasulullah ‫ ﷺ‬menurut kita,
dan untuk mengetahui hal itu penting bagi setiap muslim untuk terus mengkaji islam (dalil-dalil syar’i).

B. KRITIK DAN SARAN

Demikian makalah yang dapat kami selesaikan. Kami berharap agar makalah yang kami susun ini
menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan atau pengetahuan seputar
tata cara sholat bagian 1 yang singkat ini.

Namun, dalam penyusunan makalah ini, kami sadari terdapat banyak kekurangan, Karena kami pun
masih dalam tahap belajar. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif kami butuhkan dari para
pembaca dan pembimbing agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi lebih baik.

Wallahu a’lam bissawab

22
Daftar Pustaka :

Buku Bidayatu Mujtahid karya Ibnu Rusyd (diterbitkan AkbarMedia, hal.163-174)

23

Anda mungkin juga menyukai