Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

LAFADZ TAKHSIS
Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul fiqh li
istibath Al-Ahkam Semester Ganjil

Disusun Oleh

1. Abro Satria Dinata (20621002)


2. Bagas aji santosa (20621010)
3. M.Bintang Ramadhan (20621029)
4. Rijalul Haqqoliansa (20621035)

Dosen Pengampu :
Bapak Dr. Syarial Dedi,M.Ag

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM PRODI


HUKUM KELUAGA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI CURUP (IAIN) CURUP
TAHUN 2021-2022
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai“TENTANG LAFADZ TAKHSIS”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan
tugas kelompok mata kuliah “Ushul Fiqh Li Istibath Al-Ahkam”.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya,dan jika ada kesalahan mohon maaf karena manusia
makhluk yang tidak luput dari kesalahan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Curup, 1 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulis.......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘amm ,Khas dan Takhsis........................................................................ 2
B. Pembagian Tahksis................................................................................................... 4
C. Macam-Macam Tahksis........................................................................................... 9

BAB III PENUTUP


Kesimpulan.................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana telah di ketahui sumber ajaran islam, baik Al-Qur’an maupun sunnah
adalah sumber ajaran yang berbahasa arab. Oleh karena itu, untuk memahami hukum-hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah harus benar-benar memahami gaya bahasa
(uslub) yang ada dalam bahasa arabdan cara penunjukkan nash kepada artinya.

Para ulama ahli ushul fiqh mengarahkan perhatian mereka kepada penelitian terhadap
uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa arab yang lazim digunakan untuk memahami nash-nash
syariat secara benar sesuai pemahaman orang arab sendiri yang nash itu diturunkan dalam
bahasa mereka.

Oleh karena itu, maka diperlukan adanya pembelajaran yang dapat memberian
pemahaman tentang uslub-uslub bahasa arab untuk memahami sumber hukum islam dengan
benar.

Para ushuliyyin menetapkan bahwa, perhubungan lafadz dengan makna mempunyai


beberapa segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafadz dalam hubungannya kepada
beberapa bagian, yang diantaraanya yaitu pembagian tentang “lafadz dari segi kandungan
pengertiannya; yang dalam makalah ini akan membahas tentang khas dan takhsis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud ‘amm ,Khas dan Takhsis?


2. Apa saja pembagian takhsis?
3. Apa saja macam-macam takhsis?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ‘amm ,Khas dan Takhsis.


2. Untuk mengetahui pembagian takhsis.
3. Untuk mengetahui macam-macam takhsis dan contohnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘amm ,Khas dan Takhsis

1. Pengertian ‘amm ,Khas dan Takhsis

Pengetian ‘Am Menurut beberapa ulama seperti Syekh al-Khudari Baek menyebutkan
‘am sebagai berikut: “Al-‘Am ialah lafal yang menunjukkan kepada pengertian di
mana didalamnya tercakup sejumlah objek atau satuan yang banyak”

Sementara itu, Zaky al- Din Sya’ban mendefinisikan al-am sebagai berikut:
“Al-am ialah suatu lafal yang dipakai-yang cakupan maknanya dapat meliputi
berbagai objek (satuan) ada di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu.”

Yang dimaksud dengan istilah ‘am dalam ilmu Ushul Fiqh adalah:
Artinya: ‘Am adalah suatu lafal dipergunakan untuk menunjukkan suatu arti yang
dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak, tanpa terbatas. Contoh:

-Lafal “al-insan” Lafal ini menunjukkan satu arti yaitu “manusia” dan arti ini dapat
mencakup semua bentuk apa saja yang dikatakan manusia. Jadi sekali lafal “al-Insan”
diucapkan, sudah mencakup semua jenis manusia secara keseluruhan, yang
berkelamin laki-laki maupun perempuan

Di samping lafal ‘amm, ada juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang
mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘amm.1
Khas adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan orang, barang,
atau hal. Seperti lafazh rajulun (orang laki-laki). Upaya mengeluarkan sebagian
daripada satuan-satuan lafazh ‘amm dari ketentuan lafazh (dalil) ‘amm, dan lafazh
‘amm tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada (tidak dikeluarkan)
disebut takhsis.2
Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan
satuan-satuan materi dari yang umum, sedangkan satuan lainnya belum atau tidak
disebutkan. Dengan demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.

1
Khairul Uman dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 81
2
Abdul Hidayat, Ushul Fiqh (Dasar-dasar Memahami Fiqh Islam), Banjarmasin, IAIN Antasari Fakulats
Tarbiyah, 2006, hlm 86

2
Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya satuan
dari yang umum.
Kaitannya dengan khas, takhsis, dan mukhassis, Hanafi menjelaskan melalui
satu contoh, sebagaimana tertuang dalam surah Al-A’araf ayat 32:

‫ق ۚ قُلْ ِه َى‬ ِ ‫ت ِم َن ال ِّر ْز‬ ِ ‫قُلْ َم ْن َح َّر َم ِزينَةَ هَّللا ِ الَّتِ ٓى أَ ْخ َر َج لِ ِعبَا ِد ِهۦ َوالطَّي ِّٰب‬
ِ ‫ك نُفَصِّ ُل اأْل َ ٰاي‬
‫ت لِقَ ْو ٍم‬ َ ِ‫صةً يَ ْو َم ْالقِ ٰي َم ِة ۗ  َك ٰذل‬
َ ِ‫ين َءا َمنُوا فِى ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا َخال‬ َ ‫لِلَّ ِذ‬
َ ‫يَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
"Katakanlah (Muhammad), Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah,
Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus
(untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
untuk orang-orang yang mengetahui." (QS. Al-A'raf : Ayat 32)

Maksudnya, perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat
dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak
beriman. Sedangkan di akhirat nanti perhiasan dan makanan baik tersebut semata-
mata untuk orang yang beriman saja.
Dalam ayat diatas diterangkan bahwa semua perhiasan boleh dipakai.
Perhiasan itu meliputi cincin emas, pakaian, intan, kalung, dan lain-lain. Masing-
masing disebut satuan-satuannya (afrad al-‘amm). Cincin emas kwmudian di
keluarkan dari ketentuan ayat 32 surah Al-A’raf tesebut sebab tidak boleh dipakai
oleh kaum laki-laki. Ini dinamakan takhsis. Pengeluaran ini berdasarkan pada hadits.
Karena membatasi keumuman3 ayat tersebut (sebab tidak meliputi cincin emas), maka
haditsnya dinamai mukhassis. Melihat hadits itu sendiri yang hanya mengenai satu hal
saja, yaitu cincin emas, hadits itu disebut khas.
Dengan contoh di atas, secara definitif lafazh khas adalah suatu lafazh yang di
pasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.
Dengan demikian, takhsis ialah membatasi jumlah afrad al-‘amm (taqlil).
Berbeda dengan nasakh karena nasakh ialah membatalkan hukum yang telah ada dan
mengganti dengan hukum yang baru (tabdil). Takhsis (mukhassis) bisa dengan kata-
kata Al-Qur’an dan hadits, dan bisa juga dengan dalil-dalil syara’ berupa ijma’, qiyas,
dan dengan dalil akal. Nasakh (nasikh) hanya bisa dengan kata-kata.

3
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 236

3
Takhsis hanya masuk pada dalil umum, sedangkan nasakh bisa masuk kepada
dlil umum maupun khusus. Dengan perkataan lain, yang di takhsis kan hanya dalil
umum, dalil khusus tidak bisa, sedangkan nasakh, yang dibatalkan bisa dalil umum
maupun dalil khusus.4

2. Pembagian Takhsis
a. Mukhassis muttasil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
pengertiannya selalu berhubungan dengan dalil. Yang termasuk mukhassis muttasil
ialah:
1) ‘istisna
Menurut Amir, istisna adalah mengeluarkan sesuatu dari pembicaraan yang
sama dengan menggunakan “kecuali”, atau kata lain yang sama maksudnya
dengan itu.
Istisna ialah mengeluarkan sesuatu dari yang lainnya, seperti, silahkan
makan buah itu kecuali manga. Al-mustasna minhu ialah perkataan
“semua” buah-buahan, dan buah mangga di kecualikan dari buah-buahan
yang boleh dimakan. Al-mustasna ialah buah mangga yang dikecualikan
(segala hal yang dikecualikan) Istisna muttasil ialah apabila antara
mustasna minhu dan mustasna satu jenis. Istisna munqati ialah apabila
mustasna dan mustasna minhu tidak satu jenis, seperti dalam surat Al-
Ahqaf ayat 25:

َ ِ‫ى إِاَّل َم ٰس ِكنُهُ ْم ۚ  َك ٰذل‬


‫ك‬ ٓ ‫ اَل ي ُٰر‬Ž‫تُ َد ِّم ُر ُك َّل َش ْى ۢ ٍء بِأ َ ْم ِر َربِّهَا فَأَصْ بَحُوا‬
َ ‫نَجْ ِزى ْالقَ ْو َم ْال ُمجْ ِر ِم‬
‫ين‬
"yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga
mereka (kaum 'Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya
(bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan
kepada kaum yang berdosa."
(QS. Al-Ahqaf 46: Ayat 25)
Kata “mereka” untuk kaum ‘ad, yang dikecualikan tempat tinggalnya,
artinya bukan yang sejenis. Karena kaum ‘ad itu jenis manusia, sedangkan
tempat tinggal terbuat dari batu atau benda selain manusia.

4
Ibid., hlm. 237

4
Syarat-syarat sahnya istisna:
a. Dalam mengucapkan istisna, antara mustasna dan mustasna minhu
harus bertemu. Berbentuk, berhenti sebentar, pertanyaan-peorang
lain dan keadaan lain yang menurut kebiasaan tidak memutuskan
pembicaraan, tidak dianggap membatalkan sahnya istisna.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang
menghabiskan adalah batal. Misalnya “aku punya uang sejuta, kecuali
sejuta.”

Istisna dari kalimat ingkar (nafi) menjadi positif. Contoh: tidak ada
Tuhan, Kecuali Allah. Tidak ada tuhan adalah kalimat ingkar,
pengecualiannya (istisna) menetapkan adanya tuhan, yaitu Allah.

Menurut pendapat Imam Syafi’I, Imam Malik, dan Imam Ahmad, istisna
sesudah beberapa jumlah yang bersambung-sambung, istisna itu kembali
kepada semua jumlah.

Golongan hanafiyah mengatakan bahwa istisna itu kembali pada jumlah


yang terakhir. Menurut Imam Syaukani; kalau tidak ada halangan, baik dari
lafazh itu sendiri maupun dari dalil-dalilnya, pengecualian (istisna) itu
kembali kepada seluruh jumlah sebelumnya.

Contoh dalam surat An-Nur ayat 4-5:

‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأَرْ بَ َع ِة ُشهَ َدٓا َء فَاجْ لِ ُدوهُ ْم‬ َ ْ‫ون ْال ُمح‬
ِ ‫ص ٰن‬ َ ‫ين يَرْ ُم‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬
َ ُ‫ك هُ ُم ْال ٰف ِسق‬
َ ‫ إِاَّل الَّ ِذ‬.‫ون‬
‫ين‬ َ ِ‫ولٓئ‬
ٰ ُ‫ۚ وأ‬
َ  ‫ين َج ْل َدةً َواَل تَ ْقبَلُوا لَهُ ْم َش ٰه َدةً أَبَدًا‬
َ ِ‫ثَمٰ ن‬
َ ِ‫تَابُوا ِم ۢن بَ ْع ِد ٰذل‬
ِ ‫ك َوأَصْ لَحُوا فَإِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬
"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik," "kecuali
mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nur 24: Ayat 4-5)

Pengecualian (istisna) pada ayat tersebut bisa kembali kepada orang-


orang fasik saja (jumlah terakhir). Bisa juga kembali kepada orang-orang

5
fasik dan persaksian mereka (seluruh jumlah). Kalau kembali kepada
jumlah yang terakhir, meskipun sudah tobat, orang yang menuduh itu tetap
tidak bisa menjadi saksi.

2) Syarat
Syarat dibagi dua:
a) Syarat tunggal, seperti jika telah wudhu, kamu bersih dari najis.
b) Syarat berbilang, yaitu suatu hal yang harus menyatu, jika kamu
rajin belajar dan bekerja, kamu akan pintar. Jika kamu beriman dan
beramal shaleh, kamu akan masuk surge. Atau masing-masing dapat
berdiri sendiri. Misalnya kalu berwudhu dan mandi janabah harus
memakai niat.
Contoh syarat, di antaranya dalam al-qur’an surah an-nisa ayat 11:

ً‫ت ٰو ِح َدة‬ َ ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َر‬


ْ َ‫ك ۖ  َوإِ ْن َكان‬ َ ‫فَإِ ْن ُك َّن ِن َسٓا ًء فَ ْو‬
ُ ْ‫ ۚ فَلَهَا النِّص‬
‫ف‬
"Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan)."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 11)
Dalam syarat berbilang yang tidak dapat berdiri sendiri, masyrut
baru terwujud dengan terwujudnya syarat-syarat keseluruhannya.
Dalam syarat yang dapat berdiri sendiri, masyrut dapat terwujud
dengan hanya salah satu dari syarat-syarat yang telah disebutkan.
3) Sifat
Sifat disebut dibelakang dengan satu lafazh atau beberapa lafazh.
Contoh dalam surat An-Nisa ayat 25

ِ ‫ت ْال ُم ْؤ ِم ٰن‬
‫ت فَ ِم ْن َّما‬ َ ْ‫ط ْواًل أَ ْن يَ ْن ِك َح ْال ُمح‬
Žِ ‫ص ٰن‬ َ ‫َو َم ْن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم‬
ِ ‫ت أَ ْيمٰ نُ ُك ْم ِّم ْن فَتَ ٰيتِ ُك ُم ْال ُم ْؤ ِم ٰن‬
‫ت‬ ْ ‫ ۚ  َملَ َك‬
"Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi
perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan)

6
yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. " (QS. An-Nisa' 4:
Ayat 25)
Kata fatayat adalah kata umum yang dapat meliputi beriman atau yang
tidak beriman. Dengan adanya sifat al-mukminat (beriman), hamba sahaya
yang tidak beriman tidak termasuk di dalamnya.
Adakalanya kata-kata itu saling berhubungan dan adakalanya tidak
berhubungan. Jika berhubungan, sifat itu kembali kepada mausuf dan dalam
keadaan tidak berhubungan, sifat itu kembali kepada kata yang terakhir.
Contoh pertama:
Terjadi ikhtilaf dalam hal kembalinya sifat, sebagaimana dalam surat An-
Nisa ayat 23:

‫ُور ُك ْم ِّم ْن نِّ َسٓائِ ُك ُم ٰالّتِى َد َخ ْلتُ ْم‬ ٰ


ِ ‫ت نِ َسٓائِ ُك ْم َو َر ٰبٓئِبُ ُك ُم الّتِى فِى ُحج‬ُ ‫َوأُ َّم ٰه‬
‫بِ ِه َّن فَإِ ْن لَّ ْم تَ ُكونُوا َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن‬
"Diharamkan atas kamu (menikahi)ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri,"
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 23)
Ada perbedaan persepsi, apakah mausuf nya hanya kalimat “istrimu
yang terakhir” atau berikut perkataan istrimu yang pertama.
Menurut jumhur ulama, kalau mausuf nya hanya perkataan istrimu
yang terakhir, mertua perempuan menjadi haram (muhrim) apabila sudah
mengawini anaknya. Jadi perkawinan saja sudah cukup menyebabkan
haram, karena syarat bercampur (terhadap istri hanya menjadi syarat
haramnya anak tiri. Adapun jika mausuf nya kedua perkataan istrimu yang
ada pada ayat tersebut, mertua belum menjadi haram dengan mengawini
anaknya, sebagaimana pendapat diatas, tetapi baru haram jika sudah
mencampurinya.
Jika demikian, haramnya seorang mertua perempuan karena
mengawini anaknya atau karena mengawini dan mencampurinya? Pendapat
pertama dinyatakan oleh jumhur ulama sebagai pendapat yang paling rajah.
4) Ghayah
Ghayah ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya
(ghayah) dan tidak adanya hukum bagi sesudahnya. Adapun mughayah

7
ialah lafazh yang jatuh sesudah ghayah. Ghayah ada dua, yaitu hatta
(sehingga) dan ila (sampai). Misalnya: “tidak ada dosa bagimu berbuat
sesuatu, sehingga kamu mendurhakai.”
Kalimat sebelum kata kata sehingga, memberi pengertian, bahwa
semua perbuatan tidak dilarang. Kata sehingga mentakhsiskan keumuman
kalimat sebelumnya. Sebab, dengan adanya perhitungan ini, tidak berlaku
hukum yang umum, yaitu tidak adanya dosa. Hal itu dapat diartikan
“berdosa” jika melakukan perbuatan yang durhaka.
Contoh lainnya, terdapat ayat yang artinya: “semua perbuatan tidak
menyebabkan dosa, sehingga ada rasul yang menjelaskan status perbuatan
yang dimaksudkan.” Jadi, jika telah ada peringatan dari Allah atau Rasul
tentang segala perbuatan dan manusia dituntut memilih yang baik dengan
meninggalkan yang buruk, setiap perbuatan atas balasannya.
Ghayah harus masuk kepada mughayah nya dalam hal yang sejenis,
misalnya dalam surah Al-Maidah ayat 6:

‫ين َءا َمنُ ٓوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم‬
َ ‫ٰيٓأَيُّهَا الَّ ِذ‬
ِ ِ‫َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬
‫ق‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke
siku,."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 6)
Karena lengan dan siku satu jenis, yaitu sama-sama tangan, tangan
dibasuh sampai dengan siku-sikunya.
Ghayah juga dapat masuk kepada mughayah yang tidak sejenis,
contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 187:

‫ ۚ ثُ َّم أَتِ ُّموا الصِّ يَا َم إِلَى الَّي ِْل‬


" Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)
Puasa dengan malam bukan hal yang sejenis, tetapi keduanya menyatu
untuk menjelaskan maksud tertentu.
5) Badal ba’da min kulli

8
Dalam ilmu nahwu badal (pengganti) yang bisa mentakhsis kan hanya
badal badhi minkullin. Contohnya dalam surat Ali Imran ayat 97:

ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬


‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِياًل‬ ِ َّ‫ ۚ وهَّلِل ِ َعلَى الن‬
َ
"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan
ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan
perjalanan ke sana."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 97)
Kata an-nas adalah kull (semua manusia), artinya siapa pun juga
terkena kewajiban haji. Manistatha’a (yang kuasa) adalah sebagian
(ba’dhu) dari keseluruhan manusia, dan menggantikan lafazh an-nas.
Dengan adanya penggantian ini, tidak setiap orang di wajibkan haji, tetapi
hanya yang mampu.
3. Macam-macam Takhsis
1) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an.

‫ت يَتَ َربَّصْ َن بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُٓو ٍء‬


ُ ‫ۚ َو ْال ُمطَلَّ ٰق‬
"Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 228)
Lafazh ini bersifat umum, yaitu semua wanita yang ingin dithalaq
masa iddahnya harus menunggu tiga kali suci. Namun pada ayat yang lain ada
menerangkan sebagai takhsis dari ayat di atas, bahwa wanita yang hamil
ketika dithalaq masa iddahnya hanya menunggu sampai melahirkan.
Allah SWT berfirman:
ُ‫يض ِم ْن نِّ َسٓائِ ُك ْم إِ ِن ارْ تَ ْبتُ ْم فَ ِع َّدتُه َُّن ثَ ٰلثَة‬ ْ َّ ٰ
ِ ‫ح‬ِ ‫م‬
َ ‫ال‬ ‫ن‬
َ ‫م‬
ِ ‫ْن‬
َ ‫س‬ ِ ‫ئ‬ َ ‫ي‬ ‫ى‬ ِ ‫ئ‬ٓ ‫َوا‬
‫ـ‬ ‫ل‬
ۚ ‫ضع َْن َح ْملَه َُّن‬ َ َ‫ال أَ َجلُه َُّن أَ ْن ي‬ ِ ‫ت اأْل َحْ َم‬ ُ ‫ول‬ٰ ُ‫أَ ْشه ٍُر َو ٰالَّـٓئِى لَ ْم يَ ِحضْ َن ۚ َوأ‬
‫ق هَّللا َ يَجْ َعل لَّهۥُ ِم ْن أَ ْم ِر ِهۦ يُ ْسرًا‬
ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬
"Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah,

9
niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya." (QS. At-
Talaq 65: Ayat 4)
Begitu juga dengan wanita yang belum melakukan hubungan badan
ketika di thalaq, mereka tidak ada iddah.
Allah SWT berfirman:

‫طلَّ ْقتُ ُموهُ َّن ِم ْن قَب ِْل أَ ْن‬ َ ‫ٰيٓأَيُّهَا الَّ ِذ‬
ِ ‫ين َءا َمنُ ٓوا إِ َذا نَ َكحْ تُ ُم ْال ُم ْؤ ِم ٰن‬
َ ‫ت ثُ َّم‬
‫تَ َمسُّوهُ َّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة تَ ْعتَ ُّدونَهَا ۖ فَ َمتِّعُوهُ َّن َو َس ِّرحُوهُ َّن‬
‫َس َراحًا َج ِمياًل‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan. Namun berilah mereka mut‘ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya." (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 49)
2) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Hadits.
Allah SWT berfirman:

‫ُوصي ُك ُم هَّللا ُ فِ ٓى أَ ْو ٰل ِد ُك ْم‬


ِ ‫ۖ ي‬
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu,
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 11)
Lafazh ini bersifat umum, yaitu anak-anak yang mendapat harta
warisan. Kemudian ada hadits Nabi yang bersifat khas, yaitu anak yang kafir
yang tidak akan mendapatkan warisan.

)‫ (متفق عليه‬.‫ث ْال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ ُم‬


ُ ‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ ُر َواَل يَ ِر‬
ُ ‫اَل يَ ِر‬
“Orang Islam itu tidak menerima warisan dari orang kafir, dan orang
kafir tidak menerima warisan dari orang muslim.” (HR. Bukhari-Muslim).

3) Mentakhsis Hadits dengan Al-Qur’an.

10
)‫ (متفق عليه‬.‫ضَٔا‬ ‫هّٰللا‬
َّ ‫ث َحتَّى يَتَ َو‬ َ ُ ‫الَ يُ ْقبَ ُل‬
َ ‫صاَل ةَ اَ َح ِد ُك ْم اِ َذا اَحْ َد‬
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang dari kamu apabila berhadats
sehingga berwudhu. (HR. Bukhari-Muslim).
Lafazh hadits ini bersifat umum, yaitu bersuci itu dengan wudhu, tetapi
pada ayat al-qur’an ada keterangan yang bersifat khas, yaitu kebolehan bersuci
dengan tayammum apabila dalam keadaan sakit, musafir, atau tidak
mendapatkan air.
Allah SWT berfirman:

‫ين َءا َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا الص َّٰلوةَ َوأَ ْنتُ ْم س ُٰك ٰرى َح ٰتّى تَ ْعلَ ُموا َما‬ َ ‫ٰيٓأَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫ض ٓى‬ٰ ْ‫يل َح ٰتّى تَ ْغتَ ِسلُوا ۚ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر‬ ٍ ِ‫ون َواَل ُجنُبًا إِاَّل َعابِ ِرى َسب‬ َ ُ‫تَقُول‬
‫أَ ْو َع ٰلى َسفَ ٍر أَ ْو َجٓا َء أَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّم َن ْال َغٓائِ ِط أَ ْو ٰل َم ْستُ ُم النِّ َسٓا َء فَلَ ْم تَ ِج ُدوا‬
َ ‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ۗ إِ َّن هَّللا َ َك‬
‫ان‬ َ ‫َمٓا ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
‫َعفُ ًّوا َغفُورًا‬
"Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu
dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan
jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali
sekadar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).
Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu
dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha
Pengampun." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 43)

4) Mentakhsis Hadits dengan Hadits.

)‫ (متفق عليه‬.ُ‫ت ال َّس َما ُء ْال َع ْشر‬


َ َ‫فِ ْي َما َسق‬
“Pada tanaman yang disirami air hujan zakatnya sepersepuluh (10%)” (HR.
Bukhari-Muslim).

11
Lafazh hadits ini bersifat umum, sebab tidak ada batasan dan jenisnya.
Pada hadits lain diterangkan bahwa hasil tanaman itu yang wajid di zakati
minimal 5 usuq.

)‫ (متفق عليه‬.ً‫ص َدقَة‬ ٍ ‫ْس فِ ْي َما ُد ْو َن ْال َخ ْم َس ِة اُ ْو ُس‬


َ ‫ق‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada pada tanaman yang kurang dari lima usuq shadaqah (zakat).” (HR.
Bukhari-Muslim).
-satu wasaq= 60 sha’
-lima wasaq= 5 x 60 sha’= 300 sha’
-satu sha’= 3,1 liter
-300 sha’= 300 x 3,1 liter= 930 liter.
5) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Ijma.
Allah SWT berfirman:

‫ى لِلص َّٰلو ِة ِم ْن يَ ْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا إِ ٰلى ِذ ْك ِر‬ َ ‫ين َءا َمنُ ٓوا إِ َذا نُو ِد‬ َ ‫ٰيٓأَيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ‫هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع ۚ ٰذلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan
sholat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 9)
Lafazh ayat di atas bersifat umum, sebab tidak ada batasan (semua
orang yang beriman). Akan tetapi, para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa
perempuan, dan para budak tidak berkewajiban sholat jum’at. Kesepakatan
para ulama (ijma) ini tentunya adanya qarinah dari nash sendiri secara tidak
langsung.
6) Mentakhsis ayat Al-Quran dengan Qiyas.
Allah SWT berfirman:

‫ۖ ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِى فَاجْ لِ ُدوا ُك َّل ٰو ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِمائَةَ َج ْل َد ٍة‬
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya
seratus kali,..” (QS. An-Nur 24: Ayat 2)

12
Lafazh ayat ini bersifat umum, yaitu meliputi semua orang. Kemudian,
ada keterangan ayat lain yang bersifat khas yaitu bagi budak perempuan
hukuman mereka setengah dari yang berlaku terhadap perempuan merdeka.
Allah SWT berfirman Dalam QS. An-Nisa' Ayat 25 Yang artinnya :
"Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi
perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan)
yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama
keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan
berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-
perempuan yang memelihara diri, bukan pezina, dan bukan (pula) perempuan
yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah
berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka
(hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan
merdeka (yang tidak bersuami).." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 25)
Keterangan ayat diatas tertuju kepada budak perempuan, sedangkan
pada budak laki-laki tidak ada diterangkan. Para ulama mengqiyaskan bahwa
budak laki-laki yang melakukan zina hukumannya sama dengan budak
perempuan yaitu setengah (50 kali dera). Ayat ini mentakhsis ayat sebelumnya
(QS. An-Nur: 2), begitu juga dengan qiyas yang dilakukan para ulama ushul
fiqh.5

5
Ibid., hlm. 88-96.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Khas adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan orang, barang, atau hal

Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan satuan-satuan
materi dari yang umum, sedangkan satuan lainnya belum atau tidak disebutkan. Dengan
demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.

Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya satuan dari yang umum.
Mukhassis terbagi menjadi dua, yaitu mukhassis muttasil, dan mukhassis munfasil.

Mukhassis muttasil terbagi menjadi:

1. Istisna
2. Syarat
3. Sifat
4. Ghayah
5. Badal

Mukhassis munfasil terbagi menjadi:

1) Peraturan-peraturan syariat yang umum;


2) ‘urf (kebiasaan);
3) Nash-nash hukum syara’, yaitu al-qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas.

Macam-macam takhsis:

1) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an


2) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Hadits.
3) Mentakhsis Hadits dengan Al-Qur’an
4) Mentakhsis Hadits dengan Hadits
5) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Ijma.
6) Mentakhsis ayat Al-Quran dengan Qiyas

14
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Abdul. 2006. Ushul Fiqh (Dasar-dasar Memahami Fiqh Islam). IAIN Antasari Fakulats
Tarbiyah: Banjarmasin.

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia: Bandung.

Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009 Fiqh Ushul Fiqh. Pustaka Setia: Bandung.

Uman, Khairul dan A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqih II. Pustaka Setia: Bandung.

Al-Qur’an Indonesia. http://quran-id.com

https://www.academia.edu 20:54

15

Anda mungkin juga menyukai