dapat dilihat dari 3 (tiga) disiplin ilmu, al-Hadits”, dan pertama kali dicetuskan oleh
sebagai berikut: Imam al-Syafi’i dengan kitabnya “Ikhtilaf al-
Pertama, Ilmu Hadis, para ahli hadis Hadits”.
mengidentikkan sunnah dengan hadis yaitu:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada II. Pengertian Hadis Mukhtalif dan
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, Ilmu Mukhtalif al-Hadis
perbuatan maupun ketetapannya. Kedua,
Ilmu Ushul Fiqh, pengertian sunnah menurut Ada berapa definisi yang dikemukan
ulama ushul fiqh adalah segala sesuatu yang oleh para ulama tentang hadis mukhtalif,
diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa diantaranya:
perkataan, perbuatan dan ketetapan yang Menurut al-Tahanuwi, hadis mukhtalif
berkaitan dengan hukum. Ketiga, Ilmu Fiqh, adalah dua hadis maqbul yang saling
pengertian sunnah menurut ahli fiqh, bertentangan pada makna zahirnya dan
hampir sama dengan pengertian yang maksud yang dituju oleh suatu dengan
dikemukakan para ahli ushul fiqh. Akan lainnya, dapat dikompromikan dengan cara
tetapi istilah sunnah dalam fiqh, juga yang wajar (tidak dicari-cari).5
dimaksudkan sebagai salah satu hukum Definisi yang dikemukakan al-Tahanuwi
taklifi, berarti suatu perbuatan yang akan di atas, membatasi hadis mukhtalif itu hanya
mendapat pahala bila dikerjakan dan tidak pada hadis-hadis maqbul saja, dan tidak
berdosa bila ditinggalkan.3 termasuk hadis-hadis dhaif. Sedangkan
Semua hadis yang sampai kepada kita, menurut pendapat mayoritas ulama, hadis
dilihat dari segi kualitasnya untuk dapat yang memenuhi persyaratan maqbul adalah
diamalkan ataupun ditinggalkan, dapat hadis sahih dan hasan.
dibagi kepada tiga, yaitu (shahih, hasan dan Sedangkan menurut al-Nawawi, dikutip
dhaif).4 Dua istilah pertama dikatakan sebagai oleh al-Sayuthiy bahwa hadis mukhtalif ialah
hadis maqbul, yakni hadis yang wajib dua buah hadis yang saling bertentangan
diamalkan dan dapat menjadi hujjah, pada makna zahirnya, maka keduanya
sedangkan yang disebut terakhir (hadis dhaif) dikompromikan ataupun di tarjih (untuk
adalah mardud, dalam arti tidak boleh mengetahui mana yang terkuat di
diamalkan atau ditolak. Sementara yang antaranya).6
berkualitas maqbul, tidak sedikit pula yang Al-Nawawi dalam definisinya,
membingungkan untuk dilaksanakan atau memasukkan semua hadis yang secara
diamalkan, karena ada terdapat beberapa zahirnya tampak bertentangan antara satu
hadis yang membicarakan satu topik dan dengan yang lainnya, ke dalam makna hadis
bertentangan secara zahirnya antara satu mukhtalif. Namun menurut Yusuf
dengan yang lainnya . Hal ini sudah barang Qardhawi, bahwa hadis dhaif (mardud) tidak
tentu mendapat perhatian serius dari para termasuk ke dalam bidang hadis mukhtalif.7
ulama hadis, sehingga mereka mengkaji Karena itu, bila terdapat hadis maqbul
hadis-hadis mukhtalif itu dengan seksama bertentangan dengan hadis mardud, maka
agar keduanya dapat diamalkan. Mereka secara pasti hadis mardud ditinggalkan.
membangun kerangka teoritis untuk Berdasarkan definisi di atas, dapatlah
menyelesaikan hadis-hadis tersebut, dipahami bahwa yang dimaksud dengan
dituangkan dalam salah satu cabang ilmu hadis mukhtalif adalah hadis sahih dan hassan,
hadis yang disebut dengan “Ilmu Mukhtalif secara zahirnya telihat saling bertentangan
baru yang datang kemudian disebut yang membahas hadis-hadis yang saling
nasikh. berlawanan maknanya yang tidak
Imam al-Syafi’i di dalam bukunya mungkin dikompromikan, dari segi
Al-Risalah menjelaskan, nasakh adalah hukum yang terdapat pada sebagiannya,
meninggalkan suatu perintah yang benar pada karena ia sebagai nasikh (penghapus)
masanya, dan meninggalkannya merupakan terhadap hukum yang terdapat pada
suatu keharusan.54 sebagian yang lain, karena ia sebagai
Dari definisi di atas, para ulama mansukh (yang dihapus). Karena itu,
ushul fiqh mengemukakan bahwa hadis yang mendahului adalah sebagai
nasakh baru dianggap benar, apabila mansukh dan hadis yang terakhir adalah
telah memenuhi kriteria berikut : a). sebagai nasikh”.56
Pembatalan itu dilakukan melalui Ulama yang membolehkan adanya
tuntunan syara’ yang mengandung nasakh, mengemukakan beberapa syarat
hukum dari Syar’i Allah dan Rasul SAW. dalam penetapan nasakh, yaitu : Pertama,
b). Yang dibatalkan adalah hukum syara’ yang di-nasakh itu adalah hukum syar’i,
dan disebut dengan mansukh. c). yaitu hukum yang bersifat amaliah,
Hukum yang membatalkan hukum bukan hukum ‘aqli dan bukan yang
terdahulu, datang kemudian. Artinya menyangkut ‘aqidah. Kedua, dalil yang
hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih menunjukkan berakhirnya masa berlaku
dahulu datangnya dari hukum yang hukum yang lama itu, datang secara
membatalkan. Karena itu, hukum yang terpisah dan terkemudian dari dalil yang
berkaitan dengan syarat dan yang di-nasakh-kan. Kekuatan kedua dalil itu
bersifat ististna (pengecualian) tidak adalah sama, dan tidak mungkin
dinamakan nasakh.55 dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum
Masalah nasakh terdapat pada ayat- yang di-nasakh-kan tidak menunjukkan
ayat al-Qur’an dan juga pada hadis-hadis berlakunya hukum untuk selamanya,
Nabi SAW. Nasakh pada hadis, dapat karena pemberlakuan secara tetap dan
diberlakukan pada hadis-hadis mukhtalif berketerusan, menutup kemungkinan
dan bertentangan secara lahiriah serta pembatalan berlakunya hukum dalam
pada pada makna yang dikandungnya. suatu waktu.57 Adapun jalan ataupun
Atau, dengan kata lain hadis-hadis itu cara untuk mengetahui adanya nasakh
bertentangan secara mutlak, dan tidak suatu hadis itu, antara lain : a). Dengan
dapat diselesaikan dengan cara penjelasan dari nash atau dari syari’
kompromi. Maka hadis yang lebih sendiri, dalam hal ini penjelasan
dahulu datangnya, di-nasakh-kan oleh langsung dari Rasulullah SAW. b).
hadis yang datang belakangan. Dengan penjelasan dari shahabat. c).
Ilmu pengetahuan yang membahas Dengan mengetahui tarekh keluarnya
tentang hadis yang datang kemudian, hadis. Misalnya penjelasan dari Syari’
sebagai penghapus terhadap ketentuan sendiri, sabda Nabi SAW: “Dahulu saya
hukum yang berlawanan dengan melarang kamu untuk menziarhi kubut,
kandungan hadis yang datang lebih maka sekarang ziarahilah”.
dahulu, disebut ilmu Nasikh wa al- (HR.Muslim). 58
matan hadis itu sendiri, yaitu kalimat ditemukan petunjuk yang mungkin
“fazuruha”. Begitu pula melalui menguatkan salah satu di antara
priwayatan, bahwa seorang perawi keduanya, maka digunakanlah dalil yang
menukilkan sebuah khabar dari Nabi, memiliki petunjuk yang menguatkan itu.
kemudian perawi yang lain munukilkan Cara tersebut dinamakan tarjih.
pula dari Nabi khabar yang berbeda Secara etimologi, tarjih berarti
dengan itu. Kemudian diketahui, perawi “menguatkan”. Dalil yang dikuatkan
pertama meninggal sebelum masuk disebut dengan rajih, dan dalil yang
Islamnya perawi kedua. Dengan dilemahkan disebut dengan marjuh.
demikian dapat diketahui, bahwa Dalam arti istilahi, tarjih adalah ungkapan
periwayatan hadis kedua adalah mengenai di iringinya salah satu dari dua dalil
terkemudian dari periwayatan hadis yang pantas yang menunjukkan kepada apa
pertama. Umpamanya hadis Nabi SAW, yang dikehendaki, di samping keduanya
tentang tidak batalnya wudhu’ karena berbenturan yang mewajibkan untuk
menyintuh zakar (kemaluan) menurut mengamalkan satu di antaranya dan
riwayat Thalaq ibn Ali: “Tdak wajib wudhu’ meninggalkan yang satu lagi.60
karena menyintuh zakar”. Sedangkan Abu Kata (satu di antara dua dalil yang
Hurairah, meriwayatkan hadis tentang pantas), mengandung arti bila dua dalil
batalnya wudhu’ karena menyintuh zakar: itu atau satu di antara dua dalil itu tidak
“Wajib wudhu’ karena menyintuh zakar”. pantas untuk dijadikan dalil, maka yang
Jadi hadis yang diriwayatkan Abu demikian tidaklah dinamakan tarjih.
Hurairah datang kemudian, karena Abu Sedangkan kata (disamping keduanya
Hurairah sendiri masuk Islam sesudah bedrbenturan), mengandung arti
wafatnya Thalaq ibn Ali (empat tahun meskipun keduanya adalah dalil yang
sebelum wafatnya Nabi SAW).59 patut, namun tidak berbenturan, tidak
Adapun hikmah adanya nasakh dinamakan tarjih. Karena tarjih itu
adalah untuk memelihara kemaslahatan diperlukan waktu menghadapi dua dalil
umat manusia, baik di dunia maupun di yang berbenturan; dan tidak perlu tarjih
akhirat. Kemaslahatan manusia itu bila tidak terdapat perbenturan.
terkadang mengalami perubahan, karena Dari definisi di atas, dapat diketahui
berubahnya situasi dan kondisi. Hukum hakikat tarjih dan sekaligus merupakan
itu ditetapkan untuk merealisasikan persyaratan bagi tarjih, yaitu :
kemaslahatan itu, dengan didasarkan 1. Dua dalil tersebut berbenturan dan
kepda sebab-sebab tertentu. Bila sebab- tidak ada kemungkinan untuk
sebab itu sudah tidak terdapat lagi, maka mengamalkan keduanya dengan
tidak ada perlu lagi hukum itu. cara apapun. Dengan demikian,
tidak terdapat tarjih dalam dua dalil
3. Penyelesaian Dalam Bentuk Tarjih yang qath’i karena dua dalil qath’i,
Hadis-hadis mukhtalif, bila tidak tidak mungkin berbenturan.
mungkin untuk dikompromikan dengan 2. Kedua dalil yang berbenturan itu
cara apapun, tidak mungkin pula adalah sama-sama pantas untuk
diperlakukan ketentuan takhsis, tidak memberi petunjuk kepada yang
ditemukan pula cara untuk dimaksud.
memberlakukan naskah. Akan tetapi 3. Adanya petunjuk yang mewajibkan
11
Fatchurrahman , Op-cit, hlm. 294. Tertutup, Pustaka, Bandung, 1984, hlm.44.
12
Ibid, hlm. 294. 22.
Amir Syarifuddin, Op-cit, hlm. 223-224.
13
Muhammad Ajaj al-Khatib, Op-cit, hlm.183. 23
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam:
14
Para ahli hadis, melakukan upaya dengan membantah Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi,
semua keraguan mereka dengan menggabungkan dan Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2008, 151-152.
mengumpulkan nash-nash tersebut. Ibnu Qutaibah 24
Ibid, hlm. 152. Baca dan bandingkan Muhammad
berkata: “Engkau telah memberitahukan kepadaku dari al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut,
apa yang engkau ketahui, tentang cacian dan hinaan ahli 1988, hlm. 358.
kalam terhadap ahli hadis serta tuduhan terhadap mereka, 25
Muhammad Wafa, Ta’arudh al-Adillah asy-Syar’iyah
sebagai penyebar kebohongan dan riwayat bertentangan min al-Kitab wa as-Sunnah wa at-Tarjih Bainaha, Dar
yang mengakibatkan terjadinya perselisihan, munculnya al-Qalam, Kairo, 2001, hlm.79. Baca dan
banyak aliran dan mazhab. Terputuslah selaturrahmi, bandingkan, Abu Hamid Muhammad ibn
kaum muslimin saling bermusuhan dan mengkafirkan Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa fi Ushul al-Fiqh,
sebagian terhadap yang lainnya, dan setiap mazhab Dar al-Fikr, Beirut, 1332H, Jld.I, hlm.522-523. Baca
berpegang pada hadis tertentu. Lihat, Manna’ al- pula, Duski Ibrahim, Op-cit, hlm.152-153.
Qaththan, Op-cit, hlm. 103-105. 26
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-
15
Muhammad bin ‘Aliy bin Muhammad al-Syaukani, Hadis Mukhtalif, IAIN Imam Bonjol Press, Padang,
Nail al-Authar, Dar al-Fikr, Beirut, Ct.II, Jld.I, tt, 1999, hlm.95. Lihat juga, Muin Umar, dkk. Ushul
hlm. 226-227. Fiqh-I, Depag. RI, 1986, hlm. 167-183.
16
Fatchurrahman, Op-cit, hlm. 297. Baca dan 27
Fatchurrahman, Op-cit, hlm.24.
bandingkan Abd al-Rahman bin Abi Bakr al- 28
Amir Syarifuddin, Op-cit, hlm. 227.
Syayuthiy, Op-cit, hlm. 196. 29
Al-‘Am adalah suatu kata yang pemakaiannya
17
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam : mencakup seluruh afrad atau satu yang tercakup
Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi, dalam arti kata tersebut. Sedangkan al-khash adalah
Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2008, hlm.79. suatu kata yang pemakaiannya, hanya untuk sebagian
18
Ibid, hlm. 80. Lihat dan bandingkan, Amir makna yang dicakup oleh kata tersebut. Lihat, Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Prenada Media Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Madia
Group, Jakarta, Jld. I, 2008, hlm. 48. Group, Jakarta, Jld.II, 2008, hlm. 47-88.
19
Al-Syafi’i adalah yang pertama kali membukukan 30
Muthlaq adalah lafaz yang mencakup pada jenisnya,
kaedah-kaedah ushul fiqh yang disertai dengan tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya.
alasannya, dalam sbuah kitab Ar-Risalah. Inilah Adapun bedanya dengan al-‘am adalah al-‘am itu
kitab ushul fiqh yang pertama samapi kepada kita. bersifat syumul dan muthlaq bersifat badali.
Baca Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Sedangkan muqayyad adalah lafaz yang
Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm.11-12. menunjukkan hakikat sesuatu yang di ikatkan
20
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, Syirkah Maktabah wa kepada lafaz itu suatu sifat. Ibid, hlm.116-119. Lihat
Mathba’ah Musthafa al-Baby al-Halabiy wa dan bandingkan, Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,
Auladuhu, Mesir, 1969, hlm. 33-105. Baca dan CV.Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm.212-213.
bandingkan, al-Syafi’i, Al-Um, Maktabah al-Kulliyah, 31
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhary al-Ju’fy
Mesir, 1961, hlm. 2436. Lihat juga, K.H.Siradjuddin (disebut al-Bukhary), Sahih al-Bukhary, Dar Ibn Katsir
Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Pustaka al-Yamamah, Beirut, Cet.III, Juz.2, 1987, hlm.540. Baca
Tarbiyah, Jakarta, 1991, hlm.119-135. dan bandingkan, Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
21
Al-Qur’an meminta kepada Rasul untuk memutuskan PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. IV, 2003, hlm.222.
persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslimin Baca pula, Rachmzt Syafe’i, Op-cit, hlm.199.
dengan dasar wahyu. Otoritas pokok bagi legislasi 32
Ibid, hlm. 540.
Islam adalah al-Qur’an. Meskipun demikian, al-Qur’an 33
Satu wasaq adalah 60 sha’, berarti 5 wasaq adalah
juga menyatakan bahwa Rasulullah SAW, adalah 300 sha’, sedangkan 1 sha’ adalah 4 genggam tangan.
penafsir ayat-ayat al-Qur’an. Lebih jauh al-Qur’an Lihat Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Penerjemah
menerangkan akan fungsi Rasul, yaitu mengumumkan Salman Harun, Didin Hafidhuddin, Hasanuddin.
wahyu kepada orang banyak dan memberikan didikan Judul asli Fiqh al-Zakah, PT.Pustaka Litera Antar
moral kepada mereka serta mengajarkan Kitab Suci Nusa, Cet.VII, 2004, hlm.344-351. Atau, satu
dan kearifan. Justru itulah hadis (sunnah) terkait erat wasaq=60 sha’, 5 wasaq = 5x60 = 300 sha’, dan 1
dengan al-Qur’an, karenanya agak sulit untuk sha’ = 3,1 liter, jadi 300 sha’= 300x3,1 liter=930
menyatakan keduanya adalah dua sumber yang liter. Lihat Nazar Bakry, Op-cit, hlm. 223.
terpisah. Baca, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum 34
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusairiy al-
Naisaburiy, Sahih Muslim, Dar al-Ihya, al-Turats al- Fathony, Syari’at Islam: Tafsir Ayat-Ayat Ibadah, Rajawali
Arabiy, Beirut, tt, Juz.II, hlm.1029. Baca dan Pers, Jakarta, 1987, hlm. 98-99.
bandingkan, Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: 45
Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Daud al-Sijistaniy al-Azdiy,
Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus- Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Bairut, Jld.II, hlm.22.
Sunnah dan Negara-Negara Islam, Bulan Bintang, 46
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Op-cit, hlm.38-39
Jakarta, 1988, hlm.119-120. 47
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mushthafa fi Ilm al-Ushul,
35
Ibid, hlm. 1114. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1973, hlm.128.
36
Al-Syafi’i, al-Umm, Op-cit, hlm.656. Baca juga Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV.
37
Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm.308-309. Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm.170-171.
38
Ibid, hlm.311. 48
Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm. 282.
39
Al-Bukhari, Op-cit, hlm.211. Lihat dan bandingkan 49
Ibid, hlm.283.
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Fiqih Shalat: 50
Ibid, hlm. 283-284.
Bimbingan Menuju Shalat yang Sempurna, Akademika 51
Ibn Mansur Jalaluddin Muhammad, Lisan al-‘Arab,
Pressindo, Jakarta, 2002, hlm. 36-37. Dar al-Misriyyah, Juz.IV, tt, hlm.28. Lihat pula
40
Ibid, hlm.215. Lihat juga, Nazar Bakry, Op-cit, hlm. 241. Rachmat Syafe’i, Op-cit, hlm. 231.
41
Al-Syafi’i, al-Um, Opcit, hlm.615. Muhammad 52
Muhammad Fu’ad Abd Baqi’, Mu’jam al-Mufarras
Ibrahim Al-Hifnawi, Op-cit, hlm. 38-39. li Alfaz al-Qur’an, Maktabah Dahlan, Indonesia, tt,
42
Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm.320-323. hlm. 870.
43
Menunda shalat sampai akhir waktunya dibolehkan 53
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr
tanpa ada perbedaan pendapat, selama keseluruhan al- ‘Arabi, i958, hlm.185, Lihat dan bandingkan,
rakaatnya bisa diselesaikan dalam rentang waktu Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Op-cit, hlm.422.
shalat yang bersangkutan. Namun, apabila sebagian 54
Lebih lanjut al-Syafi’i menjelaskan, orang yang sudah
rakaatnya tidak dapat dikerjakan dalam waktu shalat mengetahui bahwa printah itu telah di-nasakh-kan,
tersebut, tetapi terpaksa dikerjakan di luar waktunya. maka haruslah mengikuiti perintah yang baru dan
Maka dalam hal ini menurut pendapat yang benar, meninggalkan perintah yang lama. Tetapi bagi orang
seluruhnya merupakan shalat dalam waktunya yang tidak mengetahuinya, boleh mengikuti terus
(adaan). Berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa kewajiban yang di nasakh sapai ia tahu keadaan yang
yang mendapatkan subuh satu rakaat sebelum terbit sebenarnya. Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm.122.
mata hari, berarti dia telah mendapatkan subuh 55
Nazar Bakry, Op-cit, hlm. 257.
seutuhnya. Dan siapa yang mendapatkan ‘asar satu 56
Fatchurrahman, Op-citr, hlm.291.
rakaat sebelum mata hari terbenam, berarti dia telah 57
Amir Syarifuddin, Op-cit, hlm. 251.
mendapatkan ‘asar seutuhnya” (HR.Muttaqun 58
Ibid, hlm.279.
‘Alaihi). Sedangkan apabila tidak mendapatkan satu 59
Ibid, hlm. 279-280.
rakaat pada rentang waktunya itu, maka shalatnya 60
Ibid, hlm. 283.
merupakan shalat qada. Baca Muhammad Ibrahim 61
Nazar Bakry, Op-cit, 262.
Al-Hifnawi, Fiqih Shalat: Bimbingan Menuju Shalat Yang 62
Fatchurrahman, Op-cit, hlm.132-133. Lihat pula,
Sempurna, Terjemahan Dedi Junaidi, Akademika Rachmat Syafe’i, Op-cit, hlm.243-249.
Presindo, Jakarta, Cet.II, 2002, hlm. 25-26. 63
Ibid, hlm.132. Baca dan Bandingkan, Muhammad
44
Rasulullah SAW, telah menerangkan dengan sabda bin Isma’il Ash-Shan’any, Sabulus-Salam, Maktabah
dan perbuatan beliau bahwa waktu ‘asar itu adalah Tijariyah Kubra, Mesir,Juz.II, tt, hlm.192.
“mulai dari saat panjang bayangan sesuatu benda sama 64
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Op-cit, hlm. 474.
dengan panjang bendanya, sampai sinar mata hari
menguning”. Tetapi di samping itu, beliau juga
menyatakan bahwa “orang yang mendapatkan satu Tentang Penulis
rakaat dari shalat ‘asar sebelum mata hari terbenam,
berarti dia telah mendapatkan shalat ‘asar secara
keseluruhan”. Ketentuan yang pertama di atas, berlaku Kaizal Bay, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN
bagi orang yang tidak dalam keadaan berhalangan. SUSKA Riau, menyelesaikan program studi (S.1)
Sedangkan bagi orang yang dalam keadaan pada jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah
berhalangan, berlaku ketentuan kedua. Namun, dalam IAIN “Imam Bomjol” Padang, tahun 1988, dan
keadaan tidak berhalangan tidak seorang pun boleh program (S.2) pada Universitas Padjadjaran
menunda pelaksaan shalat ‘asar dari waktu yang telah (UNPAD) Bandung, dengan kajian utama
ditentukan, sebagaimana di terangkan oleh sabda dan
Sosiologi dan Antropologi, tahun 2002.
perbuatan Rasulullah SAW. Lihat Abdur Rachim dan