Anda di halaman 1dari 2

Hadits Muhkam dan Mukhtalif

Ulumul Hadits; Ilmu Hadits Praktis; DR. Mahmud Thahan


1. Definisi Muhkam

Menurut bahasa: merupakan isim maful dari kata ahkama, yang berarti meyakinkan
(atqana).

Menurut istilah: Hadits maqbul yang selamat dari berbagai pertentangan yang semisal.
Atau hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits lain, yang dapat mrmprngaruhi
artinya.

2. Definisi Hadits Mukhatalif

Menurut bahasa: merupakan isim fail dari kata ikhtalafa, artinya lawan dari sepakat
(ittifaq). Makna dari hadits mukhtalif adalah: hadits-hadits yang sampai kepada kita, namun
satu sama lain saling bertentangan maknanya. Dengan kata lain, maknanya saling
kontradiktif.

Menurut istilah: hadits maqbul yang bertentangan dengan hadits lain yang semisal, namun
memiliki peluang untuk dijama (dikompromikan) di antara keduanya. Yaitu bisa berupa
hadits shahih atau hadits hasan, lalu ada hadits lain yang derajat dan kekuatannya sama,
akan tetapi secara dhahir maknanya bertentangan. Bagi orang yang berilmu dan memiliki
pemahaman kritis, amat memungkinkan kedua dalil tersebut digabungkan dalam bentuk
yang dapat diterima.

3. Contoh Mukhtalif

Tidak ada infeksi [penularan] dan thiyarah [meramal dengan burung] yang
dikeluarkan oleh Muslim;

dengan hadits: Hindarilah dari [penyakit] lepra, sebagaimana engkau [menghindari]
singa. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari.

Dua hadits ini sama-sama shahih. Secara dhahir tampaknya bertentangan. Hadits pertama
mengeliminasi penularan, sementara hadits kedua menetapkan adanya penularan. Para
ulama kemudian menjamanya [mengkompromikan] kedua hadits tersebut dan menyepakati
makna di antara kedua makna tersebut dengan tinjauan yang bermacam-macam. Dalam
bahasan lain akan dipaparkan pandangan yang dipilih oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.

4. Tata cara menjama (mengkompromikan) hadits

Mengenai tata cara mengkompromikan kedua hadits tadi, ia berkata: Bahwa penularan itu
tidak ada dan tidak bersifat baku. Alasannya karena sabda Rasulullah saw.: Tidak ada
sesuatu yang bisa menularkan sesuatu yang lain.

Beliau juga bersabda kepada orang yang menentangnya, bahwa unta yang kudisan
kemudian dicampur dengan unta sehat, maka unta sehat itu menjadi unta kudisan dengan
perkataan: Lalu siapa yang menularkannya pada unta yang pertama?
Maksudnya bahwa Allah Swt. yang menetapkan sakit itu pada unta yang kedua,
sebagaimana dilakukan-Nya pada unta yang pertama.

Mengenai perintah untuk lari (menghindar) dari penyakit lepra, maka hal itu termasuk
tindakan preventif (sadd adz-dzarai). Yaitu agar tidak terjadi kesamaan (sakit) pada diri
orang yang berinteraksi dengan orang yang sakit lepra.




Fenomena sakitnya orang tersebut adalah karena takdir Allah yang telah menetapkannya,
bukan karena penularan. Jadi dugaan orang bahwa hal itu disebabkan karena adanya
interaksi dengan si sakit, kemudian meyakini benarnya penularan, maka terjatuhlah ia ke
dalam dosa. Lalu diperintahkan untuk menjauhi orang yang sakit lepra sebagaimana
tindakan pencegah terjerumus ke dalam keyakinan yang memerosokkannya dalam dosa.

5. Apa yang harus dilakukan jika terdapat dua hadits maqbul yang saling bertentangan?

Terhadap kasus ini hendaknya mengikuti langkah-langkah berikut: a) Jika keduanya
memungkinkan untuk dikompromikan, maka langkah kompromi segera ditetapkan dan
dijalankan terhadap keduanya. b) Jika keduanya tidak mungkin dikompromikan dengan
berbagai alasan maka:
i) Jika diketahui salah satu di antara kedua hadits itu merupakan nasikh, maka hadits
nasikh lebih didahulukan dan diamalkan. sedangkan hadits yang mansukh kita
tinggalkan.
ii) Jika kita tidak mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, maka kita
harus mentarjih salah satu di antara kedua hadits tersebut dengan memperhatikan
berbagai (prinsip) tarjih yang mencakup lima puluh jenis atau lebih. Kemudian kita
mengamalkan hadits yang rajih (terkuat)
iii) Dan jika terhadap kedua hadits itu tidak bisa dilakukan proses tarjih dan hal ini
merupakan kebuntuan- maka kita tawaqufkan (bekukan) mengamalkan kedua hadits
tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadits yang lebih rajih.

6. Urgensi dan orang yang menguasainya

Cabang ilmu ini tergolong perkara yang amat penting dalam ilmu hadits. Seluruh ulama
urgen untuk mengetahuinya. Imam-imam yang mengumpulkan hadits dan faqih, serta
ulama-ulama ushul yang mendalami makna-makna secara rinci memiliki ketrampilan dan
kesempurnaan dalam cabang ilmu ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak menemukan
kesulitan, kalau pun ada sangat jarang kejadiannya.

Pertentangan berbagai dalil telah menyibukkan para ulama. Dalam perkara inilah kehebatan
mereka, pemahaman mereka, dan kesungguhan ikhtiar mereka sangat menonjol. Namun,
tidak sedikit pula yang terpeleset ke dalam kubangan kebodohan dari sebagian orang yang
suka campur tangan terhadap urusan para ulama.

7. Kitab-kitab popular

a. Ikhtilafu al-Hadits, karya Imam Syafii. Beliau termasuk pionir yang membicarakan
perkara ini dan yang menyusunnya.
b. Tawil Mukhtalif al-Hadits, karya Ibnu Qutaibah atau dikenal dengan Abdullah bin
Muslim.
c. Musykil al-Atsar, karya ath-Thahawi atau dikenal dengan Abu Jafar Ahmad bin
Salamah.

Anda mungkin juga menyukai