Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia –
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Pemahaman Mengenai Instrumen Non Zakat Sebagai Sumber Pengeluaran
Keuangan Negara”. Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini juga, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan
tugas dan petunjuk kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Bone, 25 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR, i
DAFTAR ISI, ii
BAB I PENDAHULUAN, 1
A. Latar Belakang, 1
B. Rumusan Masalah, 2
C. Tujuan Penulisan, 2
BAB II PEMBAHASAN, 3
A. Kaidah Belanja Negara Islam, 3
B. Kebijakan Pengeluaran Negara, 6
C. Sekilas Kebijakan Pengeluaran Non Zakat Kontemporer 7
BAB III PENUTUP, 10
A. Kesimpulan, 10
B. Saran, 10
DAFTAR PUSTAKA, 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan fiskal dan anggaran belanja dalam Islam memiliki prinsip
untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi
kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada
tingkat yang sama.  Dari semua kitab agama zaman dahulu, Al-Qur’an-lah satu-
satunya kitab yang meletakkan perintah yang tepat tentang kebijakan negara
mengenai pengeluaran.  Kegiatan-kegiatan yang menambah pengeluaran harus
digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu dalam kerangka
umum hukum Islam seperti ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sejalan dengan adanya suatu perekonomian dan agar lebih berkembang,
perlu adanya suatu kebijakan yang diadakan oleh pemerintah, baik itu tindakan
maupun strategi supaya ekonomi yang sedang berjalan diupayakan terus maju,
tanpa adanya suatu kelemahan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya inflasi,
pengangguran dan lain sebagainya. Tetapi apabila pendapatan pemerintah
berkurang maka pemerintah juga harus mengurangi pengeluaran. Orang
berpandangan bahwa pemerintah haruslah menjalankan kebijakan fiskal
seimbang atau anggaran belanja seimbang, yaitu pengeluaran haruslah sesuai
atau sama dengan pendapatannya.
Dari paparan di atas kami sebagai penulis merasa perlu untuk
mengkajiulang masalah kebijakan pengeluaran negara dalam Islam. Dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai kaidah belanja negara dalam Islam, analisis
kebijakan pengeluaran non-zakat sepanjang sejarah dalam Islam, serta analisis
kebijakan pengeluaran non-zakat di masa kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana kaidah belanja negara Islam
2. Bagaimana kebijakan pengeluaran negara?

1
3. Bagaiamana mengenai sekilas kebijakan pengeluaran non zakat
komtenporer?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan sicapai dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui kaidah belanja negara Islam;
2. Untuk mengetahui kebijakan pengeluaran negara;
3. Untuk mengetahui sekilas kebijakan pengeluaran non zakat kontemporer;

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah Belanja Negera Islami


Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal di mana
pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah dikumpulkan.
Dengan kebijakan pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi
pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan ini pula maka negara
bisa menggerakkan perekonomian yang ada di masyarakat. Pemerintah
diharapkan dapat menggunakan keuangan tersebut dalam meningkatkan taraf
hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan. Kebijakan pengeluaran harus
bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh
warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status
sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal diperlukan berupa
jaminan pemenuhan akan pangan, sandang dan papan, khusus ditujukan kepada
warga negara miskin. Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan
pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu
proses distribusi pendapatan kepada masyarakat. Kegagalan pemerintah dalam
melakukan distribusi anggaran negara dapat mengancam keberadaan negara
seperti yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam, di mana kesalahan dalam
melakukan kebijakan anggaran menyebabkan kemunduran dan kehancuran
negara, baik karena menyebabkan negara menjadi lemah, juga karena
terjadinya pertikaian intern.1
Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan
pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah
syar’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah
memberikan kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadis

1
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 187

3
dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antara kaidah tersebut
adalah:2
1. Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah
maslahah.
2. Menghindari masyaqqoh kesulitan dan mudarat harus didahulukan
ketimbang melakukan pembenahan.
3. Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam
skala umum.
4. Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat
dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala
umum.
5. Kaidah “al-giurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin untung
harus siap menanggung kerugian).
6. Kaidah “mā lā yatimmu al-wājibu illā bihi fahuwa wājib” yaitu kaidah yang
menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang
oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan
faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas
dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan
dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan
dalam pemerintahan Islam, yaitu:3
1. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
3. Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan
efektif.
4. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan
intervensi pasar.

2
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007), h. 223
3
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, h. 224

4
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi Islam dapat
dibagi menjadi tiga bagian:4
1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya
tersedia.
3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh
masyarakat berikut sistem pendanaannya.
Adapun kaidah syar’iyyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan
operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang
telah disebutkan di atas, secara rinci pembelanjaan negara harus didasarkan
pada:5
1. Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak
boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan
sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah
ini membawa suatu pemerintahan jauh dari sifat mubazir dan kikir di
samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan
syariah.
3. Tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun
dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup
berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti kasus “al-hima”.
4. Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara
hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
5. Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib,
sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber
dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan,
pendidikan, dan sejenisnya. Adapun kaidahnya adalah adanya pemasukan yang

4
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, h. 224
5
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, h. 224

5
sesuai dengan syariah untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor
investasi pemerintah atau jizyah atau wasiat atau harta warisan yang tidak ada
pemiliknya.6
Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang
disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan
seperti ini biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi tidak langsung
seperti pemberian bantuan secara cuma-cuma atau subsidi tidak langsung
melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri
sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqara dalam hal
kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi
konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai
tujuannya. Konsep tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu
sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau
subsidi dalam bentuk bantuan langsung.7

B. Kebijakan Pengeluaran Negara


Menurut Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran
adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintah atau negara merupakan
milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat
sesuai dengan pedoman Allah SWT. Ia sangat tegas menolak pembelanjaan yang
bertentangan dengan syariah. Saat membelanjakan uang masyarakat, maka harus
diprioritaskan kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan
utama antara lain:8
1. Kaum miskin dan yang membutuhkan.
2. Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
3. Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
4. Pensiun dan gaji pegawai.
5. Pendidikan.

6
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, h. 190
7
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, h. 190
8
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, h. 190

6
6. Infrastruktur.
7. Kesejahteraan umum.
Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak
serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada pengaturan dan
penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaan
dari ganīmah peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-Qur’an,
sedangkan fai pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran
publik lainnya. Adapun untuk ganīmah ditentukan 4/5 bagian untuk yang pergi
berperang, sedangkan 1/5 bagian untuk Allah dan Rasul-Nya dalam hal ini
adalah negara untuk dibelanjakan bagi kebutuhan umat.
Pengeluaran dana fai menurut Ibnu Taimiyah di antaranya untuk dua
tujuan: Pertama, melindungi kehidupan masyarakat dari serangan baik dari
dalam maupun dari luar. Kedua, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Jika ganīmah tidak cukup untuk membiayai kebutuhan orang miskin dapat
dibiayai dari fai. Adapun biaya pengeluaran lainnya menurut Ibnu Taimiyah
meliputi:
1. Biaya pejabat pemerintah dibiayai oleh fai.
2. Menggaji qadi (hakim) sebagai petugas yang menjaga keadilan.
3. Fasilitas pendidikan dan tenaga guru untuk menciptakan masyarakat
yang baik dan terdidik.
4. Fasilitas publik, infrastruktur, dan kebutuhan yang tidak dapat
disediakan secara individu harus disediakan oleh negara seperti
jembatan, bendungan, dan lain-lain yang harus dibiayai oleh fai.
Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis pendapatan dimasukkan ke
dalam bait al-māl, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk
kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Islam lebih terfokus pada
kesejahteraan masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam
pengelolaan agama Islam, pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan
syariah daripada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan.

C. Sekilas Kebijakan Pengeluaran Non Zakat Kontemporer

7
Di masa Rasulullah SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak
serumit sistem anggaran modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya
keadaan sosioekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara
Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Negara yang
menganut demokrasi, biasanya membuat anggaran belanja negara secara umum,
tiap tahun, fakta anggaran belanja negara yang menganut demokrasi tersebut
adalah bahwa anggaran belanja negara dinyatakan melalui peraturan yang
disebut dengan peraturan anggaran belanja negara sekian tahunan. Kemudian
ditetapkan sebagai peraturan setelah dibahas dengan parlemen. Anggaran
modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus
dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang
terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus
menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal
penanganan defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan
pengeluaran yang mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk
mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil
kredit dari sistem perbankan atau dari luar negeri.9
Telah kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan
sedekah merupakan sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern,
penerimaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan
pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan
pajak baru, terutama pada orang yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan
dan keadilan sosial. Setiap warga negara harus menyumbang untuk keuangan
negara sesuai dengan kemampuannya dari hasil pendapatannya. Menurut prinsip
ekonomi, biaya pungutan pajak tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan
pajak itu sendiri. Terangkum dengan jelas bahwa sistem perekonomian yang
mengenai anggaran belanja, menjadi suatu perbedaan yang mendasar mengenai
sistem anggaran belanja Islam dengan modern. Islam menitikberatkan pada
masalah pelayanan terhadap urusan umat, yang telah diserahkan oleh syara’ dan
ditetapkan sesuai dengan apa yang telah menjadi pandangan agama Islam.

9
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya Dengan Ekonomi
Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003), h. 194.

8
Berbeda dengan anggaran belanja modern lebih menekankan pada suatu
campuran rumit antara rencana dan proyek.
Kitab suci Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat
firman tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan negara
secara cermat. Sesungguhnya, bila kita memerhatikan jiwa administrasi
keuangan Nabi SAW, tidak ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa
hukum Islam mengenai keuangan negara sangat elastis sehingga dapat diperluas
untuk memenuhi persyaratan zaman modern. Dalam suatu negara Islam, yang
menjadi dasar anggaran tidak lagi penerimaan yang akan menentukan jumlah
yang tersedia bagi pengeluaran. Dalam negara Islam pengeluaran yang sangat
dibutuhkanlah yang akan menjadi dasar dari anggaran. Di tahun belakangan ini,
sejumlah bentuk baru anggaran telah berkembang, yang terpenting ialah
anggaran berdasarkan program dan anggaran berdasarkan prestasi. Di negara
Islam pada umumnya anggaran belanja berdasarkan program dan berdasarkan
prestasi hanya dapat dilaksanakan bila terdapat prasarana administratif yang kuat
dengan staf akuntan terdidik, ahli ekonomi, perencana, dan tenaga ahli lainnya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kaidah Belanja Negera Islami diantaranya kebijakan atau belanja pemerintah
harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah, menghindari masyaqqoh
kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan
pembenahan, mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari
mudarat dalam skala umum, pengorbanan individu dapat dilakukan dan
kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan
pengorbanan dalam skala umum, kaidah “al-giurmu bil gunmi” yaitu kaidah
yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung
beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian) dan kaidah “mā
lā yatimmu al-wājibu illā bihi fahuwa wājib” yaitu kaidah yang menyatakan
bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh faktor
penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor
penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
2. Kebijakan Pengeluaran Negara antara lain kaum miskin dan yang
membutuhkan, pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan,
pemeliharaan ketertiban dan hukum internal, pensiun dan gaji pegawai,
pendidikan, infrastruktur dan kesejahteraan umum.
3. Di negara Islam pada umumnya anggaran belanja berdasarkan program dan
berdasarkan prestasi hanya dapat dilaksanakan bila terdapat prasarana
administratif yang kuat dengan staf akuntan terdidik, ahli ekonomi,
perencana, dan tenaga ahli lainnya.

B. Saran

10
Sebagai penyusun makalah, kami menyadari bahwa apa yang telah kami
susun masih jauh dari kata sempurna. Masih terdapat banyak kekurangan di
sana-sini. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik konstruktif dan saran dari
rekan sekalian untuk hasil yang lebih baik lagi ke depannya. Semoga makalah
sederhana ini bermanfaat bagi semua.

DAFTAR PUSTAKA

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya dengan


Ekonomi Kekinian, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003.

Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:


Kencana, 2007.

Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah,


Jakarta: Kencana, 2012.

11

Anda mungkin juga menyukai