Anda di halaman 1dari 20

METODE PENEMUAN HUKUM ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. Solikul Hadi, M.Ag.

Oleh:
JULIANTO
IS-19006

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS


HUKUM KELUARGA ISLAM/HKI
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum islam adalah Al-Quran dan sunah Pada masa
Rasul, manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan
Allah maupun kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk
menjelaskannya. Rasul sebagai Muballig, menyampaikan penhyampaian
penjelasan ini kepada umatnya untuk di ikuti. Kendati demikian, penjelasan Al-
Quran tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci (tafsili), melainkan
kebanyakan bersifat garis besar (ijmali), sehingga di butuhkan lebih lanjut dari
Rasul. Sebagai orang yang di beri wewenang menjelaskan di satu sisi dan
menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang harus
menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.

Ijtihad Rasul tersebut pada dasarnya merupakan pengungkapan Ilham


Ilahi  dan pemahaman mendalam terhadap semangat hukum (ruh at-tasri’),
mengingat apapun yang di diucapkannya bukanlah berdasarkan hawa nafsu
melainkan wahyu tuhan. Adapun terbentuknya terkadang dilakukan secara
kolektif, yakni musyawarah bersama para sahabat atau dilakukan secara pribadi
dengan memproyeksikan kasus yang tidak ada aturan hukum nya dengan kasus
yang ada aturan hukum nya dalam Al-Quran, yang di sebut dengan al-
qiyas, sekalian dalam pengertian luas. Namun apa pun yang di tetapkan Rasul
merupakan pendapat yang terpelihara dan menjadi sunnah sebagai sebaian nash–
nash.1

Setelah Rasul wafat, pengemban amanah untuk menyelesaikan masalah


hukum beralih kepada para sahabat meraka pun penyelesaian hukumnya
menggunakan Al-Quran dan sunah sebagai sumber penetapan hukum islam dan
ketika tidak ada dalam sumbernya tersebut mereka mnggunakan metode ijtihad
1
Duksi Ibarahim, Metode Penetapan Hukum Islam,(Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA,
2008) hlm 12.

2
terhadap makna-makna dari aspek latar belakang historis. kendati demikian, para
ahli hukum Islam belakangan banyak member penasfsiran metode ijtihad yang
di lakukan oleh para sahabat, yang memproyeksikan kepada konsep-konsep
yang berkembang pada pada periode kematangan pemikiran hukum Islam, salam
madkur mengatakan bahwa ijtihad para sahabat semuanya tersimpul dalam
beberapa  bentuk yaitu: (1) menggunakan metode
penafsiran nash (bayani/ hermaneutika) (2) menggunakan metode al-qiyas atau
ta’lili (analogi), (3) menggunakan metode mashlahah  mursalah (istislahi) dan
(4) istishab. Terlepas dari apa pun interpretasi tentang bentuknya kreasi ijtihad
mereka disebabkan kuantitas nash hukum yang terbatas, sedangkan kasus
hukum yang muncul tidak terbatas.

Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode


penerapan hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm)  dan penerapan
hukum (tathbiq alhukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan metode penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh
praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode yang diberlakukan dalam
suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan oleh para Juris
Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan, seperti
pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode
seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang
disebut Ushul Fikih. Di dalam ilmu Ushul Fikih dirumuskan metode memahami
hukum Islam dan memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil
tersebut dibangun hukum Islam yang ketentuan hukum nya sesuai dengan akal
sehat (a reasionable assumption). Imam Syafi‟i contohnya mempunyai jasa dan
andil yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek Ushul Fikih dalam
kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya membahasa Ushul
Fikih, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang
muncul kemudian.

3
Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum
dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fikih dan
Filsafat Hukum Islm. Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama
dalam metode penemuan hukum Islam. Tujuan penemuan hukum haruslah
dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam
Islam secara umum dan menjawab persoalanpersoalan hukum kontemporer yang
kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Quran dan Hadis. Oleh karenanya
dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan dapat
menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang
muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan, Bagaimana bentuk penemuan
hukum metode penemuan hukum bayani, ta‟lili,  isislahi,dan istishab.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan seputar metode penemuan hukum dalam Islam?

2. Apasaja metode yang digunakan dalam penemuan hukum Islam ?

3. Bagaimana aborsi ditinjau dari sisi teori Deelneming?

4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam

Dalam istilah ilmu Ushul Fikih metode penemuan hukum dipakai dengan
istilah ”istinbath”, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari
dalil.2 Imam Al-Ghazali dalam kitabnya”Al-Mustashfa, memasukan dalam bab
III dengan judul ”Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul
Fikih maka password yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut
adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara
mengeluarkan hukum dari dalilnya.

Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-


istinbath  yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan
hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah
bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-
kaidah Ushuliyah lainnya.3 Ahli Ushul Fikih menetapkan ketentuan bahwa untuk
mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui
kaidah syar‟iyyah dan kaidah lughawiyah.

1. Kaidah syar‟iyyah.

Kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟ dalam


menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek huku (mukallaf).
Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan
dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan
sebaginya.

2
Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta :PT. Bulan
Bintang, 2004), hlm. 1.
3
A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5,
Edisi Revisi, (Jakarta, Prebada Media, 2005), hlm.17.

5
2. Kaidah lughawiyah.

Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-


nya maupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman
dalam menetapkan hukum. Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli
lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti
lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.

Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh


ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu
Ushul Fikih. Usha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang
disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan
jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah
Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang
terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi
landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.4

Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah


harus memahami bahasa dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab.
Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan
bahasa tidak dapat dilakukan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan
tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap
orang yang ingin berijtihad.

4
 Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta,
UII Pres, 1984), hlm.32

6
2. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi

1. Metode bayani (hermaneutika)

Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah


metode penemuan hukum al-bayan  mencakup pengertian al-tabayun dan al-
tabyin  : yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian
penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan komunikasi
pemahaman (al-ifham)  ; perolehan makna (al-talaqqi)  dan penyampaian
makna (al-tablig).5 Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya
mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang
bermakna “mengartikan‟, “menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan juga bertindak
sebagai penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah
suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri
dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang
maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang
jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk transformasi
makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan
seorang penafsir / muffasir.

Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika


telah lama dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan
istilah “ilmu tafsir” (ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan
dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman,
dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟
ditujukan (dikhitobkan)  pada terminologi “hermeneutika Al
Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem
yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman
adalah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara atau safara yang

5
 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interprestasi Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 23

7
artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di
kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.

Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering


kali disinonimkan pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟. Al-
Tafisr  berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-
ta’wil  lebih merupakan isnterprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan
dengan makna batin teks dan penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan
kata lain al-tafsir suatu upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan
tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai
pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang
mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak
dinamis. 6

Hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau


seni menginprestasikan (the art pf interprestation) “teks‟ atau memahami
sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-
undangan dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu/teks di
sini bisa berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi
negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa
pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik
menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks,
konteks dan kontekstualisasi.

Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu


menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca,
masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang
pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan
membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang
elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis
6
 Jazim Hamidi,  Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interprestasi Teks, hlm. 21

8
atau behavioralis  yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian
tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-
mata menggunakan paradigma positivisme  dan metode logis formal, namun
lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-
makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan.

Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna


sekaligus: Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi
atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di
mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun
yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode
bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan
hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral
hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara
kaidah-kaidah dan fakta-fakta.

2. Metode ta’lili

Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum
yang bertumpu pada penentuan ‘‘illah-‘‘illah hukum (suatu yang menetapkan
adanya hukum) yang terdapat dalam suatu nash.7

Berkembangnya corak penalaran tak’lili ini karena didukung oleh suatu


kenyataan bahwa nash Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu
masalah hukum sebagian di iringi dengan penyebutan ‘‘illah-‘‘illah hukumnya.
Atas dasar ‘‘illah yang terkandung di dalam suatu nash permasalahan-
permasalahan hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahanyya
melalui penalaran terhadap ‘‘illah yang ada dalam nash tersebut. Dalam
perkembangan pemikiran ushul fikih, yang termasuk dalam corak penalaran

7
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2008), hlm 80

9
ta’lili ini adalah metode qiyas dann istihsan, dimana uraian dari kedua hal
tesebut yaitu:

 Qiyas

Secara etimologi kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur


membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan arti qiyas
menurut terminologi  terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda, diantaranya:

Pertama: AL-Ghazali dalam al-Mustasfa memberikan definisi qiyas


yaitu menanggungkan sesuatu yang di kehendaki kepada sesuatu yang di ketahui
dalah hal penetapan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum pada
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan
hukum/sifat atau peniadaan hukum/sifat.

Kedua: Muhammad abu zahrah mendfinisikan Menghubungkan sesuatu


perkara yang tidak ada nash tentang hukum nya kepada perkara lain yang
ada nash hukum nya karena keduannya berserikan dalam ’’illah hukum nya.

Ketiga:  Ibn as-Subki dalam kitabnya jam’u al-Jawami memberikan


definisi qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu
yang diketahui karena kesamaan dalam ‘‘illah hukum nya menurut pihak yang
menghubungkan (mujtahid).

Dari penafsiran di atas dapat di definisikan qiyas adalah mempersamakan


peristiwa hukum yang tidak di terntukan hukum nya oleh nash, dengan peristiwa
hukum yang telah ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukum nya sama
dengan hukum yang ditentukan nash.

Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa sema hukum syara’ yang dibawa
oleh nash itu, disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan kepentingan
manusia, bukan tanpa tujuan. Apabila hukum-hukum itu termasuk kategori yang

10
takterdapat jalan bagi akal mencari kemaslahatan yang detail yang perlu
diwujudkan oleh penetapannya sseperti hukum ibadah, maka hukum ini disebut
dengan ta’abbudi yang diharuskan pelaksanaanya pelaksanaannya menurut
ketentuan yang dibwa oleh nash. Tetapi apabila hukum-hukum yang
dibawa nash termasuk kategori terdapat peluang akal mencari kemaslahatan
yang menjadi tujuan dan ‘‘illah yang melandasinya, maka subjek hukum
(mukallaf) melaksanakannya atau memperlakukannya pada semua peristiwa
hukum yang dicakup oleh nash itu dan para mujtahid berkewajiban mengetahui
maslahat yang menjadi tujuansyara’ menetapkannya serta mengetahui ‘illah
hubungan itulah terwujudnya maslahat. Sehingga apabila dihadapkan kepada
mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari peristiwa yang
disebutkan nash dan mereka mendapatkan kejelasan bahwa didalamnya
terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan hukum nya oleh nash karena
maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.8

Adapun cara mengetahui ‘illah ada beberapa macam diantaranya dengan


nash itu sendiri yaitu apabila nash–nash Alquran atau hadis telah menunjukan
bahwa ‘illah hukum nya adalah sifat yang disebut nash–nash itu sendiri, maka
sifat yang disebut itulah yang menjadi ‘illah hukum nya dan
disebut manshushah’alaihi. Mengqiyaskan hukum suatu dengan hukum yang
‘illah hukum nya telah disebutkan oleh nash itu sendiri, pada hakikatnya adalah
menetapkan hukum sesuatu pada nash.  Dallalah nash (penunjukan nash) bahwa
sifat yang disebutkan oleh nash adalah ‘illah hukum nya itu, kadang-kadang
sharihah (jelas sekali) atau secara Ima (Isyarat). Syarihah ialah dalalah
lafadz nash kepada ‘illah hukum dengan penunjukan secara jelas sekali
disebutkan: ‘illah-nya adalah demikian atau sebabnya demikian.

contoh hadis yang mengqiyaskan perbuatan hukum:


8
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta,
Sinar Grafika, 1995),hlm. 82-83.

11
‫اليرث القا تل‬:

“si pembunuh tidak mewarisi orang yang di bunuhnya”

Hadis ini menunjukan (hukum) terhalangnya kewarisan pada peristiwa


hukum (waris yang membunuh pewarisnya). Maka apabila dengan Ijtihadnya
seorang mujtahid sampai kepada kesimpulan bahwa kemaslahatan yang
dimaksudkan oleh syara’ menetapkan hukum “tidak mendapat hak waris
seseorang yang mempercepat sesuatu sebelum waktu dan terhalangnya seorang
pelaku pidana kejahatan mendapatkan hasil (akibat hukum) dari
kejahatannya, serta sampai pula kepada kesimpulan ‘illah yang jelas dijadikan
syara’ sebagai hubungan  hukum (bet rekking recht) berupa pembunuhan karena
didalamnya menghubungkan halangan warisan dengan sebab
pembunuhan itulah terwujudnya kemaslahatan tersebut.                           
Sedangkan asas qiyas adalah menta’lilkan hukum nash, Ta’lil
hukum nash maksudnya ialah menyatakan asas yang dijadikan landasan oleh
syara’ menetapkan hukum nya pada nash. Jumhur kaum muslimin sepakat
bahwa Syari’ah tidaklah menetapkan sesuatu hukum secara kebetulan tanpa
sebab yang menuntutnya dan tanpa maslahat yang menjadi sasarannya.

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagai istimbath ta’lili
merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas
sebagai penalaran ta’lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan
maqashid asy-syari’ah baik yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi,
politik dan moral. Pertimbangan maqashid asy-syariah menjadikan metode qiyas
lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan hukum.

 istihsan

12
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh
para alim ulama, meskipun dalam kenyataanya, semua ulama menggunakannya,
para ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya para ulama
menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik
atau mengikuti suatu yang lebih baik.

Sedangkan secara istilah menurut ahli ushul dari kalangan Hanafiah,


Malikiah dan Hanabilah dalam mendefinisikan istihsan adalah berpindah dari
suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum kepada ketentuan hukum
lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan yang lain,
menyisihkan hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya ataupun
mentakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum. Sedangkan dari
ulama ushul yaitu perpindahan dari suatu ketentuan hukum yang menjadi
konsekwensi dari suatu dalil syara; terhadap suatu peristiwa hukum, kepada
ketentuan hukum lain terhadapnya, karena disebut sebagai sanad istihsan, maka
sebenarnya istihsan itu adalah mentarjihkan /mengumpulkan suatu dalil dari dalil
yang menentangnya disebabkan adanya murajjih/faktor yang
mengunggulkannya yang diakui (mu’tabar-respectable).9

Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam
melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi
menggunakan suatu dalil, baik dalil itu menggunakan qiyas, dalam bentuk
hukum kulli atau dalam kaidah umum, sebagai gantinya ia menggunakan dalil
lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih kuat. Atau nash yang
ditemukannya atau urf yang berlaku, atau keadaan darurat atau hukum
pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah seorang mujtahid
menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan
kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.

9
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya, hlm.
130-131.

13
1. Metode istislahi

Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu


pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.
Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang
secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya
kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara
langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan pada
prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.

Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran istihlahi ini


tampak dalam beberapa metode ijtihad, antara lain dalam metode al-
mashlahah  al-mursalah dan saddudz-dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak
penalaran istihlahi dengan kedua metode tersebut.

 Al-mashlahah al-mursalah

Secara etimologi mashlahah  barasal dari kata shaluha di gunakan untuk


menunjukan jika sesuatu atau seorang menjadi baik, tidak korupsi, benar,
adil,shalih, jujur atau secara alternatif untuk menunjukan keadaan yang
mengandung kebajikan-kebajikan tersebut. ketika dipergunakan dengan bersama
preposisi Li, shaluha akan memberikan pengertian kesserasian, dalam
pengertian rasionalnya maslhahah berarti sebab, cara atau suatu yang bertujuan
baik. Ia juga berarti sesuatu permasalahan atau bagian dari urusan yang
menghasilkan kebaikan yang dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusia.10

Dalam pengertian secara definitif terdapat perbedaan rumusan


dikalangan ulama yang ketika di analisis hakikatnya sama yakni:

10
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam,hlm 187

14
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti
sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat
dari mashlahah  adalah memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’
dalam  penetapan hukum itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.

Sedang menurut Asy-syatibi mengartikan mashlahah  dari dua


pandangan yaitu dari terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi
tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah. Dari segi
terjadinya mashlahah dalam kenyataannya berarti “sesuatu yang kembali
kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang
dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah seccara mutlak”.  Sedangkan dari
tergantungnya tuntutan sayara’ kepada mashlahah, yaitu kemaslahatan yang
merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk menghasilkannya Allah
menuntut manusi untuk berbuat. 

Adapun mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan


keduanya dalam bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang
menunjukan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang
arti mashlahah telah dijelaskan di atas secara etimologi maupun secara
terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar)
dalam bentuk kata dasar ketiga,yaitu ‫ رسل‬dengan penambahan huruf “alif” di
pangkalnya sehingga menjadi ‫ ارسل‬yang secara bahasa berarti terlepas, jika di
hubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas dari boleh atau
tidaknya dilakukan. Sedang menurut istilah yaitu apa yang dipandang baik oleh
akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada
petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang
menolaknya.

 Saddudz-dzara’i (dzari’ah)

15
Secara harfiah Saddudz-dzara’i terdiri atas dua kata yakni sad yang
berarti penghalang atau sumbat dan dzariah  yang artinya jalan. Oleh
karenanya Saddudz-dzara’i dimaksudkan sebagai menghambat atau menyumbat
semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penetapan
melalui metode ini adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan dan
jauh kemungkinan memudahkan terjadinya kerusakan. Metode ini disebut
sebagai metode preventif mencegah sesuatu sebelum terjadinya suatu yang tidak
diinginkan.11

Keberadaan dzariah  ini dilandaskan pada Alquran misalnya pada firman Allah:

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَقُولُوا َرا ِعنَا َوقُولُوا ا ْنظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada


Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”,
dan “dengarlah”“ (QS al-baqarah: 104)

Larangan ini di turunkan disebabkan ucapan “Raa`ina”, oleh kaum


yahudi digunakan untuk mencaci Nabi. Maka kaum muslimin dilarang
mengucapkannya untuk menghindartakan timbulnya dzari’ah. Metode ini tidak
hanya bersifat menghindarkan kerusakan namun dzari’ah juga untuk menarik
kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan inilah yang menjadi parameter prinsib
digunakannya dzari’ah. jika kerusakan lebih besar dari manfaatnya maka hukum
terhadap hal itu melalui dzari’ah akan menjadi dilarang.

1. Metode Istishab

11
Abdul Ghofur Anshori dan zulkarnaen harahap, Hukum Islam Dinamika dan
perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 191.

16
Menurut ulama fikih istishab  berarti apa yang ada pada masa lalu
dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus
menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada
sehingga terdapat dalil yang mengubahnya.

‫ما ثبت بزمانويحكم ببقا ئه‬

Apa yang telah diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama
belum ada dalil yang mengubahnya).

Alasan penggunaan istishab sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i


hukum-hukum syara’ berlaku sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain
yang mengubahnya. Abu zahrah mencotohkan dengan minuman anggur yang
memabukan yang haram berdasarkan syara’, namun jika kemudian minuman
anggur itu  berubah wujud sehingga unsur yagn memabukan itu hilang, misalnya
menjadi cuka, maka hilang pulalah keharamnnya.12

Istishab  ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu


perkara. Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu
ketetapan hukum, misalnya ketika terdapat perkara yang tidak ada nash hukum
nya (setelah melalui proses ijtihadiah) maka akan ditetapkan kebolehannya
dengan berdasarkan pada kaidah:

‫ان االصل فى االثياءاالبا حة‬

“sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”

Kaidah ini diambil dari nash  yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah
menaklukan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia.
Dan sesuatu yang ada di bumi tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan

12
Abu Zahrah, 1994: 452; Abdul Ghofur Anshori Dan Zulkarnaen Harahap, Hukum
Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, hlm. 188

17
bagi manusia kecuali apabila sesuatu diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau
sekiranya ia dilarang atas mereka maka suatu itu tidaklah diperuntutkan bagi
mereka.13

Dari pemaparan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep penemuan


hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hukum  terbuka, yang
pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya,
meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang
konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka
mencapai kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau
hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya, maka metode
penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode ini
ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang
pada bunyi teks.

Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum


Islam karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab
berbagai problema yang timbul dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori
tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum
Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya. Hal ini berhubungan
dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru persoalan fikih
merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fikih ibadah dan
mu‟amalahnya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
13
Abdul Wahhab Khallaf, 1994: 127; Abdul Ghofur Anshori Dan Zulkarnaen
Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, hlm. 189

18
Kegiatan penemuan hukum  dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada
intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai
pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan
hukum dalam menjawab permsalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman
aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku,
peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas,
melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi
mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.

Penemuan hukum  dengan metode ta‟lili yang merupakan sifat yang


menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang
dengan asal pada hukum nya Mendasarkan hukum kepada „‘illah diharapkan
melahirkan kemaslahatan, karena memang Al-Quran dan Sunnah memberikan
petunjuk bahwa ‘illah hukum adalah sifat tertentu maka sifat itu merupakan
‘illah berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui bahwa
ketentuan hukum itu dapat dipecahkan berdasarkan ‘illah hukum.

penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat


dan merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum
yang sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan
istislahi merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum agar hukum
bermuara kepada keadilan dan tercapainya kemaslahataan.

Istishab  ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu


perkara. Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu
ketetapan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ibarahim Duksi, Metode Penetapan Hukum Islam,Jogjakarta, AR-RUZZ


MEDIA, 2008

19
Rahman Asjmuni A. Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta
:PT. Bulan Bintang.

Djazuli A, Ilmu Fikih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan


Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi, Jakarta, Prebada Media, 2005.

Basyir Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII


Pres Yogyakarta.

Hamidi Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru


Dengan Interprestasi Teks, Yogyakata ,UII Pres, 2004.

Aibak Kutbudin, Metodologi Pembaruan Hukum Islam,  Yogyakarta,


Pustaka Pelajar, 2008.

Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan Dan


Fleksibilitaasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995

Anshori Abdul Ghofur dan Zulkarnaen Harahap, Hukum Islam Dinamika


Dan Perkembangannya Di Indonesia, Yogyakarta: Total Media, 2008.

20

Anda mungkin juga menyukai