Anda di halaman 1dari 19

Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

Metode Penyelesaian Hadis-hadis


Mukhtalif Menurut al-Syafi’i
I. Pendahuluan
Oleh : Kaizal Bay
Hadis menempati urutan kedua, dalam Tulisan ini menjelaskan metode (cara)
sistem sumber-sumber hukum. Ia berfungsi penyelesaian hadis-hadis maqbul yang
sebagai nash yang masih dalam bentuk garis saling berlawanan (mukhtalif), yaitu hadis
besarnya membatasi akan keumuman nash sahih atau hasan yang secara lahiriah
tersebut, atau menetapkan hukum yang belum terlihat tampak saling bertentangan dengan
nyata disebutkan di dalam al-Qur’an. hadis sahih atau hasan lainnya. Namun,
Sebenarnya dari satu segi, hadis dapat juga maksud yang dituju oleh hadis-hadis
dikatakan sebagai sumber hukum yang berdiri tersebut tidaklah bertentangan, karena
sendiri. Karena kadang-kadang ia membawa antara satu dengan yang lain pada
hukum yang tidak disebut dalam al-Qur’an. prinsipnya dapat diselesaikan dengan cara:
Tetapi, dilihat dari sisi lain, ia tidak terlihat Pertama, mengkompromikan yaitu
sebagai sumber hukum tersendiri. Karena berusaha untuk mengumpulka keduanya,
fungsinya sebagai tabyin, tidak akan sampai hilang perlawanannya.
membebaskannya diri aturan-aturan al-Qur’an Kedua,nasakh yakni mencari mana di
itu sendiri, di samping apa yang diucapkan dan antara kedua hadis tersebut yang datang
diperbuat Nabi SAW, tidak lepas dari wahyu lebih dahulu, dan mana yang datang
yang di wahyukan kepadanya.1 Karena itu, kemudian. Maka hadis yang datang lebih
hadis Nabi pun juga adalah wahyu, dan dahulu hendaklah di-nasakh-kan oleh hadis
penampilannya muncul melalui redaksi atau yang datang kemudian. Ketiga,Tarjih yaitu
prilaku Nabi SAW sebagai Rasul Allah. Hal melakukan penelitian mana hadis yang kuat
ini dijelaskan dalam firman Allah: “Dan tidaklah baik sanad maupun matannya, untuk
yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan ditarjihkan. Hadis yang kuat disebut hadis
hawa nafsunya. (Ucapannya itu) tiada lain hanyalah rajih, sedangkan yang ditarjihkan disebut
wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (QS. An- marjuh. Cara penyelesaian tersebut adalah
Najm : 3-4). menurut al-Syafi’i.
Secara struktural, hadis merupakan
pedoman dan undang-undang berisi kaedah Keyword : Penyelesaian, Hadis
kaedah Islam, baik masalah aqidah, akhlak, Mukhtalatif, Al-Syafi’i
mu’amalah dan segala hal yang berkenaan
dengan kehidupan. Sedangkan secara
fungsuional hadis merupakan penjelasan Mayoritas ulama mengatakan bahwa
sekaligus pengamalan al-Qur’an secara yang dimaksud dengan hadis Nabi SAW
menyeluruh. Kedudukan hadis yang sangat adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir
penting tersebut, menjadikan hadis haruslah dan hal ihwal yang dinisbatkan kepada Nabi
benar-benar valid dan dapat dipertanggung SAW.2 Di samping itu, ulama juga berbeda
jawabkan berasal dari Nabi Muhammad dalam memberikan pengertian sunnah.
SAW. Secara terminologis, pengertian sunnah

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 183


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

dapat dilihat dari 3 (tiga) disiplin ilmu, al-Hadits”, dan pertama kali dicetuskan oleh
sebagai berikut: Imam al-Syafi’i dengan kitabnya “Ikhtilaf al-
Pertama, Ilmu Hadis, para ahli hadis Hadits”.
mengidentikkan sunnah dengan hadis yaitu:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada II. Pengertian Hadis Mukhtalif dan
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, Ilmu Mukhtalif al-Hadis
perbuatan maupun ketetapannya. Kedua,
Ilmu Ushul Fiqh, pengertian sunnah menurut Ada berapa definisi yang dikemukan
ulama ushul fiqh adalah segala sesuatu yang oleh para ulama tentang hadis mukhtalif,
diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa diantaranya:
perkataan, perbuatan dan ketetapan yang Menurut al-Tahanuwi, hadis mukhtalif
berkaitan dengan hukum. Ketiga, Ilmu Fiqh, adalah dua hadis maqbul yang saling
pengertian sunnah menurut ahli fiqh, bertentangan pada makna zahirnya dan
hampir sama dengan pengertian yang maksud yang dituju oleh suatu dengan
dikemukakan para ahli ushul fiqh. Akan lainnya, dapat dikompromikan dengan cara
tetapi istilah sunnah dalam fiqh, juga yang wajar (tidak dicari-cari).5
dimaksudkan sebagai salah satu hukum Definisi yang dikemukakan al-Tahanuwi
taklifi, berarti suatu perbuatan yang akan di atas, membatasi hadis mukhtalif itu hanya
mendapat pahala bila dikerjakan dan tidak pada hadis-hadis maqbul saja, dan tidak
berdosa bila ditinggalkan.3 termasuk hadis-hadis dhaif. Sedangkan
Semua hadis yang sampai kepada kita, menurut pendapat mayoritas ulama, hadis
dilihat dari segi kualitasnya untuk dapat yang memenuhi persyaratan maqbul adalah
diamalkan ataupun ditinggalkan, dapat hadis sahih dan hasan.
dibagi kepada tiga, yaitu (shahih, hasan dan Sedangkan menurut al-Nawawi, dikutip
dhaif).4 Dua istilah pertama dikatakan sebagai oleh al-Sayuthiy bahwa hadis mukhtalif ialah
hadis maqbul, yakni hadis yang wajib dua buah hadis yang saling bertentangan
diamalkan dan dapat menjadi hujjah, pada makna zahirnya, maka keduanya
sedangkan yang disebut terakhir (hadis dhaif) dikompromikan ataupun di tarjih (untuk
adalah mardud, dalam arti tidak boleh mengetahui mana yang terkuat di
diamalkan atau ditolak. Sementara yang antaranya).6
berkualitas maqbul, tidak sedikit pula yang Al-Nawawi dalam definisinya,
membingungkan untuk dilaksanakan atau memasukkan semua hadis yang secara
diamalkan, karena ada terdapat beberapa zahirnya tampak bertentangan antara satu
hadis yang membicarakan satu topik dan dengan yang lainnya, ke dalam makna hadis
bertentangan secara zahirnya antara satu mukhtalif. Namun menurut Yusuf
dengan yang lainnya . Hal ini sudah barang Qardhawi, bahwa hadis dhaif (mardud) tidak
tentu mendapat perhatian serius dari para termasuk ke dalam bidang hadis mukhtalif.7
ulama hadis, sehingga mereka mengkaji Karena itu, bila terdapat hadis maqbul
hadis-hadis mukhtalif itu dengan seksama bertentangan dengan hadis mardud, maka
agar keduanya dapat diamalkan. Mereka secara pasti hadis mardud ditinggalkan.
membangun kerangka teoritis untuk Berdasarkan definisi di atas, dapatlah
menyelesaikan hadis-hadis tersebut, dipahami bahwa yang dimaksud dengan
dituangkan dalam salah satu cabang ilmu hadis mukhtalif adalah hadis sahih dan hassan,
hadis yang disebut dengan “Ilmu Mukhtalif secara zahirnya telihat saling bertentangan

184 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

dengan hadis sahih dan hasan lainnya. pengkompromiannya.10


Namun maksud yang dituju oleh hadis-hadis Menurut Fatchur Rahman, ilmu
tersebut tidaklah bertentangan, karena satu mukhtalif al-Hadits adalah ilmu yang
dengan lainnya pada prinsipnya dapat membahas hadis-hadis yang menurut
dikompromikan atau dapat dicari zahirnya saling bertentangan, untuk
penyelesaiannya dengan cara nasakh atapun menghilangkan perlawanannya itu atau
tarjih. mengkompromikan keduanya, sebagaima
Adapun ilmu mukhtalif al-hadits, menurut halnya membahas hadis-hadis yang sukar
Ajaj al-Khatib bahwa ulama yang pertama dipahami atau diambil isinya, untuk
mengkaji dan menghimpun ilmu mukhtalif mengilangkan kesukarannya dan
al-hadis adalah Imam al-Syafi’i, dalam menjelaskan hakikatnya.11
kitabnya Mukhtalif al-Hadits. Beliau juga Dengan memperhatikan beberapa
memasukkan hadis-hadis yang menyangkut definisi diatas, dapat dipahami bahwa ilmu
masalah tanawwu’ al-ibadah ( keragaman tata mukhtalif al-hadits adalah ilmu yang
cara pelaksanaan ibadah) ke dalam membahas hadis-hadis yang menurut
kelompok hadis-hadis mukhtalif. Setelah al- zahirnya bertentangan (berlawanan),
Syafi’i, kajian tentang hadis mukhtalif kemudian menghilangkan pertentangan
dilanjutkan oleh ulama-ulama berikutnya, tersebut atau mengkompromikan antara
seperti Abdullah bin Muslim bin Qutaibah keduanya. Sebagaimana juga ia membahas
al Dainury, Abu Ja’far Ahmad bin tentang hadis-hadis yang sulit dipahami isi
Muhammad al-Thahawiy dan Abu Bakar ataupun kandungannya, dengan cara
Muhammad bin al-Hasan.8 Dengan adanya menghilangkan kemusykilan (kesulitannya)
perhatian ulama terhadap hadis-hadis serta menjelaskan hakikatnya. Dengan
mukhtalif, telah melahirkan suatu cabang demikian ilmu mukhtalif al-hadits, merupakan
ilmu dalam disiplin ilmu hadis, disebut teori (tata cara) yang dirumuskan para ulama,
dengan Ilmu Mukhtalif al-Hadits. Sebagian untuk menyelesaikan hadis-hadis maqbul
ulama menamai ilmu ini dengan: Ilmu secara zahirnya tampak saling bertentangan,
Musykil al-Hadits, ada juga yang menamai agar dapat ditemukan pengkompromian
dengan Ilmu Ta’wil al- Hadits dan sebagian atau jalan keluar penyelesaiannya, sehingga
yang lain menamainya dengan IlmuTalfiqiel maksud hadis-hadis tersebut dapat dipahami
Hadits. dengan baik.
Sedangkan Manna’ al-Qaththan Adapun yang menjadi objek ilmu
menyebutkan definisi dari ilmu mukhtalif al- mukhtaliful hadis, yakni hadis-hadis maqbul
Hadits dan ilmu musykil al-Hadits, yaitu ilmu yang saling berlawanan, untuk
yang menggabungkan dan memadukan dikompromikan kandungannya baik dengan
antara hadis-hadis yang zahirnya jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya,
bertentangan, atau ilmu yang menerangkan maupun dengan mengkhususkan (takhshis)
ta’wil hadis yang musykil meskipun tidak keumumannya dan sebagainya. Atau, hadis-
bertentangan dengan hadis lain.9 Sementara hadis yang musykil, untuk dita’wilkan,
Ajaj al-Khatib, mendefinisikan ilmu mukhtalif hingga hilang kemusykilannya, walaupun
al-Hadits, yaitu yang membahas hadis-hadis hadis-hadis musykil itu tidak saling
yang secara zahirnya saling bertentangan, berlawanan.12 Sedangkan hadis-hadis mardud
untuk dapat menghilangkan pertentangan (dhaif dan maudhu’), tidaklah termasuk objek
tersebut atau untuk dapat menemukan kajian ilmu ini, karena ia tidak dapat

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 185


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

dijadikan dalil hukum atau hujjah. di zaman mereka, senantiasa berhadapan


Ilmu Mukhtaliful Hadis, termasuk salah dengan hadis-hadis Rasulullah SAW. Salah
satu dari ilmu-ilmu hadis yang sangat satu di antaranya, terdapat hadis-hadis
diperlukan oleh para Muhaddisin, Fuqaha’ mukhtalif yang perlu mendapat perhatian
dan lainnya. Bagi seseorang yang hendak tersendiri guna menyelesaikan peretentangan
memetik hukum dari dalil-dalilnya yang tampak, agar maksud yang dituju hadis
hendaklah mempunyai pengetahun yang tersebut dapat dipahami serta hukum yang
mendalam, pemahaman yang kuat, dikandungnya dapat di-istinbath-kan secara
mengetahui ke-umum-an dan ke-khususan- baik.13
nya, mengenal akan ke-mutlak-kan dan ke- Sedangkan Manna’ al-Qaththan,
muqayyad-annya dalil-dalil tersebut. Ia tidak menjelaskan bahwa ilmu mukhtalif al-hadis ini
cukup hanya menghapal hadis-hadis, sanad- muncul dan dibutuhkan pada saat lahirnya
sanadnya tanpa mengetahui ketentuan- beberapa kelompok aliran, dan menjamurnya
ketentuannya dan memahaminya dengan golongan dan mazhab. Maka setiap orang
benar. Apa lagi kalau hadis-hadis yang di menguatkan dan mempertahankan
jadikan sumber atau dalil hukum itu, tampak kelompoknya masing-masing, dan berusaha
bertentangan secara lahirnya. untuk menghancurkan pendapat kelompok
Untuk diketahui, ilmu mukhtalif al-hadits lain. Mereka di antaranya, seperti kelompok
merupakan suatu cabang ilmu hadis tidaklah (Mu’tazilah, Murji’ah, Qadhariyah, Rafidhah dan
berdiri sendiri, melainkan mempunyai kaitan Khawarij) yang mengobarkan isu dan keraguan
yang erat dengan cabang ilmu-ilmu hadis terhadap sebagian hadis Nabi SAW, secara
lainnya. Seperti ilmu gharib al-hadits, ilmu asbab zahirnya berlawanan atau bertentangan
al-wurudil hadits, nasikh wal mansukhih. Bahkan dengan mazhab mereka. Karenanya para ahli
ilmu ini berkaitan erat dengan disiplin ilmu Hadis, melakukan upaya untuk membantah
lainnya, seperti ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh dan menghilangkan semua keraguan mereka,
yang diperlukan untuk dapat meng-istinbath- dengan cara mengumpulkan dan
kan hukum dan memahami maksud yang mengkompromikan nash-nash tersebut.14
dikandung hadis itu dengan baik. Karena itu, Menurut penulis, ilmu mukhtalif al-hadits
untuk dapat menguasai ilmu mukhtalif al- secara praktis telah ada pada masa sahabat.
hadits ini, di samping harus menguasai ilmu- Hal dapat dibuktikan dengan adanya
ilmu hadis secara baik, sudah barang tentu pemahaman mereka terhadap hadis-hadis
diperlukan pula pengetahuan yang cukup mukhtalif yang di selesaikan dengan jalan
tentang disiplin ilmu-ilmu lainnya kompromi. Umpamanya hadis ada yang
sebagaimana dijelaskan di atas. melarang melakukan pembekaman disaat
puasa, dan ada yang membolehkannya. Al-
III.Promotor dan Kitab-Kitab Tsauriy dan sahabat lainnya, menyelesaikan
Mukhtaliful Hadits hadis bertentangan secara zahir tersebut
dengan cara memngkompromikannya, yaitu
Menurut Ajaj al-Khatib, ilmu mukhtalif dengan pemahaman bahwa larangan hadis
al-hadits secara peraktis, sudah ada sejak itu tidak mutlak, melainkan karena
zaman Sahabat dan kemudian berkembang pembekaman itu dapat menyebabkan
di kalangan generasi berikutnya. Karena itu, kondisi fisik seorang menjadi lemah, dan
mereka berijtihad untuk menemukan selanjutnya dapat merusak puasa. Karena
jawaban dari berbagai masalah yang muncul itu, larangan hadis tersebut bukanlah untuk

186 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

mengharamkan tapi hanya untuk IV. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis


memakruhkan.15 Namun, secara teoritis16, Mukhtalif
ilmu mukhtalif al-hadits ini pertama kali
dicetuskan oleh Imam al-Syafi’i (wafat 204 Metode penetapan hukum Islam, secara
H) dengan kitabnya “Ikhtilaf al-Hadits”. sederhana dapat diartikan sebagai cara-cara
Kemudian, mucullah kitab-kitab mukhtalif menetapkan, meneliti dan memahami
al-hadits lain, diantaranya : aturan-aturan yang bersumber dari nash-
1. Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits, karya al- nash hukum, untuk diaplikasikan dalam
Hafidh ‘Abdullah bim Muslim bin kehidupan manusia, baik yang menyangkut
Qutaibah ad-Dainury (213-276 H). Kitab individu maupun masyarakat. Metode ini
ini ditulis oleh pengarangnya, untuk terkandung dalam suatu disiplin ilmu yang
memberikan jawaban bagi orang yang dikenal dengan ilmu ushul fiqh, yaitu
mengadakan tantangan terhadap hadis; pengetahuan yang membahas tentang dalil-
dan menuduh para Ahli Hadis yang dalil hukum secara garis besar (ijmal), cara
sengaja mengumpulkan hadis-hadis yang pemanfa’atannya dan keadaan orang yang
saling berlawanan dan pada meriwayatkan memanfa’atkannya yakni Mujtahid.17 Melalui
hadis-hadis yang musykil. Beliau ilmu ini, pengetahuan tentang hukum Islam
mengumpulkan hadis-hadis yang menurut dapat diwujudkan, sehingga ilmu ushul fiqh
zahirnya berlawanan, dan kemudian beliau di identifikasi sebagai metodologi
uraikan sehingga hadis-hadis tersebut, konvensional dalam studi hukum Islam, atau
tidak berlawanan satu sama lain. koleksi teori-teori hukum Islam.
2. Musykil al-Atsar, karya Imam Abu Ja’far Dalam kitab-kitab ushul fiqh, wacana
Ahmad bin Muhammad at-Thahawy tentang metode penetapan hukum Islam
(239-321 H). Di samping beliau sebagai atau metode ijtihad, selalu di kaitkan dengan
Muhaddits, juga beliau terkenal sebagai dalil-dalil hukum Islam. Dalil dalam literatur
Al-Faqih (ahli fiqh). Kitab yang beliau ilmu ushul fiqh, didefinisikan sebagai
susun ini, terdiri dari 4 jilid dan telah “sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
dicetak di India pada tahun (1333 H). informasi yang dicari, dengan menggunakan
3. Musykil al-Hadits wa Bayanuhu, karya al- penalaran yang benar”.18 Atau, sesuatu yang
Muhaddits Abu Bakr Muhammad bin dapat menyampaikan kepada pengetahuan
Al-Hasan (Ibnu Furak) Al-Anshary Al- yang pasti tentang informasi yang dicari.
Asbihany (wafat tahun 406 H). Beliau Al-Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar
menyusun beberapa hadis Nabawi yang pertama metodologi hukum Islam,
menurut zahirnya diduga serupa (tasybih), dituangkan dalam kitabnya Ar-Risalah. 19
dan berlawanan (tanaqudl) yang Teori-teori penetapan hukumnya cukup
dilemparkan oleh orang-orang yang baik, disusun dengan bahasa sederhana
memusuhi agama. Kemudian sedtelah tetapi jelas dan tegas. Al-Syafi’i dipandang
beliau jelaskan hadis-hadis itu, batallah oleh para ulama sebagai pencipta ushul fiqh,
tuduhan-tuduhan mereka. Karena uraian dan dilajutkan pembahasannya oleh ulama
yang beliau kemukanan, di samping generasi berikutnya.
berdasarkan kepada nash-nash dan juga Al-Syafi’i memandang ijtihad sebagai
berpijak kepada analisa yang logis. Kitab suatu metode yang tepat dan penting dalam
ini telah dicetak di India pada tahun menetapkan hukum Islam. Karena itu, al-
(1362 H). Syafi’i salah seorang mujtahid yang banyak

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 187


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

melakukan kegiatan ijtihad dengan Qur’an dalam fiqih Islam.


metodenya sendiri. Sehingga fiqih beliau Adanya dalil (petunjuk), menhendaki
berbeda dengan fiqih imam mujtahid lain, nadanya madlul (yang ditunjuk), karena yang
dalam masalah tertentu. dimaksud disini adalah “dalil hukum”, maka
Menelusuri dan menela’ah metode madlul-nya adalah hukum itu sendiri. Setiap
ijtihad al-Syafi’i berarti mengkaji dan dalil hukum yang menghendaki adanya
mempelajari, bagaimana al-Syafi’i hukum yang berlaku terhadap sesuatu yang
menetapkan hukum fiqih amali (praktis) dari dikenai hukum. Bila ada sutu dalil yang
pada al-Qur’an dan al-Hadits, dan menghendaki berlakunya humum atas suatu
bagaimana pula caranya beliau menetapkan kasus (pristiwa), tetapi di samping itu ada
nash-nash tersebut sebagai dalil. pula dalil lain yang menghendaki berlakunya
Kemantapan dan kemampanan mtode al- hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil
Syafi’i terlihat dengan jelas secara berurutan itu disebut berbenturan atau bertentangan.22 Hal
(kronologis) dalam menyusun dalil yang ini dalam istilah hukum Islam disebut
dipakainya dalam meng-istimbath-kan “ta’arudh”, yaitu saling berlawanannya dua
hukum, yaitu : (1) Al-Qur’an (2) A-Hadits dalil hukum, dan salah satu di antara dua
(As-Sunnah) (3) Al-Ijma’, dan (4) Al-Qiyas.20 dalil itu menafikan hukum yang ditunjuk
Al-Syafi’i juga memakai istishab sebagai oleh dalil lainnya. Atau, inti dari ta’arudh ini
metodenya dalam menetapkan hukum, bila berkisar pada dua dilil (petunjuk) yang
ketentuan hukum suatu peristiwa tidak berbeda, satu menetapkan dan yang lain
didapati pada ke empat dalil hukum di atas. menafikan. Pengertian perbenturan
Semenjak zaman Nabi Muhammad (pertentangan) dalil itu mencakup dalil naqli
SAW, umat Islam meyakini hadis atau identik (dalil yang ditetapkan secara tekstual dalam
dengan sebutan Sunnnah, merupakan salah al-Qur’an ataupun hadis Nabi SAW). Karena
satu sumber atau dalil ajaran Islam sesudah itu, hadis mukhtalif sebagaima telah di
al-Qur’an. Dasar utama dari keyakinan itu, uraikan di atas, termasuk kedalam bagian
karena adanya berbagai petunjuk dalam al- kategori ta’arudh al-adillah (kontradisi dalil).
Qur’an, agar kaum muslimin menta’ati Asy-Syatibi memandang bahwa pada
Rasulullah SAW. Di antaranya (QS. Ali hakikatnya ta’arudh al-adillah (kontradisi dalil)
‘Imran: 32, QS.An-Nisa’: 59 dan 80, QS.Al- tidak mungkin terjadi, karena dasar syari’ah
Ahzaab: 31 dan 36 , QS. Al-Maa-idah: 67 adalah wahyu. Adanya hal itu hanya dari segi
dan QS.Al-Qalam : 4). pandangan mujtahid, manakala dua dalil
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat al- tidak mungkin dikompromikan.23 Dengan
Qur’an itu, jelaslah al-Qur’an dan hadis demikian, adanya realitas pemahaman
(sunnah) merupakan sumber atau dalil mengenai kontradiksi dalil ini, tampaknya
utama ajaran Islam. Bila diberi angka urutan, merupakan problem kemampuan seorang
maka al-Qur’an merupakan sumber atau mujtahid atau ahli hukum Islam dalam
dalil pertama, dan hadis merupakan sumber memadukan dalil, baik dari aspek sejarah
atau dalil kedua ajaran Islam. Alasannya maupun maknanya.24 Maka dalam konteks
berdasarkan pemikiran logis, yaitu al-Qur’an inilah ta’arudh al-adillah dipahami, yakni
merupakan firman Allah, sedangkan hadis masing-masing dari dua dalil atau lebih yang
sesuatu yang berasal dari utusan Allah.21 menghendaki adanya suatu hukum yang
Karena itulah para ulama menetapkan hadis berbeda, dan dalil-dalil tersebut sederajat.
sebagai sumber atau dalil kedua, sesudah al- Manakala menemukan dalil-dalil yang

188 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

bertentangan, seperti hadis-hadis mukhtalif kelihatan bertentangan itu, yang


maka metode (cara kerja) Syafi’iyah dalam menunjukkan kesejalanan makna yang
penyelesaiannya, yaitu : (1) Al-Jam’u wa at-taufiq dikandungnya, sehingga masing-masing
(mengumpulkan dan mengompromikan dua dapat diamalkan sesuai dengan tututan
dalil yang tampak bertentangan). (2) atau hukum yang ditunjukkannya.
Menerepkan teori nasakh (pembatalan a. Penyelesaian Dengan
hukum). (3) Menerapkan teori tar jih Pendekatan Ushul Fiqh
(menguatkan salah satu dalil atas yang Dalam upaya penelesaian
lainnya). (4) Tawaqquf, yakni meninggalkan perbenturan antara dua dalil hukum,
dua dalil yang bertentangan dan mencari para ualama ushul fiqh, bertolak
dalil lain.25 kepada suatu prinsip yang
Sedangkan Edi Safri, menjelaskan dirumuskan dalam kaidah :
metode Syafi’i secara rinci penyelesaian “Mengamalakan dua dalil yang
hadis-hadis mukhtalif, yaitu: Pertama, berbenturan, lebih baik dari pada
penelesaian dalam bentuk kompromi, terdiri menyingkirkan satu diantaranya”. 28
dari: (a) penelesaian dengan pendekatan
kaidah ushul fiqh, (b) penyelesaian Ada tiga tahap penyelesaian
berdasarkan pemahaman kontekstual, (c) yang tergambar dalam kaidah itu,
pemahaman berdasarkan pemahaman yakni : (1) Sedapat mungkin kedua
korelatif, dan (d) penyelesaian dengan cara dalil itu dapat digunakan sekaligus,
takwil. Kedua, Penyelesaian dalam bentuk sehingga tidak ada dalil yang
nasakh. Ketiga, penyelesaian dalam bentuk disingkirkan. (2) Setelah dengan cara
tarjih.26 Untuk lebih jelasnya, maka uraianya apapun kedua dalil tidak dapat
secala lebar panjang sebagai berikut: digunakan sekaligus, maka
1. Penyelesaian Dalam Bentuk diusahakan setidaknya satu
Kompromi diantaranya diamalakan; sedangkan
Usaha untuk mengumpulkan dua yang satu lagi ditinggalkan. ( 3)
buah hadis yang tampaknya saling Sebagai langkah terakhir, tidak dapat
berlawanan maknanya itu, disebut dihindarkan kedua dalil itu
“Talfiful-Hasits”. Jika dua buah hadis tinggalkan, dalam arti tidak
yang berlawanan ini dapat di-talfiq-kan diamalakan keduanya.
maknanya, maka tidak dibenarkan hanya Memahami hadis-hadis Rasulullah
diamalkan salah satu dari keduanya, SAW, dengan mempedomani
sedangkan yang lain ditinggalkan.27 Jadi ketentuan atau kaedah-kaedah Ushul
yang dimaksud penyelesaian dalam Fiqh yang telah di rumuskan oleh para
bentuk kompromi ini adalah ulama, sehingga hadis-hadis yang
penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dari bertentangan itu dapat dicariankan
pertentangan yang tampak, dengan cara penyelesaiannya dan sama dapat
menelusuri titik temu kandungan makna diamalkan. Kaedah Ushul Fiqh
masing-masingnya, sehingga maksud dimaksud, antara lain dengan
sebenarnya yang dituju oleh satu dengan memperhatikan kaedah-kaedah al-
lainnya dapat dikompromikan. Atau, ‘am dan al-khash 29 , muthlaq dan
dengan cara mencari pemahaman yang muqayyad30, dan lainnya. Lafaz al-‘am
tepat terhadap hadis-hadis yang diberlakukan atas ke-umum-annya,

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 189


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

selama tidak ada yang meng-khusus- pertama, diberlakukan terhadap hasil


kannya. Lafaz al-muthlaq pertanian yang melebihi batasan yang
diberlakukan atas ke-ithlaq-annya, disebutkan hadis kedua (lima wasq keatas).
selama tadak ada yang men-taqyid- Dengan demikian, kedua hadis tersebut
kannya. Salah satu contoh dapat ditemukan pengompromiannya,
penyelesaian hadis-hadis mukhtalif, dengan menarik suatu kesimpulan : “Hasil
dengan pendekatan kaedah ushul pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya
fiqh adalah hadis : adalah yang banyaknya mencapai lima
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: wasaq 33 keatas (berdasarkan hadis
“Pada hasil pertanian yang disirami pertama), sedangkan hasil pertanian
dengan air hujan, zakatnya sepersepuluh yang tidak mencapai lima wasq tidak
(10%)” . (HR.Bukhari dan Muslim)31. wajib dikeluarkan zakatnya”.
Hadis ini secara zahirnya
bertentangan dengan hadis sahih b. Penyelesaian Dengan
lain, yaitu: “Dari Nabi SAW, beliau Pemahaman Kontekstual
bersabda: “Tidak wajib pada hasil Seperti halnya al-Qur’an, di
pertanian ( kurang dari lima wusuq), mana sebagian ayat-ayatnya turun
shadaqah (zakat)”. (HR.Bukhari dab dengan dilatarbelakangi oleh suatu
Muslim)32. peristiwan atau situasi tertentu (lazim
disebut sebab nuzul ayat). Maka hadis-
Kedua hadis di atas, sama-sama hadis Rasulullah SAW, juga demikian
menyangkut masalah wajib zakat hasil halnya di mana sebagiannya muncul
pertanian. Kedua hasis tersebut sahih dengan dilatarbelakangi oleh
dan dapat dijadikan hujjah atau dalil. peristiwa atau situasi tertentu
Akan tetapi dari kedua hadis itu, bisa (disebut sebab wurud al-hadis), dan
timbul kesimpulan yang saling dalam tulisan ini disebut “konteks”.
bertentangan yaitu apabila masing- Adapun pemahaman
masingnya dipahami sendiri-sendiri dan kontekstual yang dimaksud didalam
secara lahiriyah saja.Hadis pertama tulisan ini, yaitu me mahami hadis-
menyatakan wajib zakat hasil pertanian hadis Rasulullah SAW dengan
secara umum, baik hasilnya banyak memperhatikan dan mengkaji
ataupun sedikit (tanpa batasan). Namun keterkaitannya dengan peristiwa
hal ini kelihatan bertentangan dengan (situasi yang melatarbelakangi
hadis kedua yang menyatakan, tidak wajib munculnya hadis-hadis tersebut),
zakat pada hasil pertanian yang jumlah dengan kata lain memperhatikan
mencapai lima wasq. Sebaliknya, dan mengkaji konteksnya.
kesimpulan yang mengandung Salah satu contoh, pertentangan
pertentangan tersebut tidak akan terjadi, hadis-hadis mengenai pemeinangan,
bila diperhatikan keterkaitan kedua hadis ada hadis yang melarang dan juga ada
tersebut sebagai ‘am dan khash, dan hadis yang secara lahiriyah
dipahami sesuai dengan kaedah ushul membolehkannya yaitu:
fiqh terkait yaitu men-takhshish-kan ke- “Dari Nabi SAW, beliau bersabda:
umum-an hadis pertama dengan hadis “Janganlash seorang laki-laki meminang
kedua. Maka ke-umum-an hadis atas pinangan saudaranya”.

190 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

(HR.Muslim) 34. Secara lahiriyah Usamah seperti dalam hadis kedua,


hadis ini bertentangan dengan hadis tidak dalam situasi dan kondisi yang
mengenai Fatimah binti Qais, di dimaksudkan oleh hadis pertama.
mana ia dithalak oleh suaminya. Dengan kata lain, kedua hadis
Setelah habis masa iddah-nya, maka tersebut mempunyai konteks yang
ia menyampaikan kepada Rasulullah berbeda situasi dan kondisinya.
SAW, bahwa ia dipinang oleh dua Al-Syafi’i menyataakan, hadis
orang sahabat (Mu’awiyah dan Abu pertama boleh jadi merupakan jawaban
Jahm), lalu beliau bersabda : Rasulullah SAW atas pertanyaan
“Maka Rasulullah SAW bersabda sahabat, tetapi si periwayat tidak
kepadanya: “Adapun Abu Jahm mendengar pertanyaan tersebut,
adalah laki-laki yang suka memukul sehingga riwayat yang disampaikan
istrinya, sedasngkan Mu’awaiyah nya tidak lengkap dan tidak memuat
adalah laki-laki miskin yang tidak pertanyaan yang melatarbelakanginya.
tidak punya harta, maka Lebih lanjut al-Syafi’i menjelaskan,
menikahlah dengan Usamah bin bahwa sebab wurud-nya adalah
Zaid. Kata Fatimah: “Aku kurang Rasulullah SAW, ditanya tentang
senang kepadanya”. Maka seseorang yang meminang pada
Rasulullah berkata lagi: “Nikahlah seorang perempuan, dan pinangan
dengan Usamah, kemudian Fatimah nya diterima oleh perempuan itu
berkata: “Maka aku menikah untuk diteruskan ke jenjang
dengannya, Allah pun memberkahi perkawinan. Kemudian, datang lagi
perkawinan kami dan aku pun pinangan dari laki-laki lain yang
bahagia”. (HR.Muslim)35. lebih menarik hatinya dibanding
dengan laki-laki pertama, akhirnya
Pada hadis pertama Rasulullah ia pun berpaling dan meninggalkan
SAW, melarang meminang pinangan laki-laki pertama. Maka
seseorang yang telah dipinang oleh hadis ini berisikan: “Larangan
orang lain. Namun hal ini kelihatan meminang seorang perempuan yang sudah
bertentangan dengan hadis yang menerima pinangan atau laki-laki lain
kedua, di mana Rasulullah (pinangan pertama)”.37
meminang Fatimah binti Qais untuk Sedangkan hadis kedua, menurut
Usamah bin Zaid, dan sebelumnya al-Syafi’i bila dilihat dari konteksnya,
(Fatimah) telah dipinang oleh yaitu ada dua hal penting yang perlu
Mu’awiyah dan Abu Jahm. diperhatikan: Pertama, Fatimah
Menurut al-Syafi’i kedua hadis dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu
di atas, tidak bertentangan satu Jahm, ternyata Rasulullah SAW tidak
dengan lainnya, karena hadis pertama menyanggah hal itu dan tidak pula
pada pokoknya mengandung makna menasehati Fatimah bahwa tidak
tersendiri dan berlaku pada boleh bagi seseorang meminang
situasidan kondisi tertentu, tidak dirinya, hingga peminang pertama
pada situasi dan kondisi lainnya.36 meninggalkan pinangannya,
Sementara Fatimah binti Qais yang kemudian dipinangkannya Fatimah
dipinang Rasulullah SAW, untuk dengan Usamah bin Zaid. Keadaan

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 191


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

ini menunjukkan bahwa Fatimah bersama dengan hadis lain terkait,


sebenarnya belum menerima dengan memperhatikan keterkaitan
pinangan salah satu dari kedua laki- makna satu dengan yang lainnya,
laki tersebut. Seandainya Fatimah agar maksud yang dituju dari hadis-
telah menerima pinangan salah satu hadis tersebut dapat dipahami
diantara kedua laki-laki itu, tentu dengan baik. Dengan demikian,
Rasulullah SAW menyuruh Fatimah pertentangan yang tampak dapat
supaya melangsungkan ditemukan pengkompromiannya.
pernikahannya dari laki-laki yang Misalnya hadis dari Uqbah bin Amir
diterima pinangannya. Kedua, di RA, katanya:
pinangnya Fatimah oleh Rasulullah “Tiga waktu yang dilarang
SAW untuk Usamah, semakin Rasulullah SAW untuk
yakinlah kita bahwa keadaan melakukan shalat pada waktu-
Fatimah di waktu itu, tidak sama waktu tersebut, yaitu: Ketika terbit
dengan keadaan yang dimaksudkan matahari sampai meninggi (kira-
hadis pertama, yaitu tidak boleh lagi bagi kira satu anak panah), ketika
laki-laki yang lain untuk meminangnya.38 tegaknya matahari di atas langit
Berdasarkan uraian di atas, (tengah hari tepat), dan ketika
dapatlah dipahami bahwa masing- matahari telah condong atau
masing hadis tersebut memiliki terbenam” . (HR. Bukhari).39
konteks yang berbeda, dan terlihat
pertentangan di antara keduanya Hadis ini secara lahiriyah
secara lahiriyah saja, namun tidaklah kelihatan bertentangan dengan
ada membawa pertengan dalam arti hadis lainnya, sebagaima sabda
yang sebenarnya. Karena bila Rasullah SAW: “ Barangsiapa yang lupa
diperhatikan konteks masing- shalat, maka hendaklah ia melakukan
masing hadis tersebut, maka dikala mengingatnya”. (HR.Bukhari dan
keduanya dapat dikompromikan, Muslim). 40 Begitu pula sabda
yakni : “Larangan meminang atas Ralullah SAW: “Hai Bani Abdi
penangan oranglain, apabila Manaf! Janganlah kalian melarang
pinangan laki-laki sebelumnya telah seseorang melakukan tawaf dan shalat
diterima oleh si perempuan yang di Baitullah ini pada waktu kapan saja,
dipinang. Sebaliknya apabila siang ataupun malam”.(HR.Turmuzi).41
pinangan itu tidak diterima (belum
diterima), maka boleh dilakukan Pada hadis pertama, Rasulullah
pinangan kepada perempuan itu, melarang melakukan shalat pada
sesuai dengan maksud yang waktu tertentu, yaitu setelah shalat
dipahami dari hadis kedua”. ashar hingga terbenam matahari dan
sesudah shalat subuh hingga mata
c. Penyelesaian Berdasarkan hati terbit. Sementara dalam hadis
Pemahaman Korelatif dua terakhir, Rasulullah SAW
Pemahaman dengan korelatif menyatakan boleh bagi seseorang
yang dimaksud disini adalah melaksanakan shalat kapa saja, dan
mengkaji hadis-hdis mukhtalif termasuk dua batasan waktu yang

192 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

disebut pada hadis pertama. Waktu seng gang dan ada


Menurut al-Syafi’i, ada dua kesempatan memilih, dan waktu
kumungkinan maksud larangan dalam keadaan berhalangan. Dalam
dalam hadis itu, yakni: keadaan berhalangan, apabila
Pertama, dimaksudkan seorang mendapatkan satu rakaat
diberlakukannya secara umum, dari shalat ‘asar sebelum mata hari
artinya semua shalat dilakukan pada terbenam, maka ia telah mendapat
waktu yang disebutkan oleh hadis. shalat ‘asar secara mutlak. Namun,
Kedua, dimaksudkan untuk apabila keadaan memungkinkan
diberlakukannya secara khusus, untuk mengerjakan shalat ‘asar jauh
artinya hanya shalat tertentu saja sebelum mata hari terbenam, maka
yang tidak boleh dilakukan pada seorang tidak boleh mengakhirkannya
waktu-waktu tersebut. Di samping sampai batas waktu tersebut. Lain
itu, ada shalat wajib yang mesti halnya apabila keadaan tidak
dilaksanakan pada waktunya dan memungkinkan, seperti wanita yang
ada pula shalat sunnat yang tidak baru suci dari haid, orang yang baru
boleh dikerjakan. Untuk sembuh dari penyakit gila, orang yang
mengetahui mana maksud yang baru bangun dari tidur dan orang
dituju oleh hadis diantara dua yang baru teringat setelah lupa,
kemungkinan itu, maka harus maka apabila mendapatkan satu
diperhatikan keterangan atau rakaat dari shalat ‘asar sebelum mata
petunjuk dari Rasulullah SAW. hari terbenam, berarti telah
Karena itu, dalam hal ini terdapat mendapatkan shalat ‘asar secara
petunjuk dari Rasulullah SWA yang mutlak.44. Pendapat ini dipegangi
mengatakan: “Siapa yang sempat oleh Jumhur Ulama, seperti Maliki,
melakukan satu rakaat shalat subuh Al-Syafi’i dan Ahmad. Dengan
sebelum matahari terbit, maka ia demikian, dapatlah dipahami dan
dianggap telah melakukan shalat subuh dijadikan petunjuk bahwa larangan
(secara sempurna) dalam waktunya. Dan shalat pada waktu-waktu yang
siapa yang sempat melakukan satu disebut dalam hadis itu,
rakaat shalat ‘asar sebelum matahari dimaksudkan untuk diberlakukan
terbenam, maka ia diang gap telah secara khusus, yiatu untuk shalat
melakukan shalat ashar itu sunnat dan bukan shalat wajib.
(seluruhnya)”.(HR.Muttaqun ‘Alaih).42 Untuk mengetahui (apakah
Dari hadis tersebut dapat larangan yang dimaksud oleh hadis
dipahami, apabila seseorang hanya terhadap semua shalat sunnat atau
mendapat satu rakaat shalat subuh hanya shalat sunnat tertentu), maka
ataupun shalat ‘asar dalam rentang harus di lihat korelasinya dengan
waktunya, sedangkan rakaat hadis lain. Seperti hadis yang
berikutnya dikerjakan diluar diriwayatkan oleh Ummu Salamah,
waktunya. Maka menurut pendapat di mana Rasulullah SAW melakukan
yang benar, seluruhnya merupakan shalat sunnat dua rakaat setelah
shalat dalam waktunya (adaan).43 shalat ashar, sebagai ganti atau
Waktu ‘asar itu dua macam, yaitu : mengqadha shalat sunnat zuhur dua

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 193


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

rakaat yang terting gal (sunnad dapat di ambil dari perbuatan


mu’akkad) yang biasa beliau kerjakan Rasulullah itu bahwa larangan yang
sesudah shalat zuhur. Di samping umum tidak dikehendaki. Akan
itu, Rasulullah SAW membiarkan tetapi yang dikehendaki ialah
pula Qais melakukan shalat sunnat larangan yang ditentukan terhadap
fajar yang tidak sempat ia kerjakan, segala shalat yang bukan qadha.
setelah shalat subuh.45 Muhammad Karena itu, boleh mengqadha shalat
Ibrahim Al-Hifnawi menjelaskan, sesudah sembahyang ‘asar. Di
shalat yang di makruhkan pada qiyaskan pula kepada qadha itu yaitu
waktu-waktu ini adalah shalat yang setiap shalat yang terdahulu telah
tidak memiliki sebab (sunnat ada sebabnya, seperti shalat
mutlak), atau yang memiliki sebab tahiyatul masjid, shalat sunnat
yang datang kemudian seperti shalat wudhu’ dan lainnya.
istikhara dan shalat dua raat sebelum
safar (sebelum berpergian). Shalat- d. Penyelesaian Dengan Cara
shalat seperti ini, tidak boleh Takwil
dilakukan pada waktu-waktu Secara bahasa takwil
tesebut. Adapun shalat yang mengandung arti at-Tafsir
memiliki sebab, seperti shalat (penjelasan atau uraian) atau al-
tertinggal, shalat gerhana (mata hari Marja’, al-Mashir (kembali atau
atau bulan), shalat istisqa’ (minta tempat kembali). Sedang secara
hujan), shalat sunat wudhu’, shalat istilah, al-Ghazali menjelaskan,
tahiyatul masjid, sujud tilawah dan takwil merupakan ungkapan tentang
sujud syukur. Semua shalat tersebut, pengambilan makna dari lafaz yang
tidak diharamkan melakukannya bersifat probabilitas yang didukung oleh
pada waktu makruh tersebut.46 dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
Dengan demikian, dapatlah dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz
dipahami bahwa tidaklah semua zhahir. 47 Jadi takwil itu adalah
shalat sunnat itu terlarang memalingkan lafaz dari arti yang
melakukannya sesudah shalat ‘asar lahir kepada arti lain yang mungkin
ataupun sesudah shalat subuh. dijangkau oleh dalil.
Tetapi shalat sunnat dua rakaat Adapun maksud penyelesaian
sesudah shalat zuhur yang tidak hadis-hadis mukhtalif, dengan cara
sempat dilakukan pada waktunya, takwil di sini adalah menakwilkan
boleh dilakukan sesudah shalat ‘asar. hadis dari makna lahiriah yang
Begitu pula shalat sunnat pajar, tampak bertentangan kepada makna
boleh dilakukan sesudah shalat lain karena adanya dalil, sehingga
subuh; bila tidak sempat dikerjakan pertentangan yang tampak itu dapat
sebelum shalat subuh. Untuk ditemukan pengkompromiannya.
diketahui, kedua shalat sunnat Misalnya, hadis mengengai waktu
tersebut adalah (sunnat mu’akkad). afdal menunaikan shalat subuh :
Karena itu, shalat sunnat yang “Rasulullah SAW, bersabda:
dilarang itu hanyalah shalat (sunnat Tunaikanlah shalat subuh pada waktu
ghairu mu’akkad). Dengan kata lain, subuh sudah mulai terang, karena

194 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

melaksanakannya pada waktu itu lebih sebenarnya dari sabda Rasulullah


besar pahala”.48 SAW itu, yaitu: “Shalat subuhlah
Hadis ini secara lahiriah kamu pada waktu fajar
dipahami, bahwa waktu yang afdal menampakkan cahayanya melintang
untuk menunaikan shalat subuh di langit”, sebagai tanda mulai
adalah waktu al-isfar, yakni pada masuknya waktu shalat subuh. 50
waktu subuh sudah mulai terang Maka dalam hal ini, al-Syafi’i
karena pada waktu itu pahalanya menakwilkan kata (al-isfar) yang
lebih besar. Namun, hal ini tampak makna asalnya waktu subuh yang
bertentangan dengan hadis dari sudah terang mendekati mata hari
Aisyah, dia berkata: “Mereka terbit, dan menjadi awal waktu
(wanita mukminat) biasanya subuh yang ditandai dengan
melaksanakan shalat subuh bersama terbitnya cahaya fajar yang kelihatan
Rasulullah SAW, kemudian mereka merentang di langit. Dengan penak
pulang sambil menyelimuti diri wilan ini, maka pertentangan yang
dengan kain yang mereka pakai. tampak antara hadis-hadis di atas
Tadak seorangpun dapat mengenali dapat di selesaikan (ditemukan
mereka sebab suasana masih pengkompromiannya).
gelap”.49
Ucapandari Aisyah ini memberi 2. Penyelesaian Dalam Bentuk
petunjuk bahwa Rasulullah SAW Nasakh
melaksanakan shalat berjama’ah Kata “nasakh” berasal dari bahasa
pada waktu subuh masih gelap ( Arab, dewngan akar kata ( na sa ha ),
pada awal waktunya), dan berarti bentuk tasrif dari kata ini yaitu :
pada waktu inilah waktu yang lebih (nasakha-yansakhu-naskhan), secaara
afdal untuk melaksanakan shalat bahasa berarti izalah (penghapusan atau
subuh. pembatalan). 51 Perkataan nasakh
Al-Syafi’i dalam mengkompromi digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 4
kan pertentangan hadis-hadis di atas, (empat) kali, 52 yaitu pada (QS.al-
mentakwilkan hadis yang mengatakan Baqarah: 106, QS.al-Haj :52, QS.al-
(waktu afdal shalat subuh pada waktu Jaasiyyah:29 dan QS.al-‘Araf: 154).
al-isfar), mengatakan bahwa ketika Sedangkan secara istilah, ahli Ushul
Rasulullah SAW mendorong orang- Fiqh mendefinisikan nasakh sebagai:
orang agar menyegerakan “Penghapusan Syari’ terhadap suatu hukum
melaksanakan shalat subuh dengan Syari’at, dengan satu dalil Syari’ yang datang
menjelaskan keutamaannya, dan kemudian”.53 Maksudnya suatu hukum
boleh jadi di antara mereka yang yang sebelumnya berlaku, kemudian
bersemangat tinggi (melaksanakan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Syari’
shalat subuh pada penghujung (Allah dan Rasul-Nya), yaitu dengan di
malam, sebelum masuk waktu datangkannya dalil Syar’iy yang baru
subuh). Maka sehubungan dengan yang membawa ketentuan hukum lain
hal inilah, Rasulullah SAW bersabda dari pada yang berlaku sebelumnya.
dalam hadis tersebut di atas. Karena Hukum lama yang tidak berlaku lagi
itu, maksud atau tujuan yang disebut mansukh, sedangkan hukum

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 195


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

baru yang datang kemudian disebut yang membahas hadis-hadis yang saling
nasikh. berlawanan maknanya yang tidak
Imam al-Syafi’i di dalam bukunya mungkin dikompromikan, dari segi
Al-Risalah menjelaskan, nasakh adalah hukum yang terdapat pada sebagiannya,
meninggalkan suatu perintah yang benar pada karena ia sebagai nasikh (penghapus)
masanya, dan meninggalkannya merupakan terhadap hukum yang terdapat pada
suatu keharusan.54 sebagian yang lain, karena ia sebagai
Dari definisi di atas, para ulama mansukh (yang dihapus). Karena itu,
ushul fiqh mengemukakan bahwa hadis yang mendahului adalah sebagai
nasakh baru dianggap benar, apabila mansukh dan hadis yang terakhir adalah
telah memenuhi kriteria berikut : a). sebagai nasikh”.56
Pembatalan itu dilakukan melalui Ulama yang membolehkan adanya
tuntunan syara’ yang mengandung nasakh, mengemukakan beberapa syarat
hukum dari Syar’i Allah dan Rasul SAW. dalam penetapan nasakh, yaitu : Pertama,
b). Yang dibatalkan adalah hukum syara’ yang di-nasakh itu adalah hukum syar’i,
dan disebut dengan mansukh. c). yaitu hukum yang bersifat amaliah,
Hukum yang membatalkan hukum bukan hukum ‘aqli dan bukan yang
terdahulu, datang kemudian. Artinya menyangkut ‘aqidah. Kedua, dalil yang
hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih menunjukkan berakhirnya masa berlaku
dahulu datangnya dari hukum yang hukum yang lama itu, datang secara
membatalkan. Karena itu, hukum yang terpisah dan terkemudian dari dalil yang
berkaitan dengan syarat dan yang di-nasakh-kan. Kekuatan kedua dalil itu
bersifat ististna (pengecualian) tidak adalah sama, dan tidak mungkin
dinamakan nasakh.55 dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum
Masalah nasakh terdapat pada ayat- yang di-nasakh-kan tidak menunjukkan
ayat al-Qur’an dan juga pada hadis-hadis berlakunya hukum untuk selamanya,
Nabi SAW. Nasakh pada hadis, dapat karena pemberlakuan secara tetap dan
diberlakukan pada hadis-hadis mukhtalif berketerusan, menutup kemungkinan
dan bertentangan secara lahiriah serta pembatalan berlakunya hukum dalam
pada pada makna yang dikandungnya. suatu waktu.57 Adapun jalan ataupun
Atau, dengan kata lain hadis-hadis itu cara untuk mengetahui adanya nasakh
bertentangan secara mutlak, dan tidak suatu hadis itu, antara lain : a). Dengan
dapat diselesaikan dengan cara penjelasan dari nash atau dari syari’
kompromi. Maka hadis yang lebih sendiri, dalam hal ini penjelasan
dahulu datangnya, di-nasakh-kan oleh langsung dari Rasulullah SAW. b).
hadis yang datang belakangan. Dengan penjelasan dari shahabat. c).
Ilmu pengetahuan yang membahas Dengan mengetahui tarekh keluarnya
tentang hadis yang datang kemudian, hadis. Misalnya penjelasan dari Syari’
sebagai penghapus terhadap ketentuan sendiri, sabda Nabi SAW: “Dahulu saya
hukum yang berlawanan dengan melarang kamu untuk menziarhi kubut,
kandungan hadis yang datang lebih maka sekarang ziarahilah”.
dahulu, disebut ilmu Nasikh wa al- (HR.Muslim). 58

Mansukh. Para Muhadditsin memberikan Larangan menziarahi kubur telah di


ta’rif ilmu itu secara lengkap, yaitu: “Ilmu nasakh dengan nash yang terdapat dalam

196 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

matan hadis itu sendiri, yaitu kalimat ditemukan petunjuk yang mungkin
“fazuruha”. Begitu pula melalui menguatkan salah satu di antara
priwayatan, bahwa seorang perawi keduanya, maka digunakanlah dalil yang
menukilkan sebuah khabar dari Nabi, memiliki petunjuk yang menguatkan itu.
kemudian perawi yang lain munukilkan Cara tersebut dinamakan tarjih.
pula dari Nabi khabar yang berbeda Secara etimologi, tarjih berarti
dengan itu. Kemudian diketahui, perawi “menguatkan”. Dalil yang dikuatkan
pertama meninggal sebelum masuk disebut dengan rajih, dan dalil yang
Islamnya perawi kedua. Dengan dilemahkan disebut dengan marjuh.
demikian dapat diketahui, bahwa Dalam arti istilahi, tarjih adalah ungkapan
periwayatan hadis kedua adalah mengenai di iringinya salah satu dari dua dalil
terkemudian dari periwayatan hadis yang pantas yang menunjukkan kepada apa
pertama. Umpamanya hadis Nabi SAW, yang dikehendaki, di samping keduanya
tentang tidak batalnya wudhu’ karena berbenturan yang mewajibkan untuk
menyintuh zakar (kemaluan) menurut mengamalkan satu di antaranya dan
riwayat Thalaq ibn Ali: “Tdak wajib wudhu’ meninggalkan yang satu lagi.60
karena menyintuh zakar”. Sedangkan Abu Kata (satu di antara dua dalil yang
Hurairah, meriwayatkan hadis tentang pantas), mengandung arti bila dua dalil
batalnya wudhu’ karena menyintuh zakar: itu atau satu di antara dua dalil itu tidak
“Wajib wudhu’ karena menyintuh zakar”. pantas untuk dijadikan dalil, maka yang
Jadi hadis yang diriwayatkan Abu demikian tidaklah dinamakan tarjih.
Hurairah datang kemudian, karena Abu Sedangkan kata (disamping keduanya
Hurairah sendiri masuk Islam sesudah bedrbenturan), mengandung arti
wafatnya Thalaq ibn Ali (empat tahun meskipun keduanya adalah dalil yang
sebelum wafatnya Nabi SAW).59 patut, namun tidak berbenturan, tidak
Adapun hikmah adanya nasakh dinamakan tarjih. Karena tarjih itu
adalah untuk memelihara kemaslahatan diperlukan waktu menghadapi dua dalil
umat manusia, baik di dunia maupun di yang berbenturan; dan tidak perlu tarjih
akhirat. Kemaslahatan manusia itu bila tidak terdapat perbenturan.
terkadang mengalami perubahan, karena Dari definisi di atas, dapat diketahui
berubahnya situasi dan kondisi. Hukum hakikat tarjih dan sekaligus merupakan
itu ditetapkan untuk merealisasikan persyaratan bagi tarjih, yaitu :
kemaslahatan itu, dengan didasarkan 1. Dua dalil tersebut berbenturan dan
kepda sebab-sebab tertentu. Bila sebab- tidak ada kemungkinan untuk
sebab itu sudah tidak terdapat lagi, maka mengamalkan keduanya dengan
tidak ada perlu lagi hukum itu. cara apapun. Dengan demikian,
tidak terdapat tarjih dalam dua dalil
3. Penyelesaian Dalam Bentuk Tarjih yang qath’i karena dua dalil qath’i,
Hadis-hadis mukhtalif, bila tidak tidak mungkin berbenturan.
mungkin untuk dikompromikan dengan 2. Kedua dalil yang berbenturan itu
cara apapun, tidak mungkin pula adalah sama-sama pantas untuk
diperlakukan ketentuan takhsis, tidak memberi petunjuk kepada yang
ditemukan pula cara untuk dimaksud.
memberlakukan naskah. Akan tetapi 3. Adanya petunjuk yang mewajibkan

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 197


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

beramal dengan salah satu di antara yang menerangkan perkawinan


dua dalil, dan menginggalkasn dalil Rasulullah SAW dengan Maimunah,
yang satu lagi.61 sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas r.a. : “Bahwa Rasulullah SAW
Hukum mengamalkan dalil yang rajih mengawini Maimunah binti Haris, sewaktu beliu
adalah wajib, sedangkan mengamalkan sedang menjalankan ihram”. Hadis tersebut
dalil yang marjuh, di samping adanya yang ditarjih dengan hadis yang diriwayatkan
rajih tidak dibenarkan. oleh Abi Rafi’ yang mengatakan: “Bahwa
Sedangkan jalan untuk merarjih dua Rasulullah SAW mengawini Maimunah binti
dalil yang tampaknya bertentangan itu, Haris, pada waktu beliau sudah tahallul”.63
dapat ditinjau dari beberapa segi atau Hadis Abi Rafi’ ini adalah lebih rajih dari
jurusan, yaitu : pada hadis Ibnu Abbas r.a., karena Abi
1. Jurusan sanad (i’tibarus’s-sanad), Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan
misalnya : Rasulullah SAW dan Maimunah di saat itu,
a. Hadis yang rawinya banyak, maka tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu
merajihkan hadis yang rawinya dari pada Ibnu Abbas r.a. yang tidak ikur
sedikit. pergi bersama Rasulullah SAW. Tambah
b. Hadis yang diriwayatkan oleh pula kebanyakan sahabat meriwayatkan
rawi sahabat besar, merajihkan seperti hadis Abi Rafdi’.
hadis yang diriwayatkan oleh Berikutnya, hadis ‘Aisyah dan Ummu
rawi kecil. Salamah yang ditakhrijkan oleh Imam
c. Hadis yang rawinya lebih tsiqah, Bukhari dan Muslim, yang mengatakan :
merajihkan hadis yang rawinya “Bahwaq Nabi Muhammad SAW pada suatu
kurang tsiqah. pagi junub kerena bersetubuh, kemudian beliau
2. Jurusan matan (i’tibaru’l-matan), mandi dan terus berpuasa”.(HR.Bukhari
umpamanya : Muslim). Hadis ini berlawanan isinya,
a. Hadis yang mempunyai arti dengan hadis yang ditakhrijkan oleh
hakikat, merajihkan hadis yang Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dari
mempunyai arti majazi. shabat Abu Hurairah r.a. yang
b. Hadis yang mempunyai mengatakan: “Rasulullah SAW, bersabda:
petunjuk maksud dari dua segi, Apabila diserukan panggilan untuk shalat
merajihkan hadis yang hanya subuh dan salah seorang dari kamu junub,
mempunyai petunjuk maksud maka ia jangan berpuasa pada siang harinya”.
dari satu segi. (HR.Ahmad dan Ibnu Hibban).64 Maka
3. Jurusan hasil penunjukan (mad- hadis ‘Aisyah dan Ummu Salmah tersebut
lul). Misalnya : ditakhrijkan oleh ImamBukhari dan
Mad-lul yang positif, merajihkan Muslim, sedangkan hadis Abu Hurairah
yang negatif (didahulukan mutsbit itu ditakhrijkan oleh Imam Ahmad dan
‘alan-nafi) Ibnu Hibban. Kerena itu, sesuai dengan
4. Jurusan dari luar (al-umuru’l- ketentuan yang dianggap rajih adalah
kharijah), Umpamanya: hadis Bukhari dan Muslim
Dalil yang qauliyah, merajihkan dalil (mendahulukan hadis yang ditakhrijkan
yang fi’liyah.62 oleh Bukhari dan Muslim dari pada yang
Sebagai contoh antara lain, hadis ditakhrijkan oleh selainnya).

198 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

V. Penutup mengartikan al-Sunnah, al-Hadis, al-Khabar dan al-


Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Pengertian ini,
disimpulan bahwa hadis-hadis Rasulullah di dasarkan kepada pandangan mereka terhadap Nabi
SAW, apabila memenuhi kriteria sebagai sebagai suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) bagi
hadis maqbul (sahih dan hasan)wajib manusia. Sedangkan ulama Ushul, mengartikan al-
Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi
diamalkan. Walaupun secara lahiriah tampak
Muhammad SAW, dalam bentuk ucapan, perbuatan
bertentangan antara satu dengan lainnya, dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
mestilah diamalkan karena diyakini bahwa Pengertian ini di dasarkan pada pandangan mereka
hadis-hadis itu maqbul dan tidak mungkin yang menempatkan Nabi Muhammad SAW, sebagai
bertentangan secara mutlak, sebab pembuat hukum. Sementara itu,, ulama Fiqih
mengartikan al-Sunnah sebagai salah satu dari bentuk
Rasulullah SAW tidak akan mengajarkan hukum syara’ yang apabila dikerjakan mendapat
umatnya kepada petunjuk atau hukum yang pahala dan apabila ditinggalkan tidak disiksa. Baca,
bertentangan. Adapun pertentangan yang Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT.Raja
tampak itu hanya pada lahiriahnya saja, namun Grafindo Persada, Jakarta, Cet. IX, 2004, hlm. 73.
Baca dan bandingkan, Masfuk Zuhudi, Pengantar Ilmu
pada prinsipnya dapat diselesaikan dengan
Hadis, Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 13-15.
cara-cara yang sudah disusun atau dirumuskan 4
Pertama,Hadis (Sunnah) Shahih ialah hadis yang
para ulama hadis ataupun ulama ushul, yaitu diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna
dengan cara kompromi ( adakalanya dengan ketelitiannya, dan sanadnya bersambung sampai
men-takhshish-kan hadis yang umum dan men- kepada Rasulullah SAW, tidak mempunyai cacat
(‘illat), dan berlawanan dengan periwayatan orang
taqyid-kan hadis yang mutlaq),dengan cara yang lebih terpercaya. Kedua, Hadis Hasan ialah hadis
nasakh dan tarjih. Sehingga maksud atau yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi
hukum yang dikandung hadis itu, dapat kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai
dipahami dengan baik dan benar. kepada Rasulullah SAW, tidak mempunyai cacat
dan tidak berlawanan dengan periwayatan orang
Bagi seseorang yang hendak memetik
yang lebih terpercaya. Ketiga, Hadis Dha’if ialah hadis
hukum dari dalilnya (hadis), hendaklah yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih dan
mempunyai pengetahuan yang mendalam, hadis hasan. Lihat Mukhtar Yahya dan
pemahaman yang kuat, mengetahui Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
keumuman dan kekhususannya dan mengenal Islami, PT.Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hlm.53. Lihat
pula Fatchurrahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits,
akan ke-mutlak-kan dan ke-muqayadan-nya. Ia PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1991, hlm. 95-140.
tidak cukup hanya menghafal hadis, sanadnya 5
Syarf al-Din Aliy al-Rajihiy, Musthallah al-Hadis wa
dan matannya, tanpa mengetahui ketentuan- Asaruh ‘ala al-Dars al-Luqhawiy, Dar al-Nadhah al-
ketentuannya dengan benar. Arabiyah, Beirut, tt, hlm.217.
6
Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-
Suyuthiy, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
al-Maktabah al-Ilmiyah, Madinah, 1972, Jld.II,
hlm.196.
Endnote 7
Yusuf Qardhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis,
Perterjemah A.Najiyullah, Judul asli Dirasah al-
1
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Suatu Sunnah al-Nabawiyah, Islamuna Press, Jakarta, 1994,
Pengantar), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Cet.II, hlm.167.
hlm.71-72. 8
Muhammad Ajaj al-Khatib, Op-cit, hlm. 284-286.
2
Muhammad Ajjaj Khatib, Ushul Hadits; Ulumuhu wa 9.
Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis,
Musthalahuhu, Dar al-Fikri, Bairut 1989, hlm.27-28. Penterjemah, Mifdhol Abdurrahman, Judul asli,
Baca dan bandingkan, Yusuf Qardhawi, Sunnah dan Mabahits fi Ulum al-Hadits, Pustaka al-Kautsar,
Bid’ah, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm.12-13. Jakarta, 2005, hlm. 103.
3
Jumhur Ulama (kebanyakan para ulama ahli hadis) 10
Loc-cit.

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 199


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

11
Fatchurrahman , Op-cit, hlm. 294. Tertutup, Pustaka, Bandung, 1984, hlm.44.
12
Ibid, hlm. 294. 22.
Amir Syarifuddin, Op-cit, hlm. 223-224.
13
Muhammad Ajaj al-Khatib, Op-cit, hlm.183. 23
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam:
14
Para ahli hadis, melakukan upaya dengan membantah Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi,
semua keraguan mereka dengan menggabungkan dan Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2008, 151-152.
mengumpulkan nash-nash tersebut. Ibnu Qutaibah 24
Ibid, hlm. 152. Baca dan bandingkan Muhammad
berkata: “Engkau telah memberitahukan kepadaku dari al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut,
apa yang engkau ketahui, tentang cacian dan hinaan ahli 1988, hlm. 358.
kalam terhadap ahli hadis serta tuduhan terhadap mereka, 25
Muhammad Wafa, Ta’arudh al-Adillah asy-Syar’iyah
sebagai penyebar kebohongan dan riwayat bertentangan min al-Kitab wa as-Sunnah wa at-Tarjih Bainaha, Dar
yang mengakibatkan terjadinya perselisihan, munculnya al-Qalam, Kairo, 2001, hlm.79. Baca dan
banyak aliran dan mazhab. Terputuslah selaturrahmi, bandingkan, Abu Hamid Muhammad ibn
kaum muslimin saling bermusuhan dan mengkafirkan Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa fi Ushul al-Fiqh,
sebagian terhadap yang lainnya, dan setiap mazhab Dar al-Fikr, Beirut, 1332H, Jld.I, hlm.522-523. Baca
berpegang pada hadis tertentu. Lihat, Manna’ al- pula, Duski Ibrahim, Op-cit, hlm.152-153.
Qaththan, Op-cit, hlm. 103-105. 26
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-
15
Muhammad bin ‘Aliy bin Muhammad al-Syaukani, Hadis Mukhtalif, IAIN Imam Bonjol Press, Padang,
Nail al-Authar, Dar al-Fikr, Beirut, Ct.II, Jld.I, tt, 1999, hlm.95. Lihat juga, Muin Umar, dkk. Ushul
hlm. 226-227. Fiqh-I, Depag. RI, 1986, hlm. 167-183.
16
Fatchurrahman, Op-cit, hlm. 297. Baca dan 27
Fatchurrahman, Op-cit, hlm.24.
bandingkan Abd al-Rahman bin Abi Bakr al- 28
Amir Syarifuddin, Op-cit, hlm. 227.
Syayuthiy, Op-cit, hlm. 196. 29
Al-‘Am adalah suatu kata yang pemakaiannya
17
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam : mencakup seluruh afrad atau satu yang tercakup
Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi, dalam arti kata tersebut. Sedangkan al-khash adalah
Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2008, hlm.79. suatu kata yang pemakaiannya, hanya untuk sebagian
18
Ibid, hlm. 80. Lihat dan bandingkan, Amir makna yang dicakup oleh kata tersebut. Lihat, Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Prenada Media Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Madia
Group, Jakarta, Jld. I, 2008, hlm. 48. Group, Jakarta, Jld.II, 2008, hlm. 47-88.
19
Al-Syafi’i adalah yang pertama kali membukukan 30
Muthlaq adalah lafaz yang mencakup pada jenisnya,
kaedah-kaedah ushul fiqh yang disertai dengan tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya.
alasannya, dalam sbuah kitab Ar-Risalah. Inilah Adapun bedanya dengan al-‘am adalah al-‘am itu
kitab ushul fiqh yang pertama samapi kepada kita. bersifat syumul dan muthlaq bersifat badali.
Baca Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Sedangkan muqayyad adalah lafaz yang
Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm.11-12. menunjukkan hakikat sesuatu yang di ikatkan
20
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, Syirkah Maktabah wa kepada lafaz itu suatu sifat. Ibid, hlm.116-119. Lihat
Mathba’ah Musthafa al-Baby al-Halabiy wa dan bandingkan, Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,
Auladuhu, Mesir, 1969, hlm. 33-105. Baca dan CV.Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm.212-213.
bandingkan, al-Syafi’i, Al-Um, Maktabah al-Kulliyah, 31
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhary al-Ju’fy
Mesir, 1961, hlm. 2436. Lihat juga, K.H.Siradjuddin (disebut al-Bukhary), Sahih al-Bukhary, Dar Ibn Katsir
Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Pustaka al-Yamamah, Beirut, Cet.III, Juz.2, 1987, hlm.540. Baca
Tarbiyah, Jakarta, 1991, hlm.119-135. dan bandingkan, Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
21
Al-Qur’an meminta kepada Rasul untuk memutuskan PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. IV, 2003, hlm.222.
persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslimin Baca pula, Rachmzt Syafe’i, Op-cit, hlm.199.
dengan dasar wahyu. Otoritas pokok bagi legislasi 32
Ibid, hlm. 540.
Islam adalah al-Qur’an. Meskipun demikian, al-Qur’an 33
Satu wasaq adalah 60 sha’, berarti 5 wasaq adalah
juga menyatakan bahwa Rasulullah SAW, adalah 300 sha’, sedangkan 1 sha’ adalah 4 genggam tangan.
penafsir ayat-ayat al-Qur’an. Lebih jauh al-Qur’an Lihat Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Penerjemah
menerangkan akan fungsi Rasul, yaitu mengumumkan Salman Harun, Didin Hafidhuddin, Hasanuddin.
wahyu kepada orang banyak dan memberikan didikan Judul asli Fiqh al-Zakah, PT.Pustaka Litera Antar
moral kepada mereka serta mengajarkan Kitab Suci Nusa, Cet.VII, 2004, hlm.344-351. Atau, satu
dan kearifan. Justru itulah hadis (sunnah) terkait erat wasaq=60 sha’, 5 wasaq = 5x60 = 300 sha’, dan 1
dengan al-Qur’an, karenanya agak sulit untuk sha’ = 3,1 liter, jadi 300 sha’= 300x3,1 liter=930
menyatakan keduanya adalah dua sumber yang liter. Lihat Nazar Bakry, Op-cit, hlm. 223.
terpisah. Baca, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum 34
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusairiy al-

200 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011


Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i

Naisaburiy, Sahih Muslim, Dar al-Ihya, al-Turats al- Fathony, Syari’at Islam: Tafsir Ayat-Ayat Ibadah, Rajawali
Arabiy, Beirut, tt, Juz.II, hlm.1029. Baca dan Pers, Jakarta, 1987, hlm. 98-99.
bandingkan, Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: 45
Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Daud al-Sijistaniy al-Azdiy,
Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus- Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Bairut, Jld.II, hlm.22.
Sunnah dan Negara-Negara Islam, Bulan Bintang, 46
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Op-cit, hlm.38-39
Jakarta, 1988, hlm.119-120. 47
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mushthafa fi Ilm al-Ushul,
35
Ibid, hlm. 1114. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1973, hlm.128.
36
Al-Syafi’i, al-Umm, Op-cit, hlm.656. Baca juga Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV.
37
Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm.308-309. Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm.170-171.
38
Ibid, hlm.311. 48
Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm. 282.
39
Al-Bukhari, Op-cit, hlm.211. Lihat dan bandingkan 49
Ibid, hlm.283.
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Fiqih Shalat: 50
Ibid, hlm. 283-284.
Bimbingan Menuju Shalat yang Sempurna, Akademika 51
Ibn Mansur Jalaluddin Muhammad, Lisan al-‘Arab,
Pressindo, Jakarta, 2002, hlm. 36-37. Dar al-Misriyyah, Juz.IV, tt, hlm.28. Lihat pula
40
Ibid, hlm.215. Lihat juga, Nazar Bakry, Op-cit, hlm. 241. Rachmat Syafe’i, Op-cit, hlm. 231.
41
Al-Syafi’i, al-Um, Opcit, hlm.615. Muhammad 52
Muhammad Fu’ad Abd Baqi’, Mu’jam al-Mufarras
Ibrahim Al-Hifnawi, Op-cit, hlm. 38-39. li Alfaz al-Qur’an, Maktabah Dahlan, Indonesia, tt,
42
Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm.320-323. hlm. 870.
43
Menunda shalat sampai akhir waktunya dibolehkan 53
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr
tanpa ada perbedaan pendapat, selama keseluruhan al- ‘Arabi, i958, hlm.185, Lihat dan bandingkan,
rakaatnya bisa diselesaikan dalam rentang waktu Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Op-cit, hlm.422.
shalat yang bersangkutan. Namun, apabila sebagian 54
Lebih lanjut al-Syafi’i menjelaskan, orang yang sudah
rakaatnya tidak dapat dikerjakan dalam waktu shalat mengetahui bahwa printah itu telah di-nasakh-kan,
tersebut, tetapi terpaksa dikerjakan di luar waktunya. maka haruslah mengikuiti perintah yang baru dan
Maka dalam hal ini menurut pendapat yang benar, meninggalkan perintah yang lama. Tetapi bagi orang
seluruhnya merupakan shalat dalam waktunya yang tidak mengetahuinya, boleh mengikuti terus
(adaan). Berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa kewajiban yang di nasakh sapai ia tahu keadaan yang
yang mendapatkan subuh satu rakaat sebelum terbit sebenarnya. Al-Syafi’i, al-Risalah, Op-cit, hlm.122.
mata hari, berarti dia telah mendapatkan subuh 55
Nazar Bakry, Op-cit, hlm. 257.
seutuhnya. Dan siapa yang mendapatkan ‘asar satu 56
Fatchurrahman, Op-citr, hlm.291.
rakaat sebelum mata hari terbenam, berarti dia telah 57
Amir Syarifuddin, Op-cit, hlm. 251.
mendapatkan ‘asar seutuhnya” (HR.Muttaqun 58
Ibid, hlm.279.
‘Alaihi). Sedangkan apabila tidak mendapatkan satu 59
Ibid, hlm. 279-280.
rakaat pada rentang waktunya itu, maka shalatnya 60
Ibid, hlm. 283.
merupakan shalat qada. Baca Muhammad Ibrahim 61
Nazar Bakry, Op-cit, 262.
Al-Hifnawi, Fiqih Shalat: Bimbingan Menuju Shalat Yang 62
Fatchurrahman, Op-cit, hlm.132-133. Lihat pula,
Sempurna, Terjemahan Dedi Junaidi, Akademika Rachmat Syafe’i, Op-cit, hlm.243-249.
Presindo, Jakarta, Cet.II, 2002, hlm. 25-26. 63
Ibid, hlm.132. Baca dan Bandingkan, Muhammad
44
Rasulullah SAW, telah menerangkan dengan sabda bin Isma’il Ash-Shan’any, Sabulus-Salam, Maktabah
dan perbuatan beliau bahwa waktu ‘asar itu adalah Tijariyah Kubra, Mesir,Juz.II, tt, hlm.192.
“mulai dari saat panjang bayangan sesuatu benda sama 64
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Op-cit, hlm. 474.
dengan panjang bendanya, sampai sinar mata hari
menguning”. Tetapi di samping itu, beliau juga
menyatakan bahwa “orang yang mendapatkan satu Tentang Penulis
rakaat dari shalat ‘asar sebelum mata hari terbenam,
berarti dia telah mendapatkan shalat ‘asar secara
keseluruhan”. Ketentuan yang pertama di atas, berlaku Kaizal Bay, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN
bagi orang yang tidak dalam keadaan berhalangan. SUSKA Riau, menyelesaikan program studi (S.1)
Sedangkan bagi orang yang dalam keadaan pada jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah
berhalangan, berlaku ketentuan kedua. Namun, dalam IAIN “Imam Bomjol” Padang, tahun 1988, dan
keadaan tidak berhalangan tidak seorang pun boleh program (S.2) pada Universitas Padjadjaran
menunda pelaksaan shalat ‘asar dari waktu yang telah (UNPAD) Bandung, dengan kajian utama
ditentukan, sebagaimana di terangkan oleh sabda dan
Sosiologi dan Antropologi, tahun 2002.
perbuatan Rasulullah SAW. Lihat Abdur Rachim dan

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 201

Anda mungkin juga menyukai