Anda di halaman 1dari 57

1

PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI NARAPIDANA


DALAM MENGATASI KRISIS MORAL
(Studi Deskriptif di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone)

PROPOSAL TESIS

Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan


pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pascasarjana IAIN Bone

Oleh

BURHANUDDIN
861082019024

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN BONE
2021
1

PROPOSAL TESIS

Nama : Burhanuddin
NIM : 861082019024
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Judul Tesis : Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana Dalam Mengatasi
Krisis Moral (Studi Deskriptif di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II B Watampone)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam tatanan kehidupan sosial, sebenarnya sudah dapat aturan-aturan yang

diberlakukan agar setiap individu dapat hidup aman dan sejahtera. Akan tetapi pada

zaman modern era globalisasi kemajuan teknologi sangat bertumbuh pesat, kemajuan

teknologi itu memberikan sisi positif yang menjadikan kemajuan hidup lebih efektif

dalam memenuhi kehidupann sehari-hari, namun memberikan sisi negatif yang

memberikan efek yang berkepanjangan bagi masyarakat.

Salah satu dampaknya adalah angka kriminalitas meningkat dengan

keberagaman aksi kekerasan di dalamnya baik dari perbuatan individu maupun

perbuatan kelompok yang mengakibatkan kerugian untuk orang lain, karena adanya

perubahan tata nilai dan tata kehidupan yang serba keras, bahkan tradisi nenek

moyang yang dikenal beradab telah terkikis oleh budaya baru yang serba modern ini,

dan tidak sedikit dari mereka terseret ke dalam penjara atau Lembaga

Pemasyarakatan karena perbuatan menyimpang yang mereka lakukan melanggar

hukum. Untuk menyikapi hal tersebut manusia dituntut untuk berusaha memegang

teguh nilai-nilai moral. Perubahan tata nilai tersebut dikarenakan lemahnya keyakinan

beragama, sikap individual dan matrealistis. Hal ini karena tuntunan hidup yang
2

semakin tinggi dan semakin banyak yang kurang terpenuhi.

Manusia dapat berkembang melalui pendidikannya. Artinya, menurut hakikat

manusia, manusia mampu dan dapat dididik karena manusia memiliki potensi untuk

dikembangkan di dalam dirinya. Potensi-potensi di dalam diri manusia itu tidak bisa

di kembangkan jika hanya didiamkan saja atau tidak dilakukan upaya pendidikan dan

pembinaan. Dengan demikian, upaya mendidik memungkinkan seseorang untuk

mampu mengembangkan potensi di dalam dirinya sehigga mampu menghasilkan

peradaban yang tinggi.1

Dengan keberadaan individu dalam lingkungannya masing-masing akan

memberikan cara berprilaku. Cara ini tidak bisa dibandingkan antara satu lingkungan

dengan lingkungan yang lain. Maka lingkungan dikehendaki menjadi ruang untuk

memberikan latihan bagi pembelajaran untuk mengekspresikan individu dalam

lingkungannnya di masa depan. Ini berkaitan dengan keberadaan pendidikan hari ini

untuk kehidupan masa ini dan yang akan mendatang.2

Berbagai macam kasus menyeret manusia untuk merasakan hidup dijeruji besi

atau penjara hingga disematkan kepada status narapidana. narapidana adalah orang

yang menjalani hukuman karena tindak pidana.3 Permasalahan yang kompleks dialami

narapidana, seperti hilangnya kemerdekaan, beban moral, terpisahnya dari keluarga

hingga hanya mampu beraktifitas dari balik jeruji besi. Adanya permasalahan yang

kompleks tersebut, narapidana membutuhkan seseorang yang dapat berkomunikasi

Chairul Anwar. Hakikat Manusia dan Pendidikan Sebuah Tinjauan Filosofis (Cet. I;
1

Yogyakarta : Suka Press, 2014), h. 267


2
Wan Jamaluddin, Rekayasa Pendidikan Agama Islam di Daerah Minoritas Muslim, Tadris:
Jurnal Keguruan dan Ilmu Tarbiyah VOL.01/2/2016, h. 121.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Cet.
II; Jakarta: Balai Pustaka,1986), h. 683.
3

secara baik untuk memberikan pembinaan keagamaan, hingga mampu

mengembalikan dirinya kejalan yang benar atau insyaf.

Masyarakat yang dikenakan hukuman atas perbuatannya lazim disebut dengan

Narapidana. Lembaga Pemasyarakatan ini tempat untuk melakukan pembinaan

terhadap Narapidana. pembinaan disini bertujuan untuk membentuk Narapidana agar

menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat di terima kembali di lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar

sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab. Pidana berasal dari kata

straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman, pidana lebih cepat

didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh

negara oleh seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya

atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusu

larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana.4

Pembinaan Narapidana di Indonesia dewasa ini di kenal dengan nama

pemasyarakatan yang mana istilah penjara telah di ubah menjadi Lembaga

Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan untuk menghilangkan sifat-sifat jahat

melalui pembinaan. Seseorang yang melakukan tindak pidana akan mendapatkan

ganjaran berupa hukuman pidana, jenis dan beratnya hukuman pidana telah

ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum.5 Kejahatan perlu mendapatkan kajian

serius mengingat kerugian dan efek yang sangat besar yang ditimbulkan. Kerugian

tersebut dapat terjadi pada Negara, masyarakat maupun individu sehingga perlu

4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo,
2011), h. 24.
5
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, h. 26.
4

diatasi. Oleh sebab itu Negara memberikan reaksi berupa larangan terhadap perbuatan

itu serta memberikan sanksi bagi orang yang melanggarnya.

Pendidikan Agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian seseorang,

sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi

pengendali dalam kehidupannya di kemudian hari. Untuk pembinaan agama itu,

pendidikan agama hendaknya diberikan oleh seseorang yang benar-benar

mencerminkan agama dalam sikap, tingkah laku, gerak-gerik, cara berpakaian, gaya

berbicara, menghadapi persoalan, dan keseluruhan pribadinya, pendidikan dan

pembinaan agama akan sukses apabila ajaran agama itu hidup dan tercermin dalam

pribadi seseorang tersebut.6

Pembinaan keagamaan di Lembaga Pemasyarakatan berfungsi membentuk

manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta

beraklak mulia mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar

umat beragama.7 Pembinaan keagamaan di Lembaga Pemasyarakatan juga salah satu

bentuk pelaksanaan pendidikan non formal/pendidikan yang dilaksanakan di luar

sekolah.

Di sisi lain, agama digunakan sebagai pendekatan memberikan terapi melalui

pembinaan, bimbingan, dan latihan, karenanya hanya agamalah yang dapat

memuaskan jiwa manusia, yang dapat menghilangkan konflik dan pertentangan.

Sebagaimana Allah swt berfirman di QS. Yunus: 57-58, yang berbunyi:

6
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 107.
7
Amin Haedari, Pembinaan Agama di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Puslitbang Pembinaan
Agama dan Keagamaan, 2014), h. 19.
5

         
       
       
Terjemahnya:
Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan
kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”.8
Dalam ayat ini Allah memberikan pelajaran oleh semua Makhluknya

sekaligus menenangkan hati dari penyakit-penyakit hati yang tercela agar Allah swt

memberikan petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepadanya. Dari ayat ini kita

harus mempunyai orang yang membimbing kita di dunia ini seperti ulama, ustad, dan

par mua’llim yang memberikan pelajaran tentang kehidupan di dunia maupun

penghidupan nanti di akhirat kelak. Hal ini dimaksudkan guna dapat mempengaruhi

narapidana. Latar belakang kependidikan, kepercayaan, nilai etika dan praduga,

kesemuanya mempengaruhi cara berkomunikasi satu sama lain. Disamping itu

perangkat kebijakan yang bernuansa pada hikmah adalah sesuatu proses pembinaan

keagamaan narapidana.

Agama merupakan suatu hal yang fundamental dalam kehidupan manusia,

karena agama adalah jalan keselamatan bagi setiap ummatnya. Dengan adanya

pengajaran atau pendidikan keagamanaan yang ditanamkan dalam kehidupan

Narapidana, diharapkan Narapidana itu akan lebih sadar tentang kesalahan-

kesalahan yang dilakukannya dan tidak mengulangi lagi perbuatan kejahatan

8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Dipenogoro, 2003),
h. 803.
6

tersebut.9

Dari observasi awal yang dilakukan peneliti pada Lembaga Pemasyarakatan

Kabupate Bone diperoleh pola pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana

meliputi berbagai kegiatan pembinaan baik yang bersifat teknis maupun bersifat

mental, spirutal dan lahiriah. Pembinaan yang bersifat teknis ini seperti

pertukangan dan kerajinan. Sedangkan menyangkut pembinaan mental dilakukan

pembinaan keagamaan seperti pengajian dan pembinaan dalam hal ibadah lainnya.

Dengan pembinaan ini diharapkan kelak nantinya setelah mereka kembali ke

tengah masyarakat mempunyai bekal yang cukup untuk kerja supaya dapat

hidup yang lebih layak sebagaimana masyarakat lain yang ada di sekitarnya

sesuai dengan tuntutan agama. Namun pada kenyataannya meski telah dilakukan

pembinaan keagamaan masih banyak Narapidana yang telah menjalani hukuman

di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Bone mengulangi perbuatan kejahatan,

baik terhadap perbuatan kejahatan yang sama maupun terhadap perbuatan

kejahatan yang lain.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis akan mencoba melakukan

sebuah penelitian terhadap “Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana dalam

Mengatasi Krisis Moral (Studi Deskriptif di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

B Watampone)” .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan untuk memperjelas arah

pembahasan, penulis mengemukakan masalah pokok yaitu bagaimana pembinaan

9
Wahidin. Pembinaan Mental Narapidana melalui Bimbingan dan Penyuluhan Agama (Cet.
I; Jakarta: Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), 2006), h. 9.
7

keagamaan bagi narapidana dalam mengatasi krisis moral di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Watampone? Pokok masalah tersebut dijabarkan dalam

sub masalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan krisis moral Narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone?

2. Bagaimana metode pembinan keagamaan yang diajarkan kepada narapidana

sebagai upaya mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone?

3. Bagaimana dampak dari pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi narapidana

dalam mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Definisi Operasional

Supaya tidak terjadi kekeliruan yang diakibatkan oleh penafsiran yang

berbeda terhadap kata-kata, istilah-istilah dan variabel-variabel yang

terkandung dalam judul, dan untuk memudahkan pengertian pembaca


terhadap judul tersebut, maka berikut ini dijelaskan maksud yang terkandung

dalam judul penelitian ini.

a. Pembinaan Keagamaan

Pembinaan adalah suatu proses yang membantu individu melalui

usaha sendiri dalam rangka menemukan dan mengembangkan

kemampuannya agar ia memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan


8

sosial.10 Pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan keagamaan yang

harus dibimbing dan dilaksanakan dengan baik. Pembinaan secara tidak

langsung berperan sebagai pembentukan pribadi anak didik dan

kepribadian ditentukan oleh pengamalan tindakan serta cara hidup yang

menjadi kebiasaan.

b. Narapidana

Narapidana adalah orang hukuman atau orang yang sedang

menjalani hukuman karena tindak pidana.11 Namun dalam hal ini petugas

juga memberikan pendapatnya mengenai Narapidana, yaitu seseorang

yang telah melanggar hukum dan telah divonis oleh hakim dan

ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara

untuk menjalani pidana. Naradapidana dalam hal ini adalah narapidana

yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakat Kelas II B

Watampone.

c. Krisis Moral

Istilah moral biasanya di pergunakan untuk memberikan penilaian

atau predikat terhadap tingkah laku manusia. Perbuatan mana yang

merupakan perbuatan baik dan perbuatan mana yang buruk adalah hasil

peniaian, sedangkan perbuatan yang dinilai dari segi moral adalah

perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.12

10
Jumhur dan Moh. Suryo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Cet. I; Bandung: CV.
Ilmu, 1987), h. 25.
11
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.
59.
12
El Santoso dan S. Prianto, Kamus Bahasa Indonesia (Cet. I; Surabaya: Bintang Terang,
1997), h. 258
9

Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa krisis moral adalah

seseorang yang telah jauh dari agama dan mengalami kemerosotan akhlak

dan tingkah laku yang menyebabkan sesorang bertindak tidak sesuai

dengan norma dan nilai-nilai agama.

d. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan suatu lembaga atau wadah tempat

bagi tahanan dan Narapidana, yang bertugas disamping melaksanakan

hukuman bagi Narapidana juga membina dan membimbing dengan

memberikan bimbingan fisik dan mental serta keterampilan agar

setelah bebas dapat kembali ke tengah-tengah masyarakat, karena

sifat pembinaan yang dilakukan adalah merubah sifat buruk atau jahat

menjadi baik kembali.13 Lembaga pemasyarakatan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dijelaskan

defenisi operasional dalam penelitian ini adalah suatu usaha atau proses dalam

perubahan akhlak atau perbutan yang buruk menjadi baik bagi orang-orang

yang melakukan kesalahan dan menerima sebuah hukuman karena tindak

pidana dinaungi oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang jelas, serta mengingat terbatasnya

kemampuan peneliti, baik waktu, materi, fasilitas, dan ilmu yang relatif

terbatas, maka dalam penelitian ini dibutuhkan ruang lingkup penelitian untuk

membatasi masalah pada satu titik fokus, agar pembahasannya bisa jelas dan

13
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.
43.
10

tidak melebar, yaitu penelitian ini akan difokuskan pada analisis kajian dan

eksploratif terkait dengan pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam

mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

Dalam hal ini peneliti memberikan batasan penelitian yakni hanya

membahas mengenai pembinaan keagamaan bagi narapidana, serta krisis

moral yang dimiliki oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan salah satu cara untuk mengetahui studi atau

karya terdahulu yang terkait dengan penelitian yang dilakukan, dengan tujuan untuk

menghindari adanya plagiasi serta menjamin keaslian dan keabsahan data penelitian.

Keterkaitan dalam sebuah penelitian merupakan suatu hal yang tidak jarang terjadi.

Berkenaan dengan penelitian mengenai pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam

mengatasi krisis moral, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

diantaranya:

Penelitian yang telah dilakukan oleh Rizky Kurnia Ramadani (2017) dengan

judul “Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas

II B Cilacap”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan keagamaan bagi

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Cilacap meliputi tujuan, materi,

metode, pelaksanaan serta evaluasi dan hasil pembelajaran. Dalam pelaksanaan

pembinaan keagamaan pembina memberikan materi-materi berupa materi tauhid,

akidah Akhlak, fiqh dan al-Qur’an hadits. Di dalam pelaksanaan pembinaan ini

diterapkan adanya metode-metode seperti metode ceramah, metode tanya jawab,

metode demonstrasi, metode pembiasaan, metode keteladanan, dan metode nasehat.


11

Disamping itu adanya tahap evaluasi yang dilakukan pembina dalam pembinaan

keagamaan menjadi bahan kegiatan khusus untuk dapat mengetahui atau memantau

dari perkembangan perubahan perilaku Narapidana. Dari evaluasi tersebut dapat

diketahui bahwa pembinaan keagamaan dapat merubah perilaku Narapidana sesuai

tujuan yang diharapkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Cilacap.14

Adapun persamaan penelitin terletak pada variabel yang digunakan yakni

pembinaan keagamaan bagi narapidana. Sedangkan perbedaan terletak pada fokus

permasalahan yang menjadi pembahasan. Penelitian Rizky Kurnia Ramadani hanya

berfokus pada metode pembinaan keagamaan, sedangkan penelitian yang akan

dilakukan berfokus pada pembinaan keagamaan dalam mengatasi krisis moral bagi

narapidana.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurlihana (2018) dengan judul “Pembinaan

Moral Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A

Sungguminasa Kabupaten Gowa”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Program

pembinaan moral di Lembaga pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa

meliputi pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan

bernegara, dan pembinaan kesadaran hukum 2) Pelaksanaan pembinaan moral

narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A

Sungguminasa belum terlaksana maksimal yang disebabkan karena masih kurangnya

partisipasi narapidana dalam mengikuti pembinaan dan kurangnya pengawasan dari

petugas lapas 3) Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembinaan moral

narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A

Sungguminasa yakni faktor internal maupun eksternal dari narapidana. faktor internal

14
Rizky Kurnia Ramadani. “Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Cilacap” (Skripsi IAIN Purwokerto, 2017), h. 1-78.
12

yaitu motivasi narapidana dalam mengikuti pembinaan. Sedangkan faktor eksternal

antara lain sarana dan prasarana yang belum memadai dalam pelaksanaan pembinaan.

kuantitas dan kualitas petugas lapas, serta terbatasnya anggaran.15

Adapun persamaan penelitin terletak pada variabel yang digunakan yakni

moral narapidana. Sedangkan perbedaan terletak pada fokus permasalahan yang

menjadi pembahasan. Penelitian Nurlihana hanya berfokus pada pembinaan moral,

sedangkan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada pembinaan keagamaan

dalam mengatasi krisis moral bagi narapidana.

Penelitian yang dilakukan oleh Angga Perdana Putra Sari (2015) dengan judul

“Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A

Blitar”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan pembinaan mental spiritual

narapidana di Lembaga Pemasyaraktan Kelas II B Tulungagung Sistem Lembaga

Pemasyarakatan berbeda dengan sistem pemenjaraan yang bertujuan untuk membuat

jera tahanannya. Dalam sistem lembaga pemasyarakatan ini, tujuan adanya

pembinaan adalah membuat tahanan merubah diri, baik dari pola pikir maupun

perilaku agar ketika ia kembali ke tengah-tengah masyarakat dapat diterima dengan

baik. Kegiatan pembinaan mental spiritual di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Tulungagung bertujuan untuk memberikan pendidikan ilmu agama agar narapidana

memahami ilmu agama, sehingga ia bertaubat dan tidak mengulangi perbuatan

buruknya.16

15
Nurlihana. “Pembinaan Moral Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas II A Sungguminasa Kabupaten Gowa” (Thesis Universitas Negeri Makassar, 2018), h.
1-89.
Angga Perdana Putra Sari. “Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
16

Anak Kelas II A Blitar” (Thesis UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015), h. 1-2016.
13

Adapun persamaan penelitin terletak pada variabel yang digunakan yakni

moral narapidana. Sedangkan perbedaan terletak pada fokus permasalahan yang

menjadi pembahasan. Penelitian Nurlihana hanya berfokus pada pembinaan moral,

sedangkan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada pembinaan keagamaan

dalam mengatasi krisis moral bagi narapidana.

Seluruh literatur di atas akan peneliti jadikan sebagai rujukan perbandingan

dalam penulisan tesis ini. Dengan cara mengelolah data-data yang memuat dan

berkaitan dengan pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam mengatasi krisis

moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

E. Landasan Teoretis

Landasan teoretis adalah rumusan-rumusan yang dibuat berdasarkan proses

berfikir deduktif dalam rangka menghasilkan beberapa konsep dan proposisi baru

yang memudahkan seorang peneliti untuk merumuskan hipotesis penelitiannya.

Karangka teoretis berguna untuk mempertegas hubungan antar variabel serta untuk

mendeskripsikan proses pengorganisasian dan analisis data.17

1. Konsep Tentang Pembinaan Keagamaan

a. Pengertian Pembinaan Keagamaan

Pembinaan juga dapat berarti suatu kegiatan yang

mempertahankan dan menyempurnakan apa yang telah ada sesuai dengan

yang diharapkan.18 Pembinaan adalah suatu proses yang membantu

individu melalui usaha sendiri dalam rangka menemukan dan

17
Tim Penyusun Penulisan Karya Ilmiah. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Makalah dan
Tesis), h. 7-8.
18
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edii ke 4
(Cet. I; Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 193.
14

mengembangkan kemampuannya dengan tujuan untuk memperoleh

kebahagiaan pribadi dan manfaat sosial.19

Menurut Hendiyat Soetopo dan Westy Soemanto. Pembinaan

adalah menunjuk pada suatu kegiatan yang mempertahankan dan

menyempurnakan apa yang telah ada. Sedangkan menurut Masdar Helmy,

pembinaan mencakup segala ikhtiar (usaha-usaha), tindakan dan kegiatan

yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas beragama baik dalam bidang

tauhid, bidang peribadatan, bidang akhlak dan bidang kemasyarakatan.20

Miftah Thoha mengatakan bahwa pembinaan adalh suatu tindakan,

proses, hasil atau pernyataan menjadi lebih baik.21 dalam peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pembinaan

dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan pasal 1 ayat (1)

menyebutkan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan

kualitas ke taqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, narapidana dan anak

didik pemasyarakatan.22

Jadi dapat dikatakan bahwa pembinaan adalah suatu usaha yang

dilakukan dengan sabar, berencana, teratur, dan terarah serta bertanggung

jawab untuk mengembangkan kepribadian dan memperbaiki pribadi

kearah yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.

19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), h. 152.
Masdar Helmi. Peranan Dakwah dalam Pembinaan Umat (Cet. I; Semarang: IAIN
20

Semarang, 2016), h. 31.


21
Miftah Thoha. Pembinaan Organisasi (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 7.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga
22

Binaan Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1)


15

Harun Nasution mengatakan bahwa agama dapat diberi defenisi

sebagai: (a) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan

kekuatan ghaib yang dipatuhi; (b) pengakuan terhadap adanya kekuatan

ghaib yang menguasai manusia; (c) menikatkan diri pada suatu bentuk

hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di

luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;

(d) Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup

tertentu; (e) suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari

kekuatan ghaib; (f) pengakuan terhadap adnya kewajiban-kewajiban yang

diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghib; (g) Pemujaan terhadap

kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut

terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;

(h) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui

seseorang Rasul.23

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembinaan keagamaan adalah suatu

usaha kegiatan yang mempertahankan dan menyempurnakan apa yang

telah ada sesuai dengan yang diharapkan pada sifat-sifat yang terdapat

dalam agama atau segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.

b. Landasan Pembiaan Keagamaan

1) Landasan Pembinaan Keagamaan dalam Islam

23
Ngainun Naim. Islam dan Pluralisme Agama (Cet. I; Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), h. 2
16

Pembinaan keagamaan memiliki landasan (pondasi, dasar

pijakan) yaitu al-Qur’an, sunnah Rasulullah, Ijtihad. 24 Dari keempat

landasan dasar tersebut, yang menjadi landasan utama pembinaan

Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebab keduanya merupakan

sumber dari segala sumber. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapat

diistilahkan sebagai landasan ideal dan konseptual pembinaan dan

konseling Islam. Dari keduanya merupakan Sumber gagasan tujuan

dan konsep-konsep (pengertian, makna, dan konseling Islam.

a) Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah firman Allah swt berupa wahyu yang

disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.

Didalamnya terdapat ajaran pokok yang dapat dikembangkan

untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad ajaran

yang terkandung dalam al-Qu’an itu terdiri dari dua prinsip, yaitu

yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut

Aqidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut

Syari’ah. Dikalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan

pendapat disekitar pengertia al-Qur’an baik dari segi bahasa

maupun istilah.

Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak

dibicarakan dalam al-Qur’an, tidak sebanyak ajaran sebanyak

ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan

bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab amal

24
Heru Juabdin Sada, Manusia Sebagai Perspektif Agama Islam (Al-Tadzkiyyah: Jurnal
Pendidikan Islam, Vol 7, Mei 2016), h.8.
17

perbuatan manusia dalam hubungannnya dengan Allah swt,

dengan dirinya sendiri. Dengan manusia sesamanya (masyarakat),

dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya,

termasuk ruang lingkup amal soleh (syari’at). Istilah-istilah yang

biasa digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari’ah ini

ialah:

(1) Ibadah untuk perbuatan yang langsung berhubungan dengan

Allah swt;

(2) Mu’amalah untuk perbuatan yang berhubungan selain Allah

swt;

(3) Akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi

pekerti dalam pergaulan.25

Pendidikan dan pembinaan, karena termasuk kedalam

usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk kedalam

ruang lingkup mu’amalah pendidikan sangat penting karena ia ikut

menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik

probadi maupun masyarakat. Oleh karena itu manusi di muka bumi

ini harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan semua

perumusan tujuan pendidikan islam itu dihubungkan.

b) As-Sunnah

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran islam selain

didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist juga

25
Zakiah Darajat. Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 20.
18

didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat.26 Yakni

seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib

mengikuti hadist, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun

setelah beliau wafat.

Sunnah juga berisi petunjuk (pedoman) untuk

kemashalahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk

membina umat menjadi manusia umat menjadi manusia seutuhnya

atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru

dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan

menggunakan rumah al-Arqam ibn Abi al-Aqram, kedua dengan

memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar membaca dan

menulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerahdaerah

yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam

rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.

Oleh karena itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi

cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka

kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa

ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah

yang berkaitan dengan pendidikan dalam pembinaan.

c) Ijtihad

Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan

menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at

26
Abudin Nata. Metodologi Studi Islam (Cet. I; Jakarta : Rajawali Pers, 2013), h. 72.
19

Islam untuk menetapkan/menentukan Sesuatu hukum syari’at

Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya

oleh al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja

meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan,

tetapi tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah.

Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-

Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli

pendidikan Islam. Ijtihad ersebut haruslah dalam hal-hal yang

berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat

pada kondisi dan situasi tertentu.

2) Landasan Pembinaan Keagamaan bagi Narapidana

Dasar dari pembinaan keagamaan yaitu UUD 1945 pasal 29

ayat 1 dan 2 yang berbunyi:27

a) Negara Berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.

b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknuntuk

memeluk agamanya masing-masing dan utntuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu.

Pemasyarakatan membentuk sebuah prinsip pembinaan dengan

sebuah pendekatan yang lebih manusiawi hal tersebut terdapat dalam

usaha-usaha pembinaan yang dilakukan terhadap pembinaan dengan

sistem pemasyarakatan seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Hal ini mengandung artian

pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan merupakan

27
UUD 1945 Sebelum dan Setalah Amandemen (Cet. V; Bandung : Nuansa Aulia, 2009), h.
29.
20

wujud tercapainya reintegritas sosial yaitu pulihnya kesatuan

hubungan narapidana sebagai individu, makhluk sosial dan makhluk

Tuhan.28

Kemudian dirumuskan dalam konfrensi dinas kepenjaraan

yang menghasilkan sepuluh prinsip dasar pembinaan bagi narapidana,

yaitu:

a) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya

bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam

masyrakat.

b) Penjatuhan pudana bukan merupakan tindakan pembalasan

dendam oleh Negara.

c) Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

memberikan pembinaan.

d) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan jahat

daripada sebelum ia masuk lembaga.

e) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus

dikenalkan kepada masyrakat dan tidak boleh di asingkan

daripadanya.

f) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat

mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan

atau kepentingan negara sewaktu saj.

g) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.

28
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
21

h) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai

manusia meskipun telah tersesat.

i) Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

j) Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan

sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan

pemasyarakatan.

c. Materi Pembinaan Keagamaan

Manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sangat sempurna.

Walaupun diciptakan dalam bentuk yang sempurna, derajatnya dapat turun

serendah-rendahnya apabila berbuat dosa, manusia pun tidak semuanya

berprilaku baik. Adasaja yang melakukan kejahatan, sehingga

menyebabkan kegelisahan jiwa, kondisi yang seperti ini membuat mereka

(narapida) perlu akan adanya pembinaan secara terus-menerus. Secara

konseptual materi dakwah keislaman tergantung pada tujuannya yang

hendak dicapai, namun secara global materi keislaman dapat

diklasifikasikan menjadi tiga pokok permasalahan, yaitu masalah

keimanan (aqidah), masalah keIslamaan (syariat), masalah budi pekerti

(akhlakul karimah).29

1) Masalah Keimanan (Aqidah)

Aqidah adalah pokok kepercayaan dalam agama islam. Tauhid

adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.30 Dalam

29
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2013), h. 89.
30
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, h. 90.
22

Islam, aqidah merupakan I’tiqad bathiniyyah yang mencakup

masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman.

Materi keislaman tentang keimanan berfungsi sebagai pondasai

awal dari mad’u. dengan demikian saja tidak cukup, maka harus

ditambah dengan materi syariat sebagai bentuk pengalaman keimanan

seorang muslim.

2) Masalah KeIslaman (Syariat)

Syariat adalah seluruh hukum dan perundang-undangan yang

terdapat dalam islam, baik yang berhubungan manusia dengan Tuhan,

maupun antara manusia sendiri.31 Dalam Islam, syariat berhubungan

erat dengan amal lahit (nyata), dalam rangka mentaati semua peraturan

atau hukum Allah, guna mengatur hubungan antar manusia dengan

tuhannya dan mengatur antar sesama manusia.

Pengertian syari’ah mempunyai dua aspek hubungan yaitu

hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan (vertikal) yang disebut

ibadah atau yang dikenal dengan istilah Hablu Minallah dan hubungan

antar manusia dengan sesama manusia (horizontal) yang disebut

muamalat atau yang dikenal dengan istilah Hablu Minannas.

3) Masalah Budi Pekerti (Akhlakul Karimah)

Akhlak dalam aktivitas keIslaman (sebagai materi) merupakan

perlengkapan saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan KeIslman

seseorang, meskipun akhlak ini sebagai pelengkap saja, bukan berarti

31
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, h. 90.
23

masalah akhlak kurang penting disbandingkan dengan masalah

keimanan dan keislaman, akan tetapi akhlak merupakan penyempurna

keimana dan keislaman seseorang.

Ajaran akhlak atau budi pekerti dalam islam termasuk kedalam

materi keislaman yang penting untuk disampaikan kepada masyarakat

penerima dakwah. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dalam

kehidupan manusia. Dengan akhlak yang baik dan keyakinan agama

yang kiuat maka Islam membendung terjadinya dekadensi moral.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa antara materi keimanan,

keislaman serta akhlak memiliki sinergitas yang sulit untuk

dipisahkan. Sehingga dalam proses pembinaan keagamaan sangat

ditekankan untuk menyentuh tiga point materi tersebut.

d. Masalah-masalah dalam Kehidupan Keagamaan

Sumber masalah dalam pembinaan keagamaan terbagi menjadi

dua, yaitu individu dan lingkungan. Sumber masalah dari individu terbagi

menjadi dua pula, yaitu internal dan eksternal individu. Sedangkan sumber

masalah yang berasal dari lingkungan terbagi menjadi tiga, yaitu

lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Adapun permasalhan yang

khusus pada pembinaann keagamaan yaitu, sebagai berikut:32

1) Problem Ketidak Beragaman

Maksud dari permasalahan ini individu atau kelompok yang

tidak atau belum beragama dan hendak memeluk agama, merasakan

32
Zakiyah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental (Cet. I; Jakarta: Gunung
Agung, 1989), h. 17.
24

kesulitan untuk memeluk atau menganut agama karena belum bisa

menyakinkan diri dalam menganut agaman mana yang paling tepat.

2) Problem Pemilihan Agama

Maksudnya seseorang atau elompok yang berkehendak untuk

beragama, merasakan kesulitan dalam menyakinkan diri dalam

memilih agama yang mana yang paling tepat.

3) Problem Kegoyahan Iman

Seseorang atau kelompok yang goyah imannya, sehingga ada

kecendrugan disuatu saat untuk mengikuti agama yang lain lagi. Selain

itu, kegoyahan dalam melaksanakan ajaran agama yang itu, kegoyahan

iman dalam melaksanakan ajaran agama yang mengakibatkan

pelanggaran dalam kehidupan beragama.

4) Problem Karena Perbedaan Paham dan Pandangan

Individu atau kelompok yang mengalami konflik batin karena

mendapatkan informasi yang bertentangan mengenai keimanan dan

peribadahan yang menyebabkan kesulitan dalam bertindak dan

berbuat.

5) Problem Ketidak Pahaman Mengenai Ajaran Agama

Masalah yang membuat individu atau kelompok dalam

melakukan tindakan yang disadari atau tidak disadari atau tidak

merugikan dirinya dan orang lain karena tidak memahami secara

penuh mengenai ajaran agama.

6) Problem Pelaksanaan Ajaran Agama


25

Individu atau kelompok tidak mampu dalam menjalankan

ajaran agama secara benar, sebagaimana mestinya.

2. Konsep Tentang Narapidana

a. Pengertian Narapidana dan Pemidanaan

Narapidana merupakan suatu bahasan yang erat kaitannya dengan

dunia hukum, di dalam kamus hukum arti Narapidana adalah: “Orang

yang menjalani pidana dalam lembaga pemasyarakatan. Sedangkan

menurut Bahasa Narapidana ialah: “Orang yang sedang menjalani

Hukuman karena bersalah”. Sedangkan manurut Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ialah:

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan

di Lembaga Pemasyarakatan.33

Gunakarya berpendapat bahwa narapidana adalah orang yang telah

terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan dijatuhi

hukuman dan pidana. Selanjutnya dalam UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1

Ayat (6) dijelaskan bahwa Terpidana adalah seseorang yang dipidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.34

b. Hak dan Kewajiban Narapidana

33
Nurhamidah. Pembinaan Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2 B
Padangsisimpuan (Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman Al-Muaddib.Vol. 2. No. 1, 2017), h. 168.
34
Ari Astuti. “Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan
Yogyakarta” (Jurnal Citizenship: Media Publikasi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.
Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Universitas Ahmad Dahlan. Vol. 1.
No. 1, 2014), h. 32.
26

Berkenaan dengan hak-hak narapidana dan tahanan, pemerintah

telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersebut di dalam UU

Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1999 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan

Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan

Tahanan.35

UU Pemasyarakatan, hak-hak narapidana diatur dalam Pasal 14

ayat (1) yang menyebutkan bahwa narapidana memperoleh hak untuk:

1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercacayaannya.

2) Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang baik.

5) Menyampaikan keluhan.

6) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang.

7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjan yang dilakukan.

8) Menerima kunjungann keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu

lainnya.

9) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

10) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga

35
Citra Anggraeni Puspitasari. Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Pelanggaran Hak
Narapidana Dan Tahanan Pada Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negar (Jurnal Panorama
Hukum. Vol. 3. No. 1, 2018), h. 38.
27

11) Mendapatkan pembebasan bersyarat

12) Mendapatkan cuti menjekang bebas dan

13) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.36

Salah satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh narapidana

untuk mendapatkan keringanan hukum seperti remisi adalah sebagai

berikut : Berdasarkan Keputusan Presiden RI No 174 Tahun 1999Tentang

Remisi, Remisi yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana

apabila telah memenuhi:

1) Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana

2) Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.37

3. Konsep Tentang Krisis Moral

a. Pengertian Krisis Moral

Dalam dunia yang semakin maju ilmu pengetahuan dan

tekhnologi, semakin jauh pula orang dari pegangan agama dan semakin

mudah orang melakukan hal-hal yang dahulunya berat sekali bagi mereka

mencobanya. Dalam hubungan ini, maka selanjutnya dikemukakan

pengertian moral sebagai berikut: Moral adalah kelakuan yang sesuai

dengan ukuran nilai-nilai masyarakat yang timbul dari hati dan bukan

datang dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas

36
Citra Anggraeni Puspitasari. Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Pelanggaran Hak
Narapidana Dan Tahanan Pada Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negar, h. 38.
37
Prabowo, Alan. Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana (Studi Deskriptif di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa, Bandar Lampung) (Skripsi. Lampung: UIN Raden Intan Lampung,
2018), h. 68.
28

kelakuan tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan

umum daripada kepentingan pribadi.38

Selanjutnya, pengertian moral adalah baik buruknya perbuatan dan

kelakuan.39 Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa masyarakat yang telah

jauh dari agama, kemerosotan moral orang dewasa memang sering terjadi.

Tingkah laku yang baik adalah merupakan contoh yang baik bagi remaja.

Mereka mengambil contoh itu untuk dipraktekkannya walaupun tidak

sesuai dengan agama, maka orangtualah yang membimbing anak-anaknya.

Moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang

berbentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku manusia dan

masyarakat dimana manusia itu berada. Krisis moral dapat di artikan

sebagai krisis yang menimpa moral dan merampas moralitas dan etika

sosial bersama. krisis moral yang dibiarkan dapat menjadi penghambat

kesuksesan dan membawa keperihatinan yang mendalam atas krisis –

krisis yang berkepanjangan yang sedang menimpa bangsa Indonesia saat

ini. krisis moral dapat ditandai oleh dua gejala, yakni Tirani dan

Keterasingan. Tirani merupakan gejala dari rusaknya perilaku sosial,

sedangkan keterasingan merupakan dimana seseorang merasa dikucilkan

dan tidak lagi di anggap dalam kehidupan masyarakat.40

b. Dampak Krisis Moral

38
H.A. Rahman Getteng, Pendidikan Islam dalam Pembangunan (Cet. I; Ujungpandang: Al-
Ahkam, 1997), h. 59.
39
El Santoso dan S. Prianto, Kamus Bahasa Indonesia (Surabaya: Bintang Terang, t.th), h.258
40
Kees Bartens, Keprihatinan Moral: Telaah Atas Masalah Etika (Cet. I; Kanisius:
Yogyakarta, 2007), h. 33.
29

Krisis moral memang sangat berpengaruh dalam perkembangan

Indonesia kedepan, tetapi sekarang ini malah terkesan dikesampingkan

oleh aparatur pemerintahan. Hal ini akan mengakibatkan bangsa

indonesiaakan semakin terpuruk dan dipandang rendah oleh bangsa lain.

Sehingga adanya moral masyarakat yang semakin remuk dan tak

terkendali tersebut salah satunya dapat memunculkan adanya pelanggaran-

pelanggaran hukum yang semakin marak di Indonesia ini.

Jika dilihat dari kasus-kasus pelanggran hukum yang semakin

marak terjadi di Indonesia saat ini. Banyak kasus-kasus pelanggaran

hukum tersebut akibat atau dilatar belakangi oleh krisisnya moral bangsa

ini. Contoh saja seperti kasus penipuan, pencurian, perampokan,

pembunuhan, mulai dari anak membunuh orangtua kandungnya atau

bahkan sebaliknya, membunuh kekasihnya bahkan mantan ataupun mertua

dan lain-lain. Contoh kasus lagi seperti pemerkosaan, pelecehan seksual

seperti yang saat ini terjadi di JIS, kenakalan remaja yang sering kali kita

dapat jumpai, KKN yang merajalela, kerusakan kerusakan lingkungan

yang disebabkan oleh tangan-tangan jail, dan masih banyak lagi

pelanggaran-pelanggaran hukum yang lainnya.41

Kasus-kasus pelanggran hukum tersebut disebabkan rasa empati

seseorang terhadap orang lain sudah menurun bahkan hilang sama sekali.

Kontrol diri maupaun emosi pun lemah. Jika kesadaran diri dari hati

nurani akan rasa empati terhadap orang lain setiap individu itu ada

mungkin terjadinya krisis moral yang melatarbelakangi munculnya

41
Kees Bartens, Keprihatinan Moral: Telaah Atas Masalah Etika, h. 34.
30

pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut dapat dikendalikan. Apalagi

campur tangan atau kepedulian aparatur pemerintah yang kuat dalam

mengatasi pelanggaran-pelanggaran hukum yang semakin marak terjadi.

Pasti juga akan sangat membantu dalam pengendalian pelanggaran-

pelanggran tersebut.

Menumpuknya persoalan di Indonesia tak lepas dari peran

masyarakat Indonesia sendiri. Masa orde baru yang menerapkan ideologi

pembangunan  menjadikan manusia yang memiliki kemampuan di bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) paling mendominasi. Mereka

berkembang menjadi binatang ekonomi yang menggerakkan industri. Dari

sinilah budaya-budaya asing masuk dan mencampuri budaya Indonesia,

walaupun secara kasat mata. Semua terpengaruh oleh gaya hidup

konsumtif masyarakat negara maju, mendorong mereka untuk melanggar

moral yang sebenarnya sangat penting untuk dipertahankan.

Moral masyarakat dapat mencerminkan kepribadian negaranya.

Begitu pula dengan Indonesia. Moral masyarakat Indonesia yang bobrok

memperlihatkan bahwa Indonesia berada di titik paling rendah

kepribadian. Inilah yang menyebabkan Indonesia sulit mencapai

kemajuan. Memang agak sulit untuk menyeimbangkan antara perbaikan

kesejahteraan masyarakat dengan perbaikan moral masyarakat. Namun

apabila keduanya bisa diperbaiki, bukan tidak mungkin Indonesia akan

menemukan titik pencerahan.42

42
Kees Bartens, Keprihatinan Moral: Telaah Atas Masalah Etika, h. 35.
31

Buruknya moral Indonesia dapat dilihat dari berbagai kalangan

masyarakat. Misalnya dari kalangan politik. Maraknya korupsi yang

mereka lakukan merupakan cerminan bahwa moral Indonesia sudah jatuh

dibawah titik terendah. Korupsi tentunya mempengaruhi semua

masyarakat, karena dana yang mereka ambil untuk kepentingan mereka

sendiri adalah dana untuk kepentingan masyarakat dan negara. Contohnya

seseorang yang kabur setelah publik mengetahui keterlibatannya dalam

kasus suap wisma atlet sea games, sang mafia pajak, dan sebagainya. Para

pemimpin negara sejak jaman pemerintahan Soeharto tentunya telah

berupaya mengatasi masalah tersebut, seperti Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang berdiri sejak awal pemerintahan SBY. Namun

kembali kepada masalah moral, jika moral bangsa masih berada di titik

nadir seperti saat ini, siapapun pemimpinnya dan apapun sistemnya tidak

akan mampu memperbaiki kondisi moral dalam waktu yang singkat.

Selain kasus korupsi tersebut, masih banyak yang dapat dijadikan

bukti merosotnya moral bangsa. Seperti pelecehan seksual yang

belakangan ini ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat. Pelecehan

seksual tersebut dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Bisa terjadi di

transportasi umum seperti bus, bahkan di mall besar sekalipun. Pelaku

pelecehan seksual dapat memanfaatkan keramaian dan konsentrasi yang

pecah untuk melakukan aksinya.

Belum lagi hal lain, diantaranya eksplorasi anak di bawah umur,

narkoba, dan pelanggaran etika yang dapat dilakukan baik dari kalangan

kecil hingga kalangan menengah keatas. Seperti kasus video mesum yang
32

dilakukan artis, pejabat, petinggi negara, mahasiswa, hingga pelajar.

Namun kembali lagi ke masalah korupsi, macam-macam kasus krisis

moral tersebut tidak bisa diberantas jika korupsi tetap berjalan. Jika

tindakan mereka telah diusut dan masuk catatan daftar kriminalitas,

“tinggal bayar saja”. Dengan uang semua bisa terselesaikan, kegiatan

mereka pun dapat berjalan lagi seperti biasa. Ini adalah bukti bahwa

korupsi dapat mempengaruhi semua lapisan.

Kemerosotan moral ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan

karena hal inilah yang akan mempengaruhi citra bangsa Indonesia di

dunia. Apabila citra sudah buruk di mata dunia, sulit untuk memperbaiki

citra itu menjadi baik kembali.

c. Faktor Penyebab Munculnya Krisis Moral

Faktor-faktor penyebab munculnya krisis moral yaitu:43

1) Masuknya budaya barat bisa dikatakan sebagai penyebab jatuhnya

moral di Indonesia. Budaya barat seakan mendoktrin masyarakat untuk

perlahan menjauh dari kebudayaannya sendiri. Akan tetapi, kita tidak

bisa sepenuhnya menyalahkan budaya tersebut. Setiap individu pun

patut disalahkan karena tidak bisa menyaring dan menyesuaikan

budaya barat yang masuk dengan budaya mereka sendiri. Dengan

budaya asing yang masuk, banyak yang menganggap kebiasaan disana

seperti hubungan bebas dan materialisme menjadi hal yang biasa. Hal

ini sangat memprihatinkan mengingat banyak remaja yang mulai

bahkan sudah menerapkan hubungan bebas dalam pergaulannya.

43
El Santoso dan S. Prianto, Kamus Bahasa Indonesia, h. 259
33

Materialisme pun dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat yang

berubah menjadi gaya hidup konsumtif. Gaya hidup mewah yang

hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa melihat keadaan sekitar

dan masa depannya.

2) Selain itu, perkembangan teknologi juga membawa pengaruh besar

dalam krisis moral yang melanda Indonesia. Mudahnya mengakses

informasi dengan menjamurnya warung internet (warnet), tersedianya

tempat-tempat gratis mengakses internet dengan sistem koneksi

wireless dan mudahnya menggunakan handphone dalam akses internet

menjadikan banyak orang menyalah gunakan perkembangan tersebut

dengan mengakses konten perusak moral seperti gambar atau video

porno. Saking mudahnya akses, setiap orang dapat dengan mudah

melakukan pelanggaran moral termasuk pelajar di bawah umur. Jika

dibiarkan tentu hal ini akan semakin merusak moral bangsa karena

terpengaruh doktrin barat yang salah tersebut.

3) Memudarnya keimanan seseorang, Sekuat apapun iman seseorang,

terkadang mengalami naik turun. Ketika tingkat keimanan seseorang

menurun, potensi kesalahan terbuka. Hal ini sangat berbahaya bagi

moral, Jika dibiarkan tentu membuat kesalahan semakin kronis dan

merusak citra individu dan institusi.

4) Penyebab dari rusaknya moral atau akhlak masyarakat kita adalah

lingkungan yang buruk. Hal ini memang kita rasakan bahwa

lingkungan itu sangat besar pengaruhnya bagi manusia, lingkungan

yang buruk sangat berpotensi mengubah seseorang menjadi orang


34

yang buruk dan demikian pula sebaliknya. Salah satu bagian dari

lingkungan kehidupan manusia adalah televisi. Kita tentu tidak anti

televisi, tetapi kita seharusnya sangat membenci tayangan-tayangan

televisi yang tidak mendidik ke arah yang benar yang dapat merusak

pemirsanya. Oleh karena itu, para pengelola televisi semestinya

menyadari akan bahaya tayangan yang tidak baik dan bahayanya ini

tidak hanya menimpa masyarakat tapi bisa juga menimpa generasi

muda sebagai harapan bangsa di masa yang akan datang.

5) Yang menyebabkan kerusakan akhlak masyarakat kita semakin

menjadi-jadi adalah lemahnya kontrol, baik dari diri sendiri, keluarga

maupun sesama masyarakat. Sebagai contoh, anak yang nakal. Anak

yang nakal adalah salah satu akibat karena kurangnya kontrol dari

orang tua dan masyarakat. Anak yang nakal biasanya tidak malu-malu

lagi melakukan berbagai macam kemaksiatan, bahkan dilakukan di

depan umum. Kita cenderung membiarkan kemaksiatan tersebut,

sehingga mereka semakin berani melakukan karena tidak mempunyai

lagi rasa malu dan rasa takut baik pada manusia maupun pada Tuhan.

d. Solusi dalam Mengatasi Krisis Moral

Ada beberapa solusi dalam mengatasi krisis moral yakni:44

1) Memperkokoh keimanan atau akidah kepada Tuhan dengan jalan

memberikan wejangan-wejangan agama, baik yang dilakukan di

44
El Santoso dan S. Prianto, Kamus Bahasa Indonesia, h. 259
35

rumah, kampus dan masyarakat, sehingga selalu terikat dan mau

menyesuaikan diri dengan ketentuan Tuhan.

2) Menanamkan perasaan dekat kepada Tuhan, sehingga di mana pun

kita berada, ke manapun kita pergi dan bagaimanapun situasi dan

kondisinya kita akan selalu merasa diawasi oleh Tuhan. Dengan hal

demikian, maka akan membuat diri kita tidak berani menyimpang dari

jalan-Nya.

3) Mewujudkan lingkungan yang religius, baik melalui bahan bacaan,

tontonan maupun lingkungan pergaulan, sehingga pengaruh dari

lingkungan tersebut akan membuat manusia terbentuk menjadi orang

yang memiliki kepribadian yang religius.

4) Menumbuhkan tanggung jawab pengembangan amanah dakwah

dengan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam bersikap dan

berperilaku dalam berbagai sisi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat

dan berbangsa.

4. Konsep Tentang Lembaga Pemasyarakatan

a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan

Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarlan sistem, kelembagaan

dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem

pemindanaan dalam tata peradilan pidana.45 Sebelum dikenal istilah lapas

di Indonesia, tempat tersebut dikenal dalam istilah penjara. Lembaga

Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis dibawah Direktorat

45
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Bab 1 Pasal 1 Ayat 2
36

Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia

(dahulu Departemen Kehakiman). Pegawai negeri sipil yang menangani

pembinaan pembinaan narapidana dana tahanan di lembaga

pemasyarakatan disebut petugas pemasyarakatan, atau dahulu lebih

dikenal dengan istilah sipir penjara.

Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui

pendidikan rehabilitasi dan reintegrasi narapidana. Guna memberikan

bekal dan membentuk sikap mental terpidana agar menginsafi

kesalahannya, tidak mengulangi tindak pidana, dan menjadi insan yang

berbudi luhur.46

b. Landasan Hukum Lembaga Pemasyarakatan

Setelah Indonesia merdeka hukum pembinaan dan sistem

pemasyarakatan terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan

berlandaskan pada ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan

yang ada antara lain:

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt)

3) Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP)

4) Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

5) Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan.

46
Sri Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidan di Lembaga Pemasyarakatan
Terhadap Tujuan Pemidanaan (Jurnal Ilmiah Serat Acitya, UNTAG, 2013), h. 3.
37

6) Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1999 Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyatakatan.47

Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan,

pembinaan, pendidikan, dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan

untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga

binaan dan masyarakat. Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan

didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat,

membina, mendidik, dan membimbing warga binaan dengan tujuan agar

menjadi warga yang baik dan berguna.

c. Tugas dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

1) Tugas Lembaga Pemasyarakatan

Tugas Lembaga Pemasyarakatan, meliputi:

a) Melakukan pembinaan narapidana atau anak didik

b) Melakukan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil

kerja

c) Melakukan bimbingan sosial atau kerohanian narapidana atau anak

didik

d) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga

Pemasyarakatan

e) Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.48

47
Disampaikan dalam prasaran pada Konferensi Kerja Direktorat Pemasyarakatan yang
dilaksanakan di Bandung tanggal 27 April – 9 Mei 1964 dengan judul “Pelaksanaan Teknis
Pemasyarakatan”.
48
Disampaikan dalam prasaran pada Konferensi Kerja Direktorat Pemasyarakatan yang
dilaksanakan di Bandung tanggal 27 April – 9 Mei 1964 dengan judul “Pelaksanaan Teknis
Pemasyarakatan”.
38

2) Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Sebagaimana terdapat dalam pasal 3 Keputusan Menteri

Kehakiman RI Nomor. M.01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan adalah:

a) Melaksanakan Pembinaan dan Pendidikan narapidana dan anak

pidana.

b) Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola

hasil; melaksanakan bimbingan sosial/kerohanian narapidana dan

anak pidana.

c) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib.

d) Melakukan tata usaha dan rumah tangga pemasyarakatan.

Dari rumusan tersebut di atas dapat digaris bawahi bahwa

sistem pemasyarakatan menghendaki partisipasi segenap komponen

dalam pembinaan warga binaan pemasyarakatan baik pembina,

narapidana maupun masyarakat.49

Berdasarkan uraian karangka teoritis diatas, maka peneliti secara skematis

menggambatkan karangka piker dalam bagan sebagai berikut:

Krisis Moral Narapidana:


Penipuan,
Pencurian,
Perampokan,
Pembunuhan
Pemerkosaan,
Pelecehan seksual

Baldi Anggara, Pemenuhan Hak-Hak Pendidikan Keagamaan Islam Anak Binaan di


49

Lembaga Pemasyarakatan Pakjo Palembang, (Jurnal Tadrib, Vol. III, No. 1, Juni 2017) h. 174.
Pembinaan Keagamaan
Narapidana
Keagamaan Narapidana: Keagamaan Narapidana:
Keimanan (Akidah) Metode interview
Keislaman (Syariat) (wawancara)
Budi Pekerti (Akhlakul Group Guidance (Bimbingan39
Karimah) Kelompok)
Client Centered Method
(Metode yang dipusatkan
pada keadaan klien)
Directive Conseling
Educative Method (Metode
Pencerahan)
Psychoanalysys Method

Dampak Pembinaan:
Akhlak
Tingkah Laku

Gambar 1.1 Kerangka Teoretis

F. Metode Penelitian

Metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,

merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai suatu tujuan.

Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan


40

dan menganalisa sampai laporan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

sebgai berikut:50

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian

ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian dekriptif kualitatif (Qualitatif

Research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan,

persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.51

Alasan peneliti memilih menggunakan metode kualitatif merujuk dari

pendapat yang dikemukakan oleh Moleong, yaitu:

a. Untuk penelitian konsultatif.

b. Untuk memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang

dihadapi oleh seseorang;

c. Untuk meneliti latar belakang fenomena yang tidak dapat diteliti melalui

penelitian kuantitatif;

d. Untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang sudah banyak

diketahui;

e. Untuk meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang

subyek penelitian;

f. Untuk lebih dapat memahami setiap fenomena yang sampai sekarang

belum banyak diketahui.52

50
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Cet: II; Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997), h. 1.
51
Nana Syaodih Sukmandinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Cet. I; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 60.
52
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 7.
41

Adapun alasan peneliti melakukan penelitian kualitatif dengan

landasan teori sebagai acuan ketika peneliti akan menggali suatu hal yang

berkaitan dengan subjek. Diharapkan dengan landasan teori yang telah

disebutkan pada bab sebelumnya dapat mendasari setiap langkah yang

dilakukan oleh peneliti, baik ketika menyusun pedoman wawancara, ketika

melakukan wawancara, dan ketika menggali data dari sumber lain yang

terkait. Oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan yang peneliti kemukakan di

atas berkaitan dengan alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif

dengan menggunakan metode kualitatif adalah untuk mengetahui bagaimana

pembinaan akhlak bagi narapidana dalam mengatasi krisis moral di Lembaga

Pemasyarakatan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dapat dimaknai seba gai usaha dalam aktivitas penelitian

untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti.53 Ada beberapa

pendekatan yang penulis gunakan dalam menelaah tesis ini, yaitu:

a. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis-normatif memandang bahwa ajaran Islam

yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi menjadi.

sumber inspirasi dan motivasi pendidikan Islam.54 Pendekatan ini

dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada narapidana agar bisa

menjunjung dan mengamalkan norma-norma keagamaan.

Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Cet. II;
53

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 66.


54
Jujun S. Suriasumantri, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu
(Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001), h. 151.
42

b. Pendekatan Paedagogik

Pendekatan ini artinya ilmu pendidikan yang menyelidiki,

merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik atau dengan kata

lain pedagogik sebagai suatu ilmu yang memberikan landasan, pedoman

dan arah sasaran dalam usaha mendidik atau membentuk individu menjadi

manusia yang beradab, sehingga pendekatan ini penting dalam penulisan

theisis ini.55

c. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini dilakukan guna mempelajari tingkah laku manusia

dalam hubungannya dengan lingkungan. Pendekatan digunakan untuk

mendalami berbagai gejala psikologis yang muncul dari pembina dan

narapidana, baik yang muncul pada saat berlangsungnya proses

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan maupun selesainya proses

pembinaan.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone

Jl. Yos. Sudarso Cellu Watampone, Kelurahan Cellu, Kecamatan Tanete

Riattang Timur., Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Penentuan lokasi

dimaksudkan untuk mempermudah dan memperjelas objek yang menjadi

sasaran penelitian, sehingga permasalahan tidak meluas.

Adapun alasan dalam memilih lokasi penelitian ini adalah karena

merupakan satu-satunya lembaga pemasyarakatan yang ada di Kabupaten

55
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. VIII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), h. 49.
43

Bone dan berdekatan dengan wilayah tempat tinggal peneliti sehingga dalam

proses pengumpulan data penelitian dapat lebih muda.

4. Metode dan Sumber Pengumpulan Data

a. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data valid, lengkap dan akurat, peneliti

menggunakan dua jenis data, yaitu primer dan sekunder. Data primer

diperoleh langsung dari responden melalui kuisioner dan angket.

Sedangkan data sekunder yaitu data pendukung yang diperoleh dari

instansi. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan meliputi:

1) Observasi

Observasi adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan

pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Observasi adalah instrumen

pengumpulan data dengan cara mengamati objek yang diteliti dan

didukung dengan pengumpulan serta pencatatan data secara

sistematis.56Instrumen observasi dalam penelitian ini digunakan untuk

menghimpun berbagai macam keterangan (data) yang dilakukan

dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis

yang berkaitan dengan pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam

mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone.

2) Wawancara (interview)

56
Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara,
2000), h. 10.
44

Wawancara adalah proses tanya jawab kepada narasumber atau

objek penelitian secara langsung.57 Dalam wawancara ini penulis

menggunakan dua jenis, yaitu wawancara berstruktur dan wawancara

tak berstruktur. Metode ini digunakan untuk menggali data yang

berkaitan dengan pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam

mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone.

3) Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang

dilakukan dengan menganalisis isi dokumen yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti. Metode ini digunakan untuk

mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen,

seperti gambar serta konsep teori yang berkaitan dengan variabel yang

diteliti.58 Dokumentasi dalam penelitian berupa gambar yang

berhubungan dengan pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam

mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone.

b. Sumber Data

Data merupakan bahan mentah yang perlu diolah sehingga

menghasilkan informasi atau keterangan, baik kualitatif maupun

57
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 189.
58
Eko Putro Widoyoko, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), h. 165.
45

kuantitatif yang menunjukkan fakta. Penelitian ini menggunakan data

primer dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1) Data primer adalah data yang diperoleh langsung pada subjek sebagai

sumber informasi yang ingin dicapai. Data primer dalam penelitian ini

diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu melalui observasi dan

wawancara langsung dengan pihak terkait.59 Adapun sumber data

primer yakni kepala lembaga pemasyarakatan 1 orang, pegawai

lembaga pemasyarakatan 5 orang dan narapidana 4 orang.

2) Data sekunder yaitu data yang bukan diusahakan sendiri

pengumpulannya oleh peneliti, tetapi diperoleh dari biro statistik,

majalah, keterangan-keterangan atau publikasi lainnya. 60 Data

sekunder dalam penelitian ini berasal dari buku-buku, jurnal, karya

tulis ilmiah serta surat kabar dan majalah yang berhubungan dengan

penelitian ini

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

Dalam hal ini Nasution dalam Sugiyono menyatakan bahwa analisis telah

dimulai sejak merumuskan dan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke

lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. 61 Analisis

data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong adalah Upaya

59
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif (Cet. I; Bandung: ALFABETA, 2002), h. 225
60
Husein Umar. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis (Cet. I; Jakarta: Rajawali 2013),
h. 42.
61
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h.336.
46

yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,

memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.62

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber,

dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam

(triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh.

Dengan demikian, data atau informasi yang dikumpulkan dan berhubungan

dengan pertanyaan penelitian akan dianalisis berupa pengelompokan dan

pengkategorian data dalam aspek-aspek yang telah ditentukan, hasil

pengelompokan tersebut dihubungkan dengan data yang lainnya untuk

mendapatkan suatu kebenaran.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode non

statistik yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Analisis data dalam

penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan

setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Miles dan

Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif

dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai

tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu

data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.63

Komponen dalam analisis data secara interaktif meliputi :

a. Data Reduction (Reduksi Data)

62
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h.248.
63
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 337.
47

Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan

kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Dalam

mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai.

Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan.

Oleh karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian,

menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum

memiliki pola, justru itula yang harus diperhatikan peneliti dalam mereduksi

data.

Jadi, peneliti dalam mereduksi data, peneliti mensaring data-data

dari koleksi data yang didapatkan di lapangan. Peneliti memilih dan

memilah mana data yang dianggap bermanfaat dan membuang data maupun

informasi yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan peneliti.

b. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini

dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie chard, pictogram dan

sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan,

tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah difahami.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam

bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan

sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman menyatakan“yang paling

penting sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif

adalah bagan teks yang bersifat naratif.”64

64
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 341.
48

Dengan mendisplaykan data, maka peneliti akan mudah untuk

memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan

apa yang telah difahami tersebut.

c. Conclusion Drawing /Verification (Penarikan Kesimpulan)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and

Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal

yang yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila

tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap

pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang

dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan

konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat

menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mengkin

juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan

masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan

berkembang setelah penelitian di lapangan.65

Dalam pengolahan data ini, peneliti mengacu pada metode

penelitian yaitu penelitian kualitatif yang mengacu pada pengungkapan data

sesuai dengan realita dan tidak menggunakan data statistik.

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

65
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 345.
49

Setiap usaha yang dilakukan tentu mengandung nilai dan tujuan

tertentu, demikian juga halnya dengan penelitian ini memiliki tujuan sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan krisis moral

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

b. Untuk mengetahui metode pembinan keagamaan yang diajarkan kepada

narapidana sebagai upaya mengatasi krisis moral di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

c. Untuk mengetahui dampak dari pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi

narapidana dalam mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II B Watampone.

2. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa

bersifat teoritis dan praktis, adapun manfaat teoritis dan praktis tersebut

adalah:

a. Manfaat Teoritis, yakni untuk menambah khazanah keilmuan dan

mengembangkan pemahaman terkait dengan pembinaan keagamaan bagi

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.

b. Manfaat Praktis, yakni hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan baru kepada pihak yang berkepentingan antara lain sebagai

berikut:

1) Memberikan informasi bagi mahasiswa dalam mempelajari pembinaan

keagamaan bagi Narapidana dalam mengatasi krisis moral.


50

2) Menambah wawasan bagi penulis tentang pembinaan keagamaan bagi

Narapidana dalam mengatasi krisis moral.

3) Memberikan gambaran tentang pendidikan agama Islam bagi

Narapidana bagi mahasiswa IAIN Bone pada umumnya.

4) Menambah khasanah kepustakaan IAIN Bone.

H. Garis Besar Isi

Tesis yang dibuat secara sistematis akan memudahkan dalam pembahasan,

sehingga untuk menyusun tesis secara sistematis penulis membuat sistematika

penulisan sebagai pedoman dalam menyusun tesis. Tesis ini disusun dengan

sistematika penulisan yang terdiri dari Bagian Pendahuluan, Bagian Isi dan Bagian

Akhir.

Pada BAB I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, definisi

operasional, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terkait, serta

sistematika pembahasan.

BAB II landasan teori berisikan tinjauan pembinaan keagamaan yang meliputi

pengertian pembinaan keagamaan, tujuan pembinaan keagamaan, metode pembinaan

keagamaan dan materi pembinaan keagamaan, tinjauan tentang Narapidana yang

meliputi pengertian Narapidana, hak dan kewajiban Narapidana, serta tinjauan

Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi pengertian Lembaga Pemasyarakatan, dasar

hukum Lembaga Pemasyarakatan, kedudukan, tugas dan fungsi Lembaga

Pemasyarakatan

BAB III berisi tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian,

sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.


51

BAB IV berisi tentang bab yang menguraikan hasil penelitian yang meliputi

gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone, seperti tinjauan

geografis, tinjauan historis, visi dan misi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Watampone, struktur organisasi, keadaan Narapidana dan Pembina, keadaan sarana

dan prasarana, gambaran tentang perencanaan pembinaan keagamaan bagi

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone, pelaksanaan

pembinaan keagamaan, hasil pelaksanaan pembinaan keagamaan dan analisis data.

BAB V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian Akhir

dari skripsi ini terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup

peneliti.
52

DAFTAR PUSTAKA

Angga Perdana Putra Sari. “Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan Anak Kelas II A Blitar”. Thesis UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2015.

Anggara, Baldi, Pemenuhan Hak-Hak Pendidikan Keagamaan Islam Anak Binaan di


Lembaga Pemasyarakatan Pakjo Palembang, Jurnal Tadrib, Vol. III, No. 1,
Juni 2017.

Anggraeni Puspitasari, Citra. Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Pelanggaran Hak


Narapidana Dan Tahanan Pada Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan
Negar (Jurnal Panorama Hukum. Vol. 3. No. 1, 2018.

Anwar, Chairul. Hakikat Manusia dan Pendidikan Sebuah Tinjauan Filosofis.


Yogyakarta: Suka Press, 2014.

Astuti, Ari. “Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan


Yogyakarta”. Jurnal Citizenship: Media Publikasi Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan. Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
FKIP Universitas Ahmad Dahlan. Vol. 1. No. 1, 2014.

Bartens, Kees. Keprihatinan Moral: Telaah Atas Masalah Etika. Kanisius:


Yogyakarta, 2007.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: PT Raja Grafindo,


2011.

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997.

Daradjat, Zakiyah. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung


Agung, 1989.

Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Dipenogoro, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi


Kedua (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka,1986.
53

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Balai Pustaka, 2005.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014.

El Santoso dan S. Prianto, Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Bintang Terang,


1997.

Getteng, Rahman. Pendidikan Islam dalam Pembangunan. Ujungpandang: Al-


Ahkam, 1997.

Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1995.

Haedari, Amin. Pembinaan Agama di Indonesia.Jakarta: Puslitbang Pembinaan


Agama dan Keagamaan, 2014.

Helmi, Masdar. Peranan Dakwah dalam Pembinaan Umat. Semarang: IAIN


Semarang, 2016.

Heru Juabdin Sada, Manusia Sebagai Perspektif Agama Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal
Pendidikan Islam, Vol 7, Mei 2016.

Jamaluddin, Wan. Rekayasa Pendidikan Agama Islam di Daerah Minoritas Muslim,


Tadris: Jurnal Keguruan dan Ilmu Tarbiyah VOL.01/2/2016.

Jujun S. Suriasumantri, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin


Ilmu. Bandung: Nuansa, 2001.

Jumhur dan Moh. Suryo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV.
Ilmu, 1987.

Kurnia Ramadani, Rizky. “Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan Klas II B Cilacap”. Skripsi IAIN Purwokerto, 2017.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,


2004.

Munir Amin, Samsul. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2013.

Naim, Ngainun. Islam dan Pluralisme Agama. Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014.

Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2013.


54

Nurhamidah. “Pembinaan Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2 B


Padangsisimpuan”. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman Al-Muaddib.Vol.
2. No. 1, 2017.

Nurlihana. “Pembinaan Moral Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan


Narkotika Klas II A Sungguminasa Kabupaten Gowa”. Thesis Universitas
Negeri Makassar, 2018.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan


Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1)

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Prabowo, Alan. Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana (Studi Deskriptif di


Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa, Bandar Lampung) (Skripsi.
Lampung: UIN Raden Intan Lampung, 2018.

Putro Widoyoko, Eko. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2012.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA, 2002.

Syaodih Sukmandinata, Nana. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2005.

Thoha, Miftah. Pembinaan Organisasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta: Rajawali 2013.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Bab 1 Pasal 1 Ayat 2

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

UUD 1945 Sebelum dan Setalah Amandemen. Bandung : Nuansa Aulia, 2009.

Wahidin. Pembinaan Mental Narapidana melalui Bimbingan dan Penyuluhan


Agama (Cet. I; Jakarta: Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), 2006.

Wulandari, Sri. Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidan di Lembaga Pemasyarakatan


Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah Serat Acitya, UNTAG, 2013.
55

OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup Pembahasan
D. Penelitian Terdahulu
E. Landasan Teoretis
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
G. Garis Besar Isi
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Konsep Tentang Pembinaan Keagamaan
B. Konsep Tentang Narapidana
C. Konsep Tentang Krisis Moral
D. Konsep Tentang Lembaga Pemasyarakatan.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Pendekatan Penelitian
C. Lokasi Penelitian
D. Metode dan Sumber Pengumpulan Data
E. Metode Pengolahan dan Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
B. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan krisis moral Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Watampone.
C. Metode pembinan keagamaan yang diajarkan kepada narapidana sebagai
upaya mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Watampone.
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Desain Pembelajaran

Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)


56
Pascasarjana Program Magister IAIN Bone

Oleh:

ANDI MULIANA
D. Dampak dari pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi narapidana dalam
NIM.861082019025
mengatasi krisis moral di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Watampone. NURHAENI
BAB V PENUTUP
NIM: 861082019018
A. Simpulan
B. Saran-Saran Dosen Pemandu:
C. Implikasi Penelitian
DR. HERMAN SUNUSI, S. Ag., M. Pd., M. Ag
DAFTAR PUSTAKA
LMPIRAN-LAMPIRAN PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER

DAFTAR RIWAYAT HIDUP INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2020

Anda mungkin juga menyukai