Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HIJAB, MAMNU’, DAN GHAIRU WARIS DALAM KEWARISAN


ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Kewarisan Islam”

Dosen Pengampu:
Dr. H. Muhammad Ufuqul Mubin, M. Ag

Disusun Kelompok 7:
Wahidah Yumna Ramadani (C93219112)
Hanim Surayya Niam (C93219080)
Salman Alfarisi (C93219107)

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan dan petunjuk untuk
menyelesaikan tugas makalah ini. Tanpa pertolonganNya kami sekelompok tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad s.a.w., beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
Hukum Kewarisan Islam dengan judul “Hijab, Mamnu’, dan Ghairu Waris”. Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu
selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat tereselesaikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya
dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i


DAFTAR ISI .........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................3
A. Latar Belakang ..........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah .....................................................................................................3
C. Tujuan .......................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................5


A. Hijab Penghalang Kewarisan dalam Hukum Waris Islam.........................................5
B. Macam-macam hijab dan yang termasuk di dalamnya .............................................6
1. Hijab hirman (hijab penuh) ................................................................................6
2. Hijab nuqsan (hijab kurang) ...............................................................................8
C. Mamnu’ Penghalang Kewarisan dalam Hukum Waris Islam....................................10
D. Ghairu warith Hukum Waris Islam ...........................................................................14

BAB III PENUTUP ..............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa penting yang merupakan
peristiwa hukum dan lazim yang disebut meninggal dunia. Jika peristiwa itu terjadi yaitu
meninggalnya seseorang, maka akan menimbulkan akibat hukum yaitu tentang
pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam hal
ini hukum kewarisan, himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli
waris atau badan hukum lainnya sangat penting adanya.

Umat manusia dalam menjalankan kehidupan dunia ini tidak akan lepas dari
barang-barang dunia, baik itu berupa tanah, bangunan ataupun uang yang akan berperan
sebagai alat pertahanan hidupnya dan sarana ibadah kepada Tuhannya. Setelah mengalami
kematian seseorang tidak akan membawa harta itu tapi akan meninggalkannya untuk ahli
warisnya untuk dimanfaatkan atau dikelola lebih lanjut. Masing-masing ahli waris itu
memiliki bagian-bagian tersendiri dan dalam Islam diatur oleh Hukum Kewarisan Islam
atau ilmu waris yang semuanya dijelaskan dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi.

Pada prinsipnya setiap orang yang telah memiliki sebab-sebab dan telah
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi ahli waris seperti adanya ikatan pernikahan,
pertalian nasab, pembebasan budak maka ia berhak untuk mendapatkan harta warisan
namun tidak semua ahli waris bisa menerima harta peninggalan itu dikarenakan adanya
penghalang atau telah melakukan suatu Tindakan yang mengakibatkan keluarnya ia dari
ahli waris. Dan penghalang-penghalang ini mengurangi bagiannya atau menghabiskannya
sama sekali sehingga ia tidak mendapatkan sedikitpun dari harta warisan tersebut.

Dalam Hukum Kewarisan Islam, mengenai permasalahan itu biasa dikenal


mahjub, mamnu’ atau mahrum dan ghairuwarits. Masing-masing istilah ini mempunyai
perbedaan dan akan dipaparkan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Hijab?


2. Apa pengertian Mamnu’?
3. Apa pengertian Ghairu Waris?
3
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Hijab


2. Untuk mengetahui pengertian Mamnu’
3. Untuk mengetahui pengertian Ghairu Waris

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hijab Penghalang Kewarisan dalam Hukum Waris Islam

Secara bahasa, hijab berasal dari kata al-man’u dan al-satru yang berarti
penghalang dan disebut juga “penjaga pintu”, karena menghalangi seseorang untuk
memasuki tempat tertentu1. Sedangkan secara terminologi hijab berarti:

1. Menurut Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, hijab berarti terhalangnya seseorang


yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atas penerimaan warisannya baik secara
keseluruhan maupun sebagiannya.
2. Menurut Ulama Faraid2 hijab adalah menggugurkan hak ahli warisan untuk menerima
warisan, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja yang disebabkan adanya orang
yang lebih berhak menerimanya.
3. Menurut Fatchur Rahman dalam bukunya ilmu waris, hijab berarti tertutupnya
seorang ahli waris tertentu dari mempusakai, baik terintang seluruh ataupun sebagian
hak penerimaannya, lantaran terwujudnya seorang ahli waris lain.
4. Menurut kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir, dalam pasal 23 3 hijab ialah
keadaan bagi seseorang cakap mempusakai, tetapi ia tidak dapat mewarisi, disebabkan
terwujudnya seorang pewaris yang lain dan si mahjub itu (masih) dapat menghijab
pewaris lainnya.
5. Di dalam buku Fiqih Lima Mazhab disebutkan:

Al-hajab (terhalang dari memperoleh warisan) dalam peristilahan waris, berarti


adanya beberapa kerabat yang terhalang menerima warisan4.

Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hijab
adalah terhalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atas ahli
waris lainnya yang mempunyai sebab-sebab pewarisan seluruh atau sebagiannya, baik
dalam keadaan menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula5.

Bentuk isim fa’il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf’ul
(objek) adalah mahjub yang artinya al-hajib adalah orang yang menghalangi orang lain
1
Darmawan, Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Imtiyaz, 2018). Hlm. 125.
2
Mohammad Ali al-Sabuniy, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995). Hlm.75.
3
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994), Hlm. 441.
4
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo,1998), Hlm. 568.
5
Usman H Suparman, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Hlm. 95.
5
untuk mendapatkan warisan dan mahjub berarti orang yang terhalang oleh ahli waris lain
untuk mendapat harta warisan.

B. Macam-macam hijab dan yang termasuk di dalamnya

Secara umum, hijab terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Al-hujub bi al-wasfi (sifat/ julukan), yaitu ahli waris terhalang mendapat harta warisan
secara keseluruhan karena adanya predikat tertentu yang melekat padanya seperti
pembunuh atau murtad. Hijab ini biasa disebut dengan mamnu’ atau mahrum.
2. Al-hujub bi al-shakhsi (karena orang lain), yaitu ahli waris terhalang karena ada ahli
waris lain yang lebih berhak menerima warisan. Hijab ini terbagi menjadi 2 macam
yaitu:
a. Hijab hirman (hijab penuh)
Seseorang yang terhalang sama sekali dari mendapatkan harta warisan
karena ada yang lebih berhak (kuat) atau lebih kuat hubungannya dari yang
meninggal. Seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak mendapat bagian selama
ada anak laki-laki. Disebutkan beberapa ahli waris yang tidak terkena hijab
hirman, yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Anak perempuan
3) Ayah
4) Ibu
5) Suami
6) Istri

Ahli waris yang terkena hijab hirman:


1) Kakek terhalang oleh adanya ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek tidak
mendapat bagian.
2) Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan
laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya)
3) Saudara laki-laki seayah, akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-
laki, saudara kandung perempuan yang menjadi asabah ma’a al-ghair, dan
terhalang oleh adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya)
4) Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu, akan terhalangi oleh pokok
(ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya baik anak laki-laki maupun perempuan)

6
5) Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-
laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang lebih dekat.
6) Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki), akan terhalangi dengan
adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki serta oleh
saudara laki-laki seayah
7) Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah), akan terhalangi
dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara
kandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari
keturunan saudara kandung laki-laki)
8) Paman kandung (saudara laki-laki ayah), akan terhalangi oleh anak laki-laki
dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi
keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9) Paman seayah, akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman
kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
10) Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung), akan terhalang oleh adanya
paman seayah, dan juga sosok yang menghalangi paman seayah.
11) Sepupu laki-laki (anak paman seayah), akan terhalangi dengan adanya sepupu
laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi
sepupu laki-laki (anak paman kandung).
12) Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak), akan terhalangi dengan adanya
sang ibu.
13) Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki), akan terhalang oleh adanya anak
laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan
terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada
‘asabah.
14) Saudara kandung perempuan, akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu,
cicit dan seterusnya (semuanya laki-laki).
15) Saudara perempuan seayah, akan terhalangi oleh adanya saudara kandung
perempuan jika ia menjadi ‘asabah ma’a al-ghayr. Selain itu, juga terhalang
oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya khusus
kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya 2 orang audara kandung
perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian 2/3, kecuali bila adanya
‘asabah.
16) Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya pokok laki-laki (ayah,
kakek, dan seterusnya) baik laki-laki atau perempuan.

7
Dalam KHI seorang anak perempuan mempunyai kekuatan untuk
menghijab hirman saudara/saudari kandung atau sebapak atau seibu. (KHI pasal
181 dan 182):

 Pasal 181: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian”.
 Pasal 182: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan”.

Dalam pasal tersebut anak adalah anak laki-laki/perempuan yang berarti


anak perempuan bisa menghijab hirma saudara secara mutlak baik saudara
kandung/sebapak/seibu.

b. Hijab nuqsan (hijab kurang)


Seseorang tidak mendapat bagian yang utuh karena ada ahli waris lain dan
mendapat bagian lebih kecil dari bagiannya semula seperti ibu dikurangi dari 1/3
menjadi 1/6 karena ada anak, suami dikurangi dari ½ menjadi 1/3 karena ada anak.
Ahli waris yang dapat menghijab secara hijab nuqsan dan yang terkena hijab
serta berapa pengurangannya adalah sebagai berikut:
1) Anak laki-laki /cucu laki-laki mengurangi:
a) Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
b) Suami dari ½ menjadi ¼
c) Istri dari ¼ menjadi 1/8
d) Ayah dari seluruh atau sisa harta menjadi 1/6
e) Kakek dari seluruh atau sisa harta (‘asabah) menjadi 1/6
2) Anak perempuan mengurangi:
a) Hak ibu dari 1/3 menjadi 1/6
b) Hak suami dari ½ menjadi ¼
c) Hak istri dari 1/4menjadi 1/8
d) Hak cucu perempuan kalau anak perempuan itu hanya seorang dari ½
menjadi 1/6.
8
3) Cucu perempuan menutup orang-orang di bawah ini:
a) Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
b) Suami dari ½ menjadi ¼
c) Istri dari ½ menjadi 1/8
d) Beberapa orang saudara dalam segala bentuknya, mengurangi hak ibu dari
1/3 menjadi 1/6.
4) Saudara perempuan kandung. Dalam kasus ini hanya seorang diri dan tidak
bersama anak atau saudara laki-laki, maka ia mengurangi hak saudara
perempuan seayah dari ½ menjadi 1/6.
C. Mamnu’ Penghalang Kewarisan dalam Hukum Waris Islam

Orang yang terhalang mewarisi disebut dengan mamnu’ atau mahrum. Istilah
tersebut harus dibedakan dengan istilah mahjub yang juga mempunyai arti sama dengan
mamnu’ atau mahrum. Perbedaan keduanya terletak pada kemutlakan tidak memperoleh
harta warisan. Mahjub adalah ahli waris yang terhalang mendapat warisan karena adanya
ahli waris lain yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Ahli waris yang mahjub
sifatnya hanya sementara karena apabila ahli waris yang menghalanginya sudah tidak ada
maka ia akan tampil sebagai ahli waris. Adapun mamnu’ atau mahrum adalah ahli waris
yang terhalang karena kedudukannya yang diharamkan oleh Islam dan ini berlaku
selamanya.

Penghalang warisan (mamnu’/mahrum) mengakibatkan gugurnya hak ahli waris


untuk menerima harta warisan dari harta peninggalan pewaris walaupun jarak
kekerabatannya dengan si pewaris sangat dekat seperti anak yang membunuh orang
tuanya atau anak yang berbeda agama dengan orang tuanya yang meninggalkan harta
warisan tersebut.

Ulama Hanafiyah menyebutkan ada empat macam penghalang kewarisan yang


masyhur yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama, dan perbedaan negara. Al-
Quduri menambahkan murtad dalam penghalang kewarisan.6 Sebagian ulama Hanafiyah
menyebutkan ada sepuluh penghalang kewarisan yaitu perbedaan agama, perbudakan,
pembunuhan sengaja, li’an, zina, keraguan dalam menentukan kematian muwarris,
kehamilan, keraguan tentang hidupnya seeorang anak, keraguan dalam menentukan
kematian yang lebih dulu antara muwarris dan ahli waris, dan keraguan dalam
menentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.

6
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz x, (Dmsyk: Dar al-Fikr, 1997), hal 7710.
9
Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyebutkan hanya ada tiga penghalang
kewarisan yaitu perbudakan, perbedaan agama, dan pembunuhan. Namun, ada beberapa
ulama Syafi ’iyah yang menambahkan tiga lagi penghalang kewarisan yaitu pertama,
perbedaan kekafiran antara kafir dzimmi dan kafir harabah (kafir dzimmi dan kafir
harabah tidak saling mewarisi karena putusnya tali perwalian antara mereka). Kedua,
riddah.7 Orang yang murtad tidak bisa mewarisi harta orang yang muslim ataupun kafir,
harta yang dimilikinya pun tidak bisa diwarisi dan diserahkan kepada baitul mal.

Pada dasarnya, halangan mewarisi yang disepakati oleh fuqaha ada tiga macam
yaitu perbudakan, berbeda agama, dan pembunuhan. Perbudakan menjadi halangan
mewarisi bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status
formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak
terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan
hukum. 17

Sebagaimana firman Allah dalam surah An- Nahl ayat 75 yang dijadikan petunjuk
umum dari suatu nash yang sharih yang menafi kan kecakapan bertindak seorang hamba
sahaya dalam segala bidang yaitu sebagai berikut:

‫ب هّٰللا ُ َمثَاًل َع ْب ًدا مَّمْ لُ ْو ًكا اَّل َي ْق ِد ُر َع ٰلى َشيْ ٍء َّو َمنْ رَّ َز ْق ٰن ُه ِم َّنا ِر ْز ًق ا َح َس ًنا َف ُه َو ُي ْنفِ ُق ِم ْن ُه‬
َ ‫ض َر‬
َ
‫سِ ًّرا وَّ َجهْرً ۗا َه ْل َيسْ َت ٗو َن ۚ اَ ْل َحمْ ُد هّٰلِل ِ ۗ َب ْل اَ ْك َث ُر ُه ْم اَل َيعْ لَم ُْو َن‬

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik
dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara
terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji Hanya bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tiada mengetahui”

Seorang hamba sahaya atau budak tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapaun
karena ia berada di bawah kekuasaan tuannya. Ia tidak cakap mengurusi hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Dalam soal pusaka mempusakai terjadi di satu pihak
melepaskan hak milik kebendaan dan di satu pihak yang lain menerima hak milik
kebendaan. Oleh karena itu, terhalangnya budak dalam pusaka mempusakai dapat ditinjau
dari dua jurusan yaitu mempusakai harta peninggalan dari ahli warisnya dan
mempusakakan harta peninggalan kepada ahli warisnya.8

7
Fa’il dari riddah adalah murrtad yaitu orang yang meninggalkan agama Islam dan memeluk
agama lain atau tidak beragama sama sekali yang biasanya disebut istilah atheis.
8
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975), hal 84
10
Seorang budak tidak mempusakai harta peninggalan ahli warisnya karena pertama,
ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik, dan kedua, status kekeluargaannnya
terhadap kerabatkerabatnya sudah putus karenanya ia sudah menjadi orang asing bagi
keluarganya. Oleh karena itu, apabila seorang hamba sahaya meninggal dan mempunyai
harta peninggalan, maka hartanya itu tidak dapat diwariskan kepda ahli warisnya sendiri
karena ia dianggap melarat dan tidak mempunyai harta peninggalan sedikitpun. Pada
dasarnya, segala sesuatu yang dimiliki oleh seorang budak adalah milik tuannya sehingga
ia tidak mewarisi ataupuan mewariskan apa yang ada padanya.

Secara yuridis, hamba sahaya dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum
karena hak-hak kebendaannya ada pada tuannya sehingga ia tidak bisa menerima bagian
warisan dari tuannya. Sebagai “harta” milik tuannya tentu ia tidak bisa memiliki dan
dimiliki karena yang memiliki hanyalah yang berstatus merdeka yaitu tuannya. Bahkan,
hubungan kekerabatan budak dengan saudaranya atau kerabatnya sendiri terputus karena
statusnya sebagai hamba sahaya tersebut.9

Penghalang kewarisan kedua adalah perbedaan agama. Berbedanya agama antara


muwarris dengan ahli warisnya yang beragama Islam dengan agama lainnya menjadi
penghalang dalam kewarisan berdasarkan kesepakatan mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Syafi ’i, dan mazhab Hambali.

Seorang muslim tidak bisa mewarisi harta dari seorang yang kafir dan sebaliknya
walaupun ada hubungan kekerabatan atau perkawinan. 10 Petunjuk umum terkait hal ini
ada pada surah an-Nisa: 141 yang berbunyi:

‫َولَنْ يَّجْ َع َل هّٰللا ُ ل ِْل ٰكف ِِري َْن َعلَى ْالم ُْؤ ِم ِني َْن َس ِب ْياًل‬

“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
mengalahkan orang-orang yang beriman”

Selain itu, diperkuat pula oleh hadis Nabi yang berbunyi:

‫افر‬MM‫رث الك‬MM‫افر والي‬MM‫ؤمن الك‬MM‫رث الم‬MM‫لم الي‬MM‫ه وس‬MM‫لى هلل علي‬MM‫ول هلل ص‬MM‫ال رس‬MM‫ال ق‬MM‫عن أسامة ابن زيد ق‬
‫ المؤمن‬.

(‫)رواه البخارى‬

“Dari Usamah ibn Zaid berkata: Rasulullah saw bersabda ‘orang Islam tidak mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam’”. HR. Bukhari.
9
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal 39
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz x (Dmsyk: Dar al-Fikr, 1997), hal 7719
11
‫اليتوارث اهل الملتين شتى‬

“Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda”

Penghalang kewarisan ketiga adalah pembunuhan. Jumhur ulama sepakat bahwa


ahlli waris yang membunuh muwarrisnya menjadi terhalang menerima warisan karena
haknya sebagai ahli waris telah gugur disebabkan perbuatan pembunuhan tersebut.
Pembunuhan terhadap calon muwarrisnya adalah perbuatan yang memutuskan tali
silaturrahmi di antara mereka sebagai kerabat. Hubungan kekerabatan adalah salah satu
penyebab terjadinya hubungan waris mewarisi diantara muwarris dan ahli warisnya.11

Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah agama
disebut dengan maksiat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat, maka dengan
sendirinya maksiat tidak boleh dipergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan
nikmat. Membunuh muwarrisnya disinyalir ada indikasi untuk mempercepat terjadinya
proses kewarisan.

Ahli waris ini ingin mempercepat memperoleh harta warisan dengan cara yang
sangat tidak dibenarkan oleh hukum manapun baik hukum agama maupun hukum yang
dibuat oleh manusia. Jumhur ulama telah sepakat untuk menetapkan bahwa pembunuhan
itu pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi si pembunuh terhadap harta
peninggalan orang yang telah dibunuhnya.8 Sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi:

‫يراث‬MM‫ال من الم‬MM‫عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده قال قال رسول هلل صلى هلل عليه وسلم ليس للقت‬
‫شيء‬

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata ia: berkata Rasulullah saw:
“Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi”12

Selain itu, Ibnu Abbas juga meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi:

‫من قتل قتيال فإنه اليرثه وان لم يكن له وارث غيره وان كان له ولده فليس لقاتل ميراث‬

“Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mempusakainya


walaupun si korban tidak mempunyai ahli waris selainnya dan jika si korban itu

11
Suhrawardi K. Lubis & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis),
(Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal 55-56.
12
Abi Bakar bin Husein bin Ali Al-Baihaki, Sunanul Qubra, juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal
220.
12
bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta
peninggalan”

Beberapa hadis tersebut menjelaskan bahwa pembunuhan pewaris menghalangi


yang bersangkutan mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuh. Kaitannya dengan
beberapa hadis di atas adalah kaidah fiqhiyah berikut:

‫من استعجل الشيء قبل اوانه عوقب بحرمانه‬

“Barang siapa ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya maka ia


dikenakan sanksi tidak boleh mnedapatkannya”13

Pembunuhan sebagai halangan mewarisi adalah salah satu cara untuk mencegah
seseorang yang ingin mempercepat proses pembagian warisan dengan cara tersebut.
Jumhur ulama sepakat pembunuhan merupakan salah satu penghalang kewarisan, namun
terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis dan macam yang menjadi penghalang
tersebut.

Ulama Hanafiyah menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak


waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Adapun ulama
Malikiyah berpendapat hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang
dapat menggugurkan hak waris. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Sedangkan
ulama Syafi ’iyah berpendapat bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya
tetap menjadi penggugur hak waris.

Pendapat terkuat adalah dari ulama Hanabilah karena pendapat mereka selaras
dengan dalil-dalil yang menegaskan pembunuhan menjadi penghalang mewarisi di
samping pendapat tiga mazhab yang lain.

D. Ghairu warith Hukum Waris Islam

Ghairu warith adalah ahli waris asabah, dimana ahli waris lain yang mendapat
bagian pasti sudah menghabiskan harta peninggalan sehingga ahli waris asabah tadi tidak
mendapat sedikitpun harta peninggalan mayit.

13
H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), hal 106.
13
Perbedaan antara Mahjub, Mamnu‘ dan ghoiruwarith :14

1. Dari segi ketiadaan menerima harta peninggalan:


 Pada mahjub, terhalangnya menerima harta peninggalan karena terwujudnya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dari padanya
 Pada mamnu‘ karena adanya salah satu mawani’ul irthi, bukan karena adanya
pewaris yang lebih dekat kekerabatannya.
 Pada ghairu warith karena kehabisan harta peninggalan untuk memenuhi
bagian ahli waris utama.
2. Dari segi kedudukannya
 Pada mahjub, ahli waris tetap dianggap ada meskipun ia tidak mendapat harta
warisan, sehingga ia dapat mempengaruhi pem-bagian ahli waris lain.
Misalnya, 3 orang saudara bersama-sama ayah dan ibu. 3 orang saudara
terhijab oleh ayah namun ia masih dianggap ada dan bisa mengurangi bagian
ibu dari 1/3 menjadi 1/6.
 Pada mamnu‘, sifat terhalangnya bersifat menyeluruh. Ia dianggap tidak ada
sehingga selain tidak mendapat harta warisan dia juga tidak bisa
mempengaruhi pembagian ahli waris lain. Seperti anak laki-laki yang berbeda
agama atau dia adalah pembunuh si mayit.
 Pada ghairu warith kedudukannya sama dengan mahjub.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perbedaan antara Mahjub, Mamnu‘ dan ghoiruwarith :

14
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal 441.
14
3. Dari segi ketiadaan menerima harta peninggalan:
 Pada mahjub, terhalangnya menerima harta peninggalan karena terwujudnya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dari padanya
 Pada mamnu‘ karena adanya salah satu mawani’ul irthi, bukan karena adanya
pewaris yang lebih dekat kekerabatannya.
 Pada ghairu warith karena kehabisan harta peninggalan untuk memenuhi
bagian ahli waris utama.
4. Dari segi kedudukannya
 Pada mahjub, ahli waris tetap dianggap ada meskipun ia tidak mendapat harta
warisan, sehingga ia dapat mempengaruhi pem-bagian ahli waris lain.
Misalnya, 3 orang saudara bersama-sama ayah dan ibu. 3 orang saudara
terhijab oleh ayah namun ia masih dianggap ada dan bisa mengurangi bagian
ibu dari 1/3 menjadi 1/6.
 Pada mamnu‘, sifat terhalangnya bersifat menyeluruh. Ia dianggap tidak ada
sehingga selain tidak mendapat harta warisan dia juga tidak bisa
mempengaruhi pembagian ahli waris lain. Seperti anak laki-laki yang berbeda
agama atau dia adalah pembunuh si mayit.
 Pada ghairu warith kedudukannya sama dengan mahjub.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaki, A. B. (n.d.). Sunamul Qubra juz 6. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Sabuniy, M. A. (1995). Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Darmawan. (2018). Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Imtiyaz.


15
Darmawan. (2018). Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Imtiyaz.

Dzajuli, H. (2006). Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.

Mughniyah, M. J. (1998). Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo.

Rahman, F. (1994). Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Maarif.

Rofiq, A. (2001). Fiqih Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Simanjuntak, S. K. (1999). Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Suparman, U. H. (1997). Fiqih Mawaris. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Zuhaili, W. (1997). Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz x. Damaskus: Dar al-Fikr.

16

Anda mungkin juga menyukai