Anda di halaman 1dari 13

KAEDAH-KAEDAH USHUL FIQHIYAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah ushul fiqh

Dosen Pengampu : Dr. M. Rojun, M.Ag

Disusun oleh :

Azhar Jiddan H ( 2103004013)

Oki Wisto (2113003914)

Imas Arofah (2103003982)

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM

CIAMIS- JAWA BARAT

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat,
sehingga aktifitas hidup yang kita jalani akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di
alam dunia ini, lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta
harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen Bapak Dr. M. Rojun, M.Ag

serta teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moral maupun materi,
sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Saya menyadari
sekali, di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak
kekurangan, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen
serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu
besar harapan saya jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah ini.
Ushul Fiqh adalah salah satu disiplin ilmu dalam studi keilmuan Islam yang berfokus
pada prinsip-prinsip dasar dan metodologi dalam menentukan hukum-hukum Islam. Dalam
konteks ini, terdapat tiga konsep penting yang sering dibahas, yaitu "Am," "Khas," dan
"Nahyi." Konsep-konsep ini memainkan peran penting dalam pemahaman dan pengembangan
hukum Islam. Dalam makalah ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang konsep-konsep ini
dan bagaimana mereka digunakan dalam Ushul Fiqh.

Ciamis, 1 November 2023

Penyusun,

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-‘Am.........................................................................................................2

B. Al- Khos.......................................................................................................3
C. Al-Nahyi.......................................................................................................5
D. Mutlaq dan Muqayad....................................................................................6

BAB III PENUTUP

A. Simpulan......................................................................................................9

Daftar Pustaka......................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum
yang redaksinya menetapkan hukum syar’i konteks al-qur’an dan al-hadis tersebut bisa
berupa lafaz umum dan khusus. Lafaz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus
diartikan pada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan
hukumnya apakah pasti (qath’i) atau dugaan (dhzony), terdapat pebedaan pendapat ulama,
yaitu antara golongan ulama jumhur (syafi’iyah, malikiyah, hambaliyah) dan hanafiyah.
Pembahasan tentang dalil takhsis (yang mengkhususkan) lafadz ‘am insya Allah akan di
uraikan dalam bab takhsis.
Nash Al-Qur’an dan Al- Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka
hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau
memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz
mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang
mengikatnya. Dan adapula yang muqoyyad yakni lafadz yang dilakukan harus sesuai
batasan (kaitnya).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Al ‘am ushul fiqh?
2. Apa itu Al khos ushul fiqh?
3. Apa itu Nahyi ushul fiqh?
4. Apa itu Mutlaq dan Muqayad ushul fiqh?

Kaedah-kaedah ushul fiqh 1


BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-‘Am
1. Pengertian al-‘am
Dalam upaya untuk memahami al-‘am ini para ulama ushul telah
memberikan sejumlah definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung
maksud yang sama, meskipun redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh Al-
khudari Beik, menyebutkan sebagai berikut:

‫َاْلَع اُم ُهَو اَّللْفُظ الَّداُل َع َلى ِإْسِتْغ َر اِقَأْفَر اِد َم ْف ُهْو م‬

Sementara itu, Zaki al-Din Sya’ban mendefinisikan al-‘Am sebagai berikut;


‫الَع اُم ُهَو اَّللُفْظ اْلَم ْو ُضْو ُع َو ْض ًع ا َو اِح ًدا َو اَّلِذ ى َيْش َمُل َج ِمْي ع اَاْلْف َر اِد اَّلِتى َيْص ُدُق‬
‫َع َلُيَه ا َم ْع َناُه ِم ْن َغ ْي ِر َح ْص ٍر ِفى َك ِّم َّيٍة ُم َعَّيَنٍة‬
“al-‘Am ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat
meliputi berbagai objek di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hakekat keumuman lafal itu
adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya
mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja.
dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika kandungan
maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya.

2. Dalalah al-‘am dan implikasi pemahamannya


Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah
sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak
ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi,
kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus
diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu
sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny?
Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab
Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti
dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama hanafi seperti
dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am

Kaedah-kaedah ushul fiqh 2


itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya.
Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –
satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang
mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup
didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i
menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena
itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan.
Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
‫َم اِم ْن َعاٍم ِإاَّل َو َقْد ُخ َّص ِم ْن ُه اْل َبْع َض‬
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian
dari satuan-satuannya”.
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am
itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.

B. Al-Khas
1. Pengertian al-Khas
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am
mengandung arti umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu
objek yang banyak, maka al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau
makna tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil
dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs. Beberapa pengertian berikut
ini dapat dipahami bahwa lafal al-kahs merupakan arti tertentu dan tidak terdapat
perbedaan dikalangan ulama ushul, kecuali dari segi redaksi saja.

Abdul Wahab Khallaf misalnya menyebutkan:


‫الَخ اُّص ُه َلْف ٌظ ِض ِللِّد َاَل َلِة َع َلى ٍد اِح ٍد‬
‫َفْر َو‬ ‫ُو َع‬ ‫َو‬
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian
pada suatu satuan objek tertentu saja”.
Kemudian Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai
berikut:

Kaedah-kaedah ushul fiqh 3


‫ٍع‬ ‫ِج ِس‬ ‫ٍم‬ ‫ِح ٍد‬ ‫ٍظ ِض ِل‬
‫الَخ اُص َفُك ُّل َلْف ُو َع َم ْعًنى َو ا َم ْع ُلْو َع َلى اَأْلْفَر اد َو ُه َو ِإَّم ا َأْن َيُك ْو َن ُخ ُصْو َص اْل ْن َأْو ُخ ُصْو َص الَّنْو َأْو‬
‫ُخ ُصْو َص اْلَعْيِن‬

“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu


pengertian tertentu atau khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi
jenis dan macamnya maupun segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-
laki”.
Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh, menjelaskan
bahwa yang disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang menunjukan kepada
satu sebutan saja.
Dari pengertian yang digunakan untuk menunjukan pengertian yang tertentu
saja. pengertian tertentu ini berkaitan sifat satuan yang disebutkan, yaitu segi
jenisnya, macam-macamnya, maupun segi zat dan subtansinya. Dengan kata lain
al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang secara khusus
memang disebutkan.
2. Dalalah al-Khas dan pandangan ulama
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk
qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain.
Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-
khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din
Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang
mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa
meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan
mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang
qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa
arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada
arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri
kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.

Kaedah-kaedah ushul fiqh 4


C. AL- NAHYI
Konsep "Nahyi" dalam Ushul Fiqh mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang
digunakan untuk menentukan larangan atau pelarangan dalam hukum Islam. Ini adalah
salah satu aspek penting dalam memahami dan mengembangkan hukum-hukum Islam
yang melarang atau menghindari tindakan atau perilaku tertentu. Prinsip Nahyi
memiliki beberapa elemen kunci:

1. Larangan atau Pelarangan: Nahyi mengindikasikan larangan atau pelarangan.


Ini adalah prinsip yang digunakan dalam menentukan tindakan atau perilaku
yang dilarang dalam Islam. Larangan ini dapat berkaitan dengan berbagai
aspek kehidupan, seperti makanan, minuman, pakaian, hubungan sosial, dan
banyak lagi.

2. Sumber Hukum: Sumber utama yang digunakan dalam menentukan Nahyi


adalah Al-Qur'an dan Hadis (tradisi Nabi Muhammad). Al-Qur'an sering kali
menyatakan larangan atau pelarangan secara eksplisit dalam berbagai konteks,
sementara Hadis mengandung pernyataan Nabi Muhammad yang mengarahkan
umat Islam tentang apa yang dilarang atau dihindari.

3. Penafsiran: Penafsiran dan pemahaman teks-teks hukum Islam yang


mengandung Nahyi memainkan peran penting dalam menentukan makna dan
ruang lingkup larangan. Ini melibatkan studi tafsir dan ilmu Hadis untuk
memahami konteks dan kriteria yang mendasari larangan.

4. Konteks dan Situasi: Nahyi juga mempertimbangkan konteks dan situasi.


Beberapa larangan dapat bersifat umum dan berlaku sepanjang waktu,
sementara yang lain mungkin bersifat kontekstual dan tergantung pada situasi
atau kondisi tertentu.

5. Penilaian Ulama: Dalam banyak kasus, ulama Islam berperan dalam


menafsirkan dan memutuskan apakah suatu tindakan atau perilaku dapat
dianggap sebagai pelanggaran larangan Nahyi atau tidak. Mereka
mempertimbangkan nash (teks hukum), ijma (konsensus ulama), dan qiyas
(analogi) untuk mengambil keputusan hukum.

Kaedah-kaedah ushul fiqh 5


Contoh Nahyi dalam hukum Islam meliputi larangan untuk mengonsumsi minuman
beralkohol, berjudi, berzina, makan daging babi, dan banyak lainnya. Ini adalah
tindakan atau perilaku yang dihindari secara tegas dalam Islam berdasarkan prinsip
Nahyi.

Prinsip Nahyi adalah salah satu elemen penting dalam Ushul Fiqh dan membantu
dalam menentukan apa yang diharamkan dalam Islam. Dengan memahami prinsip ini,
umat Islam dapat menghindari tindakan yang dianggap dilarang dalam agama mereka,
dan ulama dapat memberikan panduan dan penilaian hukum yang sesuai dalam
berbagai konteks.

D. MUTLAQ DAN MUQAYAD


1. Pengertian Mutlaq
Dari beberapa literatur ushul fiqh terdapat sejumlah definisi yang diberikan oleh ulama
ushul tentang mutlaq ini. Muhammad Jawad Mughniyah, dalam kitab ‘Ilmu Ushul Fi
Sanbih al-Jadid, menyebutkan sebagai berikut:

‫ِإَّن اْلُم ْطَلَق ُهَو اًّللْفُظ الَّد اُل َع َلى اْلَم اِهَّيِة ِباَل َقْيٍد‬

“bahwa mutlaq itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu pengertian
tanpa diikat oleh batasan tertentu”.

Secara tegas Muhammad Jawad mengatakan bahwa yang dimaksud Mutlaq adalah
suatu lafal yang menunjukan satu bagian atau jenis , tanpa ada pengecualiannya.
Seperti nama orang, hamba sahaya atau orang persi. Dalam hubungan ini Mustafa Said
al-Khin menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan mutlaq ialah:

‫ِبَأَّن َيُدُّل َع َلى َفْر ٍدُم ْنَتِش ٍر ِفى ِج ْنِسِه َغْيِر ُم َقَّيٍد َلْفًظا ِبَأِّي قياٍء َيُح ُّد ِم ْن ْانِتَش اِر ِه‬

“yaitu satu lafal yang menunjukan atas suatu objek yang tercakup dalam jenisnya,
tanpa dibatasi oleh suatu batasan dari cakupannya itu”.

Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya apa yang di sebut
dengan mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya
batasan yang mempersempit cakupan artinya. Misalnya dalam nash al-Qur’an yang
sering dirujuk oleh ulama ushul disebutkan sebagai berikut:

Kaedah-kaedah ushul fiqh 6


‫َفَتْح ِرْيُر َر َقَبٍة ِم ْن َقْبِل َأْن َيَتَسَّم ا‬

“maka (wajib) atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri itu bercampur”

Dalam ayat diatas terdapat lafal ( ‫“ )َر َقَبٍة‬budak” yang tidak ada batasannya berupa
sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya.

2. Pengertian Muqayad
Adapun pengertian muqayad mengandung arti sebaliknya dari mutlaq. Tentang
muqayad ini para ulama ushul juga memberikan sejumlah pengertian. Diantaranya,
seperti dikemukakan oleh Syaik al-Khudari Beik, sebagai berikut:
‫الُم َقِّيُد َم اَد َل َع َلى َفْر اٍد َش ا ِئَعٍة ِبَقْيٍد ُم ْسَتْقَبٍل للفظا‬
“muqayad ialah lafal yang menunjukan kepada suatu objek (afrad) atau
beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”.
Sementara Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan muqayad sebagai berikut:
‫الُم َقَّيُد ُهَو الَّلْفُظ اَّلِذ ي َيُدُّل َع َلى َفْر ٍد َأْو َأْفَر اٍدَع َلى َس ِبْيِل الُّش ُيْو ِع َو اْقَتَر َن ِبِه َم اَيُدُّل َع َلى َتْقِيْيِدِه ِبِص َفٍة ِم َن الِّص َفاِت‬
“muqayad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa
objek dan ia telah dibatasi oleh suatu sifat”.
Kemudian, Mustafa Said al-Khin menyebutkan sebagai berikut:
‫ِد اَل َلُة اَّللْفِظ َع َلى اْلَم اِهَيِة ُم َقَّيَد ٌةِبَقْيٍد َم ا ُيَقِّلُل ِم ْن ُش ُيْو ِعَها َأْو َع َلى َم ْد ُلْو ٍل ُمَع َّيٍن‬
“yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu
batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu
maknanya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi
dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.

3. Pandangan Ulama Tentang Dalalahnya Mutlaq dan Muqayad


Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan hukum antara
mutlaq dan muqayad adalah sama, sementara sebabnya berbeda.
‫َأْن َيَتِح َدا ِفى اْلُح ْك ِم َو َيْخ َتِلَفا ِفى الَّسَبِت‬
Kalangan mazhab Hanafi, yang mutlaq diamalkan sesuai dengan
kemutlaqannya dan demikian pula yang muqayad. Akan tetapi, kalangan jumhur
fuqaha seperti mazhab syafi’i, maliki, dan hanbali berpendapat bahwa jika ketentuan

Kaedah-kaedah ushul fiqh 7


hukum antara mutlaq dan muqayad adalah sama dan sebab yang melatar belakangi
berbeda, maka mutlaq dibawa ke muqayad.
Sebaliknya kalangan jumhur berpendapat Mutlaq dibawa keMuqayad.
Persoalan sekarang adalah apa yang melatarbelakangi perbedaan kedua kelompok
yang disebutkan ini? Ternyatamasing-masing kelompok mempunyai alasan
tersendiri.
a. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana dijelskan oleh Mustafa Said al-Khin,
bahwa pada dasarnya setiap dalalah lafal nash yang bersumber dari sayri’
mengandung ketentuan hukum tersendiri. Oleh karena itu subtansial setiap nas
mempunyai hujjah tersendiri. Dengan demikian lafal mutlaq tidak boleh disatukan
oleh lafal muqayad.

b. Kalangan jumhur
Adapun alasan jumhur tentang mutlaq yang harus dibawa kepada muqayad
adalah karena al-Qur’an itu merupakan atau ibarat satu perkataan yang wajib
membina antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Jika terdapat satu perkataan
dalam al-Qur’anyang tertentu hukumnya sudah pasti, maka ketentuan hukum
tersebut berlaku sama disemua tempat. Menurut Muhammad Abu Zahra, apabila
terdapat pada satu tempat suatu ketenyuan secara Muqayad dan di tempat lain
Mutlaq, maka mutlaq dibawa kepada muqayad karena hakekatnyakedudukannya
adalah satu ketentuan
BAB III
PENUTUP

Simpulan
hakekat keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi
karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek
tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika kandungan
maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya.
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am mengandung arti
umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka al-
kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada
perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs.

Kaedah-kaedah ushul fiqh 8


mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang
mempersempit cakupan artinya.
muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi
dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.

Kaedah-kaedah ushul fiqh 9


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011), cet. I, h. 197


Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)cet. IV, h. 35
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 195

Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 215

Kaedah-kaedah ushul fiqh 10

Anda mungkin juga menyukai