Anda di halaman 1dari 4

Resume

I.
NASAKH DAN MANSUKH
A. Pengertian Nasakh dan Mansukh
Secara etimologis, nasakh adalah seruan pembuat syariat yang menghalangi
keberlansungan hukum seruan pembuat syariat sebelumnya yang telah ditetapkan. Adapun
nasikh (penghapus), kadang digunakan untuk menyebut Allah SWT.
Sementara itu, mansukh adalah hukum yang dihilangkan. Dalam nasakh, hukum
yang di-nasakh secara syari wajib ditunjukkan oleh dalil yang menjelaskan
dihilangkannya hukum tersebut, yang datangnya setelah khithab yang hukumnya dinasakh.
Adapun keberadaan nasakh dan hukum yang di-nasakh ini secara real telah
dijelaskan dalam nash al-Quran:

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
(Q.S.al-Baqarah [2]: 106)

Apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya,
dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata. Sesungguhnya
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja. Padahal, kebanyakan mereka tiada
mengetahui. (Q.S. an-Nahl [16]: 101)
B. Ragam bentuk Nasakh
Konteks nasakh terbagi menjadi:
1. nasakh hukum khithab tanpa disertai perubahan hukum; Contoh dalam firman Allah
SWT: (Q.S. al-Mujadilah [58]: 12-13).
Ayat ini telah me-nasakh hukum mengeluarkan sedekah sebelum melakukan
pembicaraan dengan Rasul SAW. Namun, nasakh-nya tidak sampai mengubah.
Sebaliknya, hukumnya tetap, tapi jika ada yang tidak melakukannya, dan Allah

SWT berkenan menerima taubatnya, maka dia diperintahkan untuk mendirikan


shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
2. Perubahan yang lebih ringan; bisa dilihat dalam firman Allah SWT:
(Q.S. al-Anfal [8]:65). Hukum ini kemudian di-nasakh dengan perubahan yang
lebih ringan melalui firmannya (Q.S. al-Anfal [8]:66).
Semula, dalam surat al-Anfal: 65 dinyatakan, bahwa jika ada 10 orang yang
bersabar, mereka bisa mengalahkan 200 orang musuh, namun setelah umat Islam
pada saat itu diketahui lemah, Allah SWT menurunkan target dari 10:200 menjadi
100:200 orang. Ini merupakan bentuk perubahan yang lebih ringan.
3. Perubahan setara; nasakh dengan implikasi perubahan setara itu terjadi
sebagaimana dihapuskannya hukum menghadap Baitul Maqdis, al-Quds menjadi ke
Kabah, di Makkah. Dikatakan setara karena masing-masing hukum yang menasakh dan di-nasakh sama-sama merupakan perintah menghadap kiblat. Akan
tetapi, kiblat yang pertama statusnya telah dgantikan dengan yang kedua.
4. Perubahan yang lebih berat; nasakh dengan implikasi perubahan hukum yang lebih
berat, misalnya terlihat dalam konteks zina. Firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa
[4]: 15-16, yang kemudian di-nasakh dengan sanksi hukum yang lebih berat,
sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam Q.S. an-Nur [24]: 2.
C. Prosedur terjadinya nasakh
1. Nasakh dalil satu dengan yang lain bisa dilakukan jika yang me-nasakh status
sumbernya lebih tinggi, bukan sebaliknya.
2. Tidak boleh me-nasakh al-Quran dengan hadis mutawatir; sekalipun hadis
mutawatir statusnya qathi.
II.
TARJIH
A. Pengertian tarjih
Tarjih secara etimologi adalah mencondongkan (tamyil) dan mengalahkan
(thaghlib), sedangkan menurut ulama ushul adalah menguatkan salah satu dalil atas
yang lain untuk diimplementasikan, karena adanya keunggulan pada dalil yang
lebih kuat(rajih).
B. Hukum melaksanakan dalil yang lebih kuat
Penggunaan dalil yang lebih kuat telah disepakati oleh ijma sahabat.
C. Metode tarjih
1. Tarjih antara Dua dalil
Jika ada dua dalil, sama dari aspek kekuatan dan keumumannya, maka pasti
dalil tersebut dzanni dengan dzanni.Untuk mentarjihnya bisa ditempuh dengan
cara:
a. Dalil yang statusnya paling akhir adalah penasakh bagi dalil sebelumnya.
b. Jika tidak diketahui mana yang paling akhir, maka untuk mentarjihnya harus
merujuk pada dalil yang paling kuat, baik dari sistematika dalil ijmali

maupun istidlal bedasarkan dalil dzanni yang dalam hal ini didasarkan pada
matan dan sanad.
2. Tarjih antara berbagai dalalh lafadz pada dalil
Dalam hal ini, ulama ushul fiqih membuat kaidah tarjih terhadap dalalah
tersebut sebagai berikut:
1. Dalalah Manqulah lebih dikuatkan ketimbang Dalah Musytarak.
Contoh (Q.S. at-Taubah [9]:11):
Lafadz, az-zakat adalah lafadz Musytarak, yang mempunyai konotasi annama (tumbuh) dan al-qadr al-mukhraj min an-nishab(kadar nisab yang
dikeluarkan). Pada mulanya lafadz tersebut digunakan untuk menyebut
bertambahnya harta, kemudian diubah maknanya (manqulah) menjadi
makna syara, yaitu kadar nisab yang dikeluarkan.
2. Idhmar lebih dikuatkan ketimbang Musytarak
Contoh (Q.S. Yusuf [12]:82):
Lafadz, qaryah juga mempunyai konotasi Musyatarak antara penduduk
dengan bangunan, dan bisa jadi mempunyai konotasi hakiki, yaitu
bangunan, tetapi dengan menyebutkan lafadz, ahl (penduduk), sebelum
lafadz qaryah (kampung).
3. Dalalah Majaziyah lebih dikuatkan ketimbang Dalalah Manqulah
Contoh (Q.S. at-Taubah [9]:28):
Lafadz, najas[un] bisa jadi mempunyai konotasi majaz, dengan konotasi
najis non-fisik, atau bisa jadi mempunyai konotasi manqul, dengan konotasi
najis secara syari, yang wajib disucikan, seperti kencing dan darah.

TUGAS RESUME
NASAKH, MANSUKH dan TARJIH
Disusun untuk memenuhi tugas :
PENGANTAR USHUL FIQH
Dosen pengampu :
Pak Juliana, S.Pd., M.E.Sy

Oleh:
Fitri Sri Handayani (1600260)

PROGRAM PENDIDIKAN ILMU EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
SEMESTER I/2016
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016 M/1438 H

Anda mungkin juga menyukai