Disusun oleh :
1. Figo Unggul Abda Alif 09
Assalamualaikum wr.wb
Bismillahirrahmanirrahim.
Wassalamualaikum wr.wb.
Penyusun
2
ABSTRAK
3
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2
ABSTRAK ................................................................................................................ 3
BAB I ........................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN .................................................................................................... 5
BAB II....................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6
PENUTUP .............................................................................................................. 16
Kesimpulan ......................................................................................................... 16
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam konsep Islam pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan
kehidupan seluruh warganya di berbagai bidang, terutama bidang ekonomi
yang menjadi tulang punggung kehidupan. Campur tangan negara dalam
masalah ekonomi yang pernah diperdebatkan antara antara kapitalis dan
sosialis, dalam Islam adalah satu bentuk tanggung jawab negara yang sudah
semestinya untuk menjamin kemaslahatan rakyat. Bahkan kini campur
tangan negara yang lebih spesifik bernama kebijakan fiskal tidak bisa
dihindarkan oleh negara manapun termasuk yang menganut sistem kapitalis
atau pasar bebas.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan ekonomi pada masa rasulullah
SAW.
2. Untuk mengetahui perkembangan kebijakan fiskal mada masa
rasulullah SAW.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ibnuddin, Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Nabi Muhammad, Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 5 No. 1, 2019, hal. 51–61.
2
Idris Parakkasi dan Kamiruddin, Analisis Harga dan Mekanisme Pasar dalam
Perspektif Islam, Laa Maysir, Vol. 5 No.1, 2018, hal. 107-120
3
Agus Marimin, Baitul Maal Sebagai Lembaga Keuangan Islam dalam
Memperlancar Aktivitas Perekonomian, Jurnal Akuntansi dan Pajak, Vol. 14 No. 02, 2014,
hal.39–42
4
Khurun 'In Zahro dan Mohammad Ghazali, Peran Baitul Mal dalam Daulah
Islam sebagai Sentral Perekonomian Negara, Al-Ashlah, Vol. 3 No. 1, 2019, hal.118–29.
5
Sumadi dan Muhammad Tho'in, Paradigma Konsep Teori Dan Praktek Baitul
Mal Dalam Prespektif Sistem Ekonomi Islam, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 6 No. 02,
2020, hal.330–38.
6
sebagai pengganti layanan sosial ekonomi dan jaminan perlindungan
keamanan dari negara lain. Penerimaan lainnya seperti kaffarah dan harta
waris dari orang yang tidak menjadi ahli waris.6
1. Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah SWT dan Allah SWT adalah
pemilik yang absolut atas semua yang ada.
2. Semua yang dimiliki oleh manusia karena atas seizin Allah SWT,
oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki
hak atas sebagian kekayaan saudara-saudaranya yang lebih
beruntung.
3. Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus dan ditimbun.
4. Kekayaan harus diputar.
5. Eksploitasi dalam ekonomi segala bentuknya harus dihilangkan.
6. Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dalam
perekonomian dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan
cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya
kepada para ahli warisnya.
7. Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua
individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.7
6
Ibnuddin, Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Nabi Muhammad, Jurnal Pendidikan dan
Studi Islam, Vol. 5 No. 1, 2019, hal. 51–61.
7
Rahardjo, M. D. (2001). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: The
International Institute of Islamic Thougt.
7
Muhajirin. Distribusi pendapatan ini telah meningkatkan permintaan total
Madinah.
Kebijakan lain yang ditempuh Rasulullah adalah menyediakan
lapangan kerja bagi kaum Muhajirin sekaligus meningkatkan pendapatan
nasional dengan menerapkan kontrak muzaraa, mudharabah dan kerja sama
terbatas antar kaum Muhajirin yang menyediakan lapangan kerja dengan
kaum Anshar yang menyediakan lahan pertanian, perkebunan dan tambang.
Secara alami perluasan produksi dan fasilitas perdagangan meningkatkan
produksi total kaum muslimin dan meningkatkan pemanfaatan sumber daya
tenaga kerja, lahan dan modal.8
Pada tahun kedua setelah hijrah sedekah dan fitrah diwajibkan pada
bulan Ramadhan. Zakat mulai diwajibkan pada tahun kesembilan setelah
hijrah. Dengan diwajibkannya zakat maka ditunjuklah pengelola zakat yang
tidak digaji keberadaannya, namun pengelola tersebut diperbolehkan
mendapat bagian dari zakat tersebut maksimal 12,5% dari zakat yang ada.9
8
Rozalida. (2014). Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya Pada Aktivitas Ekonomi.
Jakarta: Rajawali Pers.
9
Al Arif, M. N. R. (2015). Pengantar Ekonomi Syariah. Bandung: Pustaka Setia.
10
Al Arif, M. N. R. (2015). Pengantar Ekonomi Syariah. Bandung: Pustaka Setia
8
pendapatan negara. Sumber lain adalah Kharaj (pajak tanah) yang dipungut
dari warga non muslim atas tanah yang sudah ditaklukkan.11
Instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berasal dari zakat,
infaq, sedekah dan wakaf. Unsur tersebut ada yang bersifat wajib dan ada
juga yang bersifat sukarela. Zakat merupakan unsur yang harus dibayarkan
oleh wajib pajak setelah mencapai nisabnya, sedangkan infaq, sedekah dan
wakaf bersifat sukarela. Unsur sukarela inilah yang membedakan antara
ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis yang tidak memiliki sektor
sukarela.
Perbedaan lain yang mendasar antara ekonomi kapitalis dan ekonomi
Islam adalah terkait pengelolaan uang negara. Dalam ekonomi Islam hutang
harus terbebas dari unsur bunga. Sebagian besar pengeluaran pemerintah
dibiayai dari pajak pendapatan atau berdasarkan atas bagi hasil. Dengan
demikian, dalam ekonomi Islam ukuran utang publik jauh lebih sedikit
dibanding ekonomi konvensional yang dalam kebijakannya banyak
melibatkan utang negara.
Berikut sumber-sumber pendapatan negara dalam sistem ekonomi Islam
dan peranannya dalam sistem perekonomian adalah:
a) Kharaj
Kharaj berasal dari Bahasa arab yang berarti keluar. Secara terminologi
berarti pajak yang harus dikeluarkan atas tanah yang taklukkan oleh pasukan
Islam. Kharaj pertama kali diperkenalkan setelah perang khaibar, ketika itu
Rasulullah. Saw membolehkan orang-orang Yahudi khaibar memiliki
kembali tanah milik mereka dengan syarat mengeluarkan dari separuh hasil
panen tanah tersebut kepada Islam sebagai Kharaj (pajak). Jika di Indonesia
Kharaj setara dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), namun PBB
ditentukan berdasarkan zoning sedangkan besarnya pembayaran Kharaj
ditentukan oleh pemerintah berdasarkan:
1) Karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah
2) Jenis tanaman (termasuk tanaman yang memiliki nilai ekonomis dan
kuantitas)
3) Jenis irigasi, metode produksi dan peran SDM yang lebih rendah
4) Nilai hasil produksi (maksimal 50%).
11
Haryanto, J. T. (2016). Tinjauan teoritis kebijakan fiskal Islam periode Nabi
Muhammad SAW. Alqalam, 33(2), 122-138.
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/396.
9
b) Infaq
Infaq secara kebahasaan memiliki arti berlalu dan menghabiskan.
Kemudian lafaz tersebut dipakai sebagai salah satu ungkapan dalam syariah
Islam yang berkaitan dengan pengalokasian pendapatan seseorang untuk
memenuhi tuntunan syariat. Anjuran pengalokasian pendapatan disebutkan
dalam Al-Quran QS. Al-Baqarah ayat 195.
Infaq terdiri dari dua jenis yaitu infaq wajib yang berupa zakat dan
infaq sunah yaitu pendistribusian harta seseorang di jalan Allah. Infaq wajib
(zakat) telah ditetapkan oleh Allah kadarnya, sedangkan infaq sunah tidak
ditentukan kadarnya, sesuai dengan kemampuan dan keleluasaan. Hal ini
menunjukkan zakat hanyalah harta yang setelah dikurangi kebutuhan pokok
melebihi batas minimum atau disebut dengan nisab.12
c) Ushr
Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan
dibayar hanya sekali dalam setahun serta hanya berlaku untuk barang yang
nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang dilindungi adalah 5% dan
pedagang muslim 2,5%. Rasulullah mengambil kebijakan dengan
menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan
arus ekonomi dalam perdagangan berjalan lancar sehingga perekonomian di
negara yang beliau pimpin menjadi meningkat. Kebijakan ini tentu
berdampak terhadap pendapatan negara.
12
Al Arif, M. N. R. (2015). Pengantar Ekonomi Syariah. Bandung: Pustaka Setia.
10
ين
ِ سا ِكَ سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْربَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم ُ لر َ ّلِل ُخ ُم
سهُ َو ِل ه ِ ش ْيءٍ فَأ َ هن ِ ه َ غنِ ْمت ُ ْم ِم ْن َ َوا ْعلَ ُموا أَنه َما
ِ َان يَ ْو َم ْالتَقَى ْال َج ْمع
ۗ ان ِ َع ْب ِدنَا يَ ْو َم ْالفُ ْرق
َ علَى َ اّلِل َو َما أَ ْنزَ ْلنَا
ِ سبِي ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم آ َم ْنت ُ ْم بِ ه
َواب ِْن ال ه
ش ْيءٍ قَدِير َ علَى ُك ِل َو ه
َ َُّللا
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil,
jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Fay adalah harta rampasan perang yang diperoleh tanpa kerja keras
berperang atau secara damai. Sebelum terjadinya peperangan akan
ditawarkan kepada musuh, apakah bersedia menyerah atau tidak. Jika
mereka menyerah, maka tidak akan diperangi, tetapi konsekuensinya harta
mereka akan diambil sebagai rampasan perang. Fay diberikan sepenuhnya
kepada nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.13
Sedangkan pasukan perang tidak berhak apapun terhadap Fay tersebut.
Sebagaimana Firman Allah dalam QS Al-Hasyr ayat 6-7:
ُ س ِل
ط ب َولَ ِك هن ه
َ َُّللاَ ي َ سو ِل ِه ِم ْن ُه ْم فَ َما أَ ْو َج ْفت ُ ْم
ٍ علَ ْي ِه ِم ْن َخ ْي ٍل َو ََل ِركَا ُ علَى َر َو َما أَفَا َء ه
َ َُّللا
ش ْيءٍ قَدِير َ علَى ُك ِل علَى َم ْن يَشَا ُء ۚ َو ه
َ َُّللا َ ُسلَهُ ُر
ين
ِ سا ِك َ سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْربَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َمُ لر سو ِل ِه ِم ْن أَ ْه ِل ْالقُ َرى فَ ِلله ِه َو ِل ه ُ علَى َر َما أَفَا َء ه
َ َُّللا
سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْمُ الراء ِم ْن ُك ْم ۚ َو َما آتَا ُك ُم هِ س ِبي ِل َك ْي ََل َي ُكونَ دُولَةً َبيْنَ ْاْل َ ْغ ِن َي
َواب ِْن ال ه
ِ شدِيدُ ْال ِعقَا
ب َ ََّللا ع ْنهُ فَا ْنتَ ُهوا ۚ َواتهقُوا ه
َّللاَ ۖ ِإ هن ه َ
Artinya: Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu
tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi
Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.
13
Janwari, Y. (2016). Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
11
e) Khums
Perbedaan pendapat timbul di antara para ulama Sunni dan ulama Syi’i.
Para ulama Syi’i mengatakan bahwa sumber pendapatan apa pun harus
dikenakan Khums sebesar 20%. Sedangkan ulama Sunni beranggapan
bahwa ini hanya berlaku untuk harta rampasan perang. Imam abu Ubaid
menyatakan bahwa Khums bukan hanya hasil perang melainkan juga barang
temuan dan barang tambang.
f) Jizyah
g) Kaffarah
14
Janwari, Y. (2016). Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
12
2. Sumber Pendapatan Sekunder
Sumber pendapatan sekunder yang memberikan hasil antara lain:
a) Uang tebusan untuk para tawanan perang.
b) Pinjam-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk
pembayaran penebusan kaum muslimin dari Judhayma atau
sebelum pertempuran hawazin 30.000 dirham.
c) Khumuz atas Rikaz yaitu harta karun temuan periode
sebelum Islam.
d) Wakaf, harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam
yang disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan
didepositokan di Baitul Mal.
e) Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang
dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini
pernah terjadi pada masa perang tabuk.
f) Zakat fitrah.
g) Bentuk lain sadaqah seperti kurban.15
3. Pengeluaran Negara
Pengeluaran negara selama periode kenabian di bagi menjadi dua yaitu16:
1) Pengeluaran Primer
a) Biaya Pertahanan, seperti: persenjataan, unta, kuda dan
persediaan.
b) Pengeluaran zakat dan Ushr pada yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan AlQuran.
c) Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam muazin dan
pejabat negara lainnya.
d) Pembayaran upah para sukarelawan.
e) Pembayaran utang Negara.
f) Bantuan untuk musafir (dari daerah fadak).
2) Pengeluaran Sekunder
a) Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
b) Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
c) Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya
perjalanan mereka.
d) Pengeluaran untuk duta-duta Negara.
e) Hadiah untuk negara lain.
f) Pembayaran untuk pembebasan kaum muslimin yang jadi
budak .
g) Pembayaran untuk mereka yang terbunuh secara tidak
sengaja oleh kaum muslim.
15
Rahardjo, M. D. (2001). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: The
International Institute of Islamic Thougt.
16
Sari, N. (2017). Zakat sebagai kebijakan fiskal pada masa kekhalifah Umar Bin
Khattab. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, 1(2), 172–184.
https://doi.org/10.24815/jped.v1i2.6552.
13
h) Pembayaran utang untuk orang yang meninggal dalam
keadaan miskin
i) Pembayaran tunjangan untuk orang miskin..
j) Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah .
k) Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sejumlah
kecil; 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap
istrinya.
l) Persediaan darurat.
14
Mengacu pada praktik di masa Rasulullah, dapat digarisbawahi
bahwa kebijakan fiskal Islam merupakan kebijakan keuangan publik terkait
dengan prinsip penyelenggaraan negara untuk kemaslahatan umat. Seluruh
warga negara bagaikan berada dalam satu keluarga besar. Ada rasa
sepenanggungan dan saling menjamin (takaful). Zakat misalnya berorientasi
pada sikap saling berbagi, diambil dari yang berlebih diberikan kepada yang
kekurangan. Jizyah merupakan wujud kebersamaan masyarakat non Muslim
dalam kehidupan bernegara sebagai perwujudan rasa sepenanggungan.
Kharaj juga berorientasi pada distribusi kekayaan yang adil di masyarakat.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa Rasulullah SAW sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj,
zakat, khums, jizyah, dan penerimaan lain-lain. Di sisi pengeluaran terdiri
atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.
Penerimaan zakat dan khums dihitung secara proporsional yang dalam
persentase dan bukan ditentukan nilai nominalnya. Sistem zakat perniagaan
tidak akan mempengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat
dihitung dari hasil usaha.
16
Daftar Pustaka
Ibnuddin, Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Nabi Muhammad,
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 5 No. 1, 2019, hal. 51–61.
Idris Parakkasi dan Kamiruddin, Analisis Harga dan Mekanisme
Pasar dalam Perspektif Islam, Laa Maysir, Vol. 5 No.1, 2018, hal. 107-120
Agus Marimin, Baitul Maal Sebagai Lembaga Keuangan Islam
dalam Memperlancar Aktivitas Perekonomian, Jurnal Akuntansi dan Pajak,
Vol. 14 No. 02, 2014, hal.39–42
Khurun 'In Zahro dan Mohammad Ghazali, Peran Baitul Mal dalam
Daulah Islam sebagai Sentral Perekonomian Negara, Al-Ashlah, Vol. 3 No.
1, 2019, hal.118–29
Sumadi dan Muhammad Tho'in, Paradigma Konsep Teori Dan
Praktek Baitul Mal Dalam Prespektif Sistem Ekonomi Islam, Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, Vol. 6 No. 02, 2020, hal.330–38.
Ibnuddin, Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Nabi Muhammad,
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 5 No. 1, 2019, hal. 51–61.
Rahardjo, M. D. (2001). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
The International Institute of Islamic Thougt.
Rozalida. (2014). Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya Pada
Aktivitas Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers.
Al Arif, M. N. R. (2015). Pengantar Ekonomi Syariah. Bandung:
Pustaka Setia.
Haryanto, J. T. (2016). Tinjauan teoritis kebijakan fiskal Islam
periode Nabi Muhammad SAW. Alqalam, 33(2), 122-138.
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/396.
Janwari, Y. (2016). Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sari, N. (2017). Zakat sebagai kebijakan fiskal pada masa
kekhalifah Umar Bin Khattab. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, 1(2),
172–184. https://doi.org/10.24815/jped.v1i2.6552.
Ali Murtadho, Konsep Fiskal Islam Dalam Perspektif Historis, Ali
Murtadho,
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/economica/article/view/759.
Ibnu Hasan Karbila, Kebijakan Fiskal pada Masa Rasulullah dan
Sekarang, https://ejournal.stai-tbh.ac.id/index.php/al-muqayyad
17