PENDAHULUAN
Peradilan Agama adalah sebuah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu
dari empat lembaga peradilan lainnya di Indonesia sebagai pelaksana Kekuasaan
Kehakiman. Peradilan Agama ini merupakan lembaga khusus di Indonesia, karena
ia mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara-perkara tertentu atau pada
golongan-golongan tertentu. Adapun jenis perkara yang diadilinya adalah jenis
perkara menurut agama Islam akan tetapi tidak secara Universal. Dengan kata lain
peradilan Agama adalah peradilan Islam limitatif yang telah di sesuaikan dengan
Negara Indonesia. Kekuasaan Pengadilan Agama dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan relatif pada dasarnya
kekuasaan peradilan menyangkut wilayah hukum. Sedangkan kekuasaan absolut
adalah kekuasaan peradilan yang menyangkut bidang perkara atau wewenang
mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam
selalu berjalan beriringan tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu
pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri.
Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syariat Islam.
Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif, yakni sesuatu
yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama
keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai
berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan
perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk
ketatanegaraan yang sempurna dalam Kerajaan-kerajaan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan
Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke
VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama
dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda
yang berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya konflik antara
hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik ini dengan sengaja
dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia) seperti: B. Ter Haar,
Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje.
Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie
ternyata masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia,
khususnya yang ada di legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak
dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, yakni
berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA),
Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum Islam yang
berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.
Makalah
PERADILAN ISLAM
DI
S
U
S
U
N
OLEH
CUT MELDA
KELAS XI/MIPA 2