A. Latar Belakang
Dalam kapitalisme yang menganut asas laisse faire, hak pemilikan seseorang adala
absolut, tanpa batas. Di dalamnya terjamin kebebasan memasuki segala macam
kegiatan ekonomi dan transaksi menurut persaingan bebas.1 Pandangan ini sangat
bertolak balakang dengan paham kapitalisme yang menganggap harta adalah milik
manusia itu sendiri, karena manusia yang mengusahakannya sendiri ynag berarti
bahwa manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan bebas pula
memanfaatkannya tanpa perlu melihat halal haramnya.
Sebaliknya dalam Marxisme, hak memiliki hanya untuk kaum proleter yang
diwakili oleh kepemimpinan diktaktor. Distribusi faktor-faktor produksi dan apa yang
harus diproduksi, ditetapkan oleh negara. Pendapatan kolektif dan distribusi yang
kolektif adalah ajaran yang utama, sedangkan hubungan-hubungan ekonomi dalam
transaksi secara perseorangan sangat terbatasi.2
Berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme, dalam ekonomi Islam pemilik hakiki
hanyalah Allah. Allah adalah pemilik mutlak (absolut), sedangkan manusia memegang
hak milik relatif.3 Artinya manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee
(pemegang amanat) yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah.
Walaupun kita sadar bahwa sesungguhnya hanyalah Allah yang menciptakan segala
seuatu yang ada di alam semesta, menciptakan segala apa yang ada di perut dan di atas
bumi, namun manusia tetap saja mengatakan, ini adalah tanahku, ini adalah hartaku
dan mereka tidak mengatakan:
...
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), h. 217.
Ibid.
Ibid.
1
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari
padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan; dan Kami
jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami
pancarkan padanya beberapa mata air; supaya mereka dapat
makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan
mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur? (QS. Yasin:
33-35)
Harusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya hanyalah Allah
yang menciptakan segalanya, semua prakarsa dan usaha yang
hakiki hanyalah milik Allah semata. Semua harta kekayaan yang ada
di bumi merupakan milik Allah, kepemilikan manusia atas harta
benda hanya kepemilikan ynag datang kemudian dan tidak bisa
menghapus kepemilikan Allah yang abadi, karena allah berfirman:
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi,
semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah
tanah.(QS. Thaha: 6)
Ahmad Syabi, Kamus An-Nur (Surabaya: Halim Publishiang and Distributing, 2015),
h. 61.
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wadji, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), h. 6.
Ibid.
Ibid. h. 32-33.
11
Ibid. h. 81.
6
Dihalalkan
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibubapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibubapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.
Al-Nisa: 11)
7. Nasionalisasi aset-aset
Nasionalisasi aset-aset adalah beralihnya kepemilikan aset-aset
yang tidak ada pemiliknya/tidak bertuan dan aset yang dimiliki
pewaris namun tidak ada ahli waris yang berhak menerimanya.
Kondisi aset-aset tersebut maka kepemilikan dan peruntukannya
diserahkan kepada lembaga Bait al-Maal.
Pada masa Rasulullah saw. suatu ketika beliau pernah
memberikan kepada Bilal sebuah tanah mati untuk diberdayakan.
Pada masa kekhalifahan Umar, tanah tersebut ditarik sebagian
untuk kepentingan umat. Umar berkata kepada Bilal,
Sesungguhnya Rasulullah saw. memberikan tanah tersebut
untuk diberdayakan dan tidak bermaksud untuk menghalangi hak
manusia lain di atasnya, untuk itu ambillah yang kamu perlukan
dan kembalikan sisanya demi kemashlahatan umat.
Dengan demikian, nasionalisasi merupakan pemindahan hak milik
individu menjadi hak milik negara, apabila negara melihat bahwa
terdapat kemashlahatan umum yang mengharuskan beralihnya
hak milik pribadi tersebut menjadi milik negara.
8. Pemberian negara
Setiap orang berhak untuk hidup dan memperoleh kehidupan
yang layak. Untuk menyambung kehidupan, setiap orang
diwajibkan bekerja sehingga memperoleh pendapatan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi tidak semua orang
dapat bekerja, atau mendapat pendapatan yang layak untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kondisi seperti ini, negara
memiliki kewajiban untuk menjamin kelangsungan hidup warga
negaranya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dan
melangsungkan kehidupan yang layak.
12
Allah berfirman,
F. Penutup
Bersandar dari penjelasan yang dituangkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa konsep ekonomi Islam mempunyai karakteristik
untuk mendialektikan nila-nilai materialisme dan spiritualisme.
Mendialogkan nilai-nilai samawi dengan realitas kehidupan manusia,
hubungan ynag bersifat transendental dengan hubungan horizontal
antarmanusia di atas bumi. Memberikan dedikasi dan pengrahan
kepada manusia untuk menciptakan sebuah komunitas kehidupan
masyarakat yang dibangun atas nlai saling tolong-menolong dan
kasih saynag antar individu, bukan hanya sekadar membentuk
sebuah masyarakat ynag hanya berorientasi materialisme.
Satu hal penting yang membedakan peraturan Allah dengan
peraturan lain yang merupakan refleksi kreasi akal manusia adlah
konsistensi tujuan syariah untuk senantiasa menjaga dan
mewujudkan kemashlahatan dan kesejahteraan masyarakat luas.
Memeberikan sebuah nilai universal yang bisa diyakini setiap
individu untuk bersama bahu-membahu merealisasikan tujuan mulia
tersebut. Aktif untuk ber-amar maruf atas segala perintah Allah dan
nahi munkari atas hal-hak yang dilarang oleh-Nya. Saling menopang
dan mengisi atas kelemahan ynag ada demi tegaknya kehidupan
masyarakat ynag harmonis.
13
Daftar Pustaka
Djamil, Fathurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep. Jakarta:
Sinar Grafika.
Lubis, Suhrawardi K. dan Farid Wadji. 2014. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Surakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama.
Sami Al-Mishri, Abdul. 2006. Muqawwimat al-Iqtishad al-Islami, diterjemahkan oleh
Dimyauddin Djuwaini dengan judul Pilar-pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mardani, 2011, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Departemen Agama Republik Indonesnia, Al-Quran dan Terjemah.
Syabi, Ahmad. 2015. Kamus An-Nur. Surabaya: Halim Publishiang and Distributing.
14