Anda di halaman 1dari 4

1.

Pengertian Lafadz Khas

Khas ialah lafadh yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti
umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘Am.

‫اح ٍد َم ْعلُوْ ٍم َعلَى اِإل ْنفِ َرا ِد‬ ُ ْ‫ه َُو اللَّ ْفظُ ْال َموْ ضُو‬
ِ ‫ع لِ َم ْعنًى َو‬

"Suatu lafadh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan
manunggal."

Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah
masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan
beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan - satuan itu.1

Artinya : “Maka kaffarat melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang
miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian
kepada mereka.” (Q.S. Al-Maidah: 89)

Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh. Tidak
lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan
pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khash dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil
yang memalingkanya kepada pengertian lain. Seringkali lafadz khash itu terdapat secara
mutlaq tanpa ada batasan atau ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan
perbuatan. Contohnya ‫اتقواهللا‬ ( bertaqwalah kepada Allah ). Seringkali terdapat dalam bentuk
larangan perbuatan, seperti ‫والتجسسوا‬ ( dan janganlah kamu memata-matai ). Jadi dalam lafadz
khash itu terdapat lafadz muthlaq, ikatan atau batasan, perintah dan larangan.

            Hukum khas secara umum ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang
khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khas itu diambil
hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan. Tidak ada pertentangan antara Ulama’ Ushul Fiqh
mengenai ketetapan hukum qath’iy dari lafadz khash.

1
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. MA. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia
2. Pengertian Lafazh 'Amm

Pembahasan lafazh'amin dalam ilmu Ushul Fiqih mempunyai kedudukan


tersendiri, karena lafazh amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang
perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber
hukum Islam pun. Al- Quran dan Sunah, dalam banyak hal memakai lafazh umum
yang bersifat universal.
Lafazh 'amm ialah suatu lufazh yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu 2 . Para ulama
Ushul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut:

Menurut ulama Hanafiyah:

Artinya: "Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun mukna. "
(Al -Bazdawi: 131 )

Menurut ulama Syafi'iyah, di antaranya Al-Ghazali:

Artinya: Satu lafazh yang dari satu segi sulit menunjukkun dua makna atau lebih. "

Artinya: "Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu
kata. ”

Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang
menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun sepakat
bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya
itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di
sini ialah lafazh ‘amm yang mutlaqtanpa disertai suatu qarinahyang menolak
2
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafafi Ilm Al-Ushul.Beirut: Dar Al- Kutub Al- Ilmiyah
kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-
satuannya.

Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i.yang dimaksud qath ’i. menurut
Hanafiyah iaiah:

Artinya: "Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil ”

Namun, bukan berarti tidak adr. kemungkinan taksissama sekali. Oleh


karena itu, untuk menetapkan ke-c/athi-an lafazh 'amm,pada mulanya tidak boleh di-
taksissebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya zhar.ni.

Mereka beralasan, “Sesungguhnya suatu lafazhapabila dipasangkan (di- wadha’-


kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil
yang mengubahnya.

Dafpus :
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. MA. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafafi Ilm Al-Ushul.Beirut: Dar Al- Kutub Al- Ilmiyah

Anda mungkin juga menyukai