Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “KONSEP DASAR FIQIH DAN USHUL FIQIH”
ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.Dalam penulisan makalah ini penulis masih
banyak mendapatkan kesulitan,tapi penulis berusaha untuk menyelesaikan tugas makalah ini.

Akhirnya penulis mengucapkan banyak trima kasih bagi semua pihak yang terlibat dalam
penulisan karya tulis ilmiah ini,baik langsung maupun tidak langsung sehingga selesai tepat pada
waktunya.Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita.Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri selaku penulis
maupun orang yang membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan dating.
DAFTAR ISI
KONSEP DASAR USHUL FIQH

A. Ushul Fiqih sebagai Epistemologi

Memahami ushul fiqih sebagai kumpulan dalil, mengajak kita untuk mengetahui hakikat dan makna dari
dari dalil-dalil ijmal. Kata “dala-il” merupakan bentuk jamak dari kata “daliilun” merupakan isim fail
(subjek) yang menggunakan wazan “fa’iilun” yang menunjukkan makna mubalaghah (sangat). Bentuk
asalnya adalah kata ‘daa-lun” artinya “yang menunjukkan atau mengindikasikan”, setelah dirubah
menjadi bentuk mubalaghah, maka “kata daliilun” berarti yang benar-benar memberikan petunjuk, atau
yang banyak memberikan petunjuk.1

“Dalil adalah sesuatu yang menyampaikan kepada kesimpulan/hasil yang bersifat informatif setelah
melalui penalaran (nazhrah) yang benar”.

Berdasarkan definisi tersebut, maka ada beberapa proses yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Analisis yang valid (shahih al-nazhari) adalah analisis yang dilakukan dengan cara yang
memberikan potensi memberikan pemahaman hati yang mantap terhadap kesimpulan (al-
mathlub). Analisis ini disebut wajh al-dilalah (aspek penunjukkan dalil).
2. Term at-tawashul dalam definisi mengindikasikan proses menghasilkan keyakinan atau dugaan
(zhan).
3. Term al-nazhr adalah proses mencurahkan seluruh potensi akal dalam bentuk aktivitas berfikir
tanpa batas yang mampu menghasilkan keyakinan atau dugaan. Sementara proses berfikir (al-
fikr) itu sendiri merupakan aktivitas logika dengan melalukan analisis terhadap beberapa hal
yang bersifat rasional (al-ma’qulat), bukan yang bersifat inderawi (al- mahsusat).

Definisi tersebut mencakup juga dalil yang qath’iy seperti alam semesta sebagai dalil wujudnya adanya
Sang Maha Pencipta, dan zhanniy seperti asap menunjukkan adanya api, dan potongan ayat yang
berbunyi wa aqiimush shalaat sebagai dalil wajibanya shalat.

Salah satu syarat dalil yang menjadi karakteristik ushul fiqih adalah dalil yang bersifat global (ijmal). Dalil
ijmal adalah kaidah-kaidah yang bersifat umum yang belum bekaitan dengan suatu kasus tertentu.
Kaidah-kaidah dalam tersebut kemudian diklasifikasikan kepada:

a. Al-qawaid al-Ushuliyah

Qawaid ushuliyah diartikan sebagai kaidah-kaidah yang dipakai para ulama’ untuk menggali hukum-
hukum yang ada dalam Alqur’an dan As-sunnah yang mana kaidah-kaidah itu sebenarnya berdasarkan
makna dan tujuan yang telah diungkapkan oleh para ahli bahasa arab (pakar linguistik Arab) (Syarifudin,
2009: 2; Firdaus, 2004: 130; Usman, 2002: 6; Al- Hallaq, 2001: 63). Sehingga dapat dikatakan bahwa
qawaid ushuliyah itu adalah kaidah- kaidah yang bersifat lughawiyah (berjenis kaidah bahasa).

Dalam konsep ilmu ushul fiqh, hokum dibagi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. secara
terminologi, hukum adalah kitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentik al-
1
Syarifuddin Amir, Ushul Fqih 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), hal 51-52
iqtida, at-takhyir, dan al-wadh’I (Abdul Wahab Khalaf,1886:105). Yang dimaksud dengan kitab adalah
firman Allah berupa perintah-perintah atau larangan-larangan. Kitab sebagai al-makhatab bih, yakni
produk dari kitab berpa jenis perbuatan hukum.

Kaidah-kaidah bahasa perspektif ushul fikih adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam
mengistinbatkan hukum dari berbagai permasalahan yang bersifat kebahasaan: struktur, jenis kata,
siyakul kalam dan sebagainya. Contoh

‫َو ًاِقْيُم وا الًّص َلوَة َو َأُتوالَّز َك وَة‬


Kata “aqiimu” dan “aatu” adalah dua kata yang memiliki bentuk fiil amar (kata kerja perintah).
Dan berdasarkan pendekatan kaidah bahasa bahwa “asal hukum perintah adalah mewajibkan”,
maka dari ayat tersebut ditarik hukum bahwa “shalat dan zakat memiliki hukum wajib”.
Namun perlu ditekankan bahwa tidak semua perintah menunjukan wajib, karena ada ayat yang
shigatnya merupakan kata kerja perintah, tetapi memiliki makna “anjuran ataupun bahkan
kebolehan”.
Kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut
kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka
mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya yang terinci. Disebut kaidah
lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna,
susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli
bahasa arab, setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.
Kaidah-kaidah ushuliyah digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan hukum- hukum
yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyah dapat difahami hukum-
hukum yang telah di istinbathkan oleh para imam mujtahidin2.
b. Al-Qawaid al-Fiqhiyah
Selain kaidah-kaidah ushuliyah (lughawiyah) ada juga kaidah-kaidah fiqhiyah, yaitu kaidah-
kaidah yang dibuat dan berkembangan di kalangan imam mazhab fikih dan para pengikutnya.
Kaidah fiqhiyah adalah kaidah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dari
dalil-dalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah beban dan
dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-hikmahnya. Rahasia tasyri’ adalah ilmu
yang menerangkan bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf,
kemaslahatan hamba, dan menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Menurut Tajuddin As Subkiy, bahwa Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana
masalah-masalah juz’iyyah (bagian/parsial) yang begitu banyak masuk ke dalamnya, yang

2
Juhrodi Udin, Konsep Dasar Ushul Fiqh, (2020),hal 1-3
daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah (Al Asybah wan Nazhair 1/11 karya Tajuddin
Abdul Wahhab As Subkiy).
Kaidah-kaidah fiqhiyah dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim dalam keputusannya,
rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum
syaria’t dalam ucapan dan perbuatanya. Karena aturan-aturan syara’ itu tidak dimaksudkan
kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbua tan dan ucapan manusia. Selain
itu juga kaidah fiqhiyah digunakan untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang
diwajibkan ataupun yang diharamkan baginya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat pedoman
penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan
pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk yang
operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan
rahasia¬rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam
mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya saling membutuhkan, dalam menetapkan hukun Islam.
B. PROSES-PROSES NAZHRAH
Nazhrah (penalaran) merupakan bagian dari proses terciptanya dalil, dalam hal ini tidak semua
nazhrah menghasilkan dalil. Nahrah yang shahihlah yang dapat menciptakan dalil. Istilah
nazhrah banyak didefinisikan dengan berbagai variasi arti pandangan, pemikiran, melihat, i’tibar
atau teori.
Karena nazhar adalah proses berfikir, maka nazhar adalah proses penggunaan akal dan logika
secara benar untuk menggali pengetahuan atau dugaan-dugaan tertentu. Karena merupakan
proses berfikir, maka nazhar mengharuskan terpenuhinya kaidah-kaidah berfikir yang benar
untuk menghasilkan pengetahuan dan dugaan yang benar tersebut.
Ada dua arti pengetahuan yang disandarkan kepada term “ilmu”, pertama ilmu sebagai
pengetahuan (keadaan tahu sebagai lawan tidak tahu), dan kedua ilmu sebagai sains (ilmu
pengetahuan sebagai lawan dari fiktif).
Nazhar adalah proses berfikir untuk mencapai ilmu pengetahuan yang bersifat sains. Karenanya
metode pencariannya dikenal dengan “metode ilmiah” atau saintifik. Kaidah-kaidah saintifik
yang digunakan dalam ilmu pengetahuan umum tentunya akan berbeda dengan ilmu
pengetahuan yang didasarkan dalam syariat Islam.
Secara umum, karakteristik metode ilmiah mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi, menentukan dan merumuskan masalah
b. Membuat hipotesis atau asumsi
c. Melakukan pengamatan/observasi dan percobaan
d. Melakukan analisis dan verivikasi
e. Menarik kesimpulan dan menghasilkan teori (hasil pengujian hipotesis)

Berdasarkan kriteria tersebut, dapat diketahui bahwa metode ilmiah (scientific method) adalah
metode yang secara penuh mengandalkan kemampuan berfikir dan logika serta akal manusia
dalam pencarian hasil/kesimpulanya.
Islam memiliki metode tersendiri dalam menentukan dan memastikan hukum, terutama dalam
dalam bidang ilmu fikih, metode tersebut kita namakan saja metode ushuliy. Metode ushuliy
dalam hal ini adalah metode yang menggunakan proses pengambilan strategi dan teknik
pembentukan pengetahuan yang didasarkan dari berbegai sumber dasar (ushul) agama Islam.
C. SUMBER-SUMBER DALIL
Berdasarkan sumbernya, dalil dapat dibagi kepada dua bagian yaitu dalil yang bersumber dari
wahyu dan dalil yang tidak bersumber dari wahyu. Yang bersumber dari wahyu kemudian kita
sebut dengan dalil naqli dan yang tidak bersumber dari wahyu kita menyebutnya dalil aqli.
Dalil naqli adalah dalil yang bersumber dari wahyu Allah, baik yang bersifat manthuq (tekstual:
tersurat) maupun yang bersifat mafhum (kontekstual: tersirat). Yang tekstual berwujud firman-
firman Allah dalam rupa ayat-ayat al-Quran dan perkataan Nabi (al-Hadis). Sedangkan yang
bersifat kontekstual adalah gejala-gejala alam yang kemudian disebut sunnatullah.3
Dalil aqli adalah dalil yang bersumber dari hasil olah pikir dan penalaran yang benar melalui
proses tashawur dan tashdiq.
Proses tashawur dan tashdiq, kedunya diawali dengan idrak, yaitu menemukan, mengetahui dan
mengenal sesuatu.
Tashawwur adalah menemukan atau mendapatkan gambaran tentang sesuatu yang bersifat
mandiri. Misalnya, kita mengenal kata “uang”. Setiap orang memiliki bayangan dan
deskripsi/gambaran yang berbeda tentang uang, ada yang membayangkan uang koin dan uang
kertas, ada yang membayangkan pecahan 1000 rupiah dan ada juga yang 100.0000 rupiah.
Tergambarkan uang dalam benak/otak tersebut disebut tashawur.
Tashawwur adalah proses dasar yang penting dalam pembentukan definisi/pengertian (al- had).
Artinya seseorang tidak mungkin mampu membuat definisi tanpa terlebih dahulu mendapatkan
tashawwur terhadap sesuatu tersebut. Meski demikian, berbagai definisi yang bervariasi dapat
dibuat akibat adanya perbedaan persepsi seseorang terhadap sesuatu, sesuai dengan apa yang
dia pikirkan, dirasakan, dilihat dan diyakini. Akibatnya, tidak semua definisi merupakan definisi
yang baik dan memberikan pemahaman yang paripurna. Bisa jadi, definisi yang dikemukakan

3
Faoz Rusman, Fiqh (Surabaya, CV Garuda Mas Sejahtera,2013) hal. 95
oleh seeorang justru membuat pemahaman menjadi kabur atau melahirkan pemahaman yang
salah.
Melihat fungsinya yang harus sesuai dengan perkembangan zaman, rumusan fiqh seharusnya
bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka
terhadap perubahan ini sebagai konsekuensi logis dari tugas fiqh, yang harus menyelaraskan
problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua
sumber rujukannya yaitu Al-Qur’an dan hadis.4
D. AL-MAUDHU’ (OBJEK KAJIAN)
Berikut dua macam penjelasan sebagian ulama’ mengenai ruang lingkup kajian Ushul
Fiqh, yaitu:
a. Secara ringkas, ilmu ini mencakup dua hal saja, yaitu itsbat dan tsubut. Maksudnya,
penetapan (itsbat) dalil-dalil untuk setiap hukum, dan tetapnya (tsubut) setiap hukum adalah
dengan adanya dalil-dalil yang mendukungnya. Misalnya, penetapan firman Allah aqiimuu ash-
shalaah [tegakkan shalat] sebagai dalil dari hukum wajibnya shalat; dan tetapnya kewajiban
shalat berdasar firman Allah aqiimuu ash-shalaah [tegakkan shalat] tersebut. Kata aqiimuu
[tegakkan] adalah kata perintah, dan setiap perintah menunjukkan kewajiban. Jadi, menegakkan
shalat hukumnya adalah wajib.
b. Dalil-dalil syar’i yang universal/umum dilihat dari aspek “bagaimana caranya mengambil
kesimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil tersebut”5.
Dalam perspektif ushul fiqh, hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. hukum
taklifi ada lima, yaitu:

1. Ijab, yaitu firman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti;
2. Nadb, yaitu fiman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti;
3. Tahrim, yaitu firman yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti;
4. Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tidak pasti;
5. Ibahah, yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan;

Menurut ulama Hanafiyah, jika suatu perintah didasarkan pada dalil yang pasti, seperti Al-Qur’an dan Al-
Hadist mutawatir, perintah itu disebut dengan fardu. Akan tetapi, jika perintah itu berdasarkan dalil yang
zhanni, tergolong hukum makruh.

Hukum wadh’I adalah firman yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabab) atau
sebagai syarat yang lain (masyrut) atau sebagai penghalang (mani) adanya yang lain. Oleh Karena itu,
hukum wadh’I dibagi tiga, yakni sebab, syarat, dan mani.6

4
Sudirman, Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018) hal. 3
5
Suhartini Andewi, Ushul Fqih (Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Islam Kementrian Agama, 2012) hal. 10
6
Saebeni Beni Ahmad dan Januri Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung, Pustaka Setia, 2009) hal. 210
Sebab, ialah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum (musabab)
artinya dengan adanya sebab, dengan sendirinya akan terwujud hukum atau musabab.

Contohnya tentang sanksi bagi pezina dalam surat An-Nur ayat 2


‫ۡأ‬ ‫ۡأ‬
‫ة ِفي ِد يِن ٱِهَّلل ِإن ُك نُتۡم ُتۡؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َيۡو ِم‬ٞ‫ٱلَّز اِنَيُة َو ٱلَّز اِني َفٱۡج ِلُدوْا ُك َّل َٰو ِحٖد ِّم ۡن ُهَم ا ِم ْاَئَة َج ۡل َد ٖۖة َو اَل َت ُخ ۡذ ُك م ِبِهَم ا َر َف‬
‫ة ِّم َن ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن‬ٞ‫ٱٓأۡلِخ ِۖر َو ۡل َيۡش َهۡد َع َذ اَبُهَم ا َطٓاِئَف‬
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Syarat, yaitu sesuatu yang menyebabkan ada hukum, dan dengan ketiadaannya berarti tidak ada hukum
(masyrut). Contohnya syarat sahnya sholat adalah berwudhu terlebih dahulu sesuai rukun dan syarat-
syaratnya, syarat sah nya pernikahan adalah ada wali.

Mani atau penghalang, yaitu sesuatu yang adanya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak adanya
menjadi sebab bagi hukum. Sebagai contoh seseorang yang sedang shalat tiba-tiba buang angin (kentut)
maka sholatnya menjadi batal.7

7
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014) hal. 21-25
Kesimpulan
Konsep dasar ushul fiqh yaitu proses menetapkan suatu perkara dengan berbagai metode
dengan menggunakan sumber utama yaitu Al-Qur’an dan hadis. Adapun kaidah yang digunakan
yaitu kaidah ushuliyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut
dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya yang
terinci.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat pedoman
penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan
pendekatan secara kebahasaan.
Berdasarkan sumbernya, dalil dapat dibagi kepada dua bagian yaitu dalil yang bersumber dari
wahyu dan dalil yang tidak bersumber dari wahyu. Yang bersumber dari wahyu kemudian kita
sebut dengan dalil naqli dan yang tidak bersumber dari wahyu kita menyebutnya dalil aqli.
Dalil naqli adalah dalil yang bersumber dari wahyu Allah, baik yang bersifat manthuq (tekstual:
tersurat) maupun yang bersifat mafhum (kontekstual: tersirat). Yang tekstual berwujud firman-
firman Allah dalam rupa ayat-ayat al-Quran dan perkataan Nabi (al-Hadis). Sedangkan yang
bersifat kontekstual adalah gejala-gejala alam yang kemudian disebut sunnatullah.
SARAN
Hadirnya makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa, sekaligus perbaikan
bagi kami agar bisa lebih baik lagi. Kami pahami bahwa materi yang disajikan masih sangat
terbatas, maka kami juga butuh saran yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Ushul Fqih 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011)

Juhrodi Udin, Konsep Dasar Ushul Fiqh, 2020 hal 1-3


Faoz Rusman, Fiqh (Surabaya, CV Garuda Mas Sejahtera,2013)

Sudirman, Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018)

Suhartini Andewi, Ushul Fqih (Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Islam Kementrian Agama, 2012)

Saebeni Beni Ahmad dan Januri, Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung, Pustaka Setia, 2009)

Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014)

Anda mungkin juga menyukai