Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Hadis diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua
ajaran agama Islam setelah al-Qur’an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam
menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan
Allah. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadis tidak mungkin
bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadis, dalil al-Qur`an maupun
rasio, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya
ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.

Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk
menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadis yang tampak
bertentangan. Hadis-hadis yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan
istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-Hadis. Mukhtalif artinya yang bertentangan atau
berselisih. Mukhtalif AI-Hadis artinya hadis yang sampai kepada kita, namun
saling bertentangan maknanya satu sama lain. Al-Qaththan mengartikan mukhtalif
al-hadis sebagai hadis yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan bertentangan
dengan hadis maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan untuk
dikompromikan antara keduanya.

Dalam kajian hadis, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis,
salah satu cabang Ulum al-Hadis. Ilmu Mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang
membahas hadis-hadis yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun
hakikatnya bisa dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan)
kepada yang mutlaq (tak terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada
yang `am (umum), atau membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara
yang lain.

1
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Mukhtalif Al-Hadits


Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang
berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul
fiqh. Ini jelas terlihat dari rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab
ar-Risalah, al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits. Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis
oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits (213-276 H)
dan Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi (229-321 H).1
Di sisi lain, ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits dalam makna
ilmu riwayah, lebih bersifat ilmu musthalah al-hadits. Hal ini terlihat jelas dalam
kitab al-Muhaddits al-Fashil karya Ramahurmuziy (w. 360), yang dipandang
sebagai kitab pertama dalam ilmu ini.
Dalam perkembangannya, ilmu ini tidak saja dibahas dalam kitab-kitab
ushul fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadits pada umumnya. Sementara terapannya
bertebaran dalam kitab-kitab fiqih dan syarah hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu
Qudamah, Fath al-Bari; Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah an-
Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya as-
Suyuti, Syarah Muwaththa’ karya az-Zarqani, Subulus Salam;Syarah Bulughu al-
Maram karya ash-Shan’ani dan sebagainya. 2

B. Pengertian Hadis Hadis Mukhtalif dan Ilmu Mukhtalif Al Hadis


Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis adalah susunan dua kata benda
(isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari
kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal,
secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan
mukhtalaf atau ikhtilaf. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis
(dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling

1
Daniel Juned, Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010, h. 109-111
2
Ibid.

2
bertentangan dengan hadis lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua
hadis yang secara makna saling bertentangan.3
Imam Nawawi mengatakan hadis hadis mukhtalif adalah:

‫ فيوفق بينهما أويرجح‬,‫أن يأتي حديثان متضادان في المعني ظاهرا‬


‫احدهما‬

Artinya: “(hadis hadis mukhtalif) ialah dua buah hadis yang saling bertentangan
pada makna lahiriyahnya (namun makna sebenarnyabukanlah
bertentangan,untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka
keduanya dikompromikan atau di tarjih (untuk mengetahui mana yang
lebih kuat diantaranya)”.4
Defenisi di atas mencakup semua hadis yang secara lahiriyah tampak
saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik hadis hadis tersebut sama
sama dalam kategori maqbul yakni memenuhi persyaratan untuk dapat dijadikan
hujjah, maupun salah satunya maqbul dan yang lain mardud yakni tidak
memenuhi syarat untuk dapat dijadikan hujjah, tanpa ada batasan. Pada dasarnya
tidak semua hadis yang tampak saling bertentangan perlu untuk dikaji untuk dapat
ditemukan pengkompromiannya atau penyelesaiannya, melainkan perlu di kaji
jika hadis hadis tersebut sama sama maqbul.
Hadist yang mukhtalif menurut At-Thahawiy adalah dua buah hadist yang
sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan secara lahiriah dan
memungkinkan cara penyelesaiannya dengan mengkompromikan antara keduanya
secara wajar. Namun demikian definisi tersebut dirasa kurang lengkap oleh Al-
Syathibi, menurutnya tidak semua hadist mukhtalif dapat diselesaikan dengan cara
mengkompromikannya, adakalanya harus diselesaikan dalam bentuk nasakh atau
tarjih. Dengan demikian makna hadist mukhtalif menurut beliau adalah hadist
hasan atau sahih (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu
dengan lainnya, namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu
dengan lainnya dapat diselesaikan dengan metode jam’u, Tarjih ataupun nasakh.5

3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h. 42
4
Edi Safri, Al Imam AL Syafi’iy: Metode Penyelesaian Hadis Hadis Mukhtalif, (Padang:
Hayfa Press, 2013), cet. 1, h. 81
5
Dr. Moh. Isom Yoesqi, Inklusivitas hadist Nabi Muhammad Saw menurut Ibnu
Tamiyah,2006. Jakarta: Pustaka Mapan. h.158

3
Ilmu mukhtalaf hadith adalah ilmu yang membahas tentang hadith-hadith
yang saling bertentangan atau berlawanan. Maksud dari ilmu ini adalah berusaha
menelaah bagaimanakah hadith yang bertentangan itu dikompromikan sehingga
menemukan jalan tengah atau bisa diambil manfaat dari keduanya.

Dalam Ajjaj Al Khatib defenisi Ilmu Mukhtalif al Hadis adalah:

‫العلم الذي يبحث في األحاديث التى ظاهرها متارض فينزيل تعارضها او‬
‫يوفق بينها كما يبحث في األحاديث التي فهمها او تصورها فيدفع‬
‫اشكالها ويوضح حقيقتها‬
Artinya: “Ilmu yang membahas hadis hadis yang tampaknya saling bertentangan
, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di
samping membahas hadis yang sulit difahami atau dimengerti, lalu
menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya.6
Dengan memperhatikan defenisi di atas yang dikemukakan ulama, dapat
dipahami bahwa ilmu mukhtalif al hadis ini sebenarnya merupakan teori atau cara
cara yang dirumuskan oleh para ulama untuk menyelesaikan hadis hadis yang
secara lahiriyah tampak saling bertentangan agar dapat ditemukan
pengompromian atau jalan keluar penyelesaiannya sehingga dengan demikian
maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis hadis tersebut dapat dipahami dengan
baik.7

Definisi yang lain menyebutkan sebagai berikut:

‫علم يبحث عن االحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع‬


‫بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد‬
‫الحادثة اوغيرذلك‬
Artinya: “Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling
bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik
dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis

6
Ajjaj al Khatib, Ushul Hadits pokok pokok ilmu hadits, h. 254, Op.Cit.
Edi Safri, Al Imam AL Syafi’iy: Metode Penyelesaian Hadis Hadis Mukhtalif, Op. Cit., h.
92.

4
keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa
kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain.8
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan
ilmumusykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf
al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama.9

Sedangkan menurut istilah ilmu mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang


membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan,
kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara
keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami
kandunganny a, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya. (Al-Hafidz Ibnu Katsir, al- Basis al-Hadits; Syarah Ikhtisar ‘Ulum
Al-Hadits).10
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu
mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi
dengan menghilangakan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan yang
terlihat dalam hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari
kandungan hadits tersebut.
Definisi yang lain menyebutkan bahwa ilmu mukhtalif al-hadits ialah ilmu
yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena
adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid
kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya
kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut.(Subhi Al-Shalih)
Sebagian ulama’ menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu
musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf al-
hadits. Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang

8
Subhi Al Shalih, ‘Ulum AL Hadits wa Musthalahuhu, (Beeirut: Dar AL ‘Ilmu AL
Malayyin, tt), h. 111
9
Ajjaj al Khatib, Op.Cit, h. 283
10
Ibid.

5
bertentangan maknanya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama’ hadits, ulama’
fiqh, dan lain-lain.11
Ilmu Mukhtalif al-hadist ini awalnya hanya ada dalam bentuk praktisnya saja,
belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi. Barulah kemudian Al-Syafi’i
membuka lembaran baru sejarah baru perkembangannya yang sebelumnya tidak
tertulis menjadi sebuah warisan tertulis dan dapat dipelajari, yakni dengan
menuangkan teori penyelesaian hadist-hadist mukhtalifnya dalam sebuah
karya ikhtilaf al-hadist, bahkan kitabnya yang secara khusus membahas hadist-
hadist mukhtalif juga terdapat dalam kitabnya al-Risalah, dan pada akhirnya
langkah al-Syafi’i tersebut diikuti oleh Ibnu Qutaybah, yang juga menulis kitab
khusus membahas hadist-hadist mukhtalif dan penyelesaiannya dengan
judul Ta’wil Mukhtalif al-hadist.12

C. Pemahaman / Penyelesaian Dengan Prinsip Kompromi: Bentuk Bentuk


dan contohnya

Ilmu ini termasuk hal penting dalam study hadis. Sebuah ilmu yang
dibutuhkan oleh ahli hadis, ahli fikih, dan ulama lain. Orang yang mempelajarinya
harus mempunyai daya tangkap tinggi, pemahaman mendalam, pengetahuan luas,
dan pengalaman baik. Merekalah yang piawai dalam ilmu hadis dan fikih. As-
sakhowi mengatakan, “Ilmu ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap ulama
dalam bidang apapun. Yang bisa sempurna melaksanakan ilmu ini adalah
seseorang yang benar-benar pandai mengumpulkan ilmu hadis dan fikih, serta
bisa menyelami arti dari kata-kata sulit”.
Bahkan As-Sakhowi mengatakan berikut:

‫ولذا كان إمام األئمة أبو بكر بن خزيمة من أحسن الناس فيه كالما لكنه توسع‬
‫حيث قال ال أعرف حديثين صحيحين متضادين فمن كان عنده شيء من ذلك‬
‫فليأتني به ألؤلف بينهما‬

11
Subhi Al Shalih, ‘Ulum AL Hadits wa Musthalahuhu, (Beeirut: Dar AL ‘Ilmu AL
Malayyin, tt), h. 111
12
Ibid. h.160

6
Artinya: “Oleh karena itu (yang menangani ilmu ini hanyalah mereka yang
piawai bidangnya), Imam Abu Bakar bin Khuzaimah termasuk orang
terbaik dalam hal ini. Tetapi beliau terlalu berlebihan, sampai beliau
berkata, “aku tidak pernah menjumpai dua hadis yang bertentangan.
Jika seseorang pernah menemukannya, maka datangkanlah padaku
agar aku selesaikan (pengumpulannya)”.

Al-Bulqini menyanggah statemen Ibnu Khuzainah ini dengan mengatakan:

‫لو فتحنا باب التأويالت الندفعت أكثر العلل‬


Artinya: “Andai kita membiarkan pintu takwil, niscaya tertolak (tidak ada)
kebanyakan illat hadis”

Ulama telah berantusias lebih dalam hal ini. Terbukti mereka menangani
ilmu ini sejak periode sahabat. Yaitu mereka yang menjadi referensi seluruh
ummat dalam menangani problematika hidupnya. Mereka berijtihad untuk
mengumpulkan hadis, menggali hukumnya, dan mengompromikan beberapa hadis
yang kelihatannya bertentangan. Begitu juga dengan ulama-ulama hadis yang
telah menghancurkan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan musuh-musuh Islam,
seperti golongan Syi’ah dan Muktazilah. Dan mereka merumuskannya dalam
karya besar yang akan kami sebutkan sebagiannya.

a) Pendekatan dan metode penyelesaian ikhtilaf al-hadit menurut para


ulama.
Sebagai Ulama pertama yang membicarakan masalah ini adalah al-
Imam As-Syafi’i dalam kitabnya Al- Umm dalam bab Mukhtalif al-hadist,
Beiau menawarkan metode al-Jam’u sebagai upaya untuk mempertemukan
kedua hadist itu. Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan yang terjadi dalam
hadist tersebut adalah pertentangan dalam arti dhahiri, sedangkan secara
subtantive, sama sekali tidak bertentangan, bahkan saling mendukung sesuai
dengan kebutuhan situasi dan kondisi.13 Dapat dikatakan dalam
menyelesaikan pertentangan hadist, metode pertama yang ditempuh oleh para
ulama fiqih dan ulama hadist adalah Jam’u ( al-taufiq, al-talfiq atau al ta’lif ) ,

13
Zulhedi, Memahami Hadis-hadis yang Bertentangan, (Jakarta: Nuansa Madani
2001),h.153

7
barulah setelah itu menempuh langkah lain secara bertahap seperti al-Tarjih,
dan al-Nasakh, yang akan saya uraikan dalam pembahasan ini satu persatu.
1) Ikhtilaf al-Hadist dengan pendekatan al Jam’u wal taufiq.
Al-Jam’u bermakna mengumpulkan atau menggabungkan. Kata ini
semakna dengan al- Taufiq, al- Talfiq dan al- Ta’lif yang kesemuanya bermakna
mengkompromikan. Al-Jam’u dalam pengertian yang diberikan ulama ushul
adalah mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang lain sehingga
tidak terdapat perlawanan lagi, atau lebih mengarah kepada usaha mencari makna
yang lain dibalik pertentangan tersebut. 14
Imam Syafi’i juga memakai metode al-Jam’u sebagai prioritas d Al-Syafi’i
di atas metode/ kaidah lain. Hal ini mungkin karena Al-Syafi’i menganggap
bahwa dasarnya tidak ada pertentangan dalam hadist. Pertentangan itu hanya lahir
karena keterbatasan kemampuan para pengiat hadist dalam khazanah hadist yang
dikuasainya. Langkah yang digunakan Syafi’i dengan metode ini adalah
mengklasifikasikan suatu hadist dalam kategori ‘Am dan Khas atau muthlaq dan
muqayyad. Suatu hadist dilihat dari cakupan makna dan kondisi serta situasi yang
melatarbelakangi datangnya suatu hadist, namun perlu dicatat adalah penyelesaian
ikhtilaf al-Hadist sangat erat kaitannya dengan asbab al-wurud hadist . Hal ini
masuk akal karena mungkin saja suatu hadist datang karena situasi tertentu,
ditujukan pada orang-orang tertentu yang tidak termasuk orang lain secara
keseluruhan sebab kondisi keimanan kaum muslimin ketika itu tidak sama, maka
kadangkala terhadap orang yang masih labil imannya nabi memberikan semacam
rukhsah dan kejadian seperti ini tentu hanya orang-orang khusus saja yang
mengetahuinya.
Adapun cara penyelesaian dalam bentuk kompromi dari contoh contoh
yang dikemukakan Syafi’iy, Edi Safri dalam bukunya Metode Penyelesaian Hadis
Hadis Mukhtalif menarik beberapa cara untuk menyelesaikan hadis mukhtalif
dalam bentuk kompromi.15

14
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar pembinaan hukum Islam, (Bandung
: Al-Maarif), 1997. h. 477
15
Edi Safri, Al Imam AL Syafi’iy: Metode Penyelesaian Hadis Hadis Mukhtalif, Op. Cit,
h. 102

8
1. Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan kaedah ushul.
Yang dimaksud dengan pemahaman dengan menggunakan pendekatan
ushul ialah memahami hadis hadis dengan yang mempedomani kaidah kaidah
ushul terkait yang telah dirumuskan oleh ulama.
Contoh hadis mukhtalif yang dapat diselesaikan dengan
pendekatan ushul ialah:

‫ عن النبي صلي هللا عليه‬,‫عن سلم بن عبد هللا عن أبيه رضي هللا عنه‬
‫ وما شقي‬,‫ فيما سقت السماء والعيون او كان عثريا العشر‬:‫وسلم قال‬
‫ رواه البخاري‬.‫بالنضح نصف العشر‬
Artinya: “Hadis dari Salimibn ‘Abdullah dari bapaknya dari Nabi SAW, beliau
bersabda “hasil pertanian yang diairi dengan air hujan, dengan mata
air genangan air alami lainnya, zakatnya sepuluh persen. Dan yang
diairi dengan menggunakan bantuan unta, zakanyya lima persen. Hadis
Bukhari.

‫ ليس فيما‬:‫عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلي هللا عليه وسلم قال‬
‫اقل منه خمسة او سق صدقة‬
Artinya: “Hadis dari Abu Sa’id al Khudariy, dari Nabi SAW,beliau bersabda, “
tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang mencapai lima wasq”.
Hadis

Bukhari, dan kedua duanya sama sama shahih. Hadis tersebut jika
dipahami secara lahiriyahnya nampak saling bertentangan, yakni hadis pertama
mewajibkan zakat hasil pertanian secara umum tanpa dibedakan dan tanpa diberi
batasan, sedangkan hadis kedua yang menyatakan tidak wajib membayar zakat
dengan batasan jika tidak mencapai lima wasq.
Hadis hadis di atas sama sama menyangkut masalah zakat pertanian.
Keduanya sama sama shahih, oleh karena itu sama sama dapat dijadikan hujjah.
Namun dari kedua hadis tersebut jika difahami secara sendiri sendiri yakni secara
terpisah maka hadis tersebut tampaklah bertentangan. Selanjutnya jika
diselesaikan kesimpulan yang mengandung pertentangan tersebut tidak akan
terjadi jika kembali memperhatikan kaedah ushul terkait seperti disebutkan di atas
yakni dengan melihat kaedah ushul. Hadis di atas terlihat ‘am dan khas jika di
pahami dengan kaedah ushul. Kaedah ushul mentakhsiskan hadis yang umum
yakni hadis pertama dengan hadis kedua. Dengan demikian dapat difahami bahwa

9
hadis tersebut dapat ditemukan pengompromiannya dengan menarik sebuah
kesimpulan yakni hasill pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang
banyaknya melebihi lima wasq ke atas, sedangkan yang dibawah lima wasq tidak
wajib mengeluarkan zakatnya.16

2. Menyelesaikan berdasarkan berdasarkan pemahaman


kontekstual.
Pemahaman kontenkstual dalam hal ini ialah memahami hadis hadis Nabi
dengan memperhatikan atau mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau
situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis hadis tersebut atau dengan
perkataan lain dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Selanjutnya
penyelesaian hadis hadis mukhtalif dengan pemahaman kontekstual dapat dilihat
dari contoh dibawah ini:

‫ال يخطب أحدكم على خطبة أخيه‬


Artinya: “ Janganlah salah seorang kamu meminang pinangan saudranya”.
Hadis Riwayat Syafi’i
,‫ فإذا حللت فأذنينى‬:‫أن رسول هللا قال لها في عدتها من طالق زوجها‬
‫ فقاارسول هللا‬,‫قالت فللماحللت فأخبرته ان معاوية وابا جهم خطبنى‬
‫ اما معاوية فصعلوك ال مال له واما ابو جهم فال يضع عصاه عن‬:‫ص م‬
‫ فنكحته‬,‫ انكحي اسامة‬:‫ فقال‬,‫ فكرهت‬:‫ انكحى اسامة بن زيد قلت‬,‫عاتقه‬
‫فجعل هللا فيه خيرا واخطبت بهز‬
Artinya: “Bahwa Rasulullah berkata kepadanya dimasa iddah dari talak
suaminya, “apabila engkau telah habis masa iddah, beritahulah aku”.
Kata Fatimah: setelah habis masa iddahku, akupun membertahu
Rasulullah bahwa Muawiyyah dan Abu Jahm telah meminangku”. Kata
Rasulullah, “Muawiyyah adalah laki laki miskin, sedangkan Abu Jahm
adalah laki laki yang sering memukul istrinya. Oleh karena itu, nikahlah
engkau dengan Usman Ibn Zaid”. Kata Fatimah: “akan tetapi aku
kurang senang kepadanya”. Kata Rasulullah lagi: “nikahlah engkau
dengan Usamah”. Kata Fatimah, lebih lanjut “maka akupun menikah
dengannya” HR Jama’ah kecuali Bukhari

Dalam hadis pertama tampak bertentangan dengan hadis kedua, yang


mana pada hadis kedua Rasulullah sendiri yang meminangkan Fatiman binti Qiys
untuk Usamah Ibn Zaid, yang mana sebelumnya Fatimah telah dipinang oleh

16
Ibid.

10
Mi’awiyyah dan Abu Jahm. Menurut ImamSyaifi’i hadis hadis tersebut tidaklah
bertentangan antara satu dengan lainnya, karena hadis pertama sebenarnya
mengandung makna yang berlaku pada situasi dan kondisi tertentu, yang tidak
pada situasi dan kondisi lainnya. Jika di lihat kepada asbab wurud nya jelas
bahwa hadis ini berbicara dalam konteks yang berbeda.

3. Penyelesaian berdasarkan koleratif17

‫ان رسول هللا ص م نهى عن الصالة بعدالعصرحتي تغرب الشمس‬


‫وعن الصالة بعد الصبح حتي تطلع الشمس‬
Artinya: “ Bahwasanya Rasulullah SAW melarang shalat setelah shalat asar
hingga matahari terbenam, dan setelah shalat subuh hingga matahari
terbit. HR Syafi’iy
‫ان رسول هللا ص م قال ال يتحري احدكم بصالة عند طلوع الشمس‬
‫وال عند غروبها‬
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “ janganlah ada diantara kamu
yang berkeinginan melakukan shalat pada waktu terbit dan
tenggelamnya matahari”. HR. Syafi’iy.
‫ فإن‬,‫ان رسول هللا ص م قال من نسي عن صالة فليصليها إذا ذكرها‬
‫ أقم الصالة لذكري‬:‫هللا يقول‬
Artinya: “ Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “ Barangsiapa yang lupa
mengerjakan shalat, maka hendaklah segera ia laksanakan pada saat
ia ingat, karena Allah SWT berfirman, :dirikanlah shalat untuk
mengingatku”. HR. Syafi’iy.
‫ان رسول هللا ص م قال يابني عبد مناف من ولي منكم من أمر‬
‫الناس شيئا فال يمنعناحدا طاف بهذ البيت وصلي ساعة شاء من ليل‬
.‫او نهار‬
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “ wahai Bani ‘Abdi Manaf
barang siapa diantara kalian yang menjadi pemimpin, maka sekali
sekali janganlah melarang seseorang melakukan tawaf di Baitullah dan
melakukan shalat kapanpun dia mau, baik siang ataupun malam hari”.
HR. Syafi’iy.
Bila dilihat secara makna lahiriah tampak hadis di atas saling
bertentangan. Untuk mengetahui maksud dan cara penyelesaian hadis yang
bertentangan imam Syafii mengkaji dengan hadis hadis lain dengan metode
sebagai berikut:

17
Ibid.

11
Pada hadis hadis yang mengandung larangan shalat pada waktu tertentu
mengandung dua kemungkinan: diberlakukan secara umum maksudnya maka
semua jenis shalat dilarang dilakukan diwaktu-waktu yang dilarang di dalam hadis
dan dimaksudkan untuk berlaku khusus maksudnya hanya sebagia atau shalat-
shalat tertentu saja yang tidak boleh dilaksanakan pada waktu yang dilarang pada
hadis di atas.

4. Penyelesaian dengan cara takwil

‫ أسفروا بالصبح‬:‫ان رسول هللا ص م قال اسفروا بالفجر وفي رواية‬


‫فإن ذلك اعظم ألجركم او اعظم ألجوركم‬
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “ tunaikanlah shalat subuh pada waktu
subuh telah mulai terang (sudah menyebarkan cahaya kekuning
kuningan), karena pelaksanaannya pada waktu itu lebih besar
pahalanya” HR. Syafi’iy.
‫ كن النساء من المؤمنات يصلين مع النبي الصبح ثم‬:‫عن عائشة قالت‬
‫ينصرفني وهن متلفعات بمروطهن ما يعرفهن احد من الغلس‬
Artinya: “Hadis dari Aisyah dia berkata: mereka wanita mukminat biasanya
melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah SAW, kemudian selesai
shalat mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang
mereka pakai. Tak seorangpun dapat mengenali mereka karena
suasana masih gelap. HR. Al Syafi’iy.
Pertentangan yang tampak diantara hadis-hadis dikalangan ulama tentang
kapan sebenarnya waktuyang afdhal untuk menunaikan waktu shalat subuh
tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya serta kebanyakan ulama
Irak berpendapat bahwa waktu yang afdhal nya adalah waktu al-Isfar yakni pada
waktu subuh sudah mulai terang, berpegang pada hadis Rafi’ ibn Khadij.
Sedangkan imam al-Syafi’iy, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa
waktu afdhalnya adalah pada awalwaktu subuh yang suasananya masih diwarnai
kegelapan penghujung malam, berpegang pada hadis Aisyah.
Meskipun demikian Syafi’iy tidak meninggalkan hadis pertama melainkan
mengandung maksud kompromi denga cara mentakwilkan hadis pertama dengan
hadis kedua Syafi’iy berpegang pada hadis Aisyah karena dinilai memiliki nilai
lebih tinggi daripada hadis pertama, dan hadis pertama memiliki keutamaan
karena mengandung makna yang sesuai dengan al-Qur’an.

12
b) Ikhtilaf Hadist dengan Pendekatan Tarjih

Tarjih sebagaimana disebutkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie adalah :


Menampakkan suatu kelebihan salah satu dari dua dalil yang serupa dengan
sesuatu yang tidak berdiri sendiri.18 Maka apabila telah nyata kerajihan salah
satunya, hendaklah kita mengamalkan yang rajih tersebut. Tarjih dalam ta’rif
ulama ushul adalah menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai
kelebihan.Sedangkan ulama Hanafiyah menyatakan bahwa Tarjih adalah
menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat
yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain.
Ada salah satu hadis yang benar-benar bertentangan dengan al-Qur’an,
yaitu hadis tentang nasib bayi yang dikubur hidup-hidup akan masuk neraka.

‫الوائدة والموؤودة في النار‬


Artinya: perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk
neraka. (HR. Abu Dawud).

Melihat konteks turunnya hadis tersebut yaitu ketika Salamah Ibn Yazid
al-Ju’fi pergi bersama saudaranya untuk menghadap Rasulullah saw. Dan
bertanya kepada Rasulullah saw mengenai bayi perempuan yang dikubur hidup-
hidup. Rasulullah saw menjawab dengan tegas bahwa nasib bayi perempuan
tersebut akan masuk neraka, kecuali jika perempuan yang mengubur bayi itu
kemudian masuk islam, maka Allah swt akan memaafkannya. Hadis tersebut
dinilai sebagai hadis hasan dari segi sanad menurut imam Ibn Katsir, dan
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i.

Akan tetapi jika diamati lebih telisik lagi, matan hadis tersebut
bertentangan dengan ayat al-Qur’an surah at-takwir :8-9

. ْ‫ بِأ َ ِى ذَ ْنب قتِ َلت‬. ْ‫َوأِذَ ا ْل َم ْوءودَة سئِلَت‬


Artinya : Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
karena dosa apakah ia dibunuh. (QS.at-takwir:8-9).

18
Muhammad hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra), 2001, h. 284

13
Secara logis, orang yang mengubur bayi memang sangat berdosa dan
ditempatkan di neraka, akan tetapi bagaimana dengan bayi yang dikubur, apakah
harus ikut mengemban dosa dari orang yang dikubur sehingga masuk neraka,
padahal setiap bayi yang lahir adalah dalam keadaan suci tak berdosa. Maka
jelaslah bahwa hadis tersebut harus kita tolak, karena telah bertentangan dengan
al-Qur’an dan secara logis juga tidak mendukung.

Ada riwayat lain yang menjelaskan tentang kasus tersebut yang


diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Rasulullah saw ditanya oleh anak perempuan
Mu’awiyyah al-Shamiriyyah tentang orang-orang yang akan masuk surga.
Kemudian Rasulullah saw menjawab: Nabi saw akan masuk surga, orang yang
mati syahid akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak
perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR.Ahmad). 19

c) Ikhtilaf Hadist dengan pendekatan Nasikh Wal Mansukh.


Secara Etimologi kata Nasakh mengandung arti pembatalan (Al-Ibhtal ),
penghapusan (Al-Izalah ), dan memindahkan (Al-Naql ), memalingkan ( Al-
Ta’wil ).20 Sedangkan secara Terminologi arti Nasakh adalah mengangkat atau
menghapuskan hukum syara’ yang terdahulu dengan hukum syara’ yg baru atau
yang selanjutnya, atau mengangkatkan hukum syara’ yang terdahulu dengan
mendatangkan hukum syara’ yang baru, dengan kata lain sesuatu yang telah di
Nasakhkan berarti tidak ada lagi tuntutan hukum kepada si Mukallaf.21
Hukum yang lama dinamakan Mansukh dan dalil yang datang kemudian .
1ilmu ushul fiqh, karena hakikatnya untuk mengetahui tentang nasakh secara
komprehensif dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqh, namun demikian dalam
hadist-hadist rasulullah juga dibicarakan, yang pada akhirnya melahirkan suatu
ilmu yang dinamakan nasakh al-hadist wa mansukh
Proses nasakh-mansukh dalam hadis hanya terjadi ketika Nabi Muhammad
saw masih hidup. Sebab pada masa Nabi masih hidup, proses penetapan atau
19
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta: IDEA
Press, 2008).h.96.
20
Ali Hasballah , Usul Tasyri’ al-islami, Darul Ma’arif, Mesir : 1976, h. 212
21
Ibid.

14
pembentukan syari’at sedang berlangsung pada masa itu, sehingga ada hadis yang
temanya sama akan tetapi hukumnya berbeda, dan mungkin hadis yang terakhir
datang setelah turunnya ayat al-Qur’an yang terkait dengan masalah di
masyarakat. Para ulama hadis hanya memberikan kemudahan kepada peneliti atau
orang yang belajar studi hadis dengan menamakan hal tersebut dengan nasakh-
mansukh hadis.

Contoh hadis dengan metode penyelesaian ini yaitu hadis tentang wajib
dan tidak wajibnya seseorang untuk mandi jinabah karena melakukan senggama
akan tetapi tidak mengeluarkan sperma.22 Hadis pertama berbunyi :

‫ (رواه‬.‫ أِنَّ َما ا ْل َماء ِم َن ا ْل َما ِء‬: ‫م أنه قال‬.‫عن أبي سعيد الخدري عن النبي ص‬
)‫مسلم وأبو داود والترمذي وغيرهم واللفظ لمسلم‬
Artinya: dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah saw bahwa beliau telah
bersabda, “Sesungguhnya air (yakni mandi janabah menjadi wajib
karena) dari air (yakni keluarnya sperma tatkala bersengama)”. (HR.
Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, dan lain-lain dengan lafal riwayat
Muslim).
Berbeda dengan hadis yang kedua yaitu,:

‫س بَ ْي َن شعَ ِب َها األ َ ْر َب ِع‬


َ َ‫ أِذَا َجل‬: ‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬.…… ‫عن عائشة قالت‬
‫ (رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ‬.‫سل‬ َ ‫ان فَقَ ْد َو َج‬
ْ ‫ب ا ْلغ‬ َ َ ‫س ا ْل ِختَان ا ْل ِخت‬
َّ ‫َو َم‬
.)‫لمسلم‬
Artinya: dari Aisyah, dia berkata:… Nabi saw telah bersabda,” Apabila
(seseorang) telah duduk di atas empat anggota tubuh (isterinya) dan
alat kelamin telah menyentuh (masuk) ke alat kelamin, maka sungguh
telah wajib mandi janabah.” (HR.al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain
dengan lafal riwayat Muslim).

Hadis yang pertama menyatakan bahwa mandi jinabah harus dilakukan


oleh seseorang ketika telah melakukan senggama dan mengeluarkan sperma.
Artinya jika tidak sampai mengeluarkan sperma, maka tidak wajiblah untuk
mandi jinabah. Sedangkan keterangan hadis kedua, mandi jinabah harus dilakukan
oleh seseorang ketika telah melakukan senggama, baik itu sampai orgasme

22
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2009).h.77.

15
maupun tidak. Dilihat secara tekstual kedua hadis di atas tampak saling
bertentangan.

Menurut Imam Syafi’i, kata junub dalam al-Qur’an, surah an-nisa’ jika
dilihat dari makna bahasa arabnya tidak membedakan antara senggama yang
sampai orgasme maupun tidak. Jadi, dapat dikatakan bahwa hadis yang pertama
telah dinasakh oleh hadis yang kedua setelah turunnya ayat al-Qur’an. Sehingga
hadis yang dipakai adalah hadis yang kedua. Contoh lain yaitu hadis tentang nikah
mut’ah.

16

Anda mungkin juga menyukai