PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam
mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-
kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang
bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-
kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang
ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui
adalah Istinbath dari segi kebahasaan. Dengan kaidah itu diharapkan dapat
memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang benar, dan juga
dapat membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash
yang satu dengan yang lain, mentakwilkan nash yang ada bukti takwilnya, juga
hal-hal lain yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari nashnya. Salah
satu dari kaidah-kaidah ushul fiqh adalah lafadz ‘amm (lafaz umum) dan lafadz
khas (lafaz khusus).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan penjelasan dari Lafadz Khash
2. Apa Pengertian dan penjelasan Lafadz ‘Amm
C. Tujuan Penulisan
1. Agar Mengetahui pengertian dan penjelsan dari Lafalzh Khash
2. Agar Mengetahui Pengertian dan penjelasan Lafalzh ‘Amm
BAB II
1
PEMBAHASAN
A. Lafadz ‘Amm
1. Definisi ‘Amm
Amm ialah suatu lafaz yang dipergunakan untuk menunjukan suatu makna
yang pantas (boleh) dimasukan pada makna itu dengan mengucapkan sekali
ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafaz ini meliputi semua laki-
laki.1
Dalam mendefinisikan lafaz ‘am, terdapat perbedaan di kalangan ahli
ushul. Jika diteliti, dalam perbedaan itu tampak ada titik kesamaan, dan
perbedaannya hanya dalam rumusannya saja karena berbeda dalam sudut
pandangan.
1 Nazar Bakry. Fiqh & Ushul Fiqh. 2003. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 198
2
c. Lafaz yang tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan
pengertiannya secara sama dalam penggunaannya.
d. Bila hukum berlaku untuk satu lafaz, maka hukum itu berlaku pula
untuk setiap afrad (satuan pengertian) yang tercakup di dalam lafaz itu.2
3 Amir Syarifudin. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu. Hal: 48-49
4 Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, CV Pustaka Setia,(Bandung:2001), hlm 68
3
c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam. Contoh:
ُ ً ُموأممحلل ُاللةه ُالوبْمنويِمَمع ُمومحلرمم ُالرمبا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27) Lafadz al-bai’ (jual beli) dan al-
riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena
itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang
dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma’ al-Mawsul. Seperti ma, al-ladhina, al-ladzi dan
sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
طوتنتوم ننامرا نونسين أ
صلنأوُنن نسفعيمرا إفنن النفذينن ينأألكللوُنن أنأمنوُانل األيننتانمىَ ظلألمما إفنننما ينأألكللوُنن ففيِ بة ة
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-
Nisa: 10)
e. Lafadz Asma al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk
mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
نونمأن قنتننل لمأؤفممنا نخطنأ م فنتنأحفريلر نرقنبنةة لمأؤفمننةة موتديمة لمنسلننمةة إفنلىَ أنأهلففه إفنل أنأن ين ن
صندلقوُا
Artinya: “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah” (An-
Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat naïf (negatif), seperti kata نل
لجننانحdalam ayat berikut:
نونل لجننانح نعلنأيلكأم أنأن تنأنفكلحوُهلنن إفنذا آنتنأيتللموُهلنن أللجوُنرهلنن
Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah: 10).
4
Dalam tradisi Bahasa Arab , terdapat sejumblah lafal yang diungkapkan
untuk menunjukkan makna ‘aam, yaitu:5
1) Lafal Mufrad (kata tunggal) yang dilekati partikel ( ال افلأسفتغِنرقيةAlif
Lam al-Istigraqiyyah) yang bermakna pernyataan seluruh atau semua.
Contohnya; Lafal ِ النسافرقdan النسافرقنةلpada Surah al-Ma’idah (5:38)
-٣٨- ال نعفزيةز نحفكيةم طلعوُأا أنأيفدينهلنما نجنزاء بفنما مكسبْاً نننكالم ممنن ا
اف نو ا قِ نوالنسافرقنةل نفاأق ن
نوالنسافر ل
مم
Artinya, “pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah kedua
tangannya”. Maka lafal-lafal yang dilekatipartikel ال افلأسححفتغِنرقيةseperti
diatas menyatakan keumuman dan mencakup satuan-satuan tak terhingga.
2) Lafal jama’ (Kata jamak) yang dilekati oleh partikel ال افلأسفتغِنرقية
yang bermakna seluruh atau semua. Contohnya: Lafal األلمننافففقيننpada surah
al-Nisa’ (4:145).
إفنن األلمننافففقينن ففيِ الندأرفك الموسمفتل فمنن الننافر نونلن تنفجند لنهلأم نن ف
-١٤٥- صيرام
Artinya; “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada didalam
neraka yang paling bawah”.
3) Lafal yang termasuk ism al-jins, yakni lafal yang tidak
ٌلترا ة،ٌنماةء، نحيننوُاةنapabila lafal ini di-
mempunnyai satuan tunggal, seperti lafal ب
ma’rifat-kan dengan ( ال الفجأنفسينةلAlif Lam al-Jinsiyyah). Contohnya:
نقانل نرلسوُلل اف صنلىَ ال ءنعلنأيفه نونسلننم أالنمالء ن
طلهوُةرنل يلننمجلسهل نشأيِةء ة
Rasulullah Saw bersabda; “Air itu suci mensucikan tidak dinajiskan
sesuatu pun”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
4) Lafal yang disandarkan kepada ism ma’rifah (al-mudâf ilâ al-
ma’rifah). Contohnya;
ٌ نمالل نعأمةرو،نعفبيلد نزأيةد
5) َنمأن نما نمأهنما أنأينن أنمنىَ نحأيثلنما نمنتىَ أننيانن أن ي
Ism syart, seperti Lafal-lafal ي
Contohnya;
-١٨٥-... صأمهل كةم النشأهنر فنألين ل فننمن نشفهند تمنِ ة...
“Maka, barangsiapa yang menyaksikan bulan (Ramadan) hendaknya ia
berpuasa. (QS. al-Baqarah, 2:185).
نمأن قنتننل قنتفلم فنلنهل نسلنبلهل
“Barangsiapa yang membunuh musuh yang terbunuh (dalam peperangan)
maka baginya harta rampasannya”. (HR al-Bukhari).
6) Ism mausûl, seperti lafal disamping ئ ٌ انألنل ف،ٌ انألحححفذأينن،ٌِ انألفتحححأي، انألحححفذي.
Contohnya;
النفذينن ينأألكللوُنن المرنبا لن ينلقوُلموُنن إفلن نكنما ينلقوُلم النفذي ينتننخبنطلهل النشأي ن
طالن فمنن األنم م
-٢٧٥-... س
5 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2011). Hal 196
5
Artinya; “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila”. (QS. al-
Baqarah 2: 275). 6
B. Lafadz Khash
7 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Amani. Hal: 281
6
berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Maidah/5:89
ي ُتمنون ت ت ت ت ت ت
مل ُينةمؤاخنةذةكةم ُاللنةه ُبتناًللوغتو ُتفنن ُأموينمناًنةكوم ُمولم نكن ُينةمؤاخنةذةكم ُبمناً ُمعلقند لةت ُالمويمناًمن ُفممكلفناًمرتةهة ُإتطومعنناًةم ُمعمشنمرتة ُمممسنناًك م
ك ُمكلفنناًمرةة ُأموينمناًنتةكوم ُإتمذا ت أموستط ُماً ُتةطوعتمومن ُأمهلتيِمَةكم ُأمو ُكتسوتةنهم ُأمو ُ موتترير ُرقَمنبْسة ُفممن ُلل ُ متيود ُفم ت
صميِمَاًةم ُثملمثمتة ُأملياًسم ُمذلن م ة و و و وم ة و و ة م م م و وم م
-٨٩-ُ ي ُاللةه ُلمةكوم ُآمياًتتته ُلممع لةكوم ُتموشةكةرومن ت
محلموفتةوم ُمواوحمفظةووا ُأمومياًنمةكوم ُمكمذل م
ك ُينةبْمن ر ة
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia
Menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang
hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka
(kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
Menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur
(kepada-Nya)”. (QS.Al- Maidah/5:89)
Maka kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh orang miskin.
Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan
memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas
itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang
dikehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda Nabi: “Untuk setiap empat
puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing”.
Oleh ulama hanafi zakat kambing dalam hadist itu dita’wilkan kepada
yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya. Juga
menta’wilkan lafaz hadist: “segantang kurma” dalam kewajiban zakat
fitrah, kepada “harga segantang kurma”.
c. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan pula
hukum yang khushush dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi
pemberlakuan hukum ‘amm itu.
d. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm,
terdapat perbedaan pendapat.
7
1) Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu bersamaan masanya,
maka dalil yang khas mentakhsiskan yang amm, karena tersedianya
persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya
berkemungkinan bila lafaz amm terkemudian datangnya, maka lafaz
amm itu menasakh lafaz khas itu menasakh lafaz ‘amm dalam
sebagian afradnya.
2) Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya pembenturan
antara dalil ‘amm dengan dalil khushush karena keduanya bila datang
dalam waktu bersaan maka yang kahas memberi penjelasan terhadap
yang amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang
tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk
diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas.
Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz amm.8
2. Hukum Lafadz Khash
Lafadz yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu
dengan pasti selama tidak ada dalil ada dalil yang mengubah maknanya itu.
Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan artilain yang tidak berdasar
pada dalil, maka Qath’ian dilalahnya tidak terpenuhi.
Oleh karena itu, apabila Lafazh khash dikemukakan dalam bentuk Mutlaq,
tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberikan faedah ketetapan hukum
secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafal
tersebut dipergunakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah
berupa hukum wajib yang bagi yang diperintahkan (mma’mur bih), selama
tidak ada dalil yang memalingkan pada makna yang lain.
Demikian juga pada lafal itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy),
ia memberikan faedah berupa hokum haram terhaap hal yang dilarang itu,
selama tidak ada Qarinah (Indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.9
Atas dasar itu maka kata selasatin pada firman Allah SWT, yang berbunyi :
8 Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana 2011 Hal 88- 90
9 H. Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih, (Pustakas Setia, Bandung 2015). Hal 187
8
Mengandung pengertian kash, yang tidak mungkin menggandung arti
kurang atau lebih dari makna makna yang dikehendaki olah lafazh itu sendiri,
yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalang maknanya adalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi
ف ماتننر ن
...ك نولنلكأم نف أ
ص ل
Adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang
sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna
itu, tanpa adanaya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun
terhadap keqathi’i-an makna yang termaksud dalam lafazh tersebut.
Terhadap kemungkinan adanya takwil dalam lafazh khash, para pengikut
madzab hanafi telah memalingkan arti lafazh khash tersebut dari makna yang
haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan
pemalingan artinya yang haqiqi, dan karena adanya maksud memberi makna
yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut. Lafazh syat,
dalam sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi:
9
3. Macam-macam Lafazh Khash
10
Artinya: “sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan
berbuat kebajikan member kepada kaum kerabat dan Alloh melarang
dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia member
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
kami menyimpulkan bahwa, lafadz ‘am adalah lafadz yang memiliki makna
umum yang di dalamnya terdapat dua makna atau lebih. Dalalahnya bersifat
dzanniy, sehingga jika ditemui lafadz ‘am, kita tidak bileh serta merta langsung
melaksanakan semuanya tanpa terlebih dahulu mencari mukhassisnya. Sedangkan
lafadz khas adalah lafadz yang mengandung makna khusus atau satu pengertian.
Para ulama sepakat bahwa lafadz khas dalam nash syara’ bersifat qath’i dan
hukum yang terkandung di dalamnya juga bersifat qath’i, selama tidak ada
indikasi yang menunjukkan pengertian lainnya.
11
12