Anda di halaman 1dari 7

A.

PENDAHULUAN

Keadilan sosial dan ekonomi adalah salah satu karakteristik yang paling
menonjol dari sebuah masyarakat muslim ideal, dituntut menjadi sebuah cara
hidup dan bukan suatu fenomena terpisah. Ia harus menjangkau semua wilayah
interaksi kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan politik. Ketidakadilan yang terjadi di
suatu wilayah akan berkembang pada wilayah yang lain. Sebuah institusi yang
salah pasti akan gagal memberi warna kepada institusi yang lain. Bahkan, dalam
dunia bisnis dan ekonomi sekalipun, semua nilai harus menyatu dengan keadilan
sehingga dalam keseluruhan totalisasinya akan mendorong, bukannya
memadamkan, keadilan sosioekonomi (M fajar : 2008,01).

Salah satu ajaran Islam yang penting untuk menegakkan keadilan dan
menghapuskan eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah dengan melarang semua
bentuk peningkatan kekayaan “Secara tidak adil”. Al-Qur’an dengan tegas
melarang kaum muslimin mengambil harta orang lain dengan cara yang batil (bil-
baṭil) atau dengan cara yang tidak benar (Q.S Al-Baqarah:188 dan An-Nisa : 29).

Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberikan prinsip-prinsip yang dapat


diketahui atau dideduksi oleh kaum muslimin mengenai cara-cara memperoleh
kekayaan dan penghasilan “yang salah” atau “yang benar” dan “yang
diperbolehkan” atau “yang tidak diperbolehkan”. Salah satu sumber penting
peningkatan kekayaan yang tidak diperbolehkan adalah menerima keuntungan
moneter dalam sebuah transaksi bisnis tanpa memberikan suatu imbalan setimpal
yang adil. Dalam hal ini “riba” mewakili sistem nilai Islam, suatu sumber utama
keuntungan yang tidak diperbolehkan itu.

Dalam hal mu’amalah, Islam menawarkan panduan yang jelas dalam setiap
transaksi. Semua ketentuan yang ada mempunyai tujuan , untuk menghasilkan
transaksi yang halal dan tayyib. Islam juga telah menggariskan jenis-jenis
transaksi yang dilarang, seperti; membuat dan menjual barang-barang yang najis,
misalnya; bangkai, babi, anjing, arak, kencing, dan lain-lain. Barang-barang
tersebut di atas adalah haram li atihi, karena Rasulullah SAW, bersabda ;
”Sesungguhnya Allah SWT. Jika mengharamkan suatu barang maka harganya
pun haram juga” (HR. Akhmad dan Abu Daud). Barang-barang yang tidak
bermanfaat dalam Islam (membawa kepada mafsadat dan maksiat) atau yang
mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan seseorang individu itu lupa untuk
beribadah kepada Allah juga tidak dibenarkan. Transaksi yang mengandung
unsur riba, gharar, perjudian bacy’ ma’dumc, melakukan penipuan dalam
transaksi, membeli di atas belian orang lain, melakukan penimbuhan (ihtikar) dan
lain-lain (Humaisy dan Husein : 2001).

Alasan dan landasan normatif yang digunakan ahli fiqh, dalam hal ini
merupakan dasar yang telah ada sejak awal Islam muncul ke permukaan (yaitu
pada zaman Rasulullah hidup), sehingga setiap dalil memiliki konteks dengan
masyarakat yang hidup di sekitar Nabi pada saat itu. Hal inilah yang sering
menjadi bahan perdebatan para ahli yang hidup saat ini. Idealnya, sesuatu yang
sesuai dengan konsep pada saat itu tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada realita
(yang sering bergantung pada kebutuhan) masyarakat yang hidup saat ini. Dan,
termasuk didalamnya yakni permasalahan mu’amalah.

Salah satu yang diharamkan Islam secara normatif dalam bertransaksi


adalah praktek riba. Ayat yang didukung hadist Nabi telah jelas
mengharamkannya. Persoalannya sekarang adalah, apakah kemudian jika dalil
yang menjadi dasar pengharamannya saat ini dapat menggugurkan hukum
asalnya?(M fajar : 2008,01).

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Riba dan Landasannya

Menurut bahasa ”Riba” berarti ”Ziyadah” (tambahan). Sedang menurut


pengertian Syara’, adalah tambahan atau kelebihan tanpa imbalan jasa atau barang
yang diharuskan bagi salah satu dari dua orang yang mengadakan akad (Tarjih
Muhammadiyah : 1989).
Selanjutnya dalam analisis, disebutkan bahwa unsur-unsur riba itu ialah:

a. Dilakukan antar perorangan yang menentukan syarat keuntungan secara


sepihak.
b. Bersifat penghisapan yang menimbulkan kesengsaraan baik bagi
perorangan maupun masyarakat.

Selain itu riba merupakan pendapatan yang diperoleh yang mana sistemnya
tidak adil. Bukan hal yang asing saat ini dengan yang namanya riba. Riba sudah
ada pada zaman jahiliyyah hingga sekarang ini. Realitas nya saat ini kita
dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai
negara ini sulit sekali diberantas dan mendasar bagi struktur ekonomi dan
masyarakat yang beberapa di antaranya menganggap sebagai hal biasa dan
dibutuhkan untuk menjadi solusi.

Cobalah kita pikirkan sejenak untuk merenungkan seperti tagihan bulanan


atau yang semacamnya dalam hal kehidupan sehari-hari. Dimana hari ini banyak
umat muslim membayarkan bunga untuk sewa rumah, sewa mobil, dan kartu
kredit dengan cara yang berbenturan dengan syariat islam.

Dalam konteks lembaga perbankan pada saat ini, dimana kredit menjadi
solusi masyarakat dengan kemudahan yang didapatkan. Ditambah lagi contoh nya
saat ini adanya kartu kredit. Penggunaan kartu kredit yang seharusnya digunakan
untuk mempermudah biaya hidup malah terjadi sebaliknya. Malah membuat
pelanggan atau pemakai kartu berhutang ini dikarenakan dapat mengenakan bunga
yang berlebih atau bahkan hingga tidak dapat dikendalikan pada para nasabahnya.
Tetapi nyatanya dalam banyak kasus, hal itu membuat jumlah utang Anda tidak
diketahui dan berubah-ubah bergantung pada beberapa keadaan.

Padahal dalam islam, islam mengharamkan riba dan di dalam Al-Qur’an


pun di sebutkan dan dijelaskan berkali kali. Salah satunya dipertegas dalam Al-
Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Dalam problematika sekarang dimana hampir setip muamlah yang


dilakukan oleh kebanyakan manusia banyak yang mendekatkan pada kebatilan,
baik itu dalam muamalah maupun konteks lainnya, yang dimana beberapa faktor
yang membuat hal tersebut terjadi yakni:

a) Kurangnya ilmu pengetahuan dalam bidang agama

Dimana pada kehidupan pada saat ini ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari, terutama ilmu dalam bidang agama, dimana
Rasulullah saw juga sangat menekankan kepada kita untuk menuntuk ilmu yang
bermafaat agar tidak tersesat dalam kehidupan ini. Salah satu faktor inilah yang
mengakibatkan masih banyaknya praktik- praktik riba dalam kehidupan sehari-
hari.

b) Ketidak ingin tahuan seseorang dalam suatu hal

Pada dasarnya dimana hampir setiap kegiatan muamalah yang dilakukan


manusia tidak mau mengetahui dampak yang akan ditimbulkan dari perbuatan
yang dilakukannya tersebut, hal inilah yang selalu mendorong manusia dalam
berbuat kebatilan disamping godaan dari syetan yang terkutuk.

c) Kebiasaan yang sudah ada dari dulu

Dimana praktik riba ini merupakan praktik terlarangan yang telah ada sejak
zaman Rasulullah lagi yang masih banyak juga di praktekkan pada zaman modern
saat ini, dimana perbuatan terlarangan ini seperti sudah mendarah daging saja
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor ini jugalah yang sangat sulit untuk
menghilangkan praktik riba pada saat ini.

Dimana dalam hal ini pelu perhatian khusus dalam memberantas praktik-
prakrtik riba dalam kehidupan kita, secara tidak sadar kita akan jatuh dalam jurang
kehancuran apa bila masih mendekati hal tersebut. Dalam hal ini walaupun tidak
sepenuhnya kita terbebas dari hal-hal yang dilarang syariat, paling tidak kita mau
berusaha menghindara hal tersebut walaupun bebarapa faktor yang mendorong
dan mengharuskan kita dalam melakukannya

2. Cara Agar Meminimalisir Atau Menghindari Terjadinya Riba


dalam Muamalah

Dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas kita tahu hidup sekarang ini
yang serba riba mau tidak mau harus dihadapi tetapi kita dapat meinimalisir dan
menghindari riba. Berikut ini cara agar meminimalisir atau menghindari
terjadinya riba dalam kehidupan kita:

a) Bertakwa Kepada Allah dan Yakin bahwa Allah sudah menjanjikan rezeki.

Allah sangat memperbolehkan untuk berniaga atau jual beli tetapi Allah
sangat mengharamkan riba. Dan Allah sudah menjanjikan bahwa apabila kita
menghindari riba maka kita akan mendapat keberuntungan. Berprasangka baiklah
kepada Allah, jika kita berusaha Allah akan memberikan apa yang telah kita
usahakan.

b) Pilihlah investasi yang halal.

Masih banyak orang yang mungkin belum tertarik untuk melakukan


berinvestasi. Padahal investasi merupakan proses menabung yang dilakukan untuk
mencapai sebuah tujuan dan keiginan. Orang yang berinvestasi memiliki
pemikiran dengan berinvestasi akan mendapatkan uang yang jauh lebih banyak
dari pada jumlah yang ditabungkan.Tetapi juga perlunya kita mengetahui terlebih
dahulu investasi apa yang akan dipilih dan pilihlah investasi yang halal agar
kehidupan kita sealu damai.

c) Menghindari pinjaman yang menetapkan bunga

Dalam setiap kehidupan kita selalu di iringi dengan kekurangan, dengan


kekurangan kita harus bekerja keras dalam mendapatkan rezeki untuk kehidupan
kita. Dimana kadang kala kita diharuskan membutuhkan orang dalam
mendapatkan uang, dalam hal ini jangan sampai kita terjerumus dalam hal utang
piutang yang dikenakan dengan bunga seperti meminjam pada rentenir dan juga
lembaga keuangan yang menetapkan bunga dalam hal pengembaliannya.

d) Memilih Bank yang tepat

Pada saat ini juga sangat banyak lembaga keuangan syariah yang melakukan
sistem oprasinya secara sayariah berlandaskan Alquran dan Alhadis, yang dimana
lembaga tersebut telah berdiri banyak disekitar kita untuk membantu dalam hal
muamalah, seperti bank syariah , pegadaian syariah dan juga asuransi syariah,
yang mana dalm hal ini kita diharuskan tida berhubungan lagi dengan lembaga-
lembaga konvensional lainnya.

e) Menanamkan sifat untuk Qonaah.

Sifat qonaah merupakan sifat yang merasa cukup atau rela, dengan memiliki
sifat qonaah kita senantiasa bersyukur dengan apa yang dimiliki apa yang telah
diberikan Allah untuk kita. Dengan begitu kita tidak akan merasa kekurangan
terus menerus kemudian rasa ingin memiliki sesuatu bahkan mudah iri dengan apa
yang dimiliki orang lain sehingga melakukan utang.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan Pendapat

Dalam kehidupan sehari-hari dalam bermuamalah kita selalu dianjurkan


melakukan kegiatanyang berdasarkan ajaran rasulullah yang mana terhindar dari
hal-hal yang dibenci Allah SWT, salah satu contohnya ialah riba. Riba merupakan
perbuatan yang sangat di benci Allah dan sangat besar pula dosa yang
melakukannya, dimana praktik riba dalam kehidupan manusia masih banyak juga
yang praktikkan dalam kehidupannya. Dalam hal ini sangat sulit untuk menjauhi
praktik riba tersebut yang sudah menjadi jamur dalam kehidupan kita. Maka
dalam hal itu kita diharuskan untuk menjuhi dan meninggalkan perbuatan tersebut
secara perlahan dengan diiringi dengan ilmu agama dan juga selalu mendekatkan
diri kepada Allah SWT.

2. Daftar Pustaka

M. Fajar Hidayanto. (2008). Praktek Riba dan Kesenjangan Sosial. Vol. II,
No. 2, Desember 2008.

Abd al-Haq Humaisy dan Al-Husein syawat (2001). Fiqh Al ‘Uqud Al


Maliyyah. Amman (Jordan): Dar Al-Bayariq.

Keputusan Tarjih Muhammadiyah (1989), Malang.

Al-Quran Terjemahan (2015). Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus


Sunnah.
HR. Akhmad dan Abu Daud

Anda mungkin juga menyukai