Anda di halaman 1dari 37

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID (150 – 240 H)

DAN YAHYA BIN UMAR (213 – 289 H)

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam

Dosen Pengampu : Anang Haris Firmansyah, M.Pd

Disusun :

Kelompok 06 / 3G

1. RISKA SABILATURROHMAH 12401183256


2. RISMA YUNITA SARI 12401183265
3. RETA EKA SAPUTRI 12401183283

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW. Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan
informasi bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan Perbankan Syariah
(PS).
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penyusun berharap kepada semua pihak atas segala saran dan kritiknya
demi kesempurnaan makalah ini. Ucapan terima kasih kami haturkan pada seluruh
pihak yang mendukung penyusunan makalah ini, antara lain:
1. Bapak Dr. H. Maftukhin, M. Ag, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung,
2. Bapak H. Dede Nurrohman, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
3. Bapak Muhamad Aqim Adlan, S. Ag., S. Pd., M. E. I selaku ketua jurusan
Perbankan Syariah,
4. Bapak Anang Haris Firmansyah, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam,
5. Serta semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan
makalah ini.
Demikian yang dapat penyusun sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi bekal pengetahuan bagi pembaca di
kemudian hari.

Tulungagung, 01 September 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1


B. RUMUSAN MASALAH .................................................................... 1
C. TUJUAN PEMBAHASAN................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID (150-22 H) ........................ 3


1. Biografi Abu Ubaid ...................................................................... 3
2. Hasil Karya Abu Ubaid ................................................................ 3
3. Peranan Negara dalam Perekonomian.......................................... 4
4. Sumber Penerimaan Keuangan Politik ......................................... 5
5. Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Politik ............................... 9
6. Hukum Pertahanan ....................................................................... 10
B. PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR (213-289 H) ........ 12
1. Biografi Yahya bin Umar ............................................................. 12
2. Kitab Ahkam al-Suq ..................................................................... 13
3. Pemikiran Ekonomi ...................................................................... 14
4. Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar ................................... 16
5. Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy) ............................................ 18

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ................................................................................... 20
B. SARAN ............................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Munculnya islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupanmanusia.


Kelahiran nabi muhammad adalah suatu peristiwa yang tiadatandingan nya.
Beliau adalah utusan Allah SWT yang terakhir dan sebagai pembawa kebaikan
bagi seluruh umat manusia. Rasulullah mengubah sistem ekonomi dan keuangan
negara sesuai dengan ketentuan Al - Qur’an dan Hadist. Ilmu ekonomi islam
sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada tahun 1970 an,
tetapi pemikiran tentang ekonomi islam telah muncul sejak islam itu diturunkan
melalui nabiMuhammad SAW. Karena rujukan utama pemikiran ekonomi
islamiadalah Al - Qur’an dan Hadist maka pemikiran ekonimi ini munculnya juga
bersamaan dengan diturunkannya Al – Qur’an dan masa kehidupan Rasulullah.
Pada abad akhir enam masehi hingga abad awal tujuh masehi. Setelah masa
tersebut banyak sarjana muslim yang memberikan kontribusikarya pemikiran
ekonomi. Karya - karya mereka sangat berbobot yaitu memiliki dasar argumentasi
religius dan sekaligus intelektual yang kuat serta kebanyakan didukung oleh fakta
empiris pada waktu itu. Banyak diantaranya juga sangat futuristik dimana
pemikir-pemikir barat baru mengkajinya ratusan abad kemudian. Pemikiran
ekonomi dikalangan pemikir muslim banyak mengisi hasanah pemikiran ekonomi
dunia pada masa dimana barat masih dalam kegelapan. Pada masa itu dunia islam
justru mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Abu Ubaid ?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam Abu Ubaid ?
3. Bagaimana biografi Yahya bin Umar ?
4. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam Yahya bin Umar ?

1
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui biografi Abu Ubaid
2. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran islam Abu Ubaid
3. Untuk mengetahui biografi Yahya bin Umar
4. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran ekonomi islam Yahya bin
Umar

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID ( 150-224 H )


1. Biografi Abu Ubaid

Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-
Harawi Al-Azdhi. Hidup semasa Daulah Abassiah mulai dari khalifah Al-Mahdi
(158/775). Beliau dilahirkan di kota Bahra (harat) di Propinsi Khurasan pada
tahun 154 H dan wafat di Makkah pada tahun 224 H. Ayahnya keturunan
Byzantium, maula dari suku Azd. Abu Ubaid merupakan seorang ulama yang
cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang menyanjung dan memujinya.
Menurut Qudamah as-Sarkhasy, diantara Syafi’i, Ibnu Hambal, Ishaq dan Abu
Ubaid maka Syafi’i yang paling faham (faqih), Ibnu Hambal yang paling wara’
(hati-hati), Ishaq paling hufadz (kuat hafalannya) dan Abu Ubaid lah yang paling
pintar berbahasa Arab (fasih). Menurut Ishaq, Abu Ubaid itu yang terpandai
diantara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.

2. Hasil Karya Abu Ubaid

Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada
memukulkan pedang di jalan Allah. Beliau membuahkan hasil karyanya sebanyak
20 karangan baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qiraat, Fiqih, Syair dan lainnya. Di
antara hasil karyanya yang terbesar dan terkenal adalah kitab Al-Amwal dalam
bidang fiqih. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang
lengkap tentang keuangan Negara dalam islam. Isi buku ini dimulai dengan bab
singkat tentang hak penguasa atas subyek dan hak subyek yang berhubungan
dengan penguasa. Dilanjutkan dengan bab tentang jenis harta yang dikelola
penguasa untuk kepentingan subyek dan basisnya merujuk kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Bab-bab lainnya membahas tentang sumber penerimaan Negara.
Terdapat tiga jenis penerimaan yang diidentifikasikan dalam bab ke dua, meliputi

3
zakat (termasuk ashr),1 seperlima dari rampasan perang (khums) dan dari harta
peninggalan atau terpendam (rikaz), kemudian fa’i yang termasuk di dalamnya
kharaj, jizyah dan penerimaan lain di luar yang telah disebutkan, seperti barang
temuan kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris dan lainnya.

Kitab al-Amwal ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari separuh
pertama abad kedua islam. Buku ini juga merupakan suatu ringkasan tradisi asli
(authentic) dari Nabi SAW dan laporan para sahabat dan para pengikutnya tentang
masalah ekonomi. Para penulis dan pakar-pakar ekonomi banyak mengutip
karyanya dari buku ini. Abu Ubaid tidak semata-mata hanya mengungkapkan dari
pendapat orang lain, tetapi sebaliknya ia selalu mengungkapkan suatu preferensi
untuk satu dari beberapa pandangan yang dilaporkan atau dengan memberikan
pendapatannya sendiri tentang dasar dan alasan syariahnya. Misalnya, setelah
melaporkan berbagai pendapat tentang berapa banyak seorang penerima
(mustahiq) dapat menerima zakatnya, ia sangat tidak setuju terhadap mereka yang
meletakkan suatu batas tertinggi pada hibah semacam itu.

3. Peranan Negara dalam Perekonomian

Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab Al-Amwal dalam bahasan
yang pertama adalah peranan Negara dalam perekonomian yang mengulas
tentang hak Negara atas rakyat dan hak rakyat atas Negara, dimana analisis yang
digunakan beliau merujuk pada kaidah hadist - hadist yang berkaitan dengan
pemerintahan. Hasil implementasi dari analisis itu direalisikan dalam kaidah
kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin. Unsur-unsur kontrak itu meliputi :

a. Azaz pengelolaan harta didasarkan atas ketakwaan kepada Allah


Swt.
b. Keberadaan kekayaan pada komunitas kaum muslimin merupakan
tanggung jawab seluruhnya, dan kepala Negara berhak
menggunakannya demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
c. Setiap perbuatan dihadapkan pada tanggung jawab, pemerintah
harus menjaga keamanan, meningkatkan kesejahteraan, melindungi
1
Euis Amalia,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.144.

4
hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik dan menjamin
terpeliharanya maqasid syari’ah.2

Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar (basic princivil) dalam
misi kekhalifahan. Diriwayatkan dari imam Ali ra. “keadilan adalah suatu yang
hak dan pemerintah wajib menegakan hukum sesuai dengan yang Allah
syariatkan dan menjalankan amanat, ketika pemerintah melakukan hal tersebut
wajib bagi rakyat mendengar,mentaati, dan memenuhi panggilan Negara dan
pemerintah”. Khalifah dan pemerintah menempatkan hukum berdasarkan Al-
qur’an dan menyayangi rakyatnya sebagaimana lelaki menyayangi keluarganya.
Maka, dengan diimplementasikannya landasan ini, kemaslahatan maqasid akan
terealisasi dan terpelihara dalam kehidupan.

Andil Negara begitu besar dalam perekonomian karena tugas Negara adalah
menegakkan kehidupan social berdasarkan nilai-nilai keadilan yang disyariatkan,
seperti penerapan zakat dapat mengikis kesenjangan social dan menumbuhkan
kepeduliaan sosial. Dan dengan mengatur administrasi keuangan Negara seefektif
mungkin sehingga penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi
pendapatan dapat menjamin kemaslahatan umat sehingga terselenggara kegiatan
ekonomi yang berkeadilan. Dimana sasaran beliau adalah legitimasi dari sosio-
politik-ekonomi yang stabil dan adil.

4. Sumber Penerimaan Keuangan Publik

Kitab Al-Amwal Abu Ubaid secara khusus memusatkan perhatian sekitar


keuangan publik (public finance), analisis yang beliau titik beratkan adalah pada
praktek yang dilakukan Rasulullah, Khulafaurasyidiin, terutama Umar bin
Khattab dan Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh ideal dalam pengelolaan
keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal. Setelah melalui
perkembangan beberapa saat kemudian sumber penerimaan keuangan publik pun
bertambah seperti : kharaj, ‘usyr, dan khumus. Yang perlu diketahui bahwa dalam
kitab Al-Amwal banyak harta yang diserahkan kepada Rosulullah yang berasal

2
Ibid….145.

5
dari kaum musyrikin. Pertama, adalah fa’l yaitu berupa harta benda dan tanah3
yang mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Kedua, adalah harta shafi yang
Rasulullah Saw dipilih dari ghanimah yang diperoleh kaum muslimin sebelum
harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah Saw
“Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”. Ketiga adalah
harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi. Menurut hadis yang diriwayatkan dari
Abi ‘aliyah, ia berkata : “Rasulullah saw mengumpulkan ghanimah dan beliau
dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi menempatkannya bagian untukn
ka’bah bagian untuk baitullah, kemudian membagi sisa 1/5, untuk nabi satu
bagian, ahli kerabat satu bagian, anak yatim satu bagian, orang miskin satu
bagian, dan ibnu sabil satu bagian, Abu ‘Aliyah berkata yang nabi jadikan satu
bagian untuk ka’bah adalah bagian Allah”.

Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin
Khattab ada tiga harta yang masuk dalam keuangan public yaitu : shadaqoh, fa’l
dan khumus.

a. Shadaqoh/Zakat

Dalam hal ini, shadaqoh wajib atau yang disebut zakat harta seperti zakat emas,
perniagaan unta, sapi, kambing, biji - bijian dan buah-buahan. Dimana dari zakat
harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-
Qur’an tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka mereka dan
merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul
untuk dikeluarkan zakatnya.4 Abu Ubaid sangat menentang pandapat yang
menyatakan bahwa pembagian zakat harus dilakukan secara merata diantara para
kelompok penerima zakat dan cendrung menetukan suatu batas tertinggi terhadap
bagian perorangan, namun bagi Abu Ubaid yang terpenting adalah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, berapapun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan
orang-orang dari bahaya kelaparan. Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan

3
Euis Amalia,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.146.
4
Ibid., hlm.147

6
oleh Abu Ubaid ini mengindikasikan bahwa ada tiga kelompok sosio-ekonomi
yang terkait dengan status zakat, yaitu:
- Kalangankaya yang terkena wajib zakat;
- Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tapi juga tidak berhak
menerima zakat;
- Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi zakat, Abu Ubaid mengadopsi prinsip
“mendistribusikan kepada setiap orang menurut kebutuhannya masing-masing”,
dan ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat/pajak yang
diberikan kepada pengumpul zakat, pada prinsipnya Abu Ubaid menekankan
implementasi prinsip “bagi setip orang sesuai dengan haknya”. Karena zakat
yang dibagikan kepada pengelola zakat harus sesuai dengan kebijakan imam.5
1) Fa’l
Fa’l menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali sedang menurut
istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai
tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’l karena Allah
mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Sedang menurut versi Abu
Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah
dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’l
digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan umat. Bagian-
bagian dari Fa’l adalah :

 Kharaj

Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum
muslimin dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan6 untuk mengolah
tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari
hasil produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.

5
Taufik Hidayat, “Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom: Critical Reading terhadap
Corak Pemikiran dan Konsepsi Ekonomi Ibn Ubaid”. Falah: Journal of Islamic Economics. Vol. 4
No. 3 , 2019, hlm. 10.
6
Euis Amalia, op. cit., hlm.148.

7
 Jizyah

Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-muslim
khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah dan harta
merdeka atau budak yang tinggal diwilayah pemerintahan Islam. Pada masa
Rasulullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di
Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah :

- 1 dinar
- 30 ekor 1 ekor sapi jizyahnya tabi’ ( sapi umur 1 tahun )
- 40 ekor sapi, jizyahnya 1 ekor musinah
- Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila
menggunakan biaya.

Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu pendidik Najran yang beragama
Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang setelah masuk Islam. Persamaan
antara kharaj dan jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan
dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’l., perbedaannya jizyah itu atas
kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat masuk islam dan kharaj tidak.

 Khumus

Khumus menurut Abu Ubaid, adalah 1/5 ghamimah dari ahli harbi, rikaz dan
luqatbah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang
terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghamimah, sesuai dengan firman
Allah surat al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui
penambangan dan harta yang terpendam/rikaz. Ketiga, khumus pada harta yang
dipendam hal, sebagaimana terjadi kertika mujahid dari asy’sya’abi dimana
seorang lelaki menemukan 1000 dinar yang dipendam diluar kota kemudian
dating kepada umar dan umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan
sisanya diberikan pada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu
dibagikan kepada kaum muslimin.7

7
Ibid., hlm.149.

8
Namun, yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga
hukum yang dilakukan Umar pada harta benda yang dipendam; pertama, bahwa
harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukan,
kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya
kepada Baitul Mal, ketiga, harta itu diberikan seluruhnya kepada yang
menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.

 ‘usyr

Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh.
Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu
sesuatu yang diambil pada zakat tanaman dan buah-buahan (Q.S. al-An’am ; 141).
Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas
untuk perniagaan.

5. Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik

Dalam masalah distribusi pendapatan memang erat kaitannya antara


penerimaan dan pembelanjaan/ pengalokasian untuk kepentingan public. Begitu
pula Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal-nya begitu jelas dan transparan dalam
membahas masalah keuangan public yang terkait sekitar masalah penerimaan dan
pembelanjaan. Abu ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi orang
yang berhak atas kekayaan publik.

Dengan menukil pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Aslam ia


berkata: “ telah berkata Umar R.a, bahwa tidak seorang muslim kecuali hak atas
harta menerima atau menolak, setelah itu Umar membacakan surat al-Hasyr dari
ayat 7-10 dan berkata Umar ayat ini memuat semuanya (manusia) dan tidak
tersisa seorang muslim kecuali ia mendapat hak akan harta itu (harta fa’l).
Menurut riwayat Ibnu Syibah, bahwa ketika Umar membentuk dewan membagi
para istri Rasulullah Saw yang dinikahi 12.000 dirham, bagian juwairiyah dan
shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya fa’l dari Allah untuk Rasul-Nya) kaum

9
mujahirin syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan kaum anshar yang
syahid 4.000 dirham.”8

Pendistribusian harta dalam islam sangat penting dimana Rasulullah telah


memberi batasan, yaitu seseorang yang memikul tanggungan (hidup) kaumnya,
seseorang yang tertimpa musibah besar dan memusnahkan harta bendanya dan
seseorang yang tertimpa kemiskinan. Dalam pendistribusian pengeluaran dari
penerimaan khumus (khumus ghanimah, khumus barang tambang dan rikaz serta
khumus lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah Saw, dan pendistribusiannya
kapan dan untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah. Karena dana-dana
publik merupakan kekayaan publik maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik
seperti, kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya.

6. Hukum Pertanahan

Pemikiran Abu Ubaid mengenai hubungan antara rakyat (warga Negara) dan
Negara demi stabilitas kesejahteraan rakyat dan Negara selain masalah
administrasi keuangan publik yang terdapat dalam kitab al-Amwal, beliau juga
berbicara mengenai hukum pertanahan.9 Berikut adalah hukum-hukum pertanahan
yang dikemukakan oleh Abu Ubaid :

a) Iqtha’

Pengertian iqtha’ ialah tanah yang diberikan oleh kepala Negara kepada seorang
rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
Hal ini, pernah terjadi dimasa Rasulullah dimana Rasulullah mewasiatkan tanah
yang terdiri dari 7 kebin kepada seorang pendeta yahudi, yaitu Mukhairik setelah
masuk islam. Dalam kitab al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang
bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah/tanah yang
dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka
keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala Negara. Kepala Negara,

8
Ibid., hlm.150.
9
Ibid., hlm.151.

10
begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang
mengelolanya dan tidak dimiliki orang islam maupun kafir.10

b) Ihya al-Mawat

Al-Mawat ialah tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan
tidak dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al-Mawat adalah membuka kembali
lahan yang mati itu dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan
dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan tersebut. Dalam hal
ini Negara berhak menguasai tanah mati ini dengan menjadikannya milik umum
11
yang semua manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat. Selanjutnya,
menurut Abu Ubaid bila tanah produk ihya al-Mawat ini menghasilkan sesuatu
dengan mengairi dan menanaminya, maka dikenakan zakat 1/10 untuk 8 mustahik
zakat.

c) Hima

Hima adalah perlindungan, menurut Abu Ubaid adalah tempat dari tanah yang
tidak berpenduduk yang dilindungi kepala Negara untuk tempat mengembala
hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat
perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil
yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai12
dengan sabda Rasulullah, “orang muslim adalah saudara bagi muslim yang
lainnya yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput.”

d) Fungsi Uang

Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai
intrinsic sebagai standar dari nilai pertukaran (standar of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of Exchange). Tampaknya ia mendukung
terhadap teori ekonomi mengenai uang logam yang merujuk kepada kegunaan
umum dan relative konstannya nilai emas dan perak dibandingkan komoditas
yang lain. Jika kedua benda tersebut dijadikan komoditas maka nilai keduanya

10
Ibid., hlm.152.
11
Ibid., hlm.153.
12
Ibid., hlm.154.

11
dapat berubah pula karena dalam hal tersebut, keduanya akan memainkan peran
yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang-barang lain.13

B. PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR (213-289 H)


1. Biografi Yahya Bin Umar

Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang
bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi
ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para
cendekiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut
ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat
Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim, seperti Ibnu Al-Kirwan Ramh
dan Abu Al-Zhahir bin Al-Sarh. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di
antaranya, kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di
Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu
faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.14

Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’Al-Qairuwan.


Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah
dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh
dalam pemerintahannya. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan
menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama
penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, menjabat
qadi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad
Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia
menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt
hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).

13
Ibid….155.
14
Adiwarman Azwar Karim,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm.282.

12
2. Kitab Ahkam al-Suq

Di samping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya
tulis hingga mencapai 40 juz. Karya tulis Yahya bin Umar yang terkenal adalah
kitab al-Muntakhabah fi Ikhtisar al-Mustakhrijah fi al-Fiqh al-Maliki dari kitab
Ahkam al-Suq.

Kitab Ahkam al-Suq berasal dari benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah. Kitab
ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan
berbagai hukum pasar, satu penyajian meteri yang berbeda dari pembahasan-
pembahasan fiqih pada umumnya. Salah satu hal yang mempengaruhi adalah
situasi kota Qairuwan, tempat Yahya bin Umar menghabiskan bagian terpenting
masa hidupnya.15 Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang
permanen sejak tahun 155 H dan para penguasanya mulai masa Yazid bin Hatim
Al-Muhibli hingga sebelum masa Ja’far Al-Manshur. Bahkan, pada tahun 234 H,
Kanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat seorang hakim
yang khusus menangani permasalahan-permasalahan pasar. Dengan demikian,
pada masa Imam Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua
keistimewaan, yaitu:

a. Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan


pengaturan yang memadai dari para penguasa.
b. Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus
menangani berbagai permasalahan pasar.

Tentang kitab Ahkam al-Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan
kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu: pertama,hukum
syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu
wilayah. Kedua,hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat
pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
kemudharatan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitab Ahkam al-Suq
sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.16

15
Ibid., hlm.283.
16
Ibid., hlm.284.

13
Yahya bin Umar diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di
kota Sausah pada masa pasca konflik. Dalam perkembangan berikutnya, terdapat
dua riwayat tentang kitab ini, riwayat al-Qashri yang sekarang kita pelajari dan
riwayat al-Syibli.17

3. Pemikiran Ekonomi

Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti
bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor
utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh
karena itu setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti
seluruh perintah Nabi Muhammad Saw dalam melakukan seluruh aktivitas
ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberadaan akan selalu
menyertai orang-orang yang bertaqwa, sesuai dengan firman Allah Swt:

ِ ‫لس َم ِاء َو ْْل َْر‬


‫ض َوٰلَ ِك ْن َك َّذُبوا‬ ٍ ‫َن أَهل لْ وقر ٰى آمنوا و تَّ َقا لََفتَحنَا علَي ِهم ُب رَك‬
َّ ‫ات ِم َن‬ ََ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ َّ ‫َولَ ْا أ‬
ِ ‫فَأَخ ْذ ََنهم ِِبَا َكانوا يك‬
‫ْسبوا َن‬ َ ْ‫َ و‬

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami


akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”. (Al-A’raf 7:96)

Fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang
terefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan
harga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq. Penyusun
buku tersebut, Imam Yahya bin Umar, berulang kali membahasnya di berbagai
tempat yang berbeda. Tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga
merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian
terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.

17
Ibid., hlm.285.

14
Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir
(penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi
Muhammad Saw., antara lain: Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Telah melonjak
harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw. Mereka (para sahabat) berkata:

“Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab:


“Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang memberi rezeki, yang
memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu
dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu
kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta”. (Riwayat Abu Dawud)18

Imam Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan
intervensi pasar, kecuali dalam dua hal, yaitu:

a. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang sangat


dibutuhkan masyarakat sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta
merusak mekanisme pasar.
b. Para pedagang melakukan praktek siyasah al-ighraq atau banting harga
(dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta
dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.19

Pendapatnya yang melarang praktik tas’ir (penetapan harga) tersebut sekaligus


menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya bin Umar mendukung kebebasan
ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan. Sikap Rasulullah Saw. yang menolak
melakukan penetapan harga juga merupakan indikasi awal bahwa dalam ekonomi
Islam tidak hanya terbatas mengatur kepemilikan khusus, tetapi juga menghormati
dan menjaganya. Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga
ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan
permintaan (demand). Namun, Yahya ibn Umar menambahkan bahwa mekanisme
harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Di antara kaidah-kaidah tersebut
adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika tejadi tindakan

18
Euis Amalia,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.159.
19
Ibid., hlm.160.

15
sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi
masyarakat, termasuk ihtikar dan dumping. Dalam hal ini, pemerintah berhak
mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang
diberikan terhadap pelaku tindakan tersebut adalah berupa larangan melakukan
aktivitas ekonominya di pasar, bukan berupa hukuman maliyah.20

Menurut Dr. Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang
praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-
harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah
dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Tentang ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya
kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan
barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut
harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai
pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri
hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka

Dengan demikian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti
ihtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengembalikan
tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini juga berarti bahwa dalam ekonomi
Islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin
pelaksanaan hak-hak masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh
kekayaan secara semena-mena.21

4. Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar

Konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan
siyasah al-ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut masing-
masing dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seeking dan dumping.

a. Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking)

20
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.288.
21
Ibid., hlm.289.

16
Islam secara tegas melarang ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mennjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ihtikar adalah
perbuatan yang berdosa. Lebih jauh, salah seorang sahabat ternama Abu Dzar Al-
Ghifari, menyatakan bahwa hukum ihtikar tetap haram meskipun zakat barang-
barang yang menjadi objek ihtikar tersebut telah ditunaikan.

Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat
menimbulkan kemudharatan bagi umat manusia. Ihtikar tidak hanya akan
merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan
diperoleh orang lain serta menghambat proses distribusi kekayaan diantara
manusia.22

Dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah aktivitas


ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar jika memenuhi setidaknya dua
syarat berikut: pertama, objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan
masyarakat; dan, kedua, tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di
atas keuntungan normal. Dengan demikian, ihtikar tidak identik dengan monopoli
ataupun penimbunan. Islam tidak melarang seseorang melakukan aktivitas bisnis,
baik dalam kondisi dia merupakan satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada
penjual lain. Islam juga tidak melarang seseorang menyimpan stock barang untuk
keperluan persediaan.23

Gambar. Ihtikar (Monopoly’s Rent Seeking Behavior)

22
Ibid., hlm.290.
23
Ibid., hlm.291.

17
Pada gambar dapat dijelaskan lebih lanjut dampak ihtikar terhadap penentuan
harga, kuantitas barang dan keuntungan yang dapat diperoleh oleh produsen.
Hakikat ihtikar adalah memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh kemampuan
produksi industri A adalah Q1. Karena industri tersebut menghadapi pasar
monopoli, ada kesempatan untuk memproduksi barang agar dapat keuntungan
yang maksimal.

Keuntungan maksimal yang dapat diambil oleh industri yang berperilaku


sebagai monopolis (melakukan ihtikar), maka ia akan memilih tingkat
produksinya ketika MC=MR, dengan jumlah Q sebesar Qm, dam P sebesar Pm.
Dengan demikian, ia memproduksi lebih sedikit, dan menjual pada harga yang
lebih tinggi. Profit yang dinikmati adalah sebesar kotak PmXYZ. Hal inilah yang
dilarang karena produsen tersebut sebenarnya dapat berproduksi dengan tingkat
output yang lebih tinggi yaitu S=D, atau ketika MC=AR. Pada tingkat ini, jumlah
barang yang diproduksi lebih banyak, yakni sebesar Q1, dan harganya pun lebih
murah, yakni P1. Tentu saja profit yang dihasilkan lebih sedikit, yakni sebesar
kotak ABCD. Selisih profit antara kotak PmXYZ dengan kotak ABCD inilah yang
merupakan monopoly’s rent yang diharamkan.24

5. Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)

Berbanding terbalik dengan ihtikar, siyasah al-ighraq (dumping) bertujuan


meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga yang lebih
rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Perilku ini secara tegas dilarang
dalam Islam karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas.
Dalam suatu pasar persaingan sempurna, suatu perusahaan terkadang melakukan
kebijakan pengenaan harga yang berbeda untuk produk yang sama di setiap pasar
yang berlainan. Secara umum, praktik pengenaan harga yang berbeda terhadap
pembeli yang berbeda disebut diskriminasi harga (price discrimination). Dalam
perdagangan internasional, bentuk diskriminasi harga yang biasa dilakukan adalah
dumping, yakni suatu praktik pengenaan harga di mana perusahaan mengenakan
harga yang lebih rendah terhadap barang-barang yang diekspor daripada barang-
24
Ibid., hlm.293.

18
barang yang sama yang dijual di pasar domestik. Dumping merupakan sebuah
kebijakan perdagangan yang kontroversial dan secara luas dikenal sebagai sebuah
praktik yang tidak fair karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan
merusak mekanisme pasar.

Dalam praktiknya, dumping baru dipandang sebagai sebuah kebijakan


perdagangan yang lebih menguntungkan oleh sebuah perusahaan jika ditemukan
dua hal, yaitu pertama, industri tersebut bersifat kompetitif tidah sempurna,
sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price maker, bukan sebagai price
taker, kedua, pasar harus tersegmentasi, sehingga penduduk di dalam negeri tidak
dapat dengan mudah membeli barang-barang yang akan diekspor.25

25
Ibid., hlm.294.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Abu Ubaid merupakan salah satu pakar pemikir ekonomi klasik, yang mana dia
lebih cenderung membicarakan tentang masalah keuangan publik, dan
implementasinya dalam sebuah sistem ekonomi. Ia lebih menekankan kepada
prinsip keadilan yang mejadi prinsip utama dalam melangsungkan pola
pemikirannya itu. Salah satu karya yang terkemuka Abu Ubaid adalah kitab al
Amwal, yang mana kitab tersebut pada dasarnya menjelaskan terhadap
pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata. Abu Ubaid sangat
memperhatikan bahwa dalam pendistribusian suatu harta, tidak boleh
menguntungkan suatu pihak. Karena itu menurutnya, pemerintah harus mengatur
harta kekayaan masyarakat agar selalu difungsikan secara baik agar tercapai
kemamkmuran bagi seluruh komponen masyarakat.

Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Yahya bin
Umar memiliki karya tulis yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtisar
al-Mustakhrijah fi al-Fiqh al-Maliki dari kitab Ahkam al-Suq. Menurut Yahya bin
Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan
seorang Muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan
asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan
ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu setiap muslim
harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi
Muhammad Saw dalam melakukan seluruh aktivitas ekonominya.Fokus perhatian
Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam
pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan harga (al-tas’ir)
merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq.

B. SARAN

Dari makalah diatas seidikitnya telah kita ketahui, apa itu ekonomi islam,
namun hal diatas belum bisa sempurna karena masih banyak kekurangannnya.

20
Dari kekurangan yang kemudian di teliti oleh pemabaca nantinya diharapakan
dapat menlengkapi makalah ini untuk kemudian menyempurnakan sebagaimana
mestinya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Ialam. Depok : Gramata


Publishing.

Taufik Hidayat. 2019. Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom: Critical
Reading terhadap Corak Pemikiran dan Konsepsi Ekonomi Ibn Ubaid. Journal of
Islamic Economics. Vol. 4 No. 3.

Karim, Adiwarman Azwar. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.


Jakarta : Rajawali Pers.
Content Lists Available at Directory of Open Access Journals (DOAJ)
Al-Falah: Journal of Islamic Economics
Journal Homepage: http://www.journal.iaincurup.ac.id/index/alfalah
DOI: 10.29240/alfalah.v4i1.781

Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom:


Critical Reading terhadap Corak Pemikiran dan Konsepsi
Ekonomi Ibn Ubaid
Taufik Hidayata*
a Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Falah,Air Molek-Riau, Indonesia
*E-mail Address: taufik_dayat15@yahoo.com

ARTICLE INFO
Article History: ABSTRACT:
Received 19-03-2019
Revised 29-03-2019
Accepted 16-05-2019 Purpose: The purpose of this article is to critically examine the style of
thought and economic conception offered by Ibn Ubaid, in his Al-Amwal
Keywords: work. This critical reading is intended so that the scientific structure of
Jurist Islamic economics presented in the book of Al-Amwal, can be identified
Fragmented more firmly and clearly.
Social Justice Design/Methodology/Approach: This paper explores critically
Public Finance the economic conception of Ibn Ubaid, and then formulates how the style of
Hermeneutics thinking Ibn Ubaid. With a qualitative approach, with the design
Economic justice ofresearch hermeneutics, this paper is expected to be able to interpret Ibn
Ubaid's thinking more systematically.
Paper Type: Findings: This study offers two theses: First, from the work and
Conceptual Paper structure of the arguments found consistently in the book of Al-Amwal,
Ibn Ubaid is actually the figure of a prolific jurist. He consistently uses
fiqh reasoning in elaborating an economic issues. Second, the economic
concepts offered by Ibn Ubaid are fragmented, or fragmented. He is more
concerned with discussing public finance. He offers the concept of a tax
system based on social justice, or tax collection must be based on a fair
system. So that taxes are not an instrument of exploitation of the people.
Originality/Value: The contribution of this paper lies in the answer
to the emptiness of the literature that critically examines the book of Al- Al-Falah:
Journal of Islamic
Amwal, and is able to identify the dominant patterns of thought of Ibn Economics
Ubaid. Vol. 4 No. 1,
2019
© IAIN Curup
ABSTRAK:

Tujuan: Tujuan artikel ini untuk mengkaji secara kriris corak


pemikiran dan konsepsi ekonomi yang ditawarkan oleh Ibn
Ubaid, dalam karyanya Al-Amwal. Pembacaan kritis ini
ditujukan agar struktur pengilmuan ekonomi Islam yang
dipaparkan pada kitab Al-Amwal, dapat diidentifikasi lebih
tegas dan jelas.
Desain/Metode/Pendekatan:Tulisan ini mengekplorasi
secara kritis konsepsi ekonomi Ibn Ubaid, dan kemudian
merumuskan bagaimana corak pemikiran Ibn Ubaid. Dengan
pendekatan kualitatif, dengan design penelitian hermeneutics,
tulisan ini diharapkan mampu menafsirkan pemikiran Ibn
Ubaid lebih sistematis.
Temuan: Kajian ini menawarkan dua tesis: Pertama, dari karya
dan struktur argumentasi yang ditemukan secara konsisten
dalam kitab Al-Amwal, Ibn Ubaid sesungguhnya adalah sosok
seorang jurist yang prolific. Sehingga dengan konsisten ia
menggunakan nalar fiqh dalam mengelaborasi isu-isu ekonomi.
Kedua, konsep ekonomi yang ditawarkan oleh Ibn Ubaid
bersipat fragmented, atau terfragmentasi. Ia lebih concern
membahas keuangan publik. Ia menawarkan konsep tax system
based on social justice, atau pemunggutan pajak mesti didasarkan
pada sistem yang berkeadilan. Agar pajak tidak menjadi
instrumen eksploitasi terhadap umat.
Originalitas/Novelty: Kontribusi tulisan ini terletak pada
jawabannya terhadap kekosongan literatur yang mengkaji
secara kritis terhadap kitab Al-Amwal, dan mampu
mengidentifikasi corak pemikiran dominan seorang Ibn Ubaid.

©2019 Al-Falah. All Right Reserved

PENDAHULUAN

Bila kita pahami perkembangan pemikiran ekonomi, maka para ahli ekonomi
konvensional menyetujui bahwa Adam Smith adalah pelopor ekonomi modern. Dari
pemikiran Smith itu muncullah tradisi pemikiran ekonomi klasik yang menekankan
pada kebebasan mekanisme pasar dalam mengukur aktivitas ekonomi (laises faire) tanpa
perlu diintervensi oleh kebijakan pemerintah. Didalam perkembangannya, pemikiran
ekonomi klasik ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan ekonomi yang
berkembang. Ini dibuktikan dengan timbulnya depresi perekonomian dunia menjelang
perang dunia II.1
Maka dari sinilah muncul para pemikir ekonomi yang menekankan perlunya
peran pemerintah dalam mengatur aktifitas ekonomi. Pada dasarnya, perkembangan
ekonomi jika ditelusuri lebih jauh, maka akan dapat dipahami bahwa perkembangan itu
sangat pesat sebelum Adam Smith muncul dan memperkenalkan pemikiran ekonomi
lewat maqnum opus-nya, The Wealth of Nation. Bahkan bisa jadi pemikiran Smith
merupakan redundant dari pemikiran ekonom ataupun filosuf sebelumnya. Indikasi ini
semakin besar jika diperhatikan bagaimana perkembangan ekonomi Islam yang bila
dirunut, kronologisnya, semenjak masa kehidupan Rasullullah ‫ﷺ‬di kota Mekah.
Namun pada waktu itu pemikiran mengenai ekonomi Islam belum berkembang dengan

1
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar , (Yokyakarta: LPPI, 2001), h. 28.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 2
2
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~

baik, hal ini disebabkan oleh masyarakat pada saat itu langsung mempraktikannya, dan
apabila menemukan persoalan dalam bidang ekonomi maka mereka langsung
mempertanyakan kepada Nabi.
Secara kontekstual, persoalan pada masa itu belum begitu komplek. Secara
makro praktek ekonomi yang dilakukan Nabi ‫ ﷺ‬dan para sahabat sarat dengan
unsur economic justice dalam kerangka etika bisnis yang Qur‘ani.2 Dasar ekonomi
sesungguhnya adalah Al Qur‘an dan Hadist yang kaya akan hukum-hukum dan
pengarahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan perubahan
zaman dan perbedaan kawasan regional sampai saat sekarang ini. Pada awal Islam
datang, kegiatan ekonomi yang sedang berjalan, tidak terlalu kompleks seperti sekarang
ini. Konsekuensinya, hukum dan pemikiran ekonomi yang ada hanya mengakomodasi
konsep current transaction, seperti konsep pertukaran barang, penentuan harga, konsep
riba, ataupun konsep yang lainya. Seiring dengan ekspansi dakwah Islam, kawasan
regional yang berada dibawah kekuasaan Islam menjadi semakin luas, maka fenomena
tersebut tentu akan memicu perubahan terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, hingga
pada abad ke-15 upaya pengembangan dan elaborasi pemikiran ekonomi berdasarkan
nilai dan prinsip syari‘ah yang berlaku telah berubah dengan seksama.
Untuk menjabarkan bentuk dan konsep-konsep ekonomi yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat dewasa ini, maka munculah para pemikir-pemikir ekonomi
Islam klasik yang mencoba menjawab kesenjangan yang ada ditengah-tengah
masyarakat, yang mana salah satu pemikir cendikiawan muslim tersebut adalah (Abu
Ubaid) yang mencoba mendalami isu ekonomi yang mana dalam konsep ekonominya,
Ibn Ubaid lebih menekankan prinsip keadilan terhadap keuangan publik suatu negara.
Karena itu kemudian dirinya menulis sebuah buku yang terkenal, yaitu kitab al Amwal,
yang bisa dijadikan sebagai suplemen dalam kerangka memahami ekonomi Islam.
Dalam konteks ini, maka tulisan ini akan concern mengkaji secara kritis corak pemikiran
Ibn Ubaid, dalam mengelaborasi persoalan ekonomi Tidak hanya itu, tulisan ini juga
akan mengelaborasi secara kritis konsep penting ekonomi yang dipaparkan oleh Ibn
Ubaid dalam karyanya, Al-Amwal. Dengan demikian, kajian itu tidak hanya
diproyeksikan sebagai literatur tetapi juga diposisikan sebagai ulasan kritis bagaimana
pemikiran dan konsepsi ekonomi Ibn Ubaid.

METODOLOGI

Artikel ini menerapkan pendekatan hermeneutika untuk memahami teks yang


ditulis oleh Ibn Ubaid, yakni kitab Al-Amwal. Adapun hermeneutika merupakan
pendekatan radikal dan reflektif-filosofis terhadap ide yang ada di balik sebuah teks.3
Karena artikel ini menjadikan teks yang ditulis oleh Ibn Ubaid, sebagai unit analisis,
maka pendekatan hermeneutika sebagai design kajian dipilih dan diterapkan secara

2
h. 28.
3
Iasmina Petrovici, ―Philosophy as Hermeneutics: The World of Text Concept in Paul
Ricouer‘s Hermeneutics,‖ in Procedia - Social and Behavioral Sciences, vol. 71 (International
Workshop on the Historiography of Philosophy: Representations and Cultural Constructions
2012, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013), h. 22.
3
intens. Hal ini sesuai dengan pandangan Mohammad Ali Kharmandar; Amin Karimnia
yang mengutarakan bahwa pembacaan terhadap teks akan lebih akurat, dan sensitif jika
menggunakan pendekatan hermeneutika.4 Karena hermeneutika tidak hanya mampu
memotret teks sebagai susunan tulisan. Tapi mampu memahami ide di balik sebuah
teks.
Tugas hermeneutika adalah mengungkap makna, ide dan nilai-nilai yang ada
pada sebuah teks.5 Demikian juga pendekatan hermeneutika difungsikan dalam artikel
ini. Dalam penerapannya, dengan merujuk pada Gadamer, seorang pengkaji sebuah
teks mestilah mampu membedakan teks dari maksud yang dituju oleh pengarangnya.
Dalam konteks ini, peneliti akan aktif memberikan makna terhadap sebuah teks sesuai
dengan kontek pengalaman yang melekat pada pembaca. Ini kemudian disebut dengan
pembauran cakrawala—perpaduan antara cakrawala masa lalu saat sebuah teks itu
ditulis dan cakrawala saat teks tersebut dibaca, dan dipahami oleh pembaca.6 Proses
pembauran ini yang secara konsisten dilakukan pada setiap tema, dan bab yang terdapat
dalam kitab Al-Amwal. Hanya saja dalam memahami kitab dan pemikiran Ibn Ubaid
tersebut, peneliti juga merujuk secara eksploratif terhadap ‗tafsir‘ yang muncul terhadap
pemikiran Ibn Ubaid.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Riwayat Hidup
Dia adalah Al Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al- harawi Al-Azadi Al-
Bagdady. Dia lahir pada tahun 150 H di kotaHarrah, Khurasan, sebelah barat laut
Afganistan. Ayahnya keturuna Bizantyum yang menjadi maula suku azad. Setelah
memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahiranya, pada umur 20 tahun, Abu Ubaid
pergi berkelana menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baqhdad.
Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, Qira‘at,
Tafsir, Hadist dan Fiqh. Pada tahun 192 H, akhirnya Abu Ubaid diangkat sebagai qadi
(hakim) di daerah Tarsus sampai pada tahun 210H, oleh Tsabit bin Nasr Al-Malik
(gubenur Thugur pada masa khalifah Harun Ar Rasyid). Akhirnya dia tinggal menetap di
Baqdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhajji ia menetap di Mekkah dan
dia wafat pada 224 H.
Abu Ubaid hidup pada masa khalifah Daulah Abassyah, yakni pada masa
Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Najatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini
ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karya dalam bidang ekonomi,
sedangkan pada masa Abasiyah pertama ini, ditemukan lebih dari 200 orang pemikir
yang terdiri selain fuqaha juga filusufis, masa Abasiyah ini merupakan kegemilangan
dunia Islam atau masa renaisance. Dengan tidak meninyimpang dari nilai keadilan dan

4
Mohammad Ali Kharmandar Amin Karimnia, ―The Fundamentals of Constructing a
Hermeneutical Model for Poetry Translation,‖ in Procedia - Social and Behavioral Sciences, vol. 70
(Akdeniz Language Studies Conference 2012, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013),
h. 580.
5
Bambang Hendarta Suta Purwana, ―Pendekatan Hermeneutik Dalam Penafsiran
Teks Sastra Melayu,‖ Humaniora XIII, no. 1 Februari (2001): h. 82.
6
h. 85.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 4
4
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~

keberadaban, Abu Ubaid lebih secara historis mementingkan aspek rasionalitas, nalar
dan spritual terhadap kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Atas dasar itu, Abu Ubaid menjadi salah seorang pioner yang menawarkan nilai-nilai
tradisional pada abad ke III H, yang mana ia berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem
perekonomian, dapat diupayakan melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan
keuangan serta institusi ekonomi dengan di dasarkan berdasarkan Quran dan Hadis.
Dengan kata lain, bersumber dari yang suci--Quran dan Hadis, guna mendapatkan
nilai-nilai eklusif serta yang kemudian diimplementasikan pada pemikiran ekonomi

Corak Pemikiran Abu Ubaid


Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis dan ahli fiqh terkemuka dimasa
hidupnya. Selama menjabat sebagai Qadi di Tarsus, dia sering menangani berbagai kasus
pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan baik. Juga dia merupakan
ahli bahasa. Karenanya ia banyak menterjemahkan karya dari bahasa Persi ke Bahasa
Arab.
Sisi lain dari Ibn Ubaid terungkap dari frekuensi yang amat sering mengunakan
kalimat amr dalam kitab al Amwal. Tampaknya pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh
pemikiran Abu Amr Abdurrahman ibn amr al Awza’i, serta ulama-ulama Suriah lainnya
sewaktu dia menjadi Qadi di Tarsus. Bila dibandingkan dengan pemikiran Abu Yusuf,
maka Abu Ubaid tidak menelik masalah-masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulanganya, namun Abu Ubaid kitab Al Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari
pada Kitab al Kharaj. Dalam hal ini Abu Ubaid lebih terfokus pada permasalahan yang
berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan ketimbang berorientasi pada
teknik efesiensi pengelolaan, Abu Ubaid lebih concern kepada masalah restributif dari sisi
“apa” daripada “bagaimana”.7
Filosofi yang dikemukakan Abu Ubaid hanya merupakan sebuah pendekatan
yang bersifat profesional yang bersandar pada kemampuan teknis, dan tidak menyimpang
dari prinsip-prinsip keadilan dan masyarakat beradab. Pandangan Abu Ubaid
mengedepankan dominasi intelektualitas islami serta bersifat teologis. Ini menjadi
fondasi bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, baik individu maupun sosial,
sehingga dengan pola seperti itu, akhirnya Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang
cendikiawan Muslim terkenal pada abad ke-3H yang menetapkan revitalisasi system
perekonomian berdasarkan Qur‘an dan Hadis, yang dilakukan melalui reformasi
kebijakan keuangan dan institusinya.8
Dengan pengetahuan dan wawasan yang dimiliki Abu Ubaid yang begitu luas,
sehingga dia dinisbahkan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sebagai pengikut mereka,
walaupun fakta-fakta menunjukkan Abu Ubaid adalah seorang fuqaha yang
independen. Namun dalam kitab al Amwal, Abu Ubaid tidak pernah menyebut kedua
nama ulama Syafiiyah dan Hanabilah, tetapi sebaliknya, Abu Ubaid sering kali mengutip
pandangan Malik ibn Anas (salah seorang guru Al Syafi‘i) dan begitu juga dia sering

7
Natajuddin Siddiqi, Muslim Economics Thinking (Leicester: 1981, Islamic Fondation), h.
132.
8
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam ((Jakarta: Raja Garafindo
Persada, 2004), h. 224.
5
mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan al Syaibani,
bahkan hampir seluruh pendapat mereka dia tolak.9
Jika isi dari buku Abu Ubaid dievalusi dari sisi filsafat hukum maka akan
tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya,
pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan
prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan pendekatan yang selaras dengan sosial.
Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang pada hak-hak individual, publik
dan negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentinan publik, maka
ditekankan lebih dahulu kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid ditulis dan dihasilkan pada masa Dinasti Abassiyah,
dan tidak pernah ada masalah legitimasi, meski pemikirannya sering menyoroti
kebijakan khalifah untuk mebuat keputusan dengan hati-hati. Sebagai contoh, Abu
Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun
penerimaannya sendiri, sedangkan zakat komoditi harus diberikan kepada pemerintah.
Jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak tertunaikan. Lebih jauh,
pengakuannya terhadap otoritas Imam dalam memutuskan kepentingan publik seperti
membagi tanah taklukkan. Para penakluk didorong untuk membiarkan kepemiliknnya
diambil alih oleh penduduk setempat.
Abu Ubaid juga membahas tentang masalah tarif dasar pajak tanah atau poll-
tax, dia juga menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial
dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai ―capacity to
pay”(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima dari
kalangan Muslim. Menurut Abu Ubaid, dia membela pendapatan bahwa tarif pajak
kontraktual tidak dapat dinaikan tapi dapat diturunkan jika terjadi kemampuan
membayar dengan berkesinambungan.
Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang
disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim serta
hutangnya itu akan dibebaskan dari pajak/cukai (duty free). Abu Ubaid juga menjelaskan
tentang pengumpulan kharaj, jizyah, ushur atau zakat tidak boleh menyiksa seseorang
dan disisi lain orang tersebut harus melunasi kewajiban finansialnya secara teratur, dan
Abu Ubaid merusaha untuk menghentikan terjadinya diskriminasi dalam perpajakan
serta menghindari pajak (tax evasion).
Dalam beberapa permasalahan, Abu Ubaid tidak merujuk kepada kharaj yang
dipelopori oleh khalifah Umar bin Khatab, ia memandang bahwa adanya permasalahan
dalam meningkatkan atau menurunkannya berdasarkan kepada situasi dan kondisi,
karena Abu Ubaid mengadopsi kaedah yang mengatakan ―la yunkaru taqhaiyyiru al fatwa
bi taqhayyur al azminah”, namun walaupun keragaman terjadi tapi keputusan/ijtihad
harus sesuai dengan nash yang berlaku

Sekilas Tentang Kitab Al Amwal


Kitab al Amwal dibagi kedalam beberapa bagian dan bab yang tidak beraturan
isinya, dalam bab pendahuluan, maka Abu Ubaid secara singkat membahas tentang hak
dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta sebaliknya, dengan penekanan
terhadap kebutuhan suatu pemerintah yang adil. Pada bagian selanjutnya kitab ini
membahas tentang berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada

9
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 6
6
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~

pemimpin atas nama rakyat serta berbagai landasan hukum yang sesuai dengan
Alqur‘an dan Hadist. Dalam bab tersebut, Abu Ubaid menekankan pembahasanya
kedalam pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti harta fai, bagian
khumus dan safi’ serta pengalokasiannya, baik dimasa rasul itu sendiri maupun
sesudahnya. Jadi pada bagian selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar
pemikiran dalam kitab itu, ketika membahas tiga sumber utama pendapatan negara,
yaitu fai, khumus dan shadaqah yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus
dan mendristibusikannya kepada masyarakat.
Tiga bagian dalam kitab al-Amwal tersebut meliputi beberapa bab yang
membahas masalah penerimaan fai. Menurut Abu Ubaid, harta fai merupakan
pendapatan negara yang diambil oleh orang muslim terhadap harta non-muslim yang
diambil dengan jalan damai, berasal dari jizyah, kharaj dan ushur.10 Dan pada bagian
keempat dalam kitab tersebut, sesuai dengan perluasan daerah Islam di masa dahulu,
maka itu dibahas mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasional, dan hukum
perang, bagian kelima membahas tentang distribusi, pendapatan fai, bagian keenam dalam
kitab tersebut membahas tentang iqta, ihya al mawat.11
Jadi dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa isi bagian dari kitab al Amwal
tersebut lebih mendalam membahas masalah Keuangan Publik (Public Finance), secara
umum. Pada masa Abu Ubaid masih hidup, pertanian dipandang sebagai usaha yang
paling baik dan utama, karena fungsi utamanya untuk menyediakan kebutuhan dasar,
makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara, maka hal inilah yang
menjadikan sektor pertanian sebagai isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi.
Sebab itu, Abu Ubaid memfokuskan kajiannya pada persoalan sosio-politik-ekonomi yang
stabil dan adil.
Secara umum isi dari kitab al Amwal tersebut didominasi oleh Hadis Nabi.
Kendati demikian kitab al Amwal membahas pilar dan fondasi agar suatu pemerintah
sukses dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti dalam pemerintahan Khalifah
Umar ibn Khatab, yang berhasil membangun sistem perpajakan dan Umar ibn Abdul Aziz
yang berhasil dalam memperbaiki dan menata ulang sistem perpajakan agar lebih baik.12
Salah seorang murid Abu Ubaid, yaitu Ibrahim al Harbi, mengkritik gurunya dan
menilai bahwa kitab al Amwal merupakan karangan Abu Ubaid yang paling lemah
karena sedikitnya hadis-hadis yang beliau bahas, namun hal ini dapat dipahami. Karena
Abu Ubaid hanya menulis hadis-hadis yang sangat relevan. Sebab dalam beberapa
kesempatan ia menyebutkan terdapat hadis-hadis yang berjumlah lebih banyak dari
pada yang dia bahas. Dan juga Abu Ubaid dikenal sebagai seorang mujtahid yang
independen karena kehandalannya dalam melakukan istinbath hukum dari Alqur‘an dan
Hadis, yang dapat menghasilkan suatu kaedah-kaedah tentang keuangan, terutama yang
berkaitan dengan perpajakan.13 Selain itu Abu Ubaid berpendapat bahwa Qur‘an dan
Hadis merupakan referensi utama dalam menarik suatu kesimpulan hukum. Qur‘an

10
Said Sa‘ad Marthon, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2008), h. 97.
11
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global.
12
Abdul Islahi Azim, History of Economic Thought in Islam (Aligarh: Aligarh Muslim
University, 1996), h. 118.
13
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 249.
7
juga merupakan pondasi dasar yang lebih tinggi dari Hadis dan salah satu fungsi Hadis
adalah sebagai penjelasan bagi Alqur‘an itu sendiri.

Dikotomi Masyarakat Desa dan Kota


Abu Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum Badui, kaum Urban atau
perkotaan, antara lain: Pertama, ikut dalam melangsungkan Negara dengan berbagi
kewajiban administrasi dari semua kaum muslimin. Kedua, memelihara dan menjaga
serta memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta benda mereka.
Ketiga, mempopulerkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan
pengajaran al-Qur‘an dan Hadist dengan disemenisasi keunggulan kwalitas isnya.
Keempat, Melakukan konstribusi terhadap keseimbangan sosial melalui pemberian dan
penerimaan hudud.
Jadi dapat dipahami bahwa disamping konsep utama yang diterapkan Abu
Ubaid adalah (keadilan). Abu Ubaid juga mengembangkan suatu negara Islam
berdasarkan kepada administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan ketaatan.
Karakteristik demikian menurutnya hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban.
Kaum Badui biasanya tidak mempunyai kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum
Urban. Mereka tidak dapat menerima mamfaat penerimaan harta fai dan menerima
tunjangan dari negara seperti kaum Urban. Karena mereka memiliki hak klaim
sementara terhadap penerimaan fai hanya ada pada waktu terjadinya tiga kondisi krisis--
saat invansi atau penyerangan musuh, kekeringan yang mematikan serta kerusuhan
sipil.
Abu Ubaid memperluas aturan ini untuk diterapkan pada masyarakat
pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada masyarakat, seperti anak-
anak perkotaan mendapat hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan
walupun kecil, dan itu berasal dari harta fai yang mungkin dibagikan karena dia mengira
bahwa mereka sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait
dimasa yang akan datang. Abu Ubaid mengakui adanya hak para budak terhadap arzaq
(jatah) yang bukan tunjangan.

Konsep dan Teori Ekonomi Abu Ubaid


Filosofis Hukum-Ekonomi
Bila kita pelajari isi dari Kitab al Amwal, maka secara filosofis hukum akan jelas
bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid,
pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan keselarasan sosial.14 Dan juga bagi Abu Ubaid memiliki pendekatan yang
seimbang terhadap hak-hak individu, publik dan negara, jika seandainya kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka bagi Abu Ubaid didahulukan
kepentingan publik.15
Pada masa keemasan Islam, yaitu pada masa Dinasti Abassiah, maka Abu
Ubaid menitik beratkan tulisannya pada masalah yang berkaitan dengan khalifah dalam
rangka mengambil suatu kebijakan dalam memutuskan suatu perkara selama tidak

14
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Euis Amalia (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), h.
103.
15
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, h. 95.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 8
8
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~

bertentangan dengan ajaran Islam dan kepentingan masyarakat. Sehingga dengan


demikian, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada
negara atau pribadi penerima secara langsung, tapi bagi zakat komoditas harus
diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak
dilaksanakan.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak
boleh disalahgunakan atau dimamfaatkan untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain,
perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas
masalah pajak atau kharaj dan jizyah, dia menyinggung tentang pentingnya
keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non Muslim dengan kepentingan
dari golongan Muslim yang berhak menerimanya.16
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat
ditunaikan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayarnya.
Jika seorang penduduk non Muslim mengajukan permohonan bebas utang dan
dibenarkn oleh saksi Muslim, maka barang perdagangan mereka tersebut yang setara
dengan jumlah utangnya, sehingga mereka itu akan terbebas dari bea cukai. Dalam
masalah pemungutan kharaj, jizyah, ushur dan zakat, Abu Ubaid tidak memaksa
masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan seharusnya,
dengan kata lain, Abu Ubaid menghentikan system diskriminasi dan eksploitasi serta dan
penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindari pajak.
Pandangan Abu Ubaid yang tidak merujuk kepada tingkat kharaj yang
diterapkan oleh Khlifah Umar terhadap permasalahan yang muncul dari kebijakan
peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi,17 ini
menunjukan bahwa Abu Ubaid menggunakan kaedah fiqh ―la yunkaru taghayyuru al-fatwa
bi taghayyuril azmani‖, namun demikian, baginya, keberagaman tersebut hanya berlaku
aturan hukum atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad.

Kepemilikan dan Kebijakan Pertania


Dalam sistim perekonomian, Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi
dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan ini Abu Ubaid berpendapat bahwa
hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian, merupakan
kebijakan pemerintah, seperti deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas
tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan pruduksi pertanian.
Karena itu tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibabaskan dari
kewajiban pajak, jika dibiarkan menganggur selam tiga tahun berturut-turut akan di
denda dan kemudian dialihkan kepemilikannya kepada penguasa.18 Bahkan dalam
pandangan Abu Ubaid, sumber dari kesejahteraan publik, seperti air, padang rumput,
dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (pohon pribadi), maka seluruh sumber
daya ini hanya dapat dimasukkan kedalam kepemilikan negara yang akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

16
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global.
17
Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar.
18
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 256.
9
Distribusi Zakat berbasis Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pandapat yang menyatakan bahwa pembagian
zakat harus dilakukan secara merata diantara para kelompok penerima zakat dan
cendrung menetukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan, namun bagi
Abu Ubaid yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, berapapun
besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Oleh
sebab itu, pendekatan yang dilakukan oleh Abu Ubaid ini mengindikasikan bahwa ada
tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu: 1) Kalangankaya
yang terkena wajib zakat; 2) Kalanganmenengah yang tidak terkena wajib zakat, tapi
juga tidak berhak menerima zakat; 3) Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi zakat, Abu Ubaid mengadopsi prinsip
“mendistribusikan kepada setiap orang menurut kebutuhannya masing-masing”, dan ketika
membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat/pajak yang diberikan kepada
pengumpul zakat, pada prinsipnya Abu Ubaid menekankan implementasi prinsip “bagi
setip orang sesuai dengan haknya”. Karena zakat yang dibagikan kepada pengelola zakat
harus sesuai dengan kebijakan imam.

Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yang tida memiliki nilai
instrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai
media pertkaran (medium of exchange). Jelaslah bahwa pendekatan ini menunjukan adanya
dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai uang logam.
Emas dan perak merupakan jenis alat tukar yang pertama sekali dipergunakan
dalam sistem ekonomi Islam klasik. Ketika Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul,
maka beliau menetapkan emas dan perak sebagai mata uang ahli Makah dan sekaligus
mewajibkan zakat.19 Dalam kehidupan ekonomi, uang mempunyai peranan yang sangat
penting, maka pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui ada dua fungsi uang diatas.
Dalam hal ini, Abu Ubaid menyatakan;
―Ada hal yang tidak dapat diragukan lagi, bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa
pun kecuali menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan tertinggi dapat diperoleh dari
kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu.”20
Pernyataan Abu Ubaid ini menunjukan bahwa ia mendukung teori
konvensional mengenai uang logam, dia menelusuri kepada kegunaan umum dari nilai
kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainya, jika kedua benda
tersebut juga digunakan pula sebagai komoditas, maka nilai kedua benda tersebut dapat
berubah-ubah pula, karena dalam hal ini kedua benda tersebut akan memainkan dua
peran yang berbeda, yaitu sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar nilai
terhadap barang-barang lainya. Maka secara implisit, Abu Ubaid mengakui adanya fungsi
uang sebagai penyimpan nilai dari suatu barang. Salah satu ciri khas dari kitab al Amwal
diantara kitab yang lainya adalah membahas masalah keuangan publik, dengan
pembahasan yang elaboratif dan mendalam tentang timbangan dan ukuran, yang bisa
digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berhubungan dengan
harta.

19
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, h. 91.
20
Lihat dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Al-Falah:
Al-Falah: JournalJournal of Islamic
of Islamic Economics|
Economics| Vol. 4,Vol.
No.4,1,No.
20191,|ISBN:
2019|ISBN: 2548-2343
2548-2343 (p), 2548-3102
(p), 2548-3102 (e) (e) 10
10
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~

Abu Ubaid menulis bab terpisah untuk menjelaskan problematika dan


ijtihadnya tentang penimbangan dan pengukuran yang digunakan dalam menghitung
kewajiban finansial. Terutama dalam kaitannya dengan memenuhi kewajiban agama dan
dunia. Keistimewaan lain dari kitab Al Amwal, diantara buku-buku lain sejenis kitab
tersebut. Dalam pembahasan tersebut diceritakan usaha kaalifah Abdul Malik bin
Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam
sirkulasi.
Pada epilog kitabnya kembali Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip
utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada
kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Secara umum, dan fundamental Abu
Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan
negara. Bahkan ketika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik,
maka Ibn Ubaid berpihak kepada kepemilikan publik. Abu Ubaid adalah peletak ode
etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finansial) secara adil.
Pemikiran Abu Ubaid menjadi rujukan bagi pengembangan dunia ekonomi
modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi Islam kontemporer, Adam
Smith, dengan karyanya ― The Wealth of Nation‖ sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu
Ubaid yang ada dalam kitab al Amwal. Meskipun keduanya hidup dan berkembang
dalam masa dan periode yang berbeda.

SIMPULAN
Uraian pada bagian terdahulu memungkinkan pengajuan tesis dalam artikel ini,
dimana Abu Ubaid merupakan salah satu pakar pemikir ekonomi klasik, yang mana dia
lebih cenderung membicarakan tentang masalah keuangan publik, dan implementasinya
dalam sebuah sistem ekonomi. Ia lebih menekankan kepada prinsip keadilan yang
mejadi prinsip utama dalam melangsungkan pola pemikirannya itu. Salah satu karya
yang terkemuka Abu Ubaid adalah kitab al Amwal, yang mana kitab tersebut pada
dasarnya menjelaskan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata.
Ia juga menawarkan pandangan yang radikal tentang pemberian terhadap seseorang
dari para penguasa. Itu diberikan sesuai dengan berapa besarnya pengabdian yang telah
diberikan kepada masyarakat itu sendiri, dan juga Abu Ubaid sangat memperhatikan
bahwa dalam pendistribusian suatu harta, tidak boleh menguntungkan suatu pihak.
Karena itu menurutnya, pemerintah harus mengatur harta kekayaan masyarakat agar
selalu difungsikan secara baik agar tercapai kemamkmuran bagi seluruh komponen
masyarakat.

Referensi:

Abdul Islahi Azim. History of Economic Thought in Islam. Aligarh: Aligarh Muslim
University, 1996.

Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: Raja Garafindo


Persada, 2004.

11
Amin Karimnia, Mohammad Ali Kharmandar. ―The Fundamentals of Constructing a
Hermeneutical Model for Poetry Translation.‖ In Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 70:580 – 591. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013.

Bambang Hendarta Suta Purwana. ―Pendekatan Hermeneutik Dalam Penafsiran Teks


Sastra Melayu.‖ Humaniora XIII, no. 1 Februari (2001): 82–89.

Iasmina Petrovici. ―Philosophy as Hermeneutics: The World of Text Concept in Paul


Ricouer‘s Hermeneutics.‖ In Procedia - Social and Behavioral Sciences, 71:21–27.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013.

Imamudin Yuliadi. Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar. Yokyakarta: LPPI, 2001.

Natajuddin Siddiqi. Muslim Economics Thinking. Leicester: 1981, Islamic Fondation.

Said Sa‘ad Marthon. Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul
Hakim, 2008.

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Euis Amalia. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005.

Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 12
12

Anda mungkin juga menyukai