Abstrak
Tidak semua hadis dapat diyakini kebenaran sumbernya dari
Rosululloh SAW, sehingga tidak semua hadis dijadikan hujjah. Hal ini
terjadi karena sejarah perkembangan hadis yang berbeda dengan
perkembangan Al-Quran. Al-Quran diturunkan secara keseluruhannya
terpelihara dengan baik karena Al-quran di teruskan secara mutawattir
baik secara lisan maupun tulisan. Dalam kajian hadis, salah satu
persoalan yang banyak diperdebatkan adalah adanya hadis-hadis yang
matannya tampak saling bertentangan atau hadis mukhtalif. Secara
praktis, keberadaan hadis-hadis seperti di atas dapat menimbulkan
kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum)
darinya; manakah diantara keduanya yang harus diikuti dan diamalkan.
Bahkan bagi sebahagian kalangan, keberadaan hadis-hadis ini menjadi
dasar arumentasi mereka untuk menolak hadis sebagai sumber ajaran.
Namun, berangkat dari suatu pemikiran bahwa tidak mungkin akan
terjadi kontradiksi antara hadis mengingat ia berasal dari satu sumber,
rasululah saw, maka para ulama merumuskan metodologi untuk
menyelesaikan pertentangan tersebut, yaitu al-jam’u, al-naskh, dan al-
tarjih.
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progressif, Surabaya, 1997. H .362
Hadis- Hadis yang sampai kepada kita dan berbeda satu sama lain dalam
makna, artinya maknanya saling bertentangan. Sedangkan menurut istilah:
ُ ِّض َھا أَ ْو یُ َوف
ُ ق بَ ْینَ َھا َك َما یَ ْب َح
ث َ ض فَیُ ِز ْی ُل تَ َعا ُر ِ ث فِى ْاألَ َح ا ِد ْی
ٌ ث الَّتِ ْي ظَا ِھ ُرھَا ُمتَ َعا ِر ْ ا ْل ِع ْل ُم الَّ ِذ
ُ ي یَ ْب َح
2
ْ َص ُّو ُرھَا فَیَ ْدفَ ُع أ
ِّ ش َكالَ َھا َویُ َو
.ض ُح َح قِ ْیقَتَ َھا َ َش ُك ُل فَ ْھ ُم َھا أَ ْو ت ِ فِى ْاألَ َح ا ِد ْی
ْ َث الَّتِ ْي ی
Menurut Edi Safri hadist mukhtalif adalah hadist sohih atau hasan
yang secara lahiriyah tampak saling bertentangan dengan lainnya.
Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadist
tersebut tidak bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dicari
jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau Tarjih.5
Nash yang menjadi dalil itu berupa zhanny al-dhalalah (sesuatu yang
menunjukkan atas suatu makna, tetapi boleh jadi dita’wilkan dan
dipalingkan makna dan maksudnya adalah makna lain), sehingga
membuka peluang untuk pemahaman yang beragam dan keberagaman ini
membawa ta’arudh. Adanya dua hadis yang terlihat saling bertentangan
untuk masalah yang sama disebabkan karena diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW.
E. Metode Penyelesaian Hadist Mukhtalif menurut Jumhur Ulama
6
Suhefri, Nasakh al-Hadist menurut Imam Syafii, Jakarta :Bina Pratama, 2007. H 56
1. Al-Jam’u wa al-Taufiq
7
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990. H 82
8
T.M.Hasbi al-Shadieqy,pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jakarta :Bulan Bintang,
1994, Jil.2, hlm. H 274
taufiq.9 Pertama, penyelesaian dengan pendekatan kaidah ushul fikih
dengan memperhatikan lafaz ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad,
dan lainnya. Kedua, penyelesaian dengan pemahaman kontekstual,
yaitu memahami hadis- hadis Rasulullah SAW. dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa (situasi
yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis tersebut), dengan kata
lain memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Ketiga, penyelesaian
berdasarkan pemahaman korelatif, mengkaji hadis-hadis mukhtalif
bersama hadis lain terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna
satu dengan yang lainnya, agar maksud yang dituju dari hadis-hadis
tersebut dapat dipahami dengan baik. Keempat, penyelesaian denga
cara takwil, maksudnya menakwilkan hadis dari makna lahiriyah yang
tampak bertentangan kepada makna lain karena adanya dalil, sehingga
pertentangan yang tampak itu dapat ditemukan pengkompromiannya.
Contoh kasus:
)أتى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم سباطة قوم فبال قائما (رواه البخرى
. أنا رأبيته يبول قاعدا.من حدثك أن نبى هللا صلى هللا عليه وسلم كان يبول قائما فكذبه
9
Kaizal bay, Jurnal Ushuluddin “Metode Penyelesaian Hadist-Hadist Mukhtalif
menurut Imam Syafi’i, Jurnal Ushuluddin, Badan Penelitian dan pengembangan
Fakultas Ushuluddin UIN SUSKA RIAU,V,XVII, no 2,2011. H 189
10
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis,
Banda Aceh: Citra Karya, 2002. H 80-83
Artinya: Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Nabi Allah saw
kencing sambil berdiri, anggap saja itu dusta. Saya selalu melihatnya
kencing sambil duduk.11
Dalam kasus ini terlihat perbedaan yang jelas bahwa ada hal
yang dilakukan Rasulullah saw tidak diketahui oleh sahabat secara
keseluruhan; dan dalam kasus ini yang tidak tahu malah istri beliau
sendiri. Tidak heran jika mereka mempunyai pandangan yang tidak
sama. Atas dasar kondisi yang berbeda ini dapat dikatakan bahwa kedua
riwayat di atas tetap muhkam. Secara umum dan dalam kondisi biasa
atau wajar, kencing berdiri adalah perbuatan yang tidak sopan dan
malah dilarang. Tetapi jika ada sebab tertentu secara khusus hal tersebut
dapat dibenarkan (rukhshah).
2. Tarjih
Contoh Kasus:
ول هللا إنىgg يا رس: معggا أسggاب وأنggعن عائشة أن رجال قال لرسول هللا وهو واقف على الب
ومggا أريد الصgا وأنggبح جنبgا أصgg وأن: .م.ول هللا صg قفال رس. أصبح جنبا وأنا أريد الصوم
)فأغتسل وأصوم ذلك اليوم (رواه مسلم
) من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم (رواه مسلم:عن أبى هريرة إنه يقول
Artinya: Hadis dari Abu Hurairah r.a, dia berkata: “Siapa yang junub
sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu”.
Dari segi makna, kedua hadis di atas jelas bertentangan dan tidak
mungkin dikompromikan (al-jam’u). Hadis pertama menjelaskan
bahwa junub sampai pagi hari (setelah masuk waktu imsak) tidak
membatalkan puasa. Akan tetapi hadis kedua secara tegas menjelaskan
bahwa dalam keadaan junub hingga pagi hari puasa mengakibatkan
batal puasa. Menyikapi ikhtilaf pada kedua hadis ini, al-Syafi’i
berpendapat bahwa dari segi sanad (sumber periwayatan), hadis
Aisyah mempunyai nilai kompetensi lebih tinggi dibanding hadis Abu
Hurairah karena ia adalah istri Rasulullah saw yang tentunya lebih
tahu tentang masalah junub Rasulullah dari pada orang lain.
Sementara dari segi jumlah periwayatan, hadis Aisyah mempunyai
periwayat yang lebih banyak karena hadis semakna juga disampaikan
oleh Ummu Salamah, istri Rasulullah lainnya. Sementara hadis kedua,
16
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, H. 195.
hanya diriwayatkan seorang sahabat saja.17
Artinya: Hadis dari Syaddad ibn Aus, ia berkata: Aku pernah bersama
Nabi saw pada tahun memasuki Kota Makkah dan Nabi melihat
seseorang sedang berbekam, yakni pada hari kedelapan belas
Ramadhan. Sambil memegang tanganku, beliau berkata: “Yang
berbekam dan yang dibekam, batal puasanya”.
Artinya: “Hadis dari Ibn ‘Abbas r.a: bahwa rasulullah saw pernah
berbekam sedang ia dalam berihram lagi berpuasa”.
Pada kedua hadis di atas, terlihat adanya kontradiksi ajaran.
Hadis pertama menjelaskan bahwa bekam dapat membatalkan puasa,
baik yang membekam (al-hajim), maupun terhadap yang dibekam (al-
mahjum). Sementara hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak
membatalkan puasa sepeti ditunjukkan oleh praktek perbuatan Nabi
saw, yang berbekam ketika sedang ihram dan berpuasa. Dengan
demikian jelas teradi pertentangan antara hadis syaddad dan hadis
riwayat Ibn ‘Abbas.
4. Tawaqquf
5. Takhyir
19
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990. H 192-194
F. PENUTUP