Puji syukur senantiasa penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang. Karena berkat limpahan, rahmat hidayah dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan makalah “AAM, KHOS DAN TAKHSIS” dengan lancar dan tepat waktu.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW
yang syafaatnya senantiasa kita harapkan di akhirat kelak.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dengan dosen pengampu
bapak Moh. Ridho Amri, M.PHIL. Dalam proses penyusunan makalah ini tak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Maka dari itu kami mengucapkan terimakasih. Kami pun menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kritik dan saran demi kebaikan
makalah ini sangat kami harapkan. Demikian yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.....
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................2
A. Aam.................................................................................................................................................2
1. Pengertian Aam.........................................................................................................................2
2. Lafadz Aam................................................................................................................................2
3. Macam-macam Aam..................................................................................................................4
B. Khos................................................................................................................................................6
1. Pengertian Khos.........................................................................................................................6
C. Takhsis..........................................................................................................................................13
1. Pengertian Takhsis..................................................................................................................13
2. Pembagian Mukhosis...............................................................................................................13
ii
BAB III.....................................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................................................15
B. Saran.............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji
Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan
diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-
kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan. Dengan
kaidah itu diharapkan dapat memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang
benar, dan juga dapat membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi
antara nash yang satu dengan yang lain, mentakwilkan nash yang ada bukti takwilnya,
juga hal-hal lain yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari nashnya. Salah satu
dari kaidah-kaidah ushul fiqh adalah lafadz ‘amm (lafaz umum) dan lafadz khash (lafaz
khusus).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘amm, khosh dan takhsis ?
2. Apa saja macam – macam Aam ?
3. Apa saja macam-macam Khos dari segi bentuknya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian ‘amm, khosh dan takhsis.
2. Untuk mengetahui macam-macam ‘amm.
3. Untuk mengetahui macam-macam Khos dari segi bentuknya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aam
1. Pengertian Aam
‘Am menurut bahasa artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut
istilah ialah;
Al-‘am secara etimologi berarti merata atau yang umum. Sedangkan secara
terminologi atau istilah Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa Al-Am
adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap
lafal itu sendiri tanpa di batasi dengan jumlah tertentu”
2. Lafadz Aam
Lafaz ‘amm mempunyai beberapa bentuk yang secara hakiki diperuntukkan
baginya, yakni sebagai berikut:
2
a. Lafaz كل- kulli (setiap / tiap-tiap) dan جامع- jami’ (seluruhnya / segala).
Misalnya:
ِ س َذاِئقَةُ ا ْل َم ْو
ت ٍ ُك ُّل نَ ْف:
Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi
secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
b. Kata benda tunggal (lafaz mufrad) yang di ma’rifatkan dengan alif-lam yang
dipergunakan untuk memakrifatkan jenis. Contoh:
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al_baqarah: 27). Lafaz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di
ma’rifatkan dengan alif lam.
c. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya yang dipergunakan
untuk memakrifatkan jenis, dan bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan
idhafah Seperti:
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
d. Isim Mawsul (kata sambung). Seperti ma, al-ladzina, al-ladzi dan sebagainya.
Salah satu contoh adalah firman Allah:
3
َ َصلَ ْون
س ِعي ًرا َ ِإنَّ الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ َأ ْم َوا َل ا ْليَتَا َمى ظُ ْل ًما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُونَ ِفي بُطُونِ ِه ْم نَا ًرا َو
ْ َسي
e. Isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan, seperti kata ma, man dan
sebagainya. Misalnya:
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafy (negatif), nahy (larangan) atau syarat
seperti kata اَل ُجنَاحdalam ayat berikut:
َّاح َعلَ ْي ُك ْم َأنْ تَ ْن ِك ُحوهُنَّ ِإ َذا َآتَ ْيتُ ُموهُنَّ ُأ ُجو َرهُن
َ َ َواَل ُجن..…..
Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10)
3. Macam-macam Aam
a. Lafal umum yang tidak mungkin ditakhsiskan, seperti dalam firman Allah:
4
وهلل على النا س حج البيت
Artinya :”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS. Ali
Imron :97)
Lafal manusia dalam ayat di atas adalah lafal umum, yang dimaksud adalah
manusia yang mukhalaf saja karena dengaan perantaraan akal dapat dikeluarkan
dari keumuman lafal, seperti anak kecil dan orang gila.
c. Lafal umum yang khusus seperti lagal umum yang tidak ditemui tanda yang
menunjukkan ditaakhsis seperti dalam firman Allah :
5
i. Takzib, mendustakan
j. Doa, memohon
2. Kaidah ke dua (perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan)
3. Kaidah ketiga (pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera
dilaksanakan)
4. Kaidah keempat (pada dasarnya perintah tidak menghendaki pengulangan)
5. Kaidah kelima (memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan
pula segala wasilahnya)
B. Khos
1. Pengertian Khos
Lafadz Khas ialah lafadz yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang
namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya
umpamanya seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga orang, sepuluh
orang, seratus orang, sekelompok orang. Jadi berarti lafadz Khas tidak mencakup
semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Lafadz khas kadang berbentuk mutlak yakni tidak dikaitkan dengan sesuatu,
tapi terkadang dikaitkan dengan sesuatu yang dinamakan muqayyad (sesuatu yang
sudah jelas), dan terkadang dalam bentuk amar(perintah) dan terkadang dalam
bentuk nahi(larangan)”
Lafadz khusus ini adakalanya dipergunakan untuk seseorang, barang atau hal
tertentu. Lafadz khusus ini diperguanakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak
dibatasi, seperti lafadz Ar-Rijaal (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian yang dimaksud dengan khas ialah lafadz yang tidak meliputi satu
hal tertentu tetapi juga dua atau beberapa hal tertentu tanpa ada batasan artinya tidak
mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu saja”.
Lafadz khas merupakan lawan dari lafadz ‘am jika lafadz ‘am memberikan
lafadz umum yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang banyak,
lafadz khas adalah suatu lafadz yang menunjukkan suatu makna khusus. Definisi
lafadz khas dari ulama’ adalah sebagai berikut:
6
a. Menurut Manna Al-Qattan, lafadz khaas adalah lafadz yang merupakan
kebalikan dari lafadz ‘am yaitu tidak hanya menghabiskan semua apa yang
pantas baginya tanpa ada pembatasan.
b. Menurut Musthafa Said Al-khin, lafadz khas adalah setiap lafadz yang
digunakan untuk yang di menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang
diketahui.
c. Menurut Abdul Wahab Khallaf, lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk
menunjukkan satu orang tertentu.”
7
Kaidah-2
Contoh lain firman Allah pada surat al-Baqarah tentang perintah shalat dan zakat:
Artinya:“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
Shalat dan zakat merupakan suatu perintah dan perintah itu termasuk bagian
dari khâsh, maka perintah tersebut bersifat qath’i (pasti). Tetapi jika ada suatu dalil
yang memalingkan lafal khâsh dari makna otentiknya maka dalalahnya tidak
bersifat qath’i (pasti) dan keadaannya harus sesuai dengan apa yang dituntut oleh
dalil.
Kaidah-3
Seperti sabda Rasulullah Saw. dalam nisab zakat kambing. Beliau bersabda:
Artinya: “Pada setiap empat puluh kambing, zakatnya seekor kambing.”
Pada hadits di atas disebutkan bahwa nisab zakat empat puluh kambing dengan
seekor kambing. Lafal empat puluh ekor kambing dan seekor kambing itu termasuk.
lafal khâsh karena tidak adanya kemungkinan angkanya bertambah atau berkurang
dan bersifat pasti. Ulama Hanafiyah berpendapat adanya qârinah yang memalingkan
dari makna aslinya yaitu tentang pensyariatan zakat bukan pada jumlah atau bilangan
kambing. Maksud pensyariatan nash disini untuk membantu orang fakir miskin serta
Memenuhi hajat mereka.
Kaidah-4
Arti Sabda Rasulullah SAW: “Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang
didapatkan ialah apa yang telah diniatkan.” (HR. Bukhari). Segala sesuatu tergantung
pada tujuannya. Contoh kaida :Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan
puasa.Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami
kepada istrinya: (engkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan
menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun
jika ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.
Kaidah-5
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci
ketika dita’yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
8
Contoh kaidah : Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti kang Imam
(pengelolah kantin) niat shalat di Bejagung Semanding, padahal saat itu dia berada di
Dermawu (suatu daerah yang berada di Kecamatan Grabagan). Maka shalat kang
Imam tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan tempat shalat
tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau terperinci (tafshil).
3. Takhsis untuk Aam
Dalam hal ini para ulama berargumen men-takhsis al ‘amm yang qat’iy al
tsubut dengan dalil zanniy. Aliran fuquha’ berpandangan bahwa dalalah al amm
terhadap satu satunya itu bersifat qat’iy, dan karenanya tidak boleh melakukan
takhsis al amm dengan dalil zanniy. Mereka berargumen bahwa Al Qur’an dan hadis
mutawatir, aspek ‘amm dari keduanya bersifat qat’iy al stubut, dan hal yang
demikian tidak bisa di takhsiskan dengan dalil yang zanniy karena takhsis
mengandung unsur “mengubah” (tagyir), dan pengubah yang qat’iy tidak mungkin
berupa sesuatu yang bersifat zanniy. Untuk memperkuat argumen ini saya
mengambil contoh mengutip riwayat Umar bin Al-Khattab tentang cerita Fatimah
binti Qais yang menginformasikan bahwa Rasulullah tidak menetapkan Fatimah
baginya (Fatimah) hak tempat tinggal dan memperoleh nafkah. Lalu, Umar berkata :
“Kita tidak boleh meninggalkan kitab Tuhan kita dan sunnah Nabi kita karena
perkataan seorang perempuan yang tidak kita tahu apakah ia masih ingat atau telah
lupa bahwa bagi dirinya hak bertempat tinggal dan memperoleh nafkah”.
Tetapi dalam pandangan aliran fuquha’ atau Hanafiyah, tampak jelas Umar
tidak menjadikan perkataan Fatimah sebagai mukhassis (pengkhususkan) ke amm-an
firman Allah “Berilah mereka hak bertempat tinggal sepertri tinggal kamu,sesuai
dengan kemampuanmu ” (Qs. Al- thalaq (65):6)
Kelompok mayoritas ulama berpendapat bahwa dilalat al ‘amm terhadap
satuan-satuannya bersifat zenniy, dan karenanya boleh men-takhsis dengan dalil
yang zenny seperti khabar ahad dan qiyas. Mereka berargumen bahwa para sahabat
Nabi telah bersepakat (ijma’ sukutiy) bahwa aspek ‘amm dari Al Qur’an dapat
ditakhsis dengan hadis ahad; dan tidak ada satupun sahabat Nabi yang mengingkari
hal demikian. Diantara bukti hal ini, fakta bahwa mereka telah men-takhis firman
Allah. “dan dihalalkan bagi kalian diluar itu semua.”(Qs. Al- Nisa’(4):24), dengan
9
hadis Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak boleh dinikahi seorang bersama
bibinya” (HR.Muslim).
ِم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ِه ْم ثُ َّم يَعُوْ ُدوْ نَ لِ َما قَالُوْ ا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ِّم ْن قَب ِْل اَ ْن يَّتَ َم ۤاس َّۗا ٰذلِ ُك ْم ََوالَّ ِذ ْينَ ي ُٰظ ِهرُوْ ن
ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْي ٌر تُوْ َعظُوْ نَ ب ۗه وهّٰللا
َ ِٖ
Artinya : “Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa
yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Lafadz raqabah dalam ayat tersebut adalah lafaz khas yang muthlaq,
karena tidak diberi qayyid dengan sifat tertentu. Sehingga dengan demikian dapat
mencakup seluruh macam budak, baik budak yang mu’min maupun yang kafir.
Muqayyad : firman Allah Q.S Al-Nisa : 92
َو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن اَ ْن يَّ ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا اِاَّل َخطَـًٔا ۚ َو َم ْن قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا خَ طَـًٔا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة
ص َّدقُوْ ا ۗ فَا ِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ٍم َع ُد ٍّو لَّ ُك ْم َوهُ َو ُمْؤ ِم ٌن فَتَحْ ِر ْي ُر َّ ََّّو ِديَةٌ ُّم َسلَّ َمةٌ اِ ٰلٓى اَ ْهلِ ٖ ٓه آِاَّل اَ ْن ي
ق فَ ِديَةٌ ُّم َسلَّ َمةٌ اِ ٰلٓى اَ ْهلِ ٖه َوتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ٌ َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة َۗواِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ۢ ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَهُ ْم ِّم ْيثَا
صيَا ُم َشه َْري ِْن ُمتَتَابِ َع ْي ۖ ِن تَوْ بَةً ِّمنَ هّٰللا ِ َۗو َكانَ هّٰللا ُ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما ِ َُّمْؤ ِمنَ ٍة ۚ فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِج ْد ف
10
Artinya : “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang
beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa
membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu,
padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan
(hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-
turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.
Contoh di atas adalah lafaz muqayyad yang dibatasi dengan sifat.
3) Kaidah Ushululiyah
a) Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan
hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang
ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada
hukum ayat yang berbentuk muqayyad
b) Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum
keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik
kepada muqayyad
c) Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum
keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan
sebagaimana yang muqayyad
d) Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan
hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami
dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
b. Amr (perintah)
1) Pengertian
11
tuntutan untuk melaksanakan suatu perintah, dan Nahi berarti perintah atau
tuntutan meninggalkan suatu larangan. Keduanya adalah perintah, yang
pertama adalah perintah untuk melaksanakan hal-hal yang diperintah, yang
kedua adalah perintah untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang.
2) Lafadz
a) Fi’il Amar
b) Fi’il Mudhari yang didahului dengan huruf lam amar
c) Isim fi’im amar
d) Isim masdar pengganti fi’il
e) Kalimat berita bermakna insya
f) Fi’il madhi’ atau mudhori yang mengandung arti perintah
3) Kaidah Ushululiyah
a) Amr menunjukkan wajib kecuali ada hal atau petunjuk yang
membatalkanya.
b) Adanya amr atas sesuatu mengharuskan larangan atas kebalikanya.
c) Amr mengharuskan dikerjakan segera kecuali ada petunjuk.
d) Tuntutan amr yang dihubungkan dengan syarat atau sifat yang
mengandung arti secara berulang.
e) Amr yang datang setelah adanya larangan hukumnya seperti semula.
c. Nahi (larangan)
1) Pengertian
Nahi merupakan larangan, baik yang harus ditinggalkan yang disebut haram,
atau yang sebaiknya ditinggalkan yang disebut makruh; dan Amr bisa juga
berarti perintah yang harus dilakukan atau disebut juga Wajib, atau berupa
perintah yang sebaiknya dilakukan atau yang disebut Sunnah. Yang
menentukan apakah Amr berarti Wajib atau Sunnah, dan Nahi apakah
menunjukkan hukum Haram atau Makruh sesuai dengan yang dikehendaki
syara’, adalah qarinah-qarinah yang menjelaskannya. Apabila Amr dan Nahi
disertai qarinah maka maknanya sesuai dengan konteks dan qarinahnya
tersebut.
2) Bentuk dan kegunaanya
12
a) Fi’il mudhari yang didahului dengan “la nahiyah”/ lam nahi =
janganlah
b) Lafadz-lafadz yang dengan tegas bermakna larangan (mengharamkan).
3) Kaidah Ushuludiyah (cukup 5 saja yang ditulis)
a) Nahi pemikiran haram
b) Larangan sesuatu, susruhan bagi lawannya
c) Larangan yang mutlak
d) Larangan dalam urusan ibadah
e) Larangan dalam urusan Mu’amalah
C. Takhsis
1. Pengertian Takhsis
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadh khas, tidak bisa terlepas dari takhshish.
Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan
sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian
dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
2. Pembagian Mukhosis
a. Muttasil
1) Istisna (pengecualian)
Yaitu mengecualikan lafaz\ „aam dengan menggunakan adat/alat istitsna‟.
2) Syarat
Yaitu lafaz\ yang dapat berfaedah apabila bersambung dengan lafaz\ yang
lain, dan harus ada jawab yang kembali kepada z\atnya lafaz\ yang menjadi
syarat.
3) Sifat
Yaitu lafaz\ yang mengikuti menjadi sifat, dan menjelaskan terhadap lafaz\
yang dikuti.
4) Ghoyah
Yaitu lafaz\ yang menjadi akhir (penghabisan) dari lafaz\ „aam yang
mendahuluinya, dan lafaz\ tersebut masuk dalam kandungan lafaz\ „aam
sebagai tolok ukur dari makna yang dikandung lafaz\ „aam itu.
5) Badal
13
Yaitu lafaz\ pengganti yang mengandung arti sebagian dari bentuk lafaz\ yang
mempunyai arti umum.
6) Haal
7) Dhorfun dan Harf Jar wa Ism Jar (keterangan)
8) Tanyiz
b. Munfasil
1) Takhsis Qur’an dengan Qur’an
Contoh:
Contoh :
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amm dalam bahasa arab berarti: Peliputan sesuatu terhadap sesuatu yang berbilang, baik
sesuatu ini merupakan lafal atau lainnya. Adapun Amm menurut istilah ulama ushul fiqh ialah:
Suatu lafal yang menunjuk kepada banyak satuan yang tidak terbatas, yang dalalahnya
menghabiskan dan meliputi seluruh satu-satuannya itu.Khash merupakan lawan kata dari ‘amm,
yakni lafaz yang diungkapkan untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu. Kata Khash berasal
dari kata khashsha yang berarti mengkhususkan dan menetukan. Khash berarti sesuatu yang
khusus dan tertentu peruntukannya. Dalam bahasa Indonesia, kata ini telah masuk dalam bahasa
yang diserap misal khas Jawa, tarian khas Bali, dan lain sebagainya. Demikian pula kata khusus.
Menurut Abdul Wahab Khallaf Lafaz Khash ialah lafaz yang dibuat untuk menunjukkan
satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau
beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan,
jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan
cakupan kepada seluruh satuannya.
Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan lafal Amm dari
ketentuan lafal (dalil) Amm dimana lafal Amm tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang
masih ada (yang tidak dikeluarkan). Takhshis memisahkan sebagian yang terkandung dalam
jumlah arti umum. Dengan kata lain bahwa takhshis itu ialah perkecualian yang ditunjukakan
kepada Amm.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para
pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejan dalam penulisan kata dan kalimat yang
kurang jelas dimengerti. Sekian penutup dari kami, kami ucapkan terimakasih.
15
DAFTAR PUSTAKA
16