0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
692 tayangan2 halaman
Tiga kalimat ringkasan:
1. Dokumen ini membahas tentang hadits muhkam dan mukhtalif, yaitu hadits yang tidak bertentangan dan hadits yang bertentangan.
2. Dijelaskan cara menjama' (mengkompromikan) hadits mukhtalif dengan melihat konteks dan makna yang lebih luas.
3. Jika tidak dapat dijama', perlu ditentukan manakah hadits yang lebih kuat dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
Tiga kalimat ringkasan:
1. Dokumen ini membahas tentang hadits muhkam dan mukhtalif, yaitu hadits yang tidak bertentangan dan hadits yang bertentangan.
2. Dijelaskan cara menjama' (mengkompromikan) hadits mukhtalif dengan melihat konteks dan makna yang lebih luas.
3. Jika tidak dapat dijama', perlu ditentukan manakah hadits yang lebih kuat dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
Tiga kalimat ringkasan:
1. Dokumen ini membahas tentang hadits muhkam dan mukhtalif, yaitu hadits yang tidak bertentangan dan hadits yang bertentangan.
2. Dijelaskan cara menjama' (mengkompromikan) hadits mukhtalif dengan melihat konteks dan makna yang lebih luas.
3. Jika tidak dapat dijama', perlu ditentukan manakah hadits yang lebih kuat dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
Ulumul Hadits; Ilmu Hadits Praktis; DR. Mahmud Thahan
1. Definisi Muhkam
Menurut bahasa: merupakan isim maful dari kata ahkama, yang berarti meyakinkan (atqana).
Menurut istilah: Hadits maqbul yang selamat dari berbagai pertentangan yang semisal. Atau hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits lain, yang dapat mrmprngaruhi artinya.
2. Definisi Hadits Mukhatalif
Menurut bahasa: merupakan isim fail dari kata ikhtalafa, artinya lawan dari sepakat (ittifaq). Makna dari hadits mukhtalif adalah: hadits-hadits yang sampai kepada kita, namun satu sama lain saling bertentangan maknanya. Dengan kata lain, maknanya saling kontradiktif.
Menurut istilah: hadits maqbul yang bertentangan dengan hadits lain yang semisal, namun memiliki peluang untuk dijama (dikompromikan) di antara keduanya. Yaitu bisa berupa hadits shahih atau hadits hasan, lalu ada hadits lain yang derajat dan kekuatannya sama, akan tetapi secara dhahir maknanya bertentangan. Bagi orang yang berilmu dan memiliki pemahaman kritis, amat memungkinkan kedua dalil tersebut digabungkan dalam bentuk yang dapat diterima.
3. Contoh Mukhtalif
Tidak ada infeksi [penularan] dan thiyarah [meramal dengan burung] yang dikeluarkan oleh Muslim;
dengan hadits: Hindarilah dari [penyakit] lepra, sebagaimana engkau [menghindari] singa. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari.
Dua hadits ini sama-sama shahih. Secara dhahir tampaknya bertentangan. Hadits pertama mengeliminasi penularan, sementara hadits kedua menetapkan adanya penularan. Para ulama kemudian menjamanya [mengkompromikan] kedua hadits tersebut dan menyepakati makna di antara kedua makna tersebut dengan tinjauan yang bermacam-macam. Dalam bahasan lain akan dipaparkan pandangan yang dipilih oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.
4. Tata cara menjama (mengkompromikan) hadits
Mengenai tata cara mengkompromikan kedua hadits tadi, ia berkata: Bahwa penularan itu tidak ada dan tidak bersifat baku. Alasannya karena sabda Rasulullah saw.: Tidak ada sesuatu yang bisa menularkan sesuatu yang lain.
Beliau juga bersabda kepada orang yang menentangnya, bahwa unta yang kudisan kemudian dicampur dengan unta sehat, maka unta sehat itu menjadi unta kudisan dengan perkataan: Lalu siapa yang menularkannya pada unta yang pertama? Maksudnya bahwa Allah Swt. yang menetapkan sakit itu pada unta yang kedua, sebagaimana dilakukan-Nya pada unta yang pertama.
Mengenai perintah untuk lari (menghindar) dari penyakit lepra, maka hal itu termasuk tindakan preventif (sadd adz-dzarai). Yaitu agar tidak terjadi kesamaan (sakit) pada diri orang yang berinteraksi dengan orang yang sakit lepra.
Fenomena sakitnya orang tersebut adalah karena takdir Allah yang telah menetapkannya, bukan karena penularan. Jadi dugaan orang bahwa hal itu disebabkan karena adanya interaksi dengan si sakit, kemudian meyakini benarnya penularan, maka terjatuhlah ia ke dalam dosa. Lalu diperintahkan untuk menjauhi orang yang sakit lepra sebagaimana tindakan pencegah terjerumus ke dalam keyakinan yang memerosokkannya dalam dosa.
5. Apa yang harus dilakukan jika terdapat dua hadits maqbul yang saling bertentangan?
Terhadap kasus ini hendaknya mengikuti langkah-langkah berikut: a) Jika keduanya memungkinkan untuk dikompromikan, maka langkah kompromi segera ditetapkan dan dijalankan terhadap keduanya. b) Jika keduanya tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai alasan maka: i) Jika diketahui salah satu di antara kedua hadits itu merupakan nasikh, maka hadits nasikh lebih didahulukan dan diamalkan. sedangkan hadits yang mansukh kita tinggalkan. ii) Jika kita tidak mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, maka kita harus mentarjih salah satu di antara kedua hadits tersebut dengan memperhatikan berbagai (prinsip) tarjih yang mencakup lima puluh jenis atau lebih. Kemudian kita mengamalkan hadits yang rajih (terkuat) iii) Dan jika terhadap kedua hadits itu tidak bisa dilakukan proses tarjih dan hal ini merupakan kebuntuan- maka kita tawaqufkan (bekukan) mengamalkan kedua hadits tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadits yang lebih rajih.
6. Urgensi dan orang yang menguasainya
Cabang ilmu ini tergolong perkara yang amat penting dalam ilmu hadits. Seluruh ulama urgen untuk mengetahuinya. Imam-imam yang mengumpulkan hadits dan faqih, serta ulama-ulama ushul yang mendalami makna-makna secara rinci memiliki ketrampilan dan kesempurnaan dalam cabang ilmu ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak menemukan kesulitan, kalau pun ada sangat jarang kejadiannya.
Pertentangan berbagai dalil telah menyibukkan para ulama. Dalam perkara inilah kehebatan mereka, pemahaman mereka, dan kesungguhan ikhtiar mereka sangat menonjol. Namun, tidak sedikit pula yang terpeleset ke dalam kubangan kebodohan dari sebagian orang yang suka campur tangan terhadap urusan para ulama.
7. Kitab-kitab popular
a. Ikhtilafu al-Hadits, karya Imam Syafii. Beliau termasuk pionir yang membicarakan perkara ini dan yang menyusunnya. b. Tawil Mukhtalif al-Hadits, karya Ibnu Qutaibah atau dikenal dengan Abdullah bin Muslim. c. Musykil al-Atsar, karya ath-Thahawi atau dikenal dengan Abu Jafar Ahmad bin Salamah.