Anda di halaman 1dari 17

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Ilmu Hadist”
Dr. K.H Khariri Shofa,

Disusun Oleh : Imam Tobroni


NIM : 191771007

PROGRAM DOKTORAL KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2020
Ikhtilaf Al-Hadist
Meninjau Metodologis Penyelesaian Hadist-Hadist Mukhtalif

Abstrak
Tidak semua hadis dapat diyakini kebenaran sumbernya dari
Rosululloh SAW, sehingga tidak semua hadis dijadikan hujjah. Hal ini
terjadi karena sejarah perkembangan hadis yang berbeda dengan
perkembangan Al-Quran. Al-Quran diturunkan secara keseluruhannya
terpelihara dengan baik karena Al-quran di teruskan secara mutawattir
baik secara lisan maupun tulisan. Dalam kajian hadis, salah satu
persoalan yang banyak diperdebatkan adalah adanya hadis-hadis yang
matannya tampak saling bertentangan atau hadis mukhtalif. Secara
praktis, keberadaan hadis-hadis seperti di atas dapat menimbulkan
kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum)
darinya; manakah diantara keduanya yang harus diikuti dan diamalkan.
Bahkan bagi sebahagian kalangan, keberadaan hadis-hadis ini menjadi
dasar arumentasi mereka untuk menolak hadis sebagai sumber ajaran.
Namun, berangkat dari suatu pemikiran bahwa tidak mungkin akan
terjadi kontradiksi antara hadis mengingat ia berasal dari satu sumber,
rasululah saw, maka para ulama merumuskan metodologi untuk
menyelesaikan pertentangan tersebut, yaitu al-jam’u, al-naskh, dan al-
tarjih.

A. Pengertian Ilmu Mukhtalif al-Hadits


Dalam kajian ilmu mukhtalif hadist, para ulama telah merumuskan
beberapa teori dan ilmu yang berkaitan dengannya. Dengan memahami
teori dan ilmu ini seseorang akan terhindar dari kesalahan dalam
mempelajari dan memahami hadist-hadist mukhtalif. Dalam kaidah bahasa
Arab mukhtalif al-Hadı͂ ts adalah susunan dua kata yakni mukhtalif dan al-
Hadı͂ ts. Dari segi bahasa “Mukhtalif” merupakan bentuk isim fail dari kata
ikhtilaf yang bermakna “berselisih atau tidak sepaham”. 1 maksudnya

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progressif, Surabaya, 1997. H .362
Hadis- Hadis yang sampai kepada kita dan berbeda satu sama lain dalam
makna, artinya maknanya saling bertentangan. Sedangkan menurut istilah:
ُ ِّ‫ض َھا أَ ْو یُ َوف‬
ُ ‫ق بَ ْینَ َھا َك َما یَ ْب َح‬
‫ث‬ َ ‫ض فَیُ ِز ْی ُل تَ َعا ُر‬ ِ ‫ث فِى ْاألَ َح ا ِد ْی‬
ٌ ‫ث الَّتِ ْي ظَا ِھ ُرھَا ُمتَ َعا ِر‬ ْ ‫ا ْل ِع ْل ُم الَّ ِذ‬
ُ ‫ي یَ ْب َح‬
2
ْ َ‫ص ُّو ُرھَا فَیَ ْدفَ ُع أ‬
ِّ ‫ش َكالَ َھا َویُ َو‬
.‫ض ُح َح قِ ْیقَتَ َھا‬ َ َ‫ش ُك ُل فَ ْھ ُم َھا أَ ْو ت‬ ِ ‫فِى ْاألَ َح ا ِد ْی‬
ْ َ‫ث الَّتِ ْي ی‬

“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan,


lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di
samping membahas hadis yang sulit difahami atau dimengerti, lalu
menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.”

Imam al-Nawawi [w. 676 H.], mendefinisikan mukhtaliful hadist dengan,


‫أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما او يرجح أحدهما‬

“Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu


dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.3
Dari definisi al-Nawawi dapat diambil pemahaman tentang bentuk
pertentangan yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak mungkin
dipertemukan [tadhadud] menurut pengertian lahiriahnya. Jadi
menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan dapat
dipertemukan. Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan solusi-
solusi penyelesaian berupa taufiq atau tarjih.
Menurut Muhammad Thahhan mukhtalif Hadıts adalah
‫ا‬4‫ارض بمثلھ مع إمكان الجمع بینھم‬
َ ‫الحدیث المقبول ال ٌم َع‬

“Hadis maqbul yang saling bertentangan dengan yang semisalnya,


sehingga kemungkinan kedua hadis tersebut bisa dikompromikan”.

Menurut Edi Safri hadist mukhtalif adalah hadist sohih atau hasan
yang secara lahiriyah tampak saling bertentangan dengan lainnya.
Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadist
tersebut tidak bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dicari
jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau Tarjih.5

Dapat disimpulkan bahwa ilmu mukhtalif hadist merupakan ilmu


2
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971). H 283.
3
Dalam Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits,
2004). H 467
4
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Op.cit
5
Edi Safri, Al Imam Syafi’i (metode penyelesaian hadist-hadist mukhtalif). H 82
yag berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadist yang saling
bertentangan maknanya.
B. Urgensi Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Membaca sepintas perkataan dari al-Sakhawiy menjadikan ilmu
mukhtalif ini sebagai ilmu yang terpenting disamping ilmu hadis yang
lain. Karena jika seseorang yang membaca atau memahami hadis tanpa
adanya bantuan ilmu ini, seseorang dapat mengatakan suatu hadis yang
shahih menjadi dha’if dan sebaliknya, jika menemukan hadis yang
tampaknya bertentangan. Berikut adalah perkataan al-sakhawiy : ”Ilmu
ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama’ di
berbagai disiplin ilmu. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah
mereka yang berstatus sebagai imam yang memadukan antara hadis dan
fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam. Selain itu di
antara pentingnya memahami ilmu ini adalah:
a. Menolak syubhat terhadap hadis Nabi SAW., dan menetapkan
terjaganya Nabi SAW. serta terpeliharanya syari’at Islam, karena
syari’at Islam selalu bermanfaat untuk setiap waktu dan tempat.
b. Menjelaskan tidak adanya pertentangan pada dalil yang shahih,
tetapi yang demikian itu menunjukkan kesempurnaan.
c. Menyingkap sebagian kesalahan periwayatan serta menjelaskan
adanya syadz pada riwayat tersebut.
d. Menetapkan bahwa kritik terhadap nash (matan hadis) muncul lebih
awal sebelum kritik sanad.
C. Syarat-Syarat Hadis Mukhtalif
Ulama hadis mengemukakan, tidak selamanya hadis yang
bertentangan dianggap suatu yang mukhtalif. Oleh karena itu, untuk
memberikan batasan terhadap hadis yang termasuk dalam kategori
mukhtalif maka ulama hadis memberikan beberapa syarat:
a. Hadis tersebut sama-sama berkualitas maqbul, lawan dari mardud.
Karena hadis mardud tidak termasuk dalam kategori mukhtalif al-
hadis.
b. Membicarakan objek yang sama, satu hadis menyatakan larangan
dan satu hadis menyatakan kebolehan dalam objek yang sama.
c. Pertentangan tersebut hanya bersifat zhahir, sehingga
memungkinkan untuk diselesaikan makna muktalif tersebut.

D. Sebab-Sebab Terjadinya Hadis Mukhtalif


Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering
diminta petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berlangsung
selama kehidupan Nabi SAW. dan segala persoalan sahabat beliau
berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang diberikan kepada
seseorang kadang-kala belum dipahami secara penuh oleh sahabat.
Disamping itu sahabat juga memahami perbuatan Rasul SAW. dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan Rasul SAW.
dalam kaitannya dengan ibadah sekilas bertentangan dengan hadis yang
disampaikannya dengan lisan, sehingga pemahaman yang tidak
komprehensif ini menjadikan dua hadis dalam tema yang sama seolah-
olah bertentangan.
Al-Hafnawi telah berhasil menemukan faktor-faktor penyebab timbulnya
ta’arudh al-hadist itu, yang disimpulkan yaitu: 6

Nash yang menjadi dalil itu berupa zhanny al-dhalalah (sesuatu yang
menunjukkan atas suatu makna, tetapi boleh jadi dita’wilkan dan
dipalingkan makna dan maksudnya adalah makna lain), sehingga
membuka peluang untuk pemahaman yang beragam dan keberagaman ini
membawa ta’arudh. Adanya dua hadis yang terlihat saling bertentangan
untuk masalah yang sama disebabkan karena diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW.
E. Metode Penyelesaian Hadist Mukhtalif menurut Jumhur Ulama

Dalam menyelesaikan hadis-hadis yang saling bertentangan


(mukhtalif) Jumhur ulama telah menentukan berbagai macam cara yang
ditempuh secara berurutan untuk menyelesaikannya. Prinsip pokok dalam
penyelesaian hadis-hadis yang saling bertentangan, menurut jumhur
ushuliyyun urutannya sebagai berikut:

6
Suhefri, Nasakh al-Hadist menurut Imam Syafii, Jakarta :Bina Pratama, 2007. H 56
1. Al-Jam’u wa al-Taufiq

Salah satu hal penting untuk memahami sunnah dengan baik


adalah menyesuaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan serta
menggabungkan antara hadis satu dengan hadis lainnya, meletakkan
masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu
kesatuan yang saling melengkapi, tidak saling bertentangan.
Maksudnya adalah penyelesaian hadis- hadis yang tampak (makna
lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing-masing. Sehingga maksud yang sebenarnya yang dituju oleh
yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan.7

Sementara itu Hasbi al-Shiddieqy menggunakan kata jama’ atau


taufiq yang diartikan mengumpulkan dua hadis yang bertentangan.
Apabila kelihatan pertentangan antara dua hadis, maka hendaklah kita
berusaha untuk mengumpulkan atau mentaufiqkan antara keduanya.
Imam al-Nawawi mengatakan, ikhtilaf al-Hadıs ialah datangnya dua
hadis yang berlawanan maknanya pada lahirnya lalu ditaufiqkan
(dikumpulkan) antara keduanya atau ditarjihkan salah satu diantara
kedua hadis yang bertentangan.8 Sedangkan al Qarafi mengartikan al
jam’u sebagai mengkompromikan hadis-hadis yang tampak
bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya masing-
masing. Dari sekian definisi tentang al-jam’u dapat disimpulkan
bahwa al- jam’u adalah usaha yang dialakukan guna
mengkompromikan antara dua hadis dan yang secara zhahir tampak
bertentangan yang kemudian kedua hadis tersebut diamalkan secara
bersama-sama tanpa meniadakan salah satunya dengan melihat
seginya masing-masing.

Edi safri menjelaskan secara rinci metode Imam Syafi’i dalam


menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif dalam bentuk jam’u wa al-

7
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990. H 82
8
T.M.Hasbi al-Shadieqy,pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jakarta :Bulan Bintang,
1994, Jil.2, hlm. H 274
taufiq.9 Pertama, penyelesaian dengan pendekatan kaidah ushul fikih
dengan memperhatikan lafaz ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad,
dan lainnya. Kedua, penyelesaian dengan pemahaman kontekstual,
yaitu memahami hadis- hadis Rasulullah SAW. dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa (situasi
yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis tersebut), dengan kata
lain memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Ketiga, penyelesaian
berdasarkan pemahaman korelatif, mengkaji hadis-hadis mukhtalif
bersama hadis lain terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna
satu dengan yang lainnya, agar maksud yang dituju dari hadis-hadis
tersebut dapat dipahami dengan baik. Keempat, penyelesaian denga
cara takwil, maksudnya menakwilkan hadis dari makna lahiriyah yang
tampak bertentangan kepada makna lain karena adanya dalil, sehingga
pertentangan yang tampak itu dapat ditemukan pengkompromiannya.
Contoh kasus:

Dalam satu hadis riwayat al-Bukhari (1987: I, 90) disebutkan


bahwa Huzaifah pernah menemani Rasulullah saw dalam sebuah
perjalanan ke luar kota Madinah. Lalu, karena terdesak untuk buang air
kecil dan karena satu dan sebab lain, beliau melaksanakan hajatnya
sambil berdiri.

)‫أتى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم سباطة قوم فبال قائما (رواه البخرى‬

Artinya: Rasulullah saw mendatangi subathah (semacam tempat


pembuangan sampah) suatu kaum lalu memenuhi hajatnya sambil
berdiri. (HR. Al-Bukhari).10

Informasi kejadian selama dalam perjalanan ini kemudian


terdengar oleh Aisyah r.a, dan ia mengambil sikap dengan mengatakan:

. ‫ أنا رأبيته يبول قاعدا‬.‫من حدثك أن نبى هللا صلى هللا عليه وسلم كان يبول قائما فكذبه‬

9
Kaizal bay, Jurnal Ushuluddin “Metode Penyelesaian Hadist-Hadist Mukhtalif
menurut Imam Syafi’i, Jurnal Ushuluddin, Badan Penelitian dan pengembangan
Fakultas Ushuluddin UIN SUSKA RIAU,V,XVII, no 2,2011. H 189
10
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis,
Banda Aceh: Citra Karya, 2002. H 80-83
Artinya: Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Nabi Allah saw
kencing sambil berdiri, anggap saja itu dusta. Saya selalu melihatnya
kencing sambil duduk.11

Dalam menyikapi kontradiksi kedua hadis ini, para ulama berbeda


pendapat. Ada ulama yang dengan cepat mengklaim bahwa riwayat
Huzaifah mansukh dengan adanya riwayat dari Aisyah. Namun
demikian, Abu Hatim mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki
ilmu yang mendalam tentang hadis akan mengatakan kedua hadis ini
bertentangan, padahal tidak demikian. Oleh karena Huzaifah melihat
langsung Rasulullah melakukannya, sementara Aisyah ketika itu tidak
bersama mereka. Kesaksian Aisyah sendiri hanya berdasarkan
pengetahuannya ketika ia melihat Rasulullah melakukannya di rumah.

Dalam kasus ini terlihat perbedaan yang jelas bahwa ada hal
yang dilakukan Rasulullah saw tidak diketahui oleh sahabat secara
keseluruhan; dan dalam kasus ini yang tidak tahu malah istri beliau
sendiri. Tidak heran jika mereka mempunyai pandangan yang tidak
sama. Atas dasar kondisi yang berbeda ini dapat dikatakan bahwa kedua
riwayat di atas tetap muhkam. Secara umum dan dalam kondisi biasa
atau wajar, kencing berdiri adalah perbuatan yang tidak sopan dan
malah dilarang. Tetapi jika ada sebab tertentu secara khusus hal tersebut
dapat dibenarkan (rukhshah).

Pemahaman ini diperoleh dengan menganalisis kedua hadis


tersebut. Berdasarkan riwayat Aisyah dapat dipahami bahwa cara buang
air yang sopan adalah sambil duduk. Umar r.a sendiri pernah
mengatakan: ma bultu qa’iman munzu aslamtu (artinya, sejak masuk
Islam, saya tidak pernah lagi kencing sambil berdiri). Aisyah juga
pernah menegaskan bahwa Rasulullah saw sejak al-Qur’an turun tidak
pernah lagi kencing sambil berdiri. Sementara riwayat Huzaifah secara
filosofis memberi gambara bahwa Islam merupakan agama yang lapng.
Islam sangat tanggap terhadap kondisi yang dialami umatnya. Jika ada
sebab tertentu, maka apa yang dilakukan Rasulullah dalam riwayat
11
Ibid.
Huzaifah, juga dapat berlaku pada umatnya.12 Adapun tentang sebab
Rasulullah saw melakukan hal di atas, tidak ada kesepkatan para ahli
hadis. Ada pendapat yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengalami
luka di lipatan lutut sehingga tidak mungkin untuk duduk tau jongkok.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah melakukannya karena
tempat tersebut tidak memungkinkannya untuk duduk sehingga beliau
khawatir akan terkena percikan air seni.

2. Tarjih

Secara bahasa tarjıh ialah tafdhıl yaitu mengutamakan, taqawiyah


yaitu menguatkan.13 Menurut istilah Ahli Hadis:14 “Menjadikan rajih
salah-satu dari dua hadis yang berlawanan yang tak bisa dikumpulkan,
dan menjadikan yang sebuah lagi marjuh, dengan karena ada sesuatu
sebab dari sebab-sebab tarjih.”
Secara bahasa, tarjih (berarti mengeluarkan) Konsep ini muncul
ketika terjadinya pertentangan secara lahiriah antara satu dalil dengan
dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan
cara al-jam‘u wa al-taufiq (kompromi). Dalil yang dikuatkan disebut
dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.15
Jumhur ulama membatasi tarjih pada dalil-dalil yang bersifat
zanniy saja, karena tarjih tidak dapat diberlakukan pada dalil-dalil
yang qat‘iy (pasti) dan tidak juga antara dalil zanniy dan dalil qat ‘iy.
Jumhur Ulama sepakat bahwasanya jika tarjih sudah dilakukan maka
dalil yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan dengan alasan
12
Kasus kencing berdiri yang dikaitkan dengan Rasullah saw ini merupakan masalah
yang sensitif, seperti jelas terlihat dalam komentar Aisyah yang mendapat laporan
tentang hal itu. Namun kasus seperti ini tetap layak diketahui umat, apalagi di zaman
sekarang mengingat terlalu banyak kondisi yang menghendaki orang melakukan
seperti apa yang dilakukan Rasulullah tersebut. Dengan pemahaman yang mendalam,
dapat dipahami bahwa agama pada satu sisi bersifat ketat, tetapi pada sisi lain sangat
lapang. Agama sangat tanggap terhadap kondisi yang dialami manusia. Dalam batas-
batas yang tidak merusak aqidah, seperti pada kasus kencing berdiri ini, Islam
bersikap sangat toleran dengan memberikan keringan dan kelapangan ketika terjadi
kesempitan atau halangan, sesuai dengan yang diperlihatkan Rasulullah. Malah pada
kasus seseorang yang mengalami gangguan saluran kemih misalnya, kencing sambil
berdiri merupakan cara terbaik. Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis:
Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, (Banda Aceh: Citra Karya, 2002). H . 82-83
13
T.M.Hasbi al-Shadieqy, op.cit. Jil.2. H 277
14
ibid
15
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997 M). H 195
bahwa hal tersebut telah ditempuh dan diamalkan para sahabat dalam
menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus.
Cara pentarjihan dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu al-
tarjih baina al-nusus dan al-tarjih baina al-aqyisah.
1. Tarjih baina Al-nusus yaitu menguatkan salah satu nas (ayat
ataupun hadis) yang saling bertentangan. Untuk mengetahui
kuatnya salah satu dari nas yang saling bertentangan, para ulama
usul al-fiqh mengemukakan beberapa cara, di antaranya dilihat
dari sisi sanadnya, dilihat dari matannya, dilihat dari segi hukum
yang dikandung dalam nas}, dan tarjih dengan menggunakan
faktor eksternal.
2. Tarjih baina al-aqyisah yaitu menguatkan salah satu qiyas
(analogi) yang saling bertentangan. Al-Syaukaniy mengemukakan
tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling
bertentangan, namun Wahbah al-Zuhailiy meringkasnya sebagai
berikut:
1) Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang
hukum asalnya qat‘iy dari qiyas yang hukum asalnya bersifat
zanniy.
2) Dari segi hukum furu‘(cabang), yaitu dengan menguatkan
hukum furu‘ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum
furu‘nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga
dikuatkan hukum furu‘ yang ‘illahnya diketahui secara qat ‘iy dari
hukum furu‘ yang ‘illah-nya bersifat zanniy.
3) Dari segi ‘illah, yaitu salah satunya dengan menguatkan ‘illah
yang disebutkan dalam hadis atau ‘illah yang disepakati dari ‘illah
yang tidak disebutkan dalam hadis atau tidak disepakati
keberadaannya sebagai ‘illah, dan lain-lain.
4) Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan
qiyas yang didukung oleh sejumlah ‘illah dari qiyas yang hanya
didukung satu ‘illah. Selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang
didukung oleh fatwa sahabat.16

Contoh Kasus:

‫ول هللا إنى‬gg‫ يا رس‬: ‫مع‬gg‫ا أس‬gg‫اب وأن‬gg‫عن عائشة أن رجال قال لرسول هللا وهو واقف على الب‬
‫وم‬gg‫ا أريد الص‬g‫ا وأن‬gg‫بح جنب‬g‫ا أص‬gg‫ وأن‬: .‫م‬.‫ول هللا ص‬g‫ قفال رس‬. ‫أصبح جنبا وأنا أريد الصوم‬
)‫فأغتسل وأصوم ذلك اليوم (رواه مسلم‬

Artinya: Hadis dari Aisyah, bahwa seorang laki-laki pernah bertanya


kepada Rasulullah saw – beliau ketika itu sedang bediri di depan pintu
dan aku (kata Aisyah) mendengarkannya: “Ya Rasulullah, aku junub
sampai pagi hari, sedangkan aku ingin sekali meneruskan puasaku”.
Rasulullah menjawab: “Aku juga pernah junub sampai pagi hari, aku
pun ingin terus berpuasa. Maka aku mandi dan tetap berpuasa pada
hari itu”.

)‫ من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم (رواه مسلم‬:‫عن أبى هريرة إنه يقول‬

Artinya: Hadis dari Abu Hurairah r.a, dia berkata: “Siapa yang junub
sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu”.

Dari segi makna, kedua hadis di atas jelas bertentangan dan tidak
mungkin dikompromikan (al-jam’u). Hadis pertama menjelaskan
bahwa junub sampai pagi hari (setelah masuk waktu imsak) tidak
membatalkan puasa. Akan tetapi hadis kedua secara tegas menjelaskan
bahwa dalam keadaan junub hingga pagi hari puasa mengakibatkan
batal puasa. Menyikapi ikhtilaf pada kedua hadis ini, al-Syafi’i
berpendapat bahwa dari segi sanad (sumber periwayatan), hadis
Aisyah mempunyai nilai kompetensi lebih tinggi dibanding hadis Abu
Hurairah karena ia adalah istri Rasulullah saw yang tentunya lebih
tahu tentang masalah junub Rasulullah dari pada orang lain.
Sementara dari segi jumlah periwayatan, hadis Aisyah mempunyai
periwayat yang lebih banyak karena hadis semakna juga disampaikan
oleh Ummu Salamah, istri Rasulullah lainnya. Sementara hadis kedua,
16
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, H. 195.
hanya diriwayatkan seorang sahabat saja.17

Berdasarkan aspek perbandingan yang dikemukakan di atas,


jelaslah bahwa hadis Aisyah lebih tinggi nilainya dari hadis Abu
Hurairah. Karena itu sesuai dengan hasil pen-tarjih-an terebut, maka
hadis Aisyah-lah yang harus dipegang dan diamalkan sesuai dengan
statusnya sebagai yang lebih tinggi nilainya (rajih). Sebaliknya, hadis
Abu Hurairah dianggap lemah dan ditinggalkan (marjuh).
3. Nasakh

Maksudnya adalah bahwa suatu hukum yang sebelumnya berlaku


kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh syar’i (Allah dan
RasulNya), yakni dengan didatangkannya dalil syar’i yang baru yang
membawa ketentuan lain dari yang berlaku sebelumnya. Hukum lama
lama yang tidak berlaku lagi disebut mansu͂ kh, sedangkan hukum
yang baru datang disebut nasikh.18

Ulama yang membolehkannya nasakh, mengemukakan beberapa


syarat, pertama, yang di nasakh itu adalah hukum syara’ yang bersifat
‘amaliyah, bukan hukum ‘aqli dan bukan yang menyangkut hal
‘aqidah. Kedua, dalil yang menunjukkan berakhirnya masa berlaku
hukum yang lama itu datang secara terpisah dan terkemudian dari
dalil yang di-nasakh. Kekuatan kedua dalil itu adalah sama, dan tidak
mungkin untuk dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum yang
dinasakh tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya,
karena pemberlakuan secara tetap mentup kemungkinan pembatalan
berlakunya hukum dalam suatu waktu. Adapun cara untuk
mengetahui adanya nasakh suatu hadis di antaranya : a). Dengan
penjelasan dari nash atau sya͂ ri’, dalam hal ini penjelasan langsung
dari Rasulullah SAW. b). Dengan penjelasan dari sahabat. c). Dengan
mengetahui tarikh diucapkannya hadis tersebut.
Contoh kasus:
17
Safri, Edi, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990. H 201
18
Kaizal Bay, op.cit, H 195
‫رة من‬qq‫ان عش‬qq‫رأى رجال يحتجم لثم‬qq‫ان الفتح ف‬qq‫بى زم‬qq‫ع الن‬qq‫ كنت م‬:‫ال‬qq‫داد بن أوس ق‬qq‫عن ش‬
)‫ (رواه الشافعى‬.‫ أفطر الحاجم والمحجوم‬:‫رمضان فقال وهو أخذ بيدى‬

Artinya: Hadis dari Syaddad ibn Aus, ia berkata: Aku pernah bersama
Nabi saw pada tahun memasuki Kota Makkah dan Nabi melihat
seseorang sedang berbekam, yakni pada hari kedelapan belas
Ramadhan. Sambil memegang tanganku, beliau berkata: “Yang
berbekam dan yang dibekam, batal puasanya”.

)‫ احتجم محرما صائما (رواه الشافعى‬.‫م‬.‫عن ابن عباس أن رسول هللا ص‬

Artinya: “Hadis dari Ibn ‘Abbas r.a: bahwa rasulullah saw pernah
berbekam sedang ia dalam berihram lagi berpuasa”.
Pada kedua hadis di atas, terlihat adanya kontradiksi ajaran.
Hadis pertama menjelaskan bahwa bekam dapat membatalkan puasa,
baik yang membekam (al-hajim), maupun terhadap yang dibekam (al-
mahjum). Sementara hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak
membatalkan puasa sepeti ditunjukkan oleh praktek perbuatan Nabi
saw, yang berbekam ketika sedang ihram dan berpuasa. Dengan
demikian jelas teradi pertentangan antara hadis syaddad dan hadis
riwayat Ibn ‘Abbas.

Menyikapi pertentangan kedua hadis di atas, menurut al-Syafi’i -


sulit untuk dikompromikan sehingga ia memilih menggunakan metode
naskh menyelesaikannya. Dalam hal ini, hadis Ibn ‘Abbas me-naskh-
kan hadis Syaddad ibn Aws karena hadisnya datang terlebih dahulu.
Penjelasan tentang kronologi waktu diketahui dari informasi yang
diberikan masing-masing hadis. Hadis Syaddad lahir pada waktu faht
makkah, yaitu tahu kedelapan Hijrah, sedangkan hadis Ibn ‘Abbas
yang menerangkan Rasulullah berbekam dalam keadaan ihram dan
puasa, muncul pada tahun kesepuluh hijrah. Dengan jelasnya
kronologis waktu lahirnya masing-masing hadis, maka dapat
dikatakan bahwa hadis Ibn ‘Abbas berfungsi sebagai nasikh, dan hadis
Syaddad sebagai mansukh. Karena itu, terkait dengan persoalan
bekam di bulan puasa, maka ajaran yang harus dipedomani adalah
hadis riwayat Ibn ‘Abbas.19

4. Tawaqquf

Tawaqquf artinya, meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan


tersebut, untuk selanjutnya berpaling kepada dalil lain agar masalah
yang dihadapi dapat diselesaikan dan diketahui ketentuan hukumnya.
Akan tetapi prinsip ini hampir tidak menjadi pembicaraan di kalangan
ulama sebagai alternatif terakhir dikarenakan penerapan tawaqquf
(menangguhkan) hanya bersifat teoritis tidak secara praktis.

5. Takhyir

Metode penyelesaian takhyir ini ditempuh apabila tidak mungkin


melakukan ketentuan-ketentuan sebelumnya maupun menunggu
ketidakpastian hukum. Oleh sebagian ulama, pendapat ini didasarkan
pada kewajiban melaksanakan suatu ketentuan hukum yang telah
dibebankan pertama kali bagi seorang mukallaf. Salah satu ulama
yang menerapkan kaidah takhyir adalah al-Syafi‛iy dalam masalah
tahiyyat dengan memilih salah satu hadis tentang bacaan tahiyyat.

19
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990. H 192-194
F. PENUTUP

Bahwa Ilmu Muktaliful Hadist mempunyai kontribusi penting dalam


rangka membuat hujjah agama, dengan Ilmu Mukhtaliful hadist agama lebih
bersifat kontektstual, bahkan selalu relevan dengan dinamika perubahan dan
perkembangan zaman. Sebab pemaknaan atas sebuah teks hadist tidak kaku
dan ketat. Sehingga hadist sebagai sebuah dalil dapat selalu menjawab
permasalahan hikehidupan kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA

al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1971


al-Shadieqy, T.M.Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jakarta :Bulan
Bintang, 1994, Jil.2.
al-Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, Kairo: Darul
Hadits, 2004.
Bay, Kaizal, Metode Penyelesaian Hadist-Hadist Mukhtalif menurut Imam
Syafi’i, Jurnal Ushuluddin, Badan Penelitian dan pengembangan Fakultas
Ushuluddin UIN SUSKA RIAU,V,XVII, no 2,2011
Djuned, Daniel, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis,
Banda Aceh: Citra Karya, 2002.
Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997 M
Munawwir, Ahmad W, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progressif, Surabaya, 1997
Safri, Edi, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990.
Suhefri, Nasakh al-Hadist menurut Imam Syafii, Jakarta: Bina Pratama, 2007

Anda mungkin juga menyukai