Anda di halaman 1dari 12

EKONOMI MIKRO ISLAM

(MAQASHID SYARIAH DALAM EKONOMI MIKRO ISLAM)

Dosen Pengampu:

Dr. Fadhilah Izhari, M.M

Disusun oleh:

Kelompok 2

Wina Putri Syabrina 2018570029

Adella Saskia Fauziah 2018570030

Intan Sulistiyowati 2018570061

MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
A. PENDAHULUAN
Dienul Islam adalah cara hidup yang paling sempurna yang
membawa rahmatan lil’alamin. Allah Maha Bijaksana (Al-Hakim) yang
tidak menciptakan makhluk hidup dengan main-main atau penuh dengan
kebathilan. Dia tidak pernah membuat hukum dengan sia-sia. Segala
perintah dan larangan tentunya kemaslahatan manusia agar jauh dari
kesesatan dan kerusakan.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dasar dan asas syariat adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Seluruh
hukum mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah. Jika
keluar dari keempat itu tidak dapat disebut dengan syariat. Ekonomi dalam
Islam menurut M. Hafidz (2007) dimulai dari pelacakan kata ekonomi (al
iqtishad), dalam literatur arab disebutkan al qashd (ekonomis) berarti
kelurusan cara dan al-qashd (ekonomis). Selain itu, bermakna adil dan
keseimbangan. Kata al-iqtishad jika digandengkan dengan kata al-ilm
menjadi ‘ilm al-iqtishad artinya ilmu yang berkaitan dengan ekonomi.
Sacara terminologi, menurut catatan Abdul Husein at-Tariqi.
Pertama, Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi Islam
adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan fondasi ekonomi yang dibangun atas dasar-
dasar pokok dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.
Kedua, Muhammad Syauki Al Fanjarim, segala sesuatu yang
mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok-
pokok Islam dan pokok ekonominya. Ketiga, At-Tariqi, ilmu tentang
syariah aplikatif yang diambil dari dalil-dalil terperinci tentang persoalan
yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara
mengembangkan harta.
Secara terminologis, Maqashid Al-Syari’ artinya “suatu kandungan
nilai yang menjadi tujuan pemberlakuan suatu hukum.” Dengan demikian,
Maqashid Al Syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari
penetapan suatu hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada makhluk

1
mukallaf. Hal ini merunjuk kepada ungkapan Imam Syathibi “hukum-
hukum disyaratkan demi kemaslahatan para hamba.”
Penetapan hukum Allah SWT. dibagi menjadi dua katagori dengan
mengandung misi bagi kemaslahatan manusia, yaitu pertama, perintah
Allah SWT. yang bersifat jelas (qath’i). Kedua, perintah Allah SWT. di
dalam Al-Qur’an yang masih samar (zhanni) dan bersifat umum (mujmal).
Kemaslahatan manusia diwujudkan dengan memelihara lima kebutuhan
pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Konsep maqashid syariah yang diterapkan pada ekonomi, keuangan,
dan perbankan syariah seperti maqashid syariah dari anuitas, hedging,
pembiayaan indent, trade financee, dan akad-akad hybrid, kartu kredit
syariah, gharar qalil, bagi hasil (revenue sharing, net revenue sharing, dan
profit and lose sharing sharing), profit Equalization Reserve (PER), dan
lain-lain.

B. PENGERTIAN MAQASHID SYARIAH


Maqashid bentuk jamak dari maqshad dengan arti jalan yang lurus
atau keadilan. Asy-Syariah yang berasal dari suku kata Qashada artinya
menghendaki atau memasukkan. Maqashid secara bahasa diartikan sebagai
jalan atau sumber air yang juga diartikan jalan menuju sumber kehidupan.
Sedangkan Al-Maqashid Asy-Syari’ah sebagai sebuah ilmu yang
mempunyai definisi bermacam-macam. Bahkan Imam Asy-Syathibi yang
dianggap sebagai bapak maqashid tidak memberikan batasan definisi yang
jelas. Dalam firman Allah SWT. dalam surah Al-Jatsiyah (45):18 berikut
ini.

‫ث ُ َّم َج َع ۡل َٰنَ َك َعلَ َٰى ش َِريعَ ٖة ِمنَ ۡٱۡلَمۡ ِر فَٱت َّ ِبعۡ َها َو ََل تَتَّبِعۡ أ َ ۡه َوآ َء ٱلَّذِينَ ََل‬
١٨ َ‫َيعۡ َل ُمون‬
18. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

2
Maqashid Syariah adalah makna dan tujuan yang dapat dipahami
dalam semua hukum syariah. Maqashid dengan asrar al-hukm (rahasia
hukum) yang biasanya disebut hikmatu tasyri’ maqashid ini sebagian dari
hikmah dan rahasia hukum. Menurut Wahbah al-Zuhaily, setiap hukum itu
tidak lepas dari tiga perkara, yakni ilat hukum, hikmah, dan maqashid
tasyri’ atau syariah. Illat adalah washfun zhahir mundhabith (suatu sifat
yang jelas terukur atau tetap) yang sesuai dengan hukum atau sesuai dengan
penyebab adanya hukum. Hikmah adalah manfaat atau mudharat suatu
perbuatan yang juga diungkapkan dengan mashalih dan masafid. Maqashid
Asy-Syariah dapat disimpulkan sebagai ilmu yang ditujukan untuk
mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi manusia berdasarkan
pada atauran-aturan tertentu sehingga dengannnya seseorang akan menjadi
hamba Allah baik secara sadar (ikhtiyaran) maupun terpaksa (idhtirara).
Akhirnya dapat dipahami bahwa hukum syariah dimaksudkan untuk
menjaga kemaslahatan dan menolak kemudharatan serta membersihkan
dunia dari kejahatan dan dosa. Di sini Wahbah az-Zuhaily merumuskan
beberapa syarat untuk dianggap sebagai Maqashid Syariah. Syarat-syarat
itu diantara lain:
1. Tsabit (pasti), artinya realisasi yang pasti atau minimal dugaan
yang mendekati pasti.
2. Zhuhur (jelas), artinya jelas sehingga dapat dipahami semua
fuqaha’ tanpa perbedaan pendapat seperti menjaga nasab yang
disyariatkan dalam pernikahan.
3. Indhibath (terukur), artinya makna tersebut terukur, jelas
batasannya sehingga tidak berlebih dan tidak kurang. Misalnya,
menjaga akal sebagai tujuan dari diharamkannya khamar.
4. Ithrad (universal), artinya berlaku untuk setiap orang dan
sepanjang zaman.

3
C. AL-MAQASHID ASY-SYARIAH SEBAGAI USHUL EKONOMI
MIKRO ISLAM
Tujuan diturunkannya syariah adalah mencapai kemaslahatan dan
menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda, yakni
dunia dan akhirat. Yang berarti semua aspek dalam islam mengarah pada
tercapainya tujuan tersebut, tidak terkecuali aspek ekonomi. Dengan
demikian ekonomi islam harus mampu menjadi panacea dan solusi
terhadap masalah ekonomi kekinian. Konsekuensi logisnya adalah
menyusun sebuah bangunan ekonomi Islam dari teori Maqashid.
Menghidupkan kembali ekonomi islam adalah jalan ijtihadi artinya
dituntut untuk kerja keras (ijtihad) dari para ekonom Islam untuk mencari
nilai-nilai yang terkakndung dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang terkait
dengan Ekonomi. Nilai ideal tersebut diderivasi menjadi teori-teori
ekonomi yang dapat dijadikann rumusan/kaidah praktis. Kaidah ekonomi
Isslam tidak dapat dippisahkan dari nilai etik. Variabel etika yang dikaitkan
dengan maslahah sebagai keyword tampaknya memang sangat penting
dalam proses ijtihad di ranah ekonomi Islam.
Maslahah sebagai metodde ushul al fiqh dengan rekonstruksi perlu
dinaikkan derajaat dan posisinya menjadi metodesentral ushul al fiqh (al-
manhaj al-Asasiyyah li ushul al-fiqh). Selain itu, fiqh yang lepas dari
variabel etika akan menjadi rigid, kaku, dan legal/formal.
Yang dimaksud dengan ‘Fiqh’ lebih mengarah pada arti pemahaman
pada nilai-nilai yang terkandung dalam aturan syar’i. Fiqh al-Maqashid al-
Syari’ah, yaitu sebuah fiqihyang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya
sebuah hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimanma
memahami nash-nash syar’i yang juz’i dalam konteks maqashid al-Syari’ah
dan mengikatkan sebuah hukum dnegan tujuan utama ditetapkannya hukum
tertsebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia di dunia dan
akhirat.
Yusuf Al-Qardhawi melihat kenyataan tidak efektifnya fiqih ini
ditandai dengan sistematisasi yang dimulai dengan pembahasan mengenai

4
ibadah.Karakteristi seperti ini sudah memandulkan cara pandang fikih
tetrhadap masalah sosial, politik, dan Ekonomi Islam yang dalam banyak
hal terkait reinkarnasi dari fikih muamalat sudah sepatutnya
mengembaalikan kelenturan dan elastisitas fikih dengan menjadikan
maqashid syariah sebagai the ultimate goal dalam proses tersebut.
Pemakaian fiqh Maqashid untuk mengoperasionalisasikan nilai-
nilai kemanusiaan universal seperti kemaslahatan, keadilan, dna kesetaraan
dalam ekonomi islam menjadi keniscayaan. Ekonomi Islam dibangun tanpa
menafikan realitas yang ada, namun tetap dalam bi8ngkai Maqashid
Syariah karena Maqashid Syariah selalu berupaya untuk mengekpresikan
penekanan terhadap hubungan antara kandungan kehendak (hukum) Allah
dengan aspirasi yang manusiawi. Inti permasalahan dari teori Maqashid
menempati posisi yang sangat sentral dan vital dalam merumuskan
metodologi pengembangan ekonomi islam. Bahkan Syatibi menyatakan
Maqashid Syariah menjadi ushul-ushul yang berarti menyusun ushul fiqh
sebagai sebuah metodologi yang tidak lepas dari Maqashid Syariah. Teori
Maqashid dapat mengantarkan para mujtahid untuk menentukan standar
kemaslahatan yang sesuai syariah/hukum. Menurut At-Tufi dalam wilayah
muamalat, rasionalisasi kemaslahatan dapat diterapkan.

D. URGENSI MAQASHID SYARIAH


Mempelajari maqashid syariah dapat memberikan manfaat yang
besar bagi seorang muslim terutama guru, orang tua, ulama, dan da’i yang
menyeru kepada Allah. Hal ini sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi kepada
manusia sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Anbiya (21:107)
berikut ini:
١٠٧ َ‫س ْلنَكَ ِإ ََّل َرحْ َمةً ِل ْل َع َل ِمين‬
َ ‫َو َمآأَ ْر‬
Dan tidaklah Kami menutus kamu Muhammad, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Adapun masalah tersebut memiliki makna sebagai berikut:

5
1. Mengungkapkan tujuan, alasan, hikmah tasyri’ baik yang umum
maupun khusus di segala bidang kehidupan dan dalam setiap
ajaran Islam.
2. Mengokohkan kemampuan seorang faqih (ahli fikih) dalam
melakukan istinbath dalam bimbingan cahaya maqashid yang
akan membantunya dalam memahami, menentukan, dan
mempraktikkan hukum.
3. Memperkaya kajian ushul fiqih yang berkaitan dengan maqashid
seperti pembahasan tentang mashlahat, qiyas, ‘urf (kebiasaan
masyarakat), kaidah-kaidah ushul, dan kajian tentang dzari’ah
(perbuatan/keadaan yang besar peluangnya untuk menyebabkan
timbulnya perbuatan/keadaan lain),dan sebagainya.
4. Mengurangi perbedaan/perselisihan fikih dan ashabiyah
madzhabiyah (fanatisme madzhab) dengan berpegang kepada
ilmu maqashid dalam proses penetapan hukum dan konsolidasi
berbagai pendapat yang berbeda dalam upaya mencegah
kontradiksi antara hal tersebut.
5. Menyelaraskan sikap untuk mengambil makna lahiriah dari teks
dalil dengan sikap memperhatikan spirit dan makna tersirat
tanpa mengurangi esensi keduanya agar semakin tampak bahwa
syariat Islam berada di dalam sistem yang sempurna tanpa
perselisihan dan kontradiksi.
6. Membantu mukallaf (hamba Allah yang sudah baligh dan
berakal sehat) dalam melaksanak kewajiban dengan pelaksanaan
yang lebih baik dan sempurna.
7. Membantu khatib, juru dakwah, guru hakim, mufti, para mursyid
(pengarah), dan lainnya untuk berijtihad dalam bingkai syariat
atau dalam menunaikan tugas dan kerja sesuai tujuan syariat.
8. Al-Maqashid Asy-Syari’ah dapat membantu untuk mengetahui
hukum-hukum yang bersifat umum (kulliyah) dan parsial
(juz’iyyah).

6
9. memahami nash-nash syar’i secara benar dalam tataran praktik.
10. Membatasi makna lafadzyang di maksud (madlul al-alfadz)
secara benar.
11. Ketika ada masalah baru yang tidak terdapat pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, para mujtahid merujuk pada Al-Maqashid Asy-
Syariah dalam istinbath hukum setelah mengombinasikan
dengan Qiyas, ijtihad, istishan, istislah, dll
12. Al-Maqashid Asy-Syariah membantu mujtahid untuk menarjih
sebuah hukum yang terkait perbuatan manusia, sehinga
menghasilkan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
13. Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan setiap
Zaman,abadi, realistik, dan menarik.
14. Memadukan secara seimbang prinsip mengambil zhahir nash
dengan prinsip memrhatikan ruh dan substansi nash.

Dalam syariat di kenal dengan istilah Adh-Dharuriyat Al Khamsah


yang artinya lima hal penting,yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kelima hal tersebut mengandung nilai mashlahah yang senantiasa akan
dijaga oelh syariat meskipun dnegan jalan yang berbeda-beda. Syariat
meletakkan dua sendi dasar, yaitu mewujudkan hukum dan menjaga
kesinambungan hukum tersebut.

E. IJTIHAD DALAM EKONOMI ISLAM


Ijtihad dikaitkan dalam wilayah hukum adalah proses untuk
menemukan hukum suatu masalah tertentu dari dalil-dalil yang ada.Namun
demikian, tentulah ijtihad bukan hak milik dalam wilayah hukum semata
karena ekonomi islam patut dikembangkan melalui proses ijtihad. Ttrkait
posisi teori Maqashid sebagai pokok pangkal dari proses berijtihad, Syahtibi
memperkenalkan dua langkah dalam proses ijtihad , yaitu ijtihad istinbathi
dan ijtihad tathbiqi. Pembagian yang dilakukan oleh Syahtibi dapat
memudahkan untuk memahami mekanisme ijtihad.

7
Dalam ijtihad istinbathi, seorang ekonom muslim memfokuskan
perhatian pada upaya penggalian ide yang dikandung dalam teks (al-Qur’an
dan sunah)yang masih abstrak. Setelahnya menerapkan ide-ide abstrak
tersebut pada permasalahan di lapangan yang disebut ijtihad tathbiqi atau
“ijtihad penerapan”. Jadi ijtihad tathbiqi adalah teks, sedangkan objek
kajian tathbiqi adalah manusia dengan dinamika perubahan dan
perkembangan yang dialaminya sehingga masuk akalnjika Syahtibi
menyebut ijtihad tathbiqi sebagai ijtihat yang tidak akan berhenti sampai
akhir zaman.
Pembicaraan epistemologi ekonomi Islam mensyaratkan
penggunaan metode deduksi induksi. ijtihad tathbiqi yang banyak
menggunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih
operasional sebab didasarkan pada kenyataan empiris.
Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa al-kuliyyah al-khamsah memang
penting namun secara subtansial sudah tidak memadai untuk mengawal
perkembangan dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu ‘Asyur
menawarkan paradigma baru seperti fitrah, kebebasan (huriyyah), toleran
(samanah), egalitarianisme, dan HAM. Tawaran yang sangat menghentak
dan kontradiktif dengan arus mainstrean adalah apa yang digagas oleh At-
Tufi tentang teori Maslahat. At-Tufi membangun pemikirannya tentang
Maslahat tersebut berdasarkan empat prinsip, yaitu:
1. Akal mempunyai kebebasan untuk menentukan maslahat dan
kemafsadatan, khususnya dalam lapangan muamalah dan adat.
2. Sebagai kelanjutan dari poin pertama At-Tufi berpendapat
bahwa maslahat adalah dalil syar’i mandiri yang kehujjahannya
tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung
padaakal semata.
3. Maslahat hanya berlaku dalam muamalah dan adat kebiasaan.
4. Maslahat adalah dalil syara’ paling kuat sehingg At-Tufi juga
menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan
maslahat, maka maslahat harus didahulukan dengan cara

8
pengkhususan (takhis) dan perincian (bayan) nas tersebut.
Ekonomi Islam bersifat elastis, lentur, dan dinamis sehinga dapat
menjawab setiap persoalan ekonomi umat.Namun demikian,
elastisitas ini tidak bisa diiringi dengan pola pikir liberal karena
dapat mencabut ekonomi islam dari akar-akarnya, Maqashid
Syariah yang ditawarkan oleh kalangan cendikiawan muslim
adalah sebuah proses berkesinambungan untuk mencari dan
menemukan kehendak Allah Swt.

F. IMPLIKASI MAQASHID TERHADAP TEORI PERILAKU EKONOMI


1. Mashlahah Ekonomi
Dalam syariah islam, alasan seseorang berproduksi dan harus
terlibat dalam kegiatan ekonomi adalah untuk menjaga kemashlahatan.
Segala tindakan ekonomi yang mengandung mashlahah bagi manusia
disebut dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi
kebutuhan (meeting/fulfilling needs) yang bukan memuaskan keinginan
(satisfying wants) adalah tujuan dari aktivitas ekonomi sekaligus menjadi
kewajiban agama. Fulfilling needs adalah kewajiban agama sehingga
ekonomi islam juga menjadi sebuah kekuatan pemaksa bagi masyarakat
yang tidak mempunyai keinginan untuk melakukan pembangunan ekonomi.
Jadi, hal yang menjadi masalah dalam ekonomi adalah cara individu
memenuhi kebutuhannya (fulfilling needs) karena terkadang pada kondisi,
waktu, dan lokasi tertntu dimana sumber daya yang tersedia menjadi
terbatas.
2. Wants versus needs
Ekonomi islam tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala
keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan bukanlah spirit dalam
perilaku ekonomi islam karena hal tersebut tercipta akibat peradaban
materialistic. Sebagai gantinya, ekonomi islam memerintahkan individu
untuk memenuhi kebutuhannya sebagaimana yang dikehendaki oleh
syariah. Needs memang muncul dari keinginan naluriah, namun dalam

9
framework islam tidak semua keinginan naluriah itu bisa menjadi
kebutuhan. Hanya keinginan yang mengandung mashlahah yang dapat
dikategorikan sebagai needs.
3. Mashlahah versus Utility
Dalam ekonomi konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya
untuk menguasai/memiliki barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan
manusia, sedangkan dalam ekonomi islam hanya barang/jasa yang dapat
mengembangkan dan menopang mashlahah yang dapat dikategorikan
sebagai barang/jasa yang mengandung mashlahah sehingga dari sisi
pandang agama, seorang muslim didorong untuk memperoleh atau
memproduksi barang/jasa yang mengandung kemashlahatan. Ada tiga
alasan tentang mashlahah lebih superior daripada utilitas, yaitu:
a) Mashlahah memang bersifat subjektif karena setiap individu
dapat menentukan sesuatu yang baik/mashlahah bagi diri
mereka sendiri.
b) Konflik kepentingan antara individu dan sosial dapat dihindari
atau setidaknya diminimalisasi.
c) Konsep mashlahah berlaku pada semua aktivitas ekonomi pada
masyarakat baik dalam proses produksi maupun konsumsi.
4. Institutional Framework
Dalam ekonomi kapitalisme, mekanisme pasar bebas adalah
institusi bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan. System ekonomi
kapitalis juga mempunyai institusi sendiri untuk memenuhi kebutuhan
individu yang tidak mampu untuk memenuhi keinginannya. Institusi
tersebut tentunya dibutuhkan untuk membimbing perilaku konsemen dalam
ekonomi islam. Berkaitan dengan hal diatas, ada tiga unsure yang penting
untuk membangun institusi tersebut yaitu:
a) Tidak adanya perilaku pemborosan (israf)
b) Konsistensi dalam pemenuhan kebutuhan sesuai dengan hiearki
dharurriyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.

10
c) Tidak adanya penyimpangan besar-besaran terhadap prinsip-
prinsip islam.
5. Mashlahah dalam Proses Produksi
Islam tidak menolak pertimbangan untuk memproduksi barang/asa
yang harus memperhatikan for whom to produce sehingga menentukan
what to product. Sehingga proses produksi akan terkait dengan beberapa
factor, yaitu:
a) Produsen dalam islam tidak hanya mengejar profitability, namun
juga menjadikan mashlahah sebagai barometernya sehingga ia
tidak akan memproduksi barang/jasa yang tidak searah dengan
Maqashid Syariah, menyalahi al-kulliyah al-khamsah, dan tidak
meningkatkan kemashlhatan baik dalam level individu atau
sosial.
b) Jenis dan jumlah supply relative lebih banyak daripada demand.
Jika diasumsikan bahwa semua demand disuatu pasar
berdasarkan pada mashlahah yang berakar pada needs maka
supply dari produsen akan mengikuti demand tersebut.
Walaupun masih ada demand yang tidak sesuai kemashlahatan,
produsen dalam ekonomi islam sepatutnya tidak menyediakan
permintaan tersebut karena profit semata.

11

Anda mungkin juga menyukai