MAKALAH
Disusun :
Kelompok 06 / 3G
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW. Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan
informasi bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan Perbankan Syariah
(PS).
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penyusun berharap kepada semua pihak atas segala saran dan kritiknya
demi kesempurnaan makalah ini. Ucapan terima kasih kami haturkan pada seluruh
pihak yang mendukung penyusunan makalah ini, antara lain:
1. Bapak Dr. H. Maftukhin, M. Ag, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung,
2. Bapak H. Dede Nurrohman, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
3. Bapak Muhamad Aqim Adlan, S. Ag., S. Pd., M. E. I selaku ketua jurusan
Perbankan Syariah,
4. Bapak Anang Haris Firmansyah, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam,
5. Serta semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan
makalah ini.
Demikian yang dapat penyusun sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi bekal pengetahuan bagi pembaca di
kemudian hari.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN ................................................................................... 20
B. SARAN ............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Abu Ubaid ?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam Abu Ubaid ?
3. Bagaimana biografi Yahya bin Umar ?
4. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam Yahya bin Umar ?
1
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui biografi Abu Ubaid
2. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran islam Abu Ubaid
3. Untuk mengetahui biografi Yahya bin Umar
4. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran ekonomi islam Yahya bin
Umar
2
BAB II
PEMBAHASAN
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-
Harawi Al-Azdhi. Hidup semasa Daulah Abassiah mulai dari khalifah Al-Mahdi
(158/775). Beliau dilahirkan di kota Bahra (harat) di Propinsi Khurasan pada
tahun 154 H dan wafat di Makkah pada tahun 224 H. Ayahnya keturunan
Byzantium, maula dari suku Azd. Abu Ubaid merupakan seorang ulama yang
cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang menyanjung dan memujinya.
Menurut Qudamah as-Sarkhasy, diantara Syafi’i, Ibnu Hambal, Ishaq dan Abu
Ubaid maka Syafi’i yang paling faham (faqih), Ibnu Hambal yang paling wara’
(hati-hati), Ishaq paling hufadz (kuat hafalannya) dan Abu Ubaid lah yang paling
pintar berbahasa Arab (fasih). Menurut Ishaq, Abu Ubaid itu yang terpandai
diantara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.
Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada
memukulkan pedang di jalan Allah. Beliau membuahkan hasil karyanya sebanyak
20 karangan baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qiraat, Fiqih, Syair dan lainnya. Di
antara hasil karyanya yang terbesar dan terkenal adalah kitab Al-Amwal dalam
bidang fiqih. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang
lengkap tentang keuangan Negara dalam islam. Isi buku ini dimulai dengan bab
singkat tentang hak penguasa atas subyek dan hak subyek yang berhubungan
dengan penguasa. Dilanjutkan dengan bab tentang jenis harta yang dikelola
penguasa untuk kepentingan subyek dan basisnya merujuk kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Bab-bab lainnya membahas tentang sumber penerimaan Negara.
Terdapat tiga jenis penerimaan yang diidentifikasikan dalam bab ke dua, meliputi
3
zakat (termasuk ashr),1 seperlima dari rampasan perang (khums) dan dari harta
peninggalan atau terpendam (rikaz), kemudian fa’i yang termasuk di dalamnya
kharaj, jizyah dan penerimaan lain di luar yang telah disebutkan, seperti barang
temuan kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris dan lainnya.
Kitab al-Amwal ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari separuh
pertama abad kedua islam. Buku ini juga merupakan suatu ringkasan tradisi asli
(authentic) dari Nabi SAW dan laporan para sahabat dan para pengikutnya tentang
masalah ekonomi. Para penulis dan pakar-pakar ekonomi banyak mengutip
karyanya dari buku ini. Abu Ubaid tidak semata-mata hanya mengungkapkan dari
pendapat orang lain, tetapi sebaliknya ia selalu mengungkapkan suatu preferensi
untuk satu dari beberapa pandangan yang dilaporkan atau dengan memberikan
pendapatannya sendiri tentang dasar dan alasan syariahnya. Misalnya, setelah
melaporkan berbagai pendapat tentang berapa banyak seorang penerima
(mustahiq) dapat menerima zakatnya, ia sangat tidak setuju terhadap mereka yang
meletakkan suatu batas tertinggi pada hibah semacam itu.
Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab Al-Amwal dalam bahasan
yang pertama adalah peranan Negara dalam perekonomian yang mengulas
tentang hak Negara atas rakyat dan hak rakyat atas Negara, dimana analisis yang
digunakan beliau merujuk pada kaidah hadist - hadist yang berkaitan dengan
pemerintahan. Hasil implementasi dari analisis itu direalisikan dalam kaidah
kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin. Unsur-unsur kontrak itu meliputi :
4
hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik dan menjamin
terpeliharanya maqasid syari’ah.2
Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar (basic princivil) dalam
misi kekhalifahan. Diriwayatkan dari imam Ali ra. “keadilan adalah suatu yang
hak dan pemerintah wajib menegakan hukum sesuai dengan yang Allah
syariatkan dan menjalankan amanat, ketika pemerintah melakukan hal tersebut
wajib bagi rakyat mendengar,mentaati, dan memenuhi panggilan Negara dan
pemerintah”. Khalifah dan pemerintah menempatkan hukum berdasarkan Al-
qur’an dan menyayangi rakyatnya sebagaimana lelaki menyayangi keluarganya.
Maka, dengan diimplementasikannya landasan ini, kemaslahatan maqasid akan
terealisasi dan terpelihara dalam kehidupan.
Andil Negara begitu besar dalam perekonomian karena tugas Negara adalah
menegakkan kehidupan social berdasarkan nilai-nilai keadilan yang disyariatkan,
seperti penerapan zakat dapat mengikis kesenjangan social dan menumbuhkan
kepeduliaan sosial. Dan dengan mengatur administrasi keuangan Negara seefektif
mungkin sehingga penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi
pendapatan dapat menjamin kemaslahatan umat sehingga terselenggara kegiatan
ekonomi yang berkeadilan. Dimana sasaran beliau adalah legitimasi dari sosio-
politik-ekonomi yang stabil dan adil.
2
Ibid….145.
5
dari kaum musyrikin. Pertama, adalah fa’l yaitu berupa harta benda dan tanah3
yang mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Kedua, adalah harta shafi yang
Rasulullah Saw dipilih dari ghanimah yang diperoleh kaum muslimin sebelum
harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah Saw
“Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”. Ketiga adalah
harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi. Menurut hadis yang diriwayatkan dari
Abi ‘aliyah, ia berkata : “Rasulullah saw mengumpulkan ghanimah dan beliau
dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi menempatkannya bagian untukn
ka’bah bagian untuk baitullah, kemudian membagi sisa 1/5, untuk nabi satu
bagian, ahli kerabat satu bagian, anak yatim satu bagian, orang miskin satu
bagian, dan ibnu sabil satu bagian, Abu ‘Aliyah berkata yang nabi jadikan satu
bagian untuk ka’bah adalah bagian Allah”.
Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin
Khattab ada tiga harta yang masuk dalam keuangan public yaitu : shadaqoh, fa’l
dan khumus.
a. Shadaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shadaqoh wajib atau yang disebut zakat harta seperti zakat emas,
perniagaan unta, sapi, kambing, biji - bijian dan buah-buahan. Dimana dari zakat
harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-
Qur’an tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka mereka dan
merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul
untuk dikeluarkan zakatnya.4 Abu Ubaid sangat menentang pandapat yang
menyatakan bahwa pembagian zakat harus dilakukan secara merata diantara para
kelompok penerima zakat dan cendrung menetukan suatu batas tertinggi terhadap
bagian perorangan, namun bagi Abu Ubaid yang terpenting adalah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, berapapun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan
orang-orang dari bahaya kelaparan. Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan
3
Euis Amalia,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.146.
4
Ibid., hlm.147
6
oleh Abu Ubaid ini mengindikasikan bahwa ada tiga kelompok sosio-ekonomi
yang terkait dengan status zakat, yaitu:
- Kalangankaya yang terkena wajib zakat;
- Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tapi juga tidak berhak
menerima zakat;
- Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi zakat, Abu Ubaid mengadopsi prinsip
“mendistribusikan kepada setiap orang menurut kebutuhannya masing-masing”,
dan ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat/pajak yang
diberikan kepada pengumpul zakat, pada prinsipnya Abu Ubaid menekankan
implementasi prinsip “bagi setip orang sesuai dengan haknya”. Karena zakat
yang dibagikan kepada pengelola zakat harus sesuai dengan kebijakan imam.5
1) Fa’l
Fa’l menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali sedang menurut
istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai
tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’l karena Allah
mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Sedang menurut versi Abu
Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah
dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’l
digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan umat. Bagian-
bagian dari Fa’l adalah :
Kharaj
Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum
muslimin dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan6 untuk mengolah
tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari
hasil produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.
5
Taufik Hidayat, “Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom: Critical Reading terhadap
Corak Pemikiran dan Konsepsi Ekonomi Ibn Ubaid”. Falah: Journal of Islamic Economics. Vol. 4
No. 3 , 2019, hlm. 10.
6
Euis Amalia, op. cit., hlm.148.
7
Jizyah
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-muslim
khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah dan harta
merdeka atau budak yang tinggal diwilayah pemerintahan Islam. Pada masa
Rasulullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di
Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah :
- 1 dinar
- 30 ekor 1 ekor sapi jizyahnya tabi’ ( sapi umur 1 tahun )
- 40 ekor sapi, jizyahnya 1 ekor musinah
- Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila
menggunakan biaya.
Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu pendidik Najran yang beragama
Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang setelah masuk Islam. Persamaan
antara kharaj dan jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan
dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’l., perbedaannya jizyah itu atas
kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat masuk islam dan kharaj tidak.
Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid, adalah 1/5 ghamimah dari ahli harbi, rikaz dan
luqatbah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang
terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghamimah, sesuai dengan firman
Allah surat al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui
penambangan dan harta yang terpendam/rikaz. Ketiga, khumus pada harta yang
dipendam hal, sebagaimana terjadi kertika mujahid dari asy’sya’abi dimana
seorang lelaki menemukan 1000 dinar yang dipendam diluar kota kemudian
dating kepada umar dan umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan
sisanya diberikan pada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu
dibagikan kepada kaum muslimin.7
7
Ibid., hlm.149.
8
Namun, yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga
hukum yang dilakukan Umar pada harta benda yang dipendam; pertama, bahwa
harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukan,
kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya
kepada Baitul Mal, ketiga, harta itu diberikan seluruhnya kepada yang
menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.
‘usyr
Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh.
Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu
sesuatu yang diambil pada zakat tanaman dan buah-buahan (Q.S. al-An’am ; 141).
Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas
untuk perniagaan.
9
mujahirin syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan kaum anshar yang
syahid 4.000 dirham.”8
6. Hukum Pertanahan
Pemikiran Abu Ubaid mengenai hubungan antara rakyat (warga Negara) dan
Negara demi stabilitas kesejahteraan rakyat dan Negara selain masalah
administrasi keuangan publik yang terdapat dalam kitab al-Amwal, beliau juga
berbicara mengenai hukum pertanahan.9 Berikut adalah hukum-hukum pertanahan
yang dikemukakan oleh Abu Ubaid :
a) Iqtha’
Pengertian iqtha’ ialah tanah yang diberikan oleh kepala Negara kepada seorang
rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
Hal ini, pernah terjadi dimasa Rasulullah dimana Rasulullah mewasiatkan tanah
yang terdiri dari 7 kebin kepada seorang pendeta yahudi, yaitu Mukhairik setelah
masuk islam. Dalam kitab al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang
bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah/tanah yang
dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka
keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala Negara. Kepala Negara,
8
Ibid., hlm.150.
9
Ibid., hlm.151.
10
begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang
mengelolanya dan tidak dimiliki orang islam maupun kafir.10
b) Ihya al-Mawat
Al-Mawat ialah tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan
tidak dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al-Mawat adalah membuka kembali
lahan yang mati itu dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan
dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan tersebut. Dalam hal
ini Negara berhak menguasai tanah mati ini dengan menjadikannya milik umum
11
yang semua manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat. Selanjutnya,
menurut Abu Ubaid bila tanah produk ihya al-Mawat ini menghasilkan sesuatu
dengan mengairi dan menanaminya, maka dikenakan zakat 1/10 untuk 8 mustahik
zakat.
c) Hima
Hima adalah perlindungan, menurut Abu Ubaid adalah tempat dari tanah yang
tidak berpenduduk yang dilindungi kepala Negara untuk tempat mengembala
hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat
perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil
yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai12
dengan sabda Rasulullah, “orang muslim adalah saudara bagi muslim yang
lainnya yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput.”
d) Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai
intrinsic sebagai standar dari nilai pertukaran (standar of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of Exchange). Tampaknya ia mendukung
terhadap teori ekonomi mengenai uang logam yang merujuk kepada kegunaan
umum dan relative konstannya nilai emas dan perak dibandingkan komoditas
yang lain. Jika kedua benda tersebut dijadikan komoditas maka nilai keduanya
10
Ibid., hlm.152.
11
Ibid., hlm.153.
12
Ibid., hlm.154.
11
dapat berubah pula karena dalam hal tersebut, keduanya akan memainkan peran
yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang-barang lain.13
Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang
bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi
ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para
cendekiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut
ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat
Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim, seperti Ibnu Al-Kirwan Ramh
dan Abu Al-Zhahir bin Al-Sarh. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di
antaranya, kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di
Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu
faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.14
13
Ibid….155.
14
Adiwarman Azwar Karim,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm.282.
12
2. Kitab Ahkam al-Suq
Di samping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya
tulis hingga mencapai 40 juz. Karya tulis Yahya bin Umar yang terkenal adalah
kitab al-Muntakhabah fi Ikhtisar al-Mustakhrijah fi al-Fiqh al-Maliki dari kitab
Ahkam al-Suq.
Kitab Ahkam al-Suq berasal dari benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah. Kitab
ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan
berbagai hukum pasar, satu penyajian meteri yang berbeda dari pembahasan-
pembahasan fiqih pada umumnya. Salah satu hal yang mempengaruhi adalah
situasi kota Qairuwan, tempat Yahya bin Umar menghabiskan bagian terpenting
masa hidupnya.15 Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang
permanen sejak tahun 155 H dan para penguasanya mulai masa Yazid bin Hatim
Al-Muhibli hingga sebelum masa Ja’far Al-Manshur. Bahkan, pada tahun 234 H,
Kanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat seorang hakim
yang khusus menangani permasalahan-permasalahan pasar. Dengan demikian,
pada masa Imam Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua
keistimewaan, yaitu:
Tentang kitab Ahkam al-Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan
kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu: pertama,hukum
syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu
wilayah. Kedua,hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat
pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
kemudharatan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitab Ahkam al-Suq
sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.16
15
Ibid., hlm.283.
16
Ibid., hlm.284.
13
Yahya bin Umar diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di
kota Sausah pada masa pasca konflik. Dalam perkembangan berikutnya, terdapat
dua riwayat tentang kitab ini, riwayat al-Qashri yang sekarang kita pelajari dan
riwayat al-Syibli.17
3. Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti
bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor
utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh
karena itu setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti
seluruh perintah Nabi Muhammad Saw dalam melakukan seluruh aktivitas
ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberadaan akan selalu
menyertai orang-orang yang bertaqwa, sesuai dengan firman Allah Swt:
Fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang
terefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan
harga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq. Penyusun
buku tersebut, Imam Yahya bin Umar, berulang kali membahasnya di berbagai
tempat yang berbeda. Tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga
merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian
terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
17
Ibid., hlm.285.
14
Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir
(penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi
Muhammad Saw., antara lain: Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Telah melonjak
harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw. Mereka (para sahabat) berkata:
Imam Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan
intervensi pasar, kecuali dalam dua hal, yaitu:
18
Euis Amalia,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.159.
19
Ibid., hlm.160.
15
sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi
masyarakat, termasuk ihtikar dan dumping. Dalam hal ini, pemerintah berhak
mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang
diberikan terhadap pelaku tindakan tersebut adalah berupa larangan melakukan
aktivitas ekonominya di pasar, bukan berupa hukuman maliyah.20
Menurut Dr. Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang
praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-
harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah
dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Tentang ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya
kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan
barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut
harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai
pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri
hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka
Dengan demikian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti
ihtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengembalikan
tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini juga berarti bahwa dalam ekonomi
Islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin
pelaksanaan hak-hak masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh
kekayaan secara semena-mena.21
Konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan
siyasah al-ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut masing-
masing dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seeking dan dumping.
20
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.288.
21
Ibid., hlm.289.
16
Islam secara tegas melarang ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mennjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ihtikar adalah
perbuatan yang berdosa. Lebih jauh, salah seorang sahabat ternama Abu Dzar Al-
Ghifari, menyatakan bahwa hukum ihtikar tetap haram meskipun zakat barang-
barang yang menjadi objek ihtikar tersebut telah ditunaikan.
Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat
menimbulkan kemudharatan bagi umat manusia. Ihtikar tidak hanya akan
merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan
diperoleh orang lain serta menghambat proses distribusi kekayaan diantara
manusia.22
22
Ibid., hlm.290.
23
Ibid., hlm.291.
17
Pada gambar dapat dijelaskan lebih lanjut dampak ihtikar terhadap penentuan
harga, kuantitas barang dan keuntungan yang dapat diperoleh oleh produsen.
Hakikat ihtikar adalah memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh kemampuan
produksi industri A adalah Q1. Karena industri tersebut menghadapi pasar
monopoli, ada kesempatan untuk memproduksi barang agar dapat keuntungan
yang maksimal.
18
barang yang sama yang dijual di pasar domestik. Dumping merupakan sebuah
kebijakan perdagangan yang kontroversial dan secara luas dikenal sebagai sebuah
praktik yang tidak fair karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan
merusak mekanisme pasar.
25
Ibid., hlm.294.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Abu Ubaid merupakan salah satu pakar pemikir ekonomi klasik, yang mana dia
lebih cenderung membicarakan tentang masalah keuangan publik, dan
implementasinya dalam sebuah sistem ekonomi. Ia lebih menekankan kepada
prinsip keadilan yang mejadi prinsip utama dalam melangsungkan pola
pemikirannya itu. Salah satu karya yang terkemuka Abu Ubaid adalah kitab al
Amwal, yang mana kitab tersebut pada dasarnya menjelaskan terhadap
pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata. Abu Ubaid sangat
memperhatikan bahwa dalam pendistribusian suatu harta, tidak boleh
menguntungkan suatu pihak. Karena itu menurutnya, pemerintah harus mengatur
harta kekayaan masyarakat agar selalu difungsikan secara baik agar tercapai
kemamkmuran bagi seluruh komponen masyarakat.
Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Yahya bin
Umar memiliki karya tulis yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtisar
al-Mustakhrijah fi al-Fiqh al-Maliki dari kitab Ahkam al-Suq. Menurut Yahya bin
Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan
seorang Muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan
asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan
ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu setiap muslim
harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi
Muhammad Saw dalam melakukan seluruh aktivitas ekonominya.Fokus perhatian
Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam
pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan harga (al-tas’ir)
merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq.
B. SARAN
Dari makalah diatas seidikitnya telah kita ketahui, apa itu ekonomi islam,
namun hal diatas belum bisa sempurna karena masih banyak kekurangannnya.
20
Dari kekurangan yang kemudian di teliti oleh pemabaca nantinya diharapakan
dapat menlengkapi makalah ini untuk kemudian menyempurnakan sebagaimana
mestinya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Taufik Hidayat. 2019. Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom: Critical
Reading terhadap Corak Pemikiran dan Konsepsi Ekonomi Ibn Ubaid. Journal of
Islamic Economics. Vol. 4 No. 3.
ARTICLE INFO
Article History: ABSTRACT:
Received 19-03-2019
Revised 29-03-2019
Accepted 16-05-2019 Purpose: The purpose of this article is to critically examine the style of
thought and economic conception offered by Ibn Ubaid, in his Al-Amwal
Keywords: work. This critical reading is intended so that the scientific structure of
Jurist Islamic economics presented in the book of Al-Amwal, can be identified
Fragmented more firmly and clearly.
Social Justice Design/Methodology/Approach: This paper explores critically
Public Finance the economic conception of Ibn Ubaid, and then formulates how the style of
Hermeneutics thinking Ibn Ubaid. With a qualitative approach, with the design
Economic justice ofresearch hermeneutics, this paper is expected to be able to interpret Ibn
Ubaid's thinking more systematically.
Paper Type: Findings: This study offers two theses: First, from the work and
Conceptual Paper structure of the arguments found consistently in the book of Al-Amwal,
Ibn Ubaid is actually the figure of a prolific jurist. He consistently uses
fiqh reasoning in elaborating an economic issues. Second, the economic
concepts offered by Ibn Ubaid are fragmented, or fragmented. He is more
concerned with discussing public finance. He offers the concept of a tax
system based on social justice, or tax collection must be based on a fair
system. So that taxes are not an instrument of exploitation of the people.
Originality/Value: The contribution of this paper lies in the answer
to the emptiness of the literature that critically examines the book of Al- Al-Falah:
Journal of Islamic
Amwal, and is able to identify the dominant patterns of thought of Ibn Economics
Ubaid. Vol. 4 No. 1,
2019
© IAIN Curup
ABSTRAK:
PENDAHULUAN
Bila kita pahami perkembangan pemikiran ekonomi, maka para ahli ekonomi
konvensional menyetujui bahwa Adam Smith adalah pelopor ekonomi modern. Dari
pemikiran Smith itu muncullah tradisi pemikiran ekonomi klasik yang menekankan
pada kebebasan mekanisme pasar dalam mengukur aktivitas ekonomi (laises faire) tanpa
perlu diintervensi oleh kebijakan pemerintah. Didalam perkembangannya, pemikiran
ekonomi klasik ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan ekonomi yang
berkembang. Ini dibuktikan dengan timbulnya depresi perekonomian dunia menjelang
perang dunia II.1
Maka dari sinilah muncul para pemikir ekonomi yang menekankan perlunya
peran pemerintah dalam mengatur aktifitas ekonomi. Pada dasarnya, perkembangan
ekonomi jika ditelusuri lebih jauh, maka akan dapat dipahami bahwa perkembangan itu
sangat pesat sebelum Adam Smith muncul dan memperkenalkan pemikiran ekonomi
lewat maqnum opus-nya, The Wealth of Nation. Bahkan bisa jadi pemikiran Smith
merupakan redundant dari pemikiran ekonom ataupun filosuf sebelumnya. Indikasi ini
semakin besar jika diperhatikan bagaimana perkembangan ekonomi Islam yang bila
dirunut, kronologisnya, semenjak masa kehidupan Rasullullah ﷺdi kota Mekah.
Namun pada waktu itu pemikiran mengenai ekonomi Islam belum berkembang dengan
1
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar , (Yokyakarta: LPPI, 2001), h. 28.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 2
2
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~
baik, hal ini disebabkan oleh masyarakat pada saat itu langsung mempraktikannya, dan
apabila menemukan persoalan dalam bidang ekonomi maka mereka langsung
mempertanyakan kepada Nabi.
Secara kontekstual, persoalan pada masa itu belum begitu komplek. Secara
makro praktek ekonomi yang dilakukan Nabi ﷺdan para sahabat sarat dengan
unsur economic justice dalam kerangka etika bisnis yang Qur‘ani.2 Dasar ekonomi
sesungguhnya adalah Al Qur‘an dan Hadist yang kaya akan hukum-hukum dan
pengarahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan perubahan
zaman dan perbedaan kawasan regional sampai saat sekarang ini. Pada awal Islam
datang, kegiatan ekonomi yang sedang berjalan, tidak terlalu kompleks seperti sekarang
ini. Konsekuensinya, hukum dan pemikiran ekonomi yang ada hanya mengakomodasi
konsep current transaction, seperti konsep pertukaran barang, penentuan harga, konsep
riba, ataupun konsep yang lainya. Seiring dengan ekspansi dakwah Islam, kawasan
regional yang berada dibawah kekuasaan Islam menjadi semakin luas, maka fenomena
tersebut tentu akan memicu perubahan terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, hingga
pada abad ke-15 upaya pengembangan dan elaborasi pemikiran ekonomi berdasarkan
nilai dan prinsip syari‘ah yang berlaku telah berubah dengan seksama.
Untuk menjabarkan bentuk dan konsep-konsep ekonomi yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat dewasa ini, maka munculah para pemikir-pemikir ekonomi
Islam klasik yang mencoba menjawab kesenjangan yang ada ditengah-tengah
masyarakat, yang mana salah satu pemikir cendikiawan muslim tersebut adalah (Abu
Ubaid) yang mencoba mendalami isu ekonomi yang mana dalam konsep ekonominya,
Ibn Ubaid lebih menekankan prinsip keadilan terhadap keuangan publik suatu negara.
Karena itu kemudian dirinya menulis sebuah buku yang terkenal, yaitu kitab al Amwal,
yang bisa dijadikan sebagai suplemen dalam kerangka memahami ekonomi Islam.
Dalam konteks ini, maka tulisan ini akan concern mengkaji secara kritis corak pemikiran
Ibn Ubaid, dalam mengelaborasi persoalan ekonomi Tidak hanya itu, tulisan ini juga
akan mengelaborasi secara kritis konsep penting ekonomi yang dipaparkan oleh Ibn
Ubaid dalam karyanya, Al-Amwal. Dengan demikian, kajian itu tidak hanya
diproyeksikan sebagai literatur tetapi juga diposisikan sebagai ulasan kritis bagaimana
pemikiran dan konsepsi ekonomi Ibn Ubaid.
METODOLOGI
2
h. 28.
3
Iasmina Petrovici, ―Philosophy as Hermeneutics: The World of Text Concept in Paul
Ricouer‘s Hermeneutics,‖ in Procedia - Social and Behavioral Sciences, vol. 71 (International
Workshop on the Historiography of Philosophy: Representations and Cultural Constructions
2012, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013), h. 22.
3
intens. Hal ini sesuai dengan pandangan Mohammad Ali Kharmandar; Amin Karimnia
yang mengutarakan bahwa pembacaan terhadap teks akan lebih akurat, dan sensitif jika
menggunakan pendekatan hermeneutika.4 Karena hermeneutika tidak hanya mampu
memotret teks sebagai susunan tulisan. Tapi mampu memahami ide di balik sebuah
teks.
Tugas hermeneutika adalah mengungkap makna, ide dan nilai-nilai yang ada
pada sebuah teks.5 Demikian juga pendekatan hermeneutika difungsikan dalam artikel
ini. Dalam penerapannya, dengan merujuk pada Gadamer, seorang pengkaji sebuah
teks mestilah mampu membedakan teks dari maksud yang dituju oleh pengarangnya.
Dalam konteks ini, peneliti akan aktif memberikan makna terhadap sebuah teks sesuai
dengan kontek pengalaman yang melekat pada pembaca. Ini kemudian disebut dengan
pembauran cakrawala—perpaduan antara cakrawala masa lalu saat sebuah teks itu
ditulis dan cakrawala saat teks tersebut dibaca, dan dipahami oleh pembaca.6 Proses
pembauran ini yang secara konsisten dilakukan pada setiap tema, dan bab yang terdapat
dalam kitab Al-Amwal. Hanya saja dalam memahami kitab dan pemikiran Ibn Ubaid
tersebut, peneliti juga merujuk secara eksploratif terhadap ‗tafsir‘ yang muncul terhadap
pemikiran Ibn Ubaid.
Riwayat Hidup
Dia adalah Al Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al- harawi Al-Azadi Al-
Bagdady. Dia lahir pada tahun 150 H di kotaHarrah, Khurasan, sebelah barat laut
Afganistan. Ayahnya keturuna Bizantyum yang menjadi maula suku azad. Setelah
memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahiranya, pada umur 20 tahun, Abu Ubaid
pergi berkelana menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baqhdad.
Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, Qira‘at,
Tafsir, Hadist dan Fiqh. Pada tahun 192 H, akhirnya Abu Ubaid diangkat sebagai qadi
(hakim) di daerah Tarsus sampai pada tahun 210H, oleh Tsabit bin Nasr Al-Malik
(gubenur Thugur pada masa khalifah Harun Ar Rasyid). Akhirnya dia tinggal menetap di
Baqdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhajji ia menetap di Mekkah dan
dia wafat pada 224 H.
Abu Ubaid hidup pada masa khalifah Daulah Abassyah, yakni pada masa
Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Najatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini
ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karya dalam bidang ekonomi,
sedangkan pada masa Abasiyah pertama ini, ditemukan lebih dari 200 orang pemikir
yang terdiri selain fuqaha juga filusufis, masa Abasiyah ini merupakan kegemilangan
dunia Islam atau masa renaisance. Dengan tidak meninyimpang dari nilai keadilan dan
4
Mohammad Ali Kharmandar Amin Karimnia, ―The Fundamentals of Constructing a
Hermeneutical Model for Poetry Translation,‖ in Procedia - Social and Behavioral Sciences, vol. 70
(Akdeniz Language Studies Conference 2012, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013),
h. 580.
5
Bambang Hendarta Suta Purwana, ―Pendekatan Hermeneutik Dalam Penafsiran
Teks Sastra Melayu,‖ Humaniora XIII, no. 1 Februari (2001): h. 82.
6
h. 85.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 4
4
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~
keberadaban, Abu Ubaid lebih secara historis mementingkan aspek rasionalitas, nalar
dan spritual terhadap kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Atas dasar itu, Abu Ubaid menjadi salah seorang pioner yang menawarkan nilai-nilai
tradisional pada abad ke III H, yang mana ia berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem
perekonomian, dapat diupayakan melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan
keuangan serta institusi ekonomi dengan di dasarkan berdasarkan Quran dan Hadis.
Dengan kata lain, bersumber dari yang suci--Quran dan Hadis, guna mendapatkan
nilai-nilai eklusif serta yang kemudian diimplementasikan pada pemikiran ekonomi
7
Natajuddin Siddiqi, Muslim Economics Thinking (Leicester: 1981, Islamic Fondation), h.
132.
8
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam ((Jakarta: Raja Garafindo
Persada, 2004), h. 224.
5
mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan al Syaibani,
bahkan hampir seluruh pendapat mereka dia tolak.9
Jika isi dari buku Abu Ubaid dievalusi dari sisi filsafat hukum maka akan
tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya,
pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan
prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan pendekatan yang selaras dengan sosial.
Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang pada hak-hak individual, publik
dan negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentinan publik, maka
ditekankan lebih dahulu kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid ditulis dan dihasilkan pada masa Dinasti Abassiyah,
dan tidak pernah ada masalah legitimasi, meski pemikirannya sering menyoroti
kebijakan khalifah untuk mebuat keputusan dengan hati-hati. Sebagai contoh, Abu
Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun
penerimaannya sendiri, sedangkan zakat komoditi harus diberikan kepada pemerintah.
Jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak tertunaikan. Lebih jauh,
pengakuannya terhadap otoritas Imam dalam memutuskan kepentingan publik seperti
membagi tanah taklukkan. Para penakluk didorong untuk membiarkan kepemiliknnya
diambil alih oleh penduduk setempat.
Abu Ubaid juga membahas tentang masalah tarif dasar pajak tanah atau poll-
tax, dia juga menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial
dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai ―capacity to
pay”(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima dari
kalangan Muslim. Menurut Abu Ubaid, dia membela pendapatan bahwa tarif pajak
kontraktual tidak dapat dinaikan tapi dapat diturunkan jika terjadi kemampuan
membayar dengan berkesinambungan.
Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang
disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim serta
hutangnya itu akan dibebaskan dari pajak/cukai (duty free). Abu Ubaid juga menjelaskan
tentang pengumpulan kharaj, jizyah, ushur atau zakat tidak boleh menyiksa seseorang
dan disisi lain orang tersebut harus melunasi kewajiban finansialnya secara teratur, dan
Abu Ubaid merusaha untuk menghentikan terjadinya diskriminasi dalam perpajakan
serta menghindari pajak (tax evasion).
Dalam beberapa permasalahan, Abu Ubaid tidak merujuk kepada kharaj yang
dipelopori oleh khalifah Umar bin Khatab, ia memandang bahwa adanya permasalahan
dalam meningkatkan atau menurunkannya berdasarkan kepada situasi dan kondisi,
karena Abu Ubaid mengadopsi kaedah yang mengatakan ―la yunkaru taqhaiyyiru al fatwa
bi taqhayyur al azminah”, namun walaupun keragaman terjadi tapi keputusan/ijtihad
harus sesuai dengan nash yang berlaku
9
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 6
6
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~
pemimpin atas nama rakyat serta berbagai landasan hukum yang sesuai dengan
Alqur‘an dan Hadist. Dalam bab tersebut, Abu Ubaid menekankan pembahasanya
kedalam pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti harta fai, bagian
khumus dan safi’ serta pengalokasiannya, baik dimasa rasul itu sendiri maupun
sesudahnya. Jadi pada bagian selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar
pemikiran dalam kitab itu, ketika membahas tiga sumber utama pendapatan negara,
yaitu fai, khumus dan shadaqah yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus
dan mendristibusikannya kepada masyarakat.
Tiga bagian dalam kitab al-Amwal tersebut meliputi beberapa bab yang
membahas masalah penerimaan fai. Menurut Abu Ubaid, harta fai merupakan
pendapatan negara yang diambil oleh orang muslim terhadap harta non-muslim yang
diambil dengan jalan damai, berasal dari jizyah, kharaj dan ushur.10 Dan pada bagian
keempat dalam kitab tersebut, sesuai dengan perluasan daerah Islam di masa dahulu,
maka itu dibahas mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasional, dan hukum
perang, bagian kelima membahas tentang distribusi, pendapatan fai, bagian keenam dalam
kitab tersebut membahas tentang iqta, ihya al mawat.11
Jadi dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa isi bagian dari kitab al Amwal
tersebut lebih mendalam membahas masalah Keuangan Publik (Public Finance), secara
umum. Pada masa Abu Ubaid masih hidup, pertanian dipandang sebagai usaha yang
paling baik dan utama, karena fungsi utamanya untuk menyediakan kebutuhan dasar,
makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara, maka hal inilah yang
menjadikan sektor pertanian sebagai isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi.
Sebab itu, Abu Ubaid memfokuskan kajiannya pada persoalan sosio-politik-ekonomi yang
stabil dan adil.
Secara umum isi dari kitab al Amwal tersebut didominasi oleh Hadis Nabi.
Kendati demikian kitab al Amwal membahas pilar dan fondasi agar suatu pemerintah
sukses dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti dalam pemerintahan Khalifah
Umar ibn Khatab, yang berhasil membangun sistem perpajakan dan Umar ibn Abdul Aziz
yang berhasil dalam memperbaiki dan menata ulang sistem perpajakan agar lebih baik.12
Salah seorang murid Abu Ubaid, yaitu Ibrahim al Harbi, mengkritik gurunya dan
menilai bahwa kitab al Amwal merupakan karangan Abu Ubaid yang paling lemah
karena sedikitnya hadis-hadis yang beliau bahas, namun hal ini dapat dipahami. Karena
Abu Ubaid hanya menulis hadis-hadis yang sangat relevan. Sebab dalam beberapa
kesempatan ia menyebutkan terdapat hadis-hadis yang berjumlah lebih banyak dari
pada yang dia bahas. Dan juga Abu Ubaid dikenal sebagai seorang mujtahid yang
independen karena kehandalannya dalam melakukan istinbath hukum dari Alqur‘an dan
Hadis, yang dapat menghasilkan suatu kaedah-kaedah tentang keuangan, terutama yang
berkaitan dengan perpajakan.13 Selain itu Abu Ubaid berpendapat bahwa Qur‘an dan
Hadis merupakan referensi utama dalam menarik suatu kesimpulan hukum. Qur‘an
10
Said Sa‘ad Marthon, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2008), h. 97.
11
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global.
12
Abdul Islahi Azim, History of Economic Thought in Islam (Aligarh: Aligarh Muslim
University, 1996), h. 118.
13
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 249.
7
juga merupakan pondasi dasar yang lebih tinggi dari Hadis dan salah satu fungsi Hadis
adalah sebagai penjelasan bagi Alqur‘an itu sendiri.
14
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Euis Amalia (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), h.
103.
15
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, h. 95.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 8
8
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~
16
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global.
17
Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar.
18
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 256.
9
Distribusi Zakat berbasis Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pandapat yang menyatakan bahwa pembagian
zakat harus dilakukan secara merata diantara para kelompok penerima zakat dan
cendrung menetukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan, namun bagi
Abu Ubaid yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, berapapun
besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Oleh
sebab itu, pendekatan yang dilakukan oleh Abu Ubaid ini mengindikasikan bahwa ada
tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu: 1) Kalangankaya
yang terkena wajib zakat; 2) Kalanganmenengah yang tidak terkena wajib zakat, tapi
juga tidak berhak menerima zakat; 3) Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi zakat, Abu Ubaid mengadopsi prinsip
“mendistribusikan kepada setiap orang menurut kebutuhannya masing-masing”, dan ketika
membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat/pajak yang diberikan kepada
pengumpul zakat, pada prinsipnya Abu Ubaid menekankan implementasi prinsip “bagi
setip orang sesuai dengan haknya”. Karena zakat yang dibagikan kepada pengelola zakat
harus sesuai dengan kebijakan imam.
Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yang tida memiliki nilai
instrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai
media pertkaran (medium of exchange). Jelaslah bahwa pendekatan ini menunjukan adanya
dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai uang logam.
Emas dan perak merupakan jenis alat tukar yang pertama sekali dipergunakan
dalam sistem ekonomi Islam klasik. Ketika Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul,
maka beliau menetapkan emas dan perak sebagai mata uang ahli Makah dan sekaligus
mewajibkan zakat.19 Dalam kehidupan ekonomi, uang mempunyai peranan yang sangat
penting, maka pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui ada dua fungsi uang diatas.
Dalam hal ini, Abu Ubaid menyatakan;
―Ada hal yang tidak dapat diragukan lagi, bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa
pun kecuali menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan tertinggi dapat diperoleh dari
kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu.”20
Pernyataan Abu Ubaid ini menunjukan bahwa ia mendukung teori
konvensional mengenai uang logam, dia menelusuri kepada kegunaan umum dari nilai
kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainya, jika kedua benda
tersebut juga digunakan pula sebagai komoditas, maka nilai kedua benda tersebut dapat
berubah-ubah pula, karena dalam hal ini kedua benda tersebut akan memainkan dua
peran yang berbeda, yaitu sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar nilai
terhadap barang-barang lainya. Maka secara implisit, Abu Ubaid mengakui adanya fungsi
uang sebagai penyimpan nilai dari suatu barang. Salah satu ciri khas dari kitab al Amwal
diantara kitab yang lainya adalah membahas masalah keuangan publik, dengan
pembahasan yang elaboratif dan mendalam tentang timbangan dan ukuran, yang bisa
digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berhubungan dengan
harta.
19
Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, h. 91.
20
Lihat dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Al-Falah:
Al-Falah: JournalJournal of Islamic
of Islamic Economics|
Economics| Vol. 4,Vol.
No.4,1,No.
20191,|ISBN:
2019|ISBN: 2548-2343
2548-2343 (p), 2548-3102
(p), 2548-3102 (e) (e) 10
10
~Taufik Hidayat: Abu Ubaid sebagai Fuqaha’ dan Ekonom~
SIMPULAN
Uraian pada bagian terdahulu memungkinkan pengajuan tesis dalam artikel ini,
dimana Abu Ubaid merupakan salah satu pakar pemikir ekonomi klasik, yang mana dia
lebih cenderung membicarakan tentang masalah keuangan publik, dan implementasinya
dalam sebuah sistem ekonomi. Ia lebih menekankan kepada prinsip keadilan yang
mejadi prinsip utama dalam melangsungkan pola pemikirannya itu. Salah satu karya
yang terkemuka Abu Ubaid adalah kitab al Amwal, yang mana kitab tersebut pada
dasarnya menjelaskan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata.
Ia juga menawarkan pandangan yang radikal tentang pemberian terhadap seseorang
dari para penguasa. Itu diberikan sesuai dengan berapa besarnya pengabdian yang telah
diberikan kepada masyarakat itu sendiri, dan juga Abu Ubaid sangat memperhatikan
bahwa dalam pendistribusian suatu harta, tidak boleh menguntungkan suatu pihak.
Karena itu menurutnya, pemerintah harus mengatur harta kekayaan masyarakat agar
selalu difungsikan secara baik agar tercapai kemamkmuran bagi seluruh komponen
masyarakat.
Referensi:
Abdul Islahi Azim. History of Economic Thought in Islam. Aligarh: Aligarh Muslim
University, 1996.
11
Amin Karimnia, Mohammad Ali Kharmandar. ―The Fundamentals of Constructing a
Hermeneutical Model for Poetry Translation.‖ In Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 70:580 – 591. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2013.
Said Sa‘ad Marthon. Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul
Hakim, 2008.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Euis Amalia. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005.
Al-Falah: Journal of Islamic Economics| Vol. 4, No. 1, 2019 |ISBN: 2548-2343 (p), 2548-3102 (e) 12
12