Anda di halaman 1dari 16

Konsep dasar

ushul fiqh

Belajar dari kegagalan untuk meraih kesuksesaan


Alqhis
Sayun Aufallenda Harahap

2120119
PAI C
Tahun Ajaran 2022/2023
Pengertian Ushul Fiqih .
Menurut Bahasa
dan istilah
Ushul fiqh tersusun dari dua kata, yaitu “ushul” yang merupakan bentuk
jamak dari kata “ashlun” yang berarti dasar. Maka, kata “ushul” dapat
diartikan berbagai dasar, dasar yang banyak atau dasar-dasar. Kata ketua
adalah ‘fiqh”, menurut bahasa berarti paham atau mengerti. Maka secara
bahasa ushul fiqih dapat diartikan “dasar-dasar yan membentuk sebuah
pemahaman”. Menurut istilah, ushul fiqih banyak didefinisikan denga
berbagai ragama definisi.
Ushul Fiqih Sebagai Epistemlogi
Memahami ushul fiqih sebagai kumpulan dalil, mengajak kita untuk mengetahui hakikat dan makna dari dari
dalil-dalil ijmal. Kata “dala-il” merupakan bentuk jamak dari kata “daliilun” merupakan isim fail (subjek) yang
menggunakan wazan “fa’iilun” yang menunjukkan makna mubalaghah (sangat). Bentuk asalnya adalah kata ‘daa-
lun” artinya “yang menunjukkan atau mengindikasikan”, setelah dirubah menjadi bentuk mubalaghah, maka
“kata daliilun” berarti yang benar-benar memberikan petunjuk, atau yang banyak memberikan petunjuk.
Berdasarkan definisi tersebut, maka ada beberapa term yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Analisis yang
valid (shahih al-nazhari) adalah analisis yang dilakukan dengan cara yang memberikan potensi memberikan
pemahaman hati yang mantap terhadap kesimpulan (almathlub). Analisis ini disebut wajh al-dilalah (aspek
penunjukkan dalil). 2. Term at-tawashul dalam definisi mengindikasikan proses menghasilkan keyakinan atau
dugaan (zhan). 3. Term al-nazhr adalah proses mencurahkan seluruh potensi akal dalam bentuk aktivitas berfikir
tanpa batas yang mampu menghasilkan keyakinan atau dugaan. Sementara proses berfikir (al-fikr) itu sendiri
merupakan aktivitas logika dengan melalukan analisis terhadap beberapa hal yang bersifat rasional (al-ma’qulat),
bukan yang bersifat inderawi (almahsusat).
4. Definisi tersebut mencakup juga dalil yang qath’iy seperti alam semesta sebagai dalil wujudnya adanya Sang
Maha Pencipta, dan zhanniy seperti asap menunjukkan adanya api, dan potongan ayat yang berbunyi wa aqiimush
shalaat sebagai dalil wajibanya shalat.
Salah satu syarat dalil yang menjadi karakteristik ushul fiqih adalah dalil yang bersifat global (ijmal). Dalil ijmal
adalah kaidah-kaidah yang bersifat umum yang belum bekaitan dengan suatu kasus tertentu. Kaidah-kaidah dalam
tersebut kemudian diklasifikasikan kepada:
1. Al-qawaid al-Ushuliyah
Qawaid ushuliyah diartikan sebagai kaidah-kaidah yang dipakai para ulama’ untuk menggali hukum-hukum yang
ada dalam Alqur’an dan As-sunnah yang mana kaidah-kaidah itu sebenarnya berdasarkan makna dan tujuan yang
telah diungkapkan oleh para ahli bahasa arab (pakar linguistik Arab) (Syarifudin, 2009: 2; Firdaus, 2004: 130;
Usman, 2002: 6; AlHallaq, 2001: 63). Sehingga dapat dikatakan bahwa qawaid ushuliyah itu adalah kaidahkaidah
yang bersifat lughawiyah (berjenis kaidah bahasa). Kaidah-kaidah bahasa perspektif ushul fikih adalah kaidah-
kaidah yang digunakan dalam mengistinbatkan hukum dari berbagai permasalahan yang bersifat kebahasaan:
struktur, jenis kata, siyakul kalam dan sebagainya.
Kaidah-kaidah tersebut kemudian dioperasionalisasikan untuk menghasilkan hukum atas suatu permasalahan yang
berkaitan dengan kebahasaan. Karena kedua contoh tersebut termasuk kepada kategori kaidah-kidah lughawiyah,
yaitu kaidah-kaidah yang digunakan dalam menginstinbath hukum yang berkaitan dengan masalah bahasa.
Kata “aqiimu” dan “aatu” adalah dua kata yang memiliki bentuk fiil amar (kata kerja perintah). Dan
berdasarkan pendekatan kaidah bahasa bahwa “asal hukum perintah adalah mewajibkan”, maka dari ayat
tersebut ditarik hukum bahwa “shalat dan zakat memiliki hukum wajib”.
Namun perlu ditekankan bahwa tidak semua perintah menunjukan wajib, karena ada ayat yang shigatnya
merupakan kata kerja perintah, tetapi memiliki makna “anjuran ataupun bahkan kebolehan”. Kaidah-kaidah
ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena
kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya
yang terinci. Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan
makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab,
setelah diadak an penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab. Kaidah-kaidah ushuliyah
digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan hukumhukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut.
Dengan kaidah ushuliyah dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin.
2. Al-Qawaid al-Fiqhiyah
Selain kaidah-kaidah ushuliyah (lughawiyah) ada juga kaidah-kaidah fiqhiyah, yaitu kaidahkaidah yang dibuat dan
berkembangan di kalangan imam mazhab fikih dan para pengikutnya. Kaidah fiqhiyah adalah kaidah hukum yang
bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dari dalil-dalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam
meletakkan mukallaf di bawah beban dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-hikmahnya. Rahasia
tasyri’ adalah ilmu yang menerangkan bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf,
kemaslahatan hamba, dan menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Menurut Tajuddin As Subkiy, bahwa Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana masalah-masalah
juz’iyyah (bagian/parsial) yang begitu banyak masuk ke dalamnya, yang daripadanya diketahui hukum-hukum
juz’iyyah (Al Asybah wan Nazhair 1/11 karya Tajuddin Abdul Wahhab As Subkiy). Kaidah-kaidah fiqhiyah
dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya,
dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syaria’t dalam ucapan dan perbuatanya. Karena aturan-
aturan syara’ itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbua tan dan ucapan
manusia. Selain itu juga kaidah fiqhiyah digunakan untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang
diwajibkan ataupun yang diharamkan baginya. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan
menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk yang operasional
dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia¬rahasia tasyri’. Namun kedua
kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya yang tidak
dapat dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan, dalam menetapkan hukun Islam.
Proses Proses Nazhrah
Nazhrah (penalaran) merupakan bagian dari proses terciptanya dalil, dalam hal ini tidak semua nazhrah menghasilkan dalil.
Nahrah yang shahihlah yang dapat menciptakan dalil. Istilah nazhrah banyak didefinisikan dengan berbagai variasi arti
pandangan, pemikiran, melihat, i’tibar atau teori.
Karena nazhar adalah proses berfikir, maka nazhar adalah proses penggunaan akal dan logika secara benar untuk menggali
pengetahuan atau dugaan-dugaan tertentu. Karena merupakan proses berfikir, maka nazhar mengharuskan terpenuhinya kaidah-
kaidah berfikir yang benar untuk menghasilkan pengetahuan dan dugaan yang benar tersebut.
Ada dua arti pengetahuan yang disandarkan kepada term “ilmu”, pertama ilmu sebagai pengetahuan (keadaan tahu sebagai lawan
tidak tahu), dan kedua ilmu sebagai sains (ilmu pengetahuan sebagai lawan dari fiktif).
Nazhar adalah proses berfikir untuk mencapai ilmu pengetahuan yang bersifat sains. Karenanya metode pencariannya dikenal
dengan “metode ilmiah” atau saintifik. Kaidah-kaidah saintifik yang digunakan dalam ilmu pengetahuan umum tentunya akan
berbeda dengan ilmu pengetahuan yang didasarkan dalam syariat Islam.
Secara umum, karakteristik metode ilmiah mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi, menentukan dan merumuskan masalah
b. Membuat hipotesis ata asumsi
c. Melakukan pengamatan/observasi dan percobaan
d. Melakukan analisis dan verivikasi
e. Menarik kesimpulan dan menghasilkan teori (hasil pengujian hipotesis)
Berdasarkan kriteria tersebut, dapat diketahui bahwa metode ilmiah (scientific method) adalah metode yang secara penuh
mengandalkan kemampuan berfikir dan logika serta akal manusia dalam pencarian hasil/kesimpulanya.
Islam memiliki metode tersendiri dalam menentukan dan memastikan hukum, terutama dalam dalam bidang ilmu fikih, metode
tersebut kita namakan saja metode ushuliy. Metode ushuliy dalam hal ini adalah metode yang menggunakan proses pengambilan
strategi dan teknik pembentukan pengetahuan yang didasarkan dari berbegai sumber dasar (ushul) agama Islam. Kita mengenal
beberapa disiplin ilmu dalam Islam yang diawali dengan kata ushul, ada ushuluddin, ushul al-hadis, ushul al-Tafsir, ushul fiqh,
dan lainnya.
Proses dan teknik pengambilan pengetahuan, jika menggunakan metode ushuliy maka akan melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut:
a. Mengidentifikasi, menentukan dan merumuskan masalah
b. Melakukan pencarian dalil. Pada tahap ini, akan menghasilkan dua kemungkinan
1) Masalah sudah memiliki dalil naqli
2) Masalah yang tidak memiliki atau tidak ditemukan dalil naqli
c. Jika masalah tersebut merupakan masalah yang memiliki dalil naqli, maka metode/teknik yang digunakan adalah dengan cara
menggabungkan dan membandingkan (komparatif) dalildalilnya. Proses ini kemudian melahirkan berbagai teknik pencarian dalil
seperti al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, tasaquth, ta’adul al-adillah.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui, bahwa dalam islam sebuah pengetahuan harus tetap mengacu kepada sumber utama
yang disebut dengan dalil naqli. Penggunaan logika dan pemikiran dalam menarik pengethuan juga harus memperhatikan bahwa
pengetahuan yang diahasilkan dan premis-premisnya tidak bertentangan dengan dalil naqli tersebut. Inilah yang membedakan
antara scientific method dengan ushuliy method.
Sumber
Sumber Dalil
This is where you section ends. Duplicate this set of slides as many times you need to go over all your sections.
Dalil naqli adalah dalil yang bersumber dari wahtyu Allah, baik yang bersifat
manthuq (tekstual: tersurat) maupun yang bersifat mafhum (kontekstual: Proses tashawur dan tashdiq, kedunya diawali
tersirat). Yang tekstual berwujud firman-firman Allah dalam rupa ayat-ayat dengan idrak, yaitu menemukan, mengetahui dan
al-Quran dan perkataan Nabi (al-Hadis). Sedangkan yang bersifat mengenal sesuatu. Tashawwur adalah menemukan
kontekstual adalah gejala-gejala alam yang kemudian disebut sunnatullah. atau mendapatkan gambaran tentang sesuatu yang
Dalil aqli adalah dalil yang bersumber dari hasil olah pikir dan penalaran bersifat mandiri. Misalnya, kita mengenal kata
yang benar melalui proses tashawur dan tashdiq. Berkaitan dengn hal “uang”. Setiap orang memiliki bayangan dan
tersebut, Syeikh Tajudin menegaskan: ‫َو اإل ْد َر اك َت َص وُ ٌر َو ِبُح ْك ٍم َت ْص ِدْي ٌق َو َج اِز ُم ُه الَ ِذْي‬ deskripsi/gambaran yang berbeda tentang uang,
‫اَلَي ْق َب ُل التَ َغ يُ َر ِع ْل ٌم َو ْالَقاِبُل ِاْع ِتَق اٌد َص ِحْيٌح ِْْاََ اَب َق َف ِِاٌد ِْْا َلْم ُيَط اِبْق َو َغ ْي َر الَج اِز ِم َظ نٌ َو َو ْه ٌم َش َو ألن‬ ada yang membayangkan uang koin dan uang
‫“ َ كٌ ُه َم ِا ا َر اِج ٌح َاْو َم ْر ُج ْو ٌح َاْو ُم َس اٍو‬idrak (menemukan/mengenali sesuatu) tanpa kertas, ada yang membayangkan pecahan 1000
penentuan hukum disebut tashawur (konsep), (sedangkan idrak) dengan rupiah dan ada juga yang 100.0000 rupiah.
pemberian hukum disebut tashdiq. Tashdiq yang pasti (mantap) dan tidak Tergambarkan uang dalam benak/otak tersebut
berubah-ubah (konstans) disebut ilmu (pengetahuan, keyakinan), sedangkan disebut tashawur.
yang berubahubah disebut i’tiqad (pendirian). Disebut i’tiqad shahih Tashawwur adalah proses dasar yang penting
(pendirian yang benar) jika sesuai dengan kenyataan/realita dan disebut dalam pembentukan definisi/pengertian (alhad).
i’tiqad fasid (pendirian yang salah) jika bertentangan dengan realita. Tashdiq Artinya seseorang tidak mungkin mampu membuat
yang tidak pasti mencakup zhan (dugaan), wahm (sangkaan), dan syakk definisi tanpa terlebih dahulu mendapatkan
(keraguan), karena porsi anggapan kebenarannya bisa lebih besar, lebih kecil tashawwur terhadap sesuatu tersebut.
atau setara.”.
berbagai definisi yang bervariasi dapat dibuat akibat adanya perbedaan
persepsi seseorang terhadap sesuatu, sesuai dengan apa yang dia pikirkan, Batasan-batasan tentang definisi tersebut,
dirasakan, dilihat dan diyakini. Akibatnya, tidak semua definisi merupakan digambarkan secara jelas oleh Syeikh Tajuddin
definisi yang baik dan memberikan pemahaman yang paripurna. Bisa jadi, dengan kriteria-kriteria sebagai berikut:
definisi yang dikemukakan oleh seeorang justru membuat pemahaman 1. Al-Jami’ (universal), mampu mengakomodir
menjadi kabur atau melahirkan pemahaman yang salah. Karenanya, Syeikh semua unsur/individu yang masuk ke dalam
Tajudin menyebutkan sebagai berikut: ‫“ َو ْالَح دُ الَج اِمُع الَم اِنُع الُم َط رِ ُد الُم ْن َع ِكُس‬Had cakupan had.
adalah al-jami’ (universal) sekaligus al-mani’ (protektif), juga disebur al- 2. Al-Mani’ (protektif), mampu menolak unsur lain
mutharrid sekaligus mun’akis”. Had, secara etimologi diartikan “mencegah, yang bukan merupakan unsur-unsur yang
membatasi, menghalangi”. Menurut istilah ushul fiqih, had diartikan sebagai didefinisikan (mahdud).
sesuatu yang dapat membedakan suatu perkara dengan perkara yang lain. 3. Al-Mutharrid yaitu setiap kali ada had (definisi),
Pengertian ini simakna dengan mu’arrif (definisi) menurut ulama ilmu maka mahdud (yang didefinisikan) juga ada,
manthiq. Membedakan suatu perkara dengan perkara yang lain hanya bisa sehingga apapun di luar unsur yang
dihasilkan dengan batasan dimana semua satuan dari individu mahdud didefinisikan (mahdud) terhalang masuk. Istilah
(unsur yang didefinisikan) terakomodir dan termasukkan tanpa kecuali, dan lainnya adalah al-Mani
unsur-unsur lain yang bukan merupakan unsur yang didefinisikan, terhalang 4. Al-Mun’akis yaitu setiap kali ada mahdud (hal
untuk masuk ke dalam definsi (had). yang didefinisikan), maka had (definisi) juga
ada, sehingga semua unsur yang didefinisikan
(mahdud) terakomodir ke dalam definisi (had).
Istilah lainnya adalah al-Jami.
Tashdiq, adalah pencapaian akal pada suatu makna yang sempurna disertai 1) I’tikad shahih (pendirian yang benar), yaitu
dengan penyandaran/pemberian hukum. Contohnya kata “al-‘alam al-hadis” pendirian yang benar meskipun buktibukti yang
(alam raya ini baharu). Pada contoh ini terdapat penyandaran “al-hadis” mendukung kebenarannya lemah, misalnya
(baharu) kepada “al-‘alam” (alam raya). Berdasarkan kepastian (jazimi) atau pendirian tentang “sunnahnya melaksanakan
kausalitasnya, shalat dhuha”.
tashdiq terbagi menjadi dua: 2) I’tikad fasid (pendirian yang salah), yaitu
1. Tashdiq yang memiliki kepastian (causa). Jenis ini memiliki dua pendirian yang tidak benar dan buktibuktinya
kategori, yaitu yang tidak menerima perubahan dan yang menerima sangat lemah. Ia hanya satu keyakinan belaka,
perubahan. misalnya pandangan para filosof bahwa “alam ini
a. Tashdiq kausa yang tidak berubah, artinya terdapat sebab-sebab/bukti- abadi”.
bukti yang mendukung seperti pancaindra, akal ataupun adat, sehingga 3) Tashdiq yang tidak pasti (non-causa). Yaitu
menunjukkan dengan kenyataannya. Misalnya pengertahuan tentang tashdiq yang kepastiannya berubah-rubah atau
“Zaid Berjalan” yang diperoleh dari orang yang melihatnya berjalan, atau tidak tetap, dalam artian antara keyakinan benar
pertimbangan akal tentang “barunya alam aya” yang diperoleh dari dan salahnya saling tarik menarik. Tashdiq jenis
proses silogisme. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini disebut dengan ini terbagi menjadi 3 bentuk, yaitu:
“ilmu” atau keyakinan. a. Zhann, yaitu berupa asumsi-asumsi dimana
b. Sedangkan tashdiq kausa yang menerima perubahan disebut i’tiqad. Ini keyakinan akan kebenarannya lebih besar
terjadi karena tidak adanya/kurangnya sebab/bukti yang memberikan daripada keyakinan akan salahnya.
dukungan terhadap realita. I’tikad (pendirian) terbagi kepada tiga jenis: b. Wahm, yaitu berupa asumsi-asumsi dimana
keyakinan akan salahnya lebih besar daripada
benarnya.
c. Syakk, yaitu asumsi-asumsi yang memiliki
pertarikan antara benar dan salah secara
seimbang.
Thank you!
Do you have any questions?
hello@mail.com
555-111-222
mydomain.com
Sekian PPT Yang Dibuat
Semangat Yang KKN
Semoga Dapat Jodoh Di KKN

Anda mungkin juga menyukai