Oleh:
JULIANTO
IS-19006
A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum islam adalah Al-Quran dan sunah Pada masa
Rasul, manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan
Allah maupun kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk
menjelaskannya. Rasul sebagai Muballig, menyampaikan penhyampaian
penjelasan ini kepada umatnya untuk di ikuti. Kendati demikian, penjelasan Al-
Quran tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci (tafsili), melainkan
kebanyakan bersifat garis besar (ijmali), sehingga di butuhkan lebih lanjut dari
Rasul. Sebagai orang yang di beri wewenang menjelaskan di satu sisi dan
menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang harus
menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
2
terhadap makna-makna dari aspek latar belakang historis. kendati demikian, para
ahli hukum Islam belakangan banyak member penasfsiran metode ijtihad yang
di lakukan oleh para sahabat, yang memproyeksikan kepada konsep-konsep
yang berkembang pada pada periode kematangan pemikiran hukum Islam, salam
madkur mengatakan bahwa ijtihad para sahabat semuanya tersimpul dalam
beberapa bentuk yaitu: (1) menggunakan metode
penafsiran nash (bayani/ hermaneutika) (2) menggunakan metode al-qiyas atau
ta’lili (analogi), (3) menggunakan metode mashlahah mursalah (istislahi) dan
(4) istishab. Terlepas dari apa pun interpretasi tentang bentuknya kreasi ijtihad
mereka disebabkan kuantitas nash hukum yang terbatas, sedangkan kasus
hukum yang muncul tidak terbatas.
3
Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum
dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fikih dan
Filsafat Hukum Islm. Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama
dalam metode penemuan hukum Islam. Tujuan penemuan hukum haruslah
dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam
Islam secara umum dan menjawab persoalanpersoalan hukum kontemporer yang
kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Quran dan Hadis. Oleh karenanya
dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan dapat
menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang
muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan, Bagaimana bentuk penemuan
hukum metode penemuan hukum bayani, ta‟lili, isislahi,dan istishab.
B. Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam istilah ilmu Ushul Fikih metode penemuan hukum dipakai dengan
istilah ”istinbath”, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari
dalil.2 Imam Al-Ghazali dalam kitabnya”Al-Mustashfa, memasukan dalam bab
III dengan judul ”Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul
Fikih maka password yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut
adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara
mengeluarkan hukum dari dalilnya.
1. Kaidah syar‟iyyah.
2
Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta :PT. Bulan
Bintang, 2004), hlm. 1.
3
A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5,
Edisi Revisi, (Jakarta, Prebada Media, 2005), hlm.17.
5
2. Kaidah lughawiyah.
4
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta,
UII Pres, 1984), hlm.32
6
2. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi
5
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interprestasi Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 23
7
artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di
kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
8
atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian
tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-
mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun
lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-
makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan.
2. Metode ta’lili
Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum
yang bertumpu pada penentuan ‘‘illah-‘‘illah hukum (suatu yang menetapkan
adanya hukum) yang terdapat dalam suatu nash.7
7
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2008), hlm 80
9
ta’lili ini adalah metode qiyas dann istihsan, dimana uraian dari kedua hal
tesebut yaitu:
Qiyas
Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa sema hukum syara’ yang dibawa
oleh nash itu, disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan kepentingan
manusia, bukan tanpa tujuan. Apabila hukum-hukum itu termasuk kategori yang
10
takterdapat jalan bagi akal mencari kemaslahatan yang detail yang perlu
diwujudkan oleh penetapannya sseperti hukum ibadah, maka hukum ini disebut
dengan ta’abbudi yang diharuskan pelaksanaanya pelaksanaannya menurut
ketentuan yang dibwa oleh nash. Tetapi apabila hukum-hukum yang
dibawa nash termasuk kategori terdapat peluang akal mencari kemaslahatan
yang menjadi tujuan dan ‘‘illah yang melandasinya, maka subjek hukum
(mukallaf) melaksanakannya atau memperlakukannya pada semua peristiwa
hukum yang dicakup oleh nash itu dan para mujtahid berkewajiban mengetahui
maslahat yang menjadi tujuansyara’ menetapkannya serta mengetahui ‘illah
hubungan itulah terwujudnya maslahat. Sehingga apabila dihadapkan kepada
mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari peristiwa yang
disebutkan nash dan mereka mendapatkan kejelasan bahwa didalamnya
terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan hukum nya oleh nash karena
maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.8
11
اليرث القا تل:
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagai istimbath ta’lili
merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas
sebagai penalaran ta’lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan
maqashid asy-syari’ah baik yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi,
politik dan moral. Pertimbangan maqashid asy-syariah menjadikan metode qiyas
lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan hukum.
istihsan
12
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh
para alim ulama, meskipun dalam kenyataanya, semua ulama menggunakannya,
para ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya para ulama
menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik
atau mengikuti suatu yang lebih baik.
9
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya, hlm.
130-131.
13
1. Metode istislahi
Al-mashlahah al-mursalah
10
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam,hlm 187
14
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti
sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat
dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’
dalam penetapan hukum itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Saddudz-dzara’i (dzari’ah)
15
Secara harfiah Saddudz-dzara’i terdiri atas dua kata yakni sad yang
berarti penghalang atau sumbat dan dzariah yang artinya jalan. Oleh
karenanya Saddudz-dzara’i dimaksudkan sebagai menghambat atau menyumbat
semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penetapan
melalui metode ini adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan dan
jauh kemungkinan memudahkan terjadinya kerusakan. Metode ini disebut
sebagai metode preventif mencegah sesuatu sebelum terjadinya suatu yang tidak
diinginkan.11
يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَقُولُوا َرا ِعنَا َوقُولُوا ا ْنظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا
1. Metode Istishab
11
Abdul Ghofur Anshori dan zulkarnaen harahap, Hukum Islam Dinamika dan
perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 191.
16
Menurut ulama fikih istishab berarti apa yang ada pada masa lalu
dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus
menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada
sehingga terdapat dalil yang mengubahnya.
Apa yang telah diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama
belum ada dalil yang mengubahnya).
Kaidah ini diambil dari nash yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah
menaklukan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia.
Dan sesuatu yang ada di bumi tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan
12
Abu Zahrah, 1994: 452; Abdul Ghofur Anshori Dan Zulkarnaen Harahap, Hukum
Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, hlm. 188
17
bagi manusia kecuali apabila sesuatu diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau
sekiranya ia dilarang atas mereka maka suatu itu tidaklah diperuntutkan bagi
mereka.13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
13
Abdul Wahhab Khallaf, 1994: 127; Abdul Ghofur Anshori Dan Zulkarnaen
Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, hlm. 189
18
Kegiatan penemuan hukum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada
intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai
pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan
hukum dalam menjawab permsalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman
aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku,
peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas,
melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi
mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.
DAFTAR PUSTAKA
19
Rahman Asjmuni A. Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta
:PT. Bulan Bintang.
20