Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM ISLAM

(KEINDAHAN HUKUM ISLAM)

Dosen Pembimbing : Dr.H.AHMAD JUNAIDI,M.Ag.

Nama kelompok :

M.Chazin Ma (S20181141)

Istiqomah Ainun Iseh(S20181139)

Lailatus Syafa’ah(S20181132)

Hidayatullah(…………)
Al-AKHWAL AL-SYAKHSIYYAH (HUKUM KELUARGA)

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

22 MEI 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Hukum Islam, jika kita mendengar kedua kata tersebut (“Hukum” dan “Islam”)
mungkin yang terbesit dalam benak kita adalah hukum yang bersumber dari Al
Qur’an dan Al Hadits yang langsung diterapkan tanpa proses penyesuaian melalui
ijtihad atau metode apapun. Sehingga yang terbayang Hukum Islam itu adalah rajam
(melempari pezina muhsan dengan batu kecil sampai mati), hukum potong tangan
dan hukum-hukum lain yang mungkin dalam benak kita “tidak manusiawi”. Padahal
yang sebenarnya dimaksud dengan Hukum Islam adalah hasil daya upaya para fuqaha
dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan keutuhan masyarakat. Jadi dia
merupakan hasil (output) yang artinya adalah telah diproses melalui ijtihad dan
penyesuaian dengan kondisi di masyarakat sehingga sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Dari gambaran menganai hukum Islam diatas dapat ditangkap bahwa
hukum Islam yang “sebenarnya” mengandung suatu nilai fleksibilitas. Nilai
fleksibiltas ini merupakan bagian dari keunggulan (maziyah) dan keindahan/estetika
(mahsanah) hukum Islam itu sendiri disamping keindahan-keindahan yang lain jika
kita mau mengkajinya. Atas dasar masalah yang diuraikan diatas itulah makalah ini
disusun, disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah
Filsafat Hukum Islam.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan
membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan Keindahan dan bagaimana nilai estetika dalam
Filsafat ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Hukum Islam ?
3.      Apa sajakah keindahan (estetika) yang terkandung di dalam hukum Islam ?

C.     Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah
ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui keindahan dan nilai Estetika sebagai kajian dalam filsafat.
2.      Untuk mengetahui Hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui apa saja keindahan (estetika) yang terkandung di dalam Hukum
Islam.

.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Keindahan dan Nilai Estetika.
Keindahan berasal dari kata Indah, Keindahan adalah sifat dari sesuatu yang
memberi kita rasa senang bila melihatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
keindahan diartikan sebagai keadaan yang enak dipandang, cantik, bagus benar atau
elok. Keindahan dipelajari sebagai bagian dari estetika, sosiologi, psikologi sosial,
dan budaya. Sebuah “kecantikan yang ideal”adalah sebuah entitas yang dikagumi,
atau memiliki fitur yang dikaitkan dengan keindahan dalam suatu budaya tertentu,
untuk kesempurnaannya. Herbet Read merumuskan bahwa keindahan adalah
kesatuan dan hubungan-hubungan bentuk yang terdapat diantara pencerapan
pencerapan indrawi manusia. Filsuf abad pertengahan Thomas Aquinas mengatakan
bahwa keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bilamana dilihat.
Thomas Aquinas (1225-1274) mengatakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang
menyenangkan bila mana dilihat (Id qout visum placet). Khalil Gibran
mengungkapkan bahwa Keindahan adalah sesuatu yang menarik jiwamu. Keindahan
adalah cinta yang tidak memberi namun menerima.
Menurut Baumgarten adalah Keindahan adalah keselur uhan yang merupakan
susunan yang teratur dari bagian- bagian yang saling berhubungan satu sama lain,
atau dengan keseluruhan itu sendiri.
Menurut The Liang Gie dalam bukunya “ Garis Besar Estetik” (Filsafat
Keindahan), dalam bahasa Inggris Keindahan diterjemahkan dengan kata “Beautiful”,
bahasa Perancis “Beau” , Italia dan Spanyol “Bello” , kata-kata itu ber asal dar i
bahasa Latin “Bellum” , akar katanya adalah “Bonum” yang berarti Kebaikan
kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi “Bonellum” dan terakhir
dipendekkan menjadi “bellum”.
Dapat membedakan antara keindahan sebagai suatu kualitas abstrak dan sebagai
sebuah benda tertentu yang indah
Keindahan dalam suatu kualitas yang abstrak adalah keindahan yang tak dapat terlihat
secara fisik dan bersifat tidak beraturan, tetapi nilai dari keindahan itu dapat
dirasakan,seperti contoh keindahan ketika merasakan angin yang berhembus.
Sedangkan keindahan sebagai sebuah benda tertentu yang indah adalah kebalikan dari
Keindahan dalam suatu kualitas yang abstrak, dimana keindahan itu dapat dirasakan,
dilihat maupun dapat dikenang selama kita mengingatnya. Keindahan yang seluas-
luasnya Keindahan dalam arti luas, menurutThe Liang Gie, mengandung gagasan
tentang kebaikan. dari pemikiran Plato, yang menyangkut adanya watak yang indah
dan hukum yang indah: Aristoteles yang melihat keindahan sebagai sesuatu yang baik
dan juga menyenangkan. Tetapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan
dalam arti estetik disebutnya “ Syimmetria”, untuk keindahan berdasarkan
pengelihatan. jadi pengertian yang seluas-luasnya meliputi: Keindahan Seni,
Keindahan Alam, Keindahan Moral, Keindahan Intelektual.
Nilai estetika. Kata estetika berasal dari kata Aesthesiss yang artinya perasaan
atau sensitivitas, karena memang pada awalnya pengertian ini berhubungan dengan
lidah dan perasaan. Dalam pengertian teknis, Estetika adalah ilmu keindahan atau
ilmu yang mempelajari keindahan, kecantikan secara umum. Estetika adalah salah
satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas
keindahan. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap
sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian
keindahan disebut Nilai Estetik.
B.     Hukum Islam.
Hukum Islam ( Fiqh Islam atau Syari’at Islam) adalah “hasil daya upaya para
fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Istilah Hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan Bahasa
Indonesia sebagai padanan kata dari Fiqh Islam, atau Syari’at Islam yang bersumber
kepada Al Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para sahabat dan tabi’in.
Al Qur’an dan As-Sunah melengkapi sebagian besar hukum Islam dalam bidang
fiqh. Kemudian para sahabat dan tabi’in menambahkan atas hukum itu aneka hukum
yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan permasalahan hukum yang
timbul dalam masyarakat. Karenanya dapatlah kita katakan bahwa syari’at (hukum)
Islam adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam
perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi.
Hukum Islam (fiqh) itu adalah hukum yang terus hidup, sesuai dengan dinamika
masyarakat. Ia mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus-menerus.
Karenanya hukum Islam senantiasa berkembang, dan perkambangan itu merupakan
tabi’at hukum Islam yang terus berkembang. Ulama berkata : “Habisnya nash, tidak
menghabiskan peristiwa dan kejadian”. Ungkapan ini, sudah menjadi satu kaidah
(adagium).
Kejadian dan peristiwa, khususnya dalam bidang muamalah, tidaklah dapat
diperkirakan dan dihitung. Oleh karena tidak setiap kejadian mempunyai nash,
sedang yang demikian itu tidak dapat digambarkan dan karena nash-nash itu ada
batasnya, sedang sebaliknya peristiwa dan kejadian senantiasa tumbuh dan tiada
berkesudahan tidak dapat dibatasi, maka yakinlah bagi kita bahwa ijtihad dan qiyas
wajib dipergunakan agar setiap kejadian mempunyai ketetapan hukum.
Hukum Islam mempunyai daerah cakupan yang luas yang meliputi segala
aktivitas masyarakat yang beraneka rupa. Maka diantara hukum Islam, ada hukum-
hukum ibadah, ada hukum-hukum perikatan (aqad), hukum-hukum yang diterapkan
pada keadaan-keadaan yang dikecualikan (luar biasa), hukum-hukum yang
berdasarkan mashlahah mursalah, hukum-hukum jihad (perang), dan tawanan, dan
hukum-hukum yang berlaku dalam menyerang musuh dan mempertahankan negara.
Tercakupnya segala bidang kegiatan masyarakat dalam hukum Islam,
menunjukkan bahwa Islam, sangat memelihara prinsip perkembangan jamaah
islamiyah sebagai suatu jamaah insaniyah. keempat-empat segi kemasyarakatan,
diperhatikan dengan sempurna, yaitu : 1) segi hubungan manusia dengan manusia, 2)
segi hubungan manusia dengan penguasa sebagai penguasa dan hubungan mereka
sebagai saudara, 3) segi hubungan masyarakat dengan Islam, dan 4) segi hubungan
masyarakat Islam dengan masyarakat lain yang tidak beragama Islam1
C.     Keindahan (Estetika) Hukum Islam.
Hukum Islam mempunyai beberapa keindahan dan keistimewaan dan beberapa
keindahan yang menyebabkan Hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya dan
paling dapat memenuhi kebutuhan orang banyak serta menjamin ketenangan dan
kebahagiaan masyarakat. Hal itu apabila dipraktekkan bersama-sama niscaya benar-
benar membentuk umat yang ideal terkumpul kekuatan keadilan keteguhan dan
kehidupan yang baik. Diantara estetika itu adalah :
1.      Hukum Islam itu mudah jauh dari kesulitan dan kesempitan.
Hukum Islam pada dasarnya adalah hukum yang mudah dilaksanakan, banyak
sekali ayat dan hadits Nabi SAW, seperti al-Baqarah (2) : 7, Al-Maidah (5) : 7 serta
hadits Nabi yaitu agama yang disukai adalah agama yang mudah lagi lapang. Begitu
juga dengan beberapa kaidah hukum seperti al-masyaqqatu tajlib al taysir dan
sebagainya.
2.      Tujuan hukum mewujudkan kemaslahatan dunia akhirat.
Tujuan hukum Islam hanyalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat baik di
dunia maupun di akhirat. Menolak kemudharatan dan ke-mafsadat-an serta
mewujudkan keadilan yang mutlak. Segala hukum Islam baik hukum yang di-nash-
kan maupun hasil ijtihad tetap memperhatikan pada tujuan yang luhur ini.
3.      Membolehkan memakan yang baik dan berhias indah.
Kebolehan menikmati makanan dan minuman dari rizki Allah SWT dan memakai
pakaian serta berhias diri asal tidak berlebihan dan tidak untuk membanggakan diri
sebagaimana surat Al-A’raf ayat 31 sampai 32.
4.      Keseimbangan hak rohani dan jasmani dalam diri manusia.
Islam mengajarkan kita dalam memenuhi kebutuhan tubuh dan kebutuhan jiwa
menempuh jalan wasathiyah (seimbang). Hukum Islam menempatkan umatnya pada
tempat yang terletak antara kepentingan keduniaan dengan kepentingan keakheratan.
Ajaran Islam dan perintah serta hukumnya menjadikan umat Islam umat yang
berwawasan diantara mereka yang terlalu dipengaruhi oleh kehidupan kebendaan,
antar mereka yang terlalu dipengaruhi oleh ajaran rohaniyah menyiksa tubuh dan
menjauhkan diri dari segala kenikmatan dunia.
5.      Perbaikan dan peningkatan dalam masalah kewanitaan.
Kaum wanita dilepaskan dari belenggu kedzaliman yang membelenggu hak-hak
asasi mereka di zaman Jahiliyah dan dibebaskan mereka dari kesewenang-wenangan
suami serta diberikan kepada mereka hak dan kewajiban yang karenanya terangkatlah
mereka dari kehinaan. Mereka dijadikan anggota yang turut bekerja dalam membina
umat dan menjadi tulang punggung dalam membangun masyarakat. Kepada para

1 Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizky
Putra, 2013). Hlm. 21-25.
wanita diberikan beberapa hak baik dalam bidang perkawinan maupun dalam bidang
kehartaan antara suami dan istri seperti dalam hak dan kewajiban secara timbal balik2.
6.      Hukum Islam sesuai dengan akal (logika) dan fitrah yang benar.
Hukum Islam sesuai dengan ketetapan akal dan logika yang benar dan dengan
fitrah manusia sebelum fitrah itu dirusak oleh hawa nafsu.
Segala hukum yang dinashkan didalam syara’ (Al Kitab dan As-Sunnah)
adalah ma’qulatul ma’na (kandungan maknanya dapat diterima akal), mempunyai
hikmah dan rahasia yang tinggi hingga ibadah-ibadah sendiripun dalam garis
besarnya mengandung hikmah dan manfaat, baik ditinjau dari budi pekerti, segi
kejiwaan dan segi kemasyarakatan, yang kesemuanya itu tidaklah tersembunyi bagi
mereka yang mempunyai akal yang kuat. Mungkin dalam sebagian penjelasan hukum
tidak nampak hikmahnya kepada kita. Namun hal itu tidak berarti bahwa hukum itu
tidak mengandung hikmah.
Hukum-hukum yang tidak dinashkan secara tegas, yaitu hukum-hukum yang
berdasarkan ijtihad yang dibina (disusun) atas ra’yu dan qiyas, atas memperhatikan
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan rapat dengan dasar-dasar keadilan dan
mengakui hak-hak manusia, serta keharusan memperhatikan kaidah-kaidah
pembinaan hukum dan sumber-sumbernya.
Hukum Islam adalah fitrah dan hukum akal. Tidak ada didalamnya hukum-hukum
yang menyalahi analogi yang benar karena ia datang sebagai rahmat, hikmah,
maslahat dan nikmat3.
7.      Menyamaratakan taklif (beban hukum) antara segala mukallaf.
Mereka semuanya disamaratakan dalam bidang taklif, bidang hukum dan bidang
pengadilan. Segala hukum Islam dan segala taklif-taklifnya dibangun atas prinsip
persamaan. Semua anggota masyarakat Islam dibebani dengan hukum yang sama.
Hukum-hukumnya dijatuhkan atas segala yang bersalah tanpa memandang bulu dan
kasta.
Para Muslimin bersamaan semuanya dalam memperoleh hak dan dalam
menunaikan kewajiban. Tidak ada perbedaan antara orang putih dengan orang hitam,
antara hakim dan mahkum antara orang Arab dengan orang ‘Ajam (non Arab). Prinsip
ini sudah tumbuh sejak lahirnya Islam.
Diantara bukti yang menunjukkan kepada yang demikian ialah segala nash syara’
dihadapkan kepada orang-orang tertentu. Diantara kaidah ushuliyah, tidak
mengkhususkan hukum taklifi kepada sebagian orang. Rasulullah SAW
mempraktekkan prinsip ini atas dirinya.
Telah diriwayatkan oleh ahli-ahli Hadits bahwa Rasulullah SAW pernah
memanggil orang Arab Badwy yang pernah dilukai anggotanya tanpa sengaja dan
mengatakan kepadanya : “Iqtashsha minni (ambillah bela daripadaku)”. Maka orang
Badwy itu mengatakan : “ sesungguhnya aku telah halalkan (bebaskan) kamu demi

2 Miftahul Huda,  Filsafat Hukum Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2006). Hlm. 40-42.
3 Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizky
Putra, 2013). Hlm. 75.
ayahku dan ibuku, aku tidak akan lakukan demikian sekali-kali. Walaupun kamu
lakukan demikian atas diriku” Nabipun mulai mendoakan kebajikan untuknya4.
8.      Berdasarkan atas nilai akhlak dan pertimbangan.
Diantara khususiyah  dan maziyah hukum Islam adalah bersendi atas akhlak-
akhlak yang luhur atas keutamaan-keutamaan yang tinggi dan didasari perhitungan
yang mendalam terhadap segala sesuatu yang dilakukan manusia.
Dhamir (kepribadian) manusia sangat diperlukan dalam menjatuhkan hukuman.
Nabi SAW bersabda yang artinya :
“Sesungguhnya kamu bertengkar kepadaku dan mudah-mudahan sebagian kamu
lebih pandai mengemukakan alasannya dari sebagian. Karenanya aku memutuskan
perkara berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barangsiapa aku putuskan untuknya
sesuatu dari harta saudaranya, maka janganlah diambilnya. Karena sesungguhnya aku
berikan kepadanya, sepotong api neraka.”
Umar r.a berkata :
“ Kembalikanlah segala orang yang bertengkar itu (orang-orang yang berperkara
itu) karena sesungguhnya memutuskan perkara menimbulkan diantara mereka
permusuhan-permusuhan batin.5

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa Keindahan
berasal dari kata Indah, Keindahan adalah sifat dari sesuatu yang memberi kita rasa
senang bila melihatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keindahan diartikan
sebagai keadaan yang enak dipandang, cantik, bagus benar atau elok. Keindahan
dipelajari sebagai bagian dari estetika, sosiologi, psikologi sosial, dan budaya. Sebuah
“kecantikan yang ideal” adalah sebuah entitas yang dikagumi, atau memiliki fitur
yang dikaitkan dengan keindahan dalam suatu budaya tertentu, untuk
kesempurnaannya. Para ahli terutama filsafat mempunyai definisi sendiri-sendiri
mengenai apa yang dimaksud dengan keindahan, ahli-ahli tersebut diantaranya ada
Herbert Read, Thomas Aquinas, Kahlil Gibran, Baumgarten, The Liang Gie dan
Aristoteles. Diantara pendapat para ahli tersebut adalah Santo Thomas Aquinos
(1225-1274) yang mengatakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan
bila mana dilihat (Id qout visum placet). Keindahan tidak hanya dimaknai secara

4 Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizky
Putra, 2013). Hlm. 80.
5 Ibid., Hlm. 82-83.
sempit seperti diatas, keindahan juga dapat dimaknai dengan seluas-luasnya.
Keindahan dalam arti luas, menurutThe Liang Gie, mengandung gagasan tentang
kebaikan. dari pemikiran Plato, yang menyangkut adanya watak yang indah dan
hukum yang indah.
Hukum Islam ( Fiqh Islam atau Syari’at Islam) adalah “hasil daya upaya para
fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan keutuhan masyarakat.” Istilah
Hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan Bahasa Indonesia
sebagai padanan kata dari Fiqh Islam, atau Syari’at Islam yang bersumber kepada Al
Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para sahabat dan tabi’in.
Hukum Islam mempunyai beberapa keindahan dan keistimewaan dan beberapa
keindahan yang menyebabkan Hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya dan
paling dapat memenuhi kebutuhan orang banyak serta menjamin ketenangan dan
kebahagiaan masyarakat. Hal itu apabila dipraktekkan bersama-sama niscaya benar-
benar membentuk umat yang ideal terkumpul kekuatan keadilan keteguhan dan
kehidupan yang baik. Diantara estetika itu adalah :
1.      Hukum Islam itu mudah jauh dari kesulitan dan kesempitan.
2.      Tujuan hukum mewujudkan kemaslahatan dunia akhirat.
3.      Membolehkan memakan yang baik dan berhias indah.
4.      Keseimbangan hak rohani dan jasmani dalam diri manusia.
5.      Perbaikan dan peningkatan dalam masalah kewanitaan.
6.      Hukum Islam sesuai dengan akal (logika) dan fitrah yang benar.
7.      Menyamaratakan taklif (beban hukum) antara segala mukallaf.
8.      Berdasarkan atas nilai akhlak dan pertimbangan.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Huda, Miftahul. 2006. Filsafat Hukum Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.


2.      Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
3.      Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi. 2013. Falsafah Hukum Islam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
4.      Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras.

Referensi Lain :
1.      www.wikipedia.com.

Catatan:
Makalah ini mungkin akan mengalami perbaikan dan editing untuk ke depannya.
untuk mengkopi paste silahkan tuliskan sumber rujukan dengan jelas.

[1] Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam


(Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2013). Hlm. 21-25.
[2] Miftahul Huda,  Filsafat Hukum Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2006). Hlm. 40-42.
[3] Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam
(Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2013). Hlm. 75.
[4] Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam
(Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2013). Hlm. 80.
[5] Ibid., Hlm. 82-83.

Anda mungkin juga menyukai