Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID DAN YAHYA BIN UMAR

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah :

“Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam”

Dosen Pengampu :

Anang Haris Firmansyah, M.Pd

Disusun Oleh

Kelompok 6 PS-3B

1. Intan Putri Juwita (12401183059)


2. Ahmad Wildan Rojab (12401183077)
3. Vina Rohmatul Ummah (12401183082)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

SEPTEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memelimpahkan rahmat serta
taufik dan hidayah-Nya, sehingga kita dapat menyelesaikan salah satu tugas
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari jalan jahiliyah menuju jalan
terang benderang ini yaitu agam islam.

Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan


makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah


memberikan dukungan kepada kami dan mengijinkan kami memakai semua
fasilitas yang ada di IAIN Tulungagung untuk menunjang kelancaran proses
perkuliahan kami,
2. M. Aqim Adlan, M. EI selaku Ketua Jurusan Perbankan Syariah yang telah
bekerja keras mengurus dan mengatur jurusan kami.
3. Anang Haris Firmansyah, M. Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam, yang sangat tulus dan ikhlas
memberikan bimbingan dan pembelajaran kepada kami.
4. Sivitas akademik IAIN Tulungagung yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pemyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk penyempurna makalah ini.

Tulungagung, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid 3


B. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 20
B. Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru


muncul pada 1970-an, tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul
sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammmad Saw. Karena rujukan
utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka pemikiran
ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan ditunkannya Alquran dan
masa kehidupan Rasulullah Saw. Pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7
M. Setelah masa tersebut banyak sarjama muslim yang memeberikan
kontribusi karya pemikiran ekonomi.
Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar
argumentasi relijius dan sekaligus intelektual yang kuat serta kebanyakan
didukung oleh fakta empiris pada waktu itu. Pemikiran ekonomi di kalangan
pemikir muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia pada
masa dimana Barat masih dalam kegelapan . Pada masa tersebut dunia Islam
justru mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang. Kegiatan
ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia.
Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam
hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan.
Setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses
ekonomi ini sesuai dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak terlepas dari itu,
Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki konsep
sistem ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai
permasalahan ekonomi yang ada saat ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid?
2. Bagaimana pemikiran ekonomi Yahya bin Umar?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar pembaca mampu memahami,
mengetahui, dan mampu menjelaskan:
1. Pemikiran ekonomi yang dikemukakan Abu Ubaid
2. Pemikiran ekonomi yang dikemukakan Yahya bin Umar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)


1. Riwayat Hidup
Abu Ubaid bernama lengakap Al Qasim bin Sallam bin Miskin bin
Zaid Al-Hrawi- Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pda tahun 150 H di kota
Harrah Khurasan sebelah barat laut Afghanistan, pada usia 20 tahun beliau
pergi berkelana untuk mencari ilmu di berbagai kota seperti Bahgdad Kufah
dan Basrah. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata
Bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadis, dan fiqih. Pada tahun 192 H beliau
diangkat menjadi qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. setelah itu,
penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun
219 H, setelah berhaji, beliau menetap di Makkah sampai wafatnya, yaitu
pada tahun 224 H.1
2. Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran

Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis dan ahli fiqh terkemuka
dimasa hidupnya. Selama menjabat sebagai Qadi di Tarsus, dia sering
menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta
menyelesaikannya dengan baik. Juga dia merupakan ahli bahasa. Karenanya
ia banyak menterjemahkan karya dari bahasa Persi ke Bahasa Arab.
Sisi lain dari Ibn Ubaid terungkap dari frekuensi yang amat sering
mengunakan kalimat amr dalam kitab al Amwal. Tampaknya pemikiran
Abu Ubaid dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman ibn amr al
Awza’i, serta ulama-ulama Suriah lainnya sewaktu dia menjadi Qadi di
Tarsus. Bila dibandingkan dengan pemikiran Abu Yusuf, maka Abu Ubaid
tidak menelik masalah-masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulanganya, namun Abu Ubaid kitab Al Amwal dapat dikatakan lebih

1
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Edisi Ketiga, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2014), Cet. Ke-6, hlm. 264.

3
kaya dari pada Kitab al Kharaj. Dalam hal ini Abu Ubaid lebih terfokus
pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu
pemerintahan ketimbang berorientasi pada teknik efesiensi pengelolaan,
Abu Ubaid lebih concern kepada masalah restributif dari sisi “apa”
daripada “bagaimana”.
Filosofi yang dikemukakan Abu Ubaid hanya merupakan sebuah
pendekatan yang bersifat profesional yang bersandar pada kemampuan
teknis, dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan dan masyarakat
beradab. Pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas
islami serta bersifat teologis. Ini menjadi fondasi bagi kehidupan manusia
di dunia dan akhirat, baik individu maupun sosial, sehingga dengan pola
seperti itu, akhirnya Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendikiawan
Muslim terkenal pada abad ke-3H yang menetapkan revitalisasi system
perekonomian berdasarkan Qur‘an dan Hadis, yang dilakukan melalui
reformasi kebijakan keuangan dan institusinya.2
Dengan pengetahuan dan wawasan yang dimiliki Abu Ubaid yang
begitu luas, sehingga dia dinisbahkan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
sebagai pengikut mereka, walaupun fakta-fakta menunjukkan Abu Ubaid
adalah seorang fuqaha yang independen. Namun dalam kitab al Amwal, Abu
Ubaid tidak pernah menyebut kedua nama ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
tetapi sebaliknya, Abu Ubaid sering kali mengutip pandangan Malik ibn
Anas (salah seorang guru Al Syafi‘i) dan begitu juga dia sering mengutip
beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan al
Syaibani, bahkan hampir seluruh pendapat mereka dia tolak.
Jika isi dari buku Abu Ubaid dievalusi dari sisi filsafat hukum maka
akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip
utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa
kepada kesejahteraan ekonomi dan prinsip ini akan membawa kepada
kesejahteraan pendekatan yang selaras dengan sosial. Pada dasarnya ia

2
Ibid., hlm. 265-266

4
memiliki pendekatan yang berimbang pada hak-hak individual, publik dan
negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentinan publik,
maka ditekankan lebih dahulu kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid ditulis dan dihasilkan pada masa Dinasti
Abassiyah, dan tidak pernah ada masalah legitimasi, meski pemikirannya
sering menyoroti kebijakan khalifah untuk mebuat keputusan dengan hati-
hati. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan
dapat diberikan pada negara ataupun penerimaannya sendiri, sedangkan
zakat komoditi harus diberikan kepada pemerintah. Jika tidak, maka
kewajiban agama diasumsikan tidak tertunaikan. Lebih jauh, pengakuannya
terhadap otoritas Imam dalam memutuskan kepentingan publik seperti
membagi tanah taklukkan. Para penakluk didorong untuk membiarkan
kepemiliknnya diambil alih oleh penduduk setempat. Abu Ubaid juga
membahas tentang masalah tarif dasar pajak tanah atau poll-tax, dia juga
menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial
dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai
―capacity to pay”(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan
kepentingan para penerima dari kalangan Muslim. Menurut Abu Ubaid, dia
membela pendapatan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikan tapi
dapat diturunkan jika terjadi kemampuan membayar dengan
berkesinambungan. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan
pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas
komersial subyek Muslim serta hutangnya itu akan dibebaskan dari
pajak/cukai (duty free). Abu Ubaid juga menjelaskan tentang pengumpulan
kharaj, jizyah, ushur atau zakat tidak boleh menyiksa seseorang dan disisi
lain orang tersebut harus melunasi kewajiban finansialnya secara teratur,
dan Abu Ubaid merusaha untuk menghentikan terjadinya diskriminasi
dalam perpajakan serta menghindari pajak (tax evasion). Dalam beberapa
permasalahan, Abu Ubaid tidak merujuk kepada kharaj yang dipelopori
oleh khalifah Umar bin Khatab, ia memandang bahwa adanya permasalahan
dalam meningkatkan atau menurunkannya berdasarkan kepada situasi dan

5
kondisi, karena Abu Ubaid mengadopsi kaedah yang mengatakan ―la
yunkaru taqhaiyyiru al fatwa bi taqhayyur al azminah”, namun walaupun
keragaman terjadi tapi keputusan/ijtihad harus sesuai dengan nash yang
berlaku.
3. Isi, Format dan Metodologi Kitab al-Amwal
Kitab an-Amwal dibagi menjadi beberapa bagian bab. Pada bab
pendahuluan, Abu Ubai secara singkat menjelaskan hak dan kewajiban
pemerintah terhadap rakyatnya dan juga sebaliknya. Dengan studi khusus
terhadap suatu pemerintahan yang adil. Pada bab selanjutnya yaitu bab
pelengkap, kitab ini menguraikan beberapa jenis pemasukan negara yang
dipercayakan kepada penguasa atas nama masyarakat dengan landasan
hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bab ini, Abu Ubaid
memprioritaskan pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah seperti
fai, bagian khums dan safi, serta pengalokasiannya. Pada bab berikutnya,
ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran kitab ini ketika
membahas 3 sumber utama pendapatan negara yaitu fai, khums, dan
shadaqah, termasuk zakat yang menajdi kewajiban pemerintah untuk
mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Kitab an-Amwal memfokuskan perhatiannya pada masalah Keuangan
Publik dan menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum
pertahanan serta hukum administrasi dan hukum internasional. Pada 2 abad
pertama sejak Islam diturunkan kitab ini menjadi salah satu referensi ulama
tentang pemikiran hukum ekonomi dikalangan para cendekiawan Muslim.
Jika merajuk pada format dan metodologi Kitab an-Amwal, Abu Ubaid
menampilkan beberapa ayat , hadist nabi serta pendapat para sahabat dan
tabi’in bersama dengan pendapat para fuqaha. Di sisi lain, ia melakukan
penyingkatan beberapa riwayat dan mengklasifikasikan isu-isu serta
memberikan berbagai hadist yang terkait. Abu Ubaid hanya menuliskan
hadist-hadist yang sangat relevan, karena dalam beberapa kesempatan ia

6
menyebutkan terdapat hadist-hadist lain yang berjumlah lebih banyak
daripada yang ia telah bahas.3
4. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a. Filosofi Menurut sisi Hukum
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari filosofi hukum, maka tampak
bahwa abu ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama menurut
beliau pengimlementasikan prinsip-prinsip ini akan membawa kepada
kesejahteraan ekonomi dan keselaraasan sosial. Abu ubaid memiliki
pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan
negara, jika terjadi benturan antara kepentingan individu dan
kepentingan publik maka beliau akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan tulisan beliau pada masa keemasan dinasti Abbasiyah
menekankan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak
khalifah dalam mengabil kebijakan atau wewenang dalam memutuskan
suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam dan
kepentingan kaum muslimin. Berdasarkan hal ini Abu Ubaid
menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara
ataupun langsung ke penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus
diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka maka kewajiban agama
diasumsikan tidak ditunaikan. Di samping itu abu Ubaid mengakui
otoritas penguasa dalam memutuskan demi kepentingan publik, lebi
jauh setelah mengungkap alokasi khums ia menyatakan bahwa seorang
penguasa yang adil dapat memperluas berbagai batasan yang telah
ditentukan apabila kepentingan publik sangat mendesak.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan
negara tidak boleh disalah gunakan atau dimanfaatkan penguasa untuk
kepentingan pribadinya, ketika membahas tentang tarif presentase
jizyahia menyinggung tentang pentinganya keseimbangan antara
kekuatan finansial penduduk non-muslim yang dalam menurut ekonomi

3
Taufik Hidayat, “Abu Ubaid sebagai Fuqoha’ dan Ekonom”, Al Falah: Journal of Islamic
Economic, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 5-6.

7
modern disebut dengan capacity to pay dengan kepentingan golongan
muslim untuk menerimanya. Kaum muslim dilarang menarik pajak
terhadap tanah dari non-muslim melebihi dari apa yang dituliskan dalam
perjanjian perdamaian.4
Menurut Abu Ubaid pajak kontraktual tidak dapat dinaikan, bahan
dapat diturunkan bila tidak mampu membayar. Lebih jauh lagi beliau
menyatakan bahwa jika seorang penduduk non-muslim mengajukan
permohonan pembebasan utang dan dibenarkan oleh saksi muslim maka
barang perdagangan tersebut dibebaskan setara jumlah utangnya
termsuk bea cukainya. Di samping itu abu ubaid menekankan bahwa
petugas pengumpul kharaj, jizhyah, ushur atau zakat untuk tidak
menyiksa masyarakat, di sisi lain masyarakat harus membayar
kewajiaban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan kata
lain beliau berupaya untuk menghapuskan diskriminasi dan penindasan
dalam perpajakan. Beliau tidak menekankan tingkat kharaj yang
dilakukan pemerintah melainkan menurut situasi dan kondisi.5
b. Dikotomi Badui-Urban
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan ketika
menyoroti alokasi pendapatan fai’. Abu ubaid menegaskan bahwa,
bertentangan dengan kaum badui, kaum urban (perkotaan) :
1) Ikut serta dalamkeberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban
administratif.
2) Memperkuat dan memelihara pertahanan sipil melalui mobilisasi
jiwa dan harta mereka.
3) Menggalakakn pendidikan melalui proses belajar mengajar Al
Quran dan Sunnah serta penyebaran keunggulanya.
4) Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajran dan penerapan hudud.

4
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Edisi Ketiga, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2014), Cet. Ke-6, hlm. 272-274.
5
Ibid., hlm. 275.

8
5) Memberikan contoh univeralisme Islam dengan sholat bejamaah.
Singkatnya Abu Ubaid membangun suatu negara melalui
administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan kasih sayang. Kaum
badui yang tidak melakukan kontribusi sebanyak kaum urban tidak bisa
memperoleh manfaat dari pemasukan fai’ kecuali dalam tiga keadaan
darurat yaitu invasi musuh, kemarau panjang dan kerusuhan sipil.
Analisis Abu Ubaid lebih kepada sosio-politis dibanding ekonomi.
Dan menekankan pada menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban masyarakat.6
c. Kepemilikan dalam konteks kebijakan perbaikan pertanian
Dalam pandanganya Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan
pribadi dan kepemilikan kepemilikan publik. Pemikiran Abu Ubaid
yang khas adalah mengenia hubungan kepemilikan dengan kebijakan
pemikiran pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa
kebijaka pemerintahan seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan
deklarasi resmi tentang tanah tandus yang disuburkan sebagai intensif
peningkatan produksi pertanian, oleh karena itu tanah yang disuburkan
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur
selama 3 tahun maka akan diubah kepemilikanya oleh pemerintah.
Begitu pula dengan tanah gurun, sepetak tanah mati yang didalmanya
terkandung sumebr air jika tidak diberdayakan maka akan di ambil alih
penguasa dan diserahkan kepada orang lain.
Dalam pandangan Abu Ubaid sumber daya publik seperti air,
padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’. Seluruh
sumberdaya ini dimiliki oleh negara yang akan digunakan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.7
d. Pertimbangan kebutuhan
Abu ubaid menentang tentang pembagian zakat kepada 8 golongan
yang wajib menerima zakat. Bagi beliau yang terpenting adalah

6
Ibid., hlm. 275-276.
7
Ibid., hlm. 277-288.

9
pemenuhan kebutuhan dasar sehingga terhindar dari bahaya kelaparan.
Standarisasi yang wajib menerima zakat adalah seseorang yang
memiliki 40 dirham disamping rumah, pakaian dan pelayanan yang
dianggpanya sebagai standar kebuthan minimum. Di sisi lain Abu Ubaid
berpendapat bahwa seseorang yang memiliki uang lebih dari atau sama
dengan 200 dirham termasuk orang kaya yang wajib dikenai zakat dan
dinilai sebagai “orang kaya” .
Dari indikasi tersebut pendekatan yang dilakukan abu ubaid
mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait
dengan status zakat, antara lain :
1) Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
2) Kalangan orang menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi
tidak berhak menerima zakat
3) Kalangan penerima zakat
Beliau meengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut
kebutuhanya” atau setiap orang sesuai dengan haknya”.8
e. Fungsi uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang antara lain sebagai
standar nilai pertukaran dan media pertukaran. Dalam hal ini beliau
menyatakan: “adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan
perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari
barang dan jas. Keuntungan yang dapat diambil dari kedua benda ini
adalah untuk membeli sesuatu” dari pernyataan tersebut terlihat bahwa
Abu Ubaid mendukung teori konvensional tentang uang logam. Abu
ubaid menunjuk pada kegunaan umum dan relatif konstanya nilai dari
kedua benda tersebut dibandingakan dengan komoditas lainya, dalam
hal tersebut keduanya akan memainkan peran dua peran yang berbeda,
yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian
dari barang barang lainya. Di samping itu secara implisit Abu Ubaid

8
Ibid., hlm. 279.

10
mengakui adanya fungsi uang yang menyimpan nilai. Ketika membahas
jumlah tabungan minimum tahunan yang terkena wajib zakat.
Salah satu keunggulan kitab karya beliau adalah membahas tentang
keuangan publik yang membahas tentang timbangan dan ukuran yang
dugunakan untuk menghitung beberapa kewajiban agama yang
berkaitan dengan harta dan denda.9
B. Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar (213-289 H)
1. Riwayat Hidup
Yahya bin Umar merupakan seorang fuqaha mazhab Maliki, yang
memiliki nama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani
Al-Andalusi. Ia lahir pada tahun 213 H, dan dibesarkan di Kordova,
Spanyol. Ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada
mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat
Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim. Dan akhirnya Yahya bin
Umar menetap di Qairuwan, Afrika dan menyempurnakan pendidikannya
kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin
Sulaiman Al-Farisi. Ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa
hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan
fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan merebutkan pengaruh dalam
pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap
di Sausah, ketika Ibnu ‘Abdun menjabat sebagai qadi. Setelah Ibnu ‘Abdun
turun dai jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan
qadi kepada Yahya bin Umar, akan tetapi ia menolaknya dan memilih tetap
tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya.
Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.10
2. Kitab Ahkam al-Suq
Disamping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan
karya tulis hingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya yang

9
M. Aqim Adlan, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam (Diktat), Tulungagung,
STAIN Tulungagung, hlm. 51.
10
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Edisi Ketiga, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2014), Cet. Ke-6, hlm. 282-283.

11
terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al-Mustakhrijah fi al-
Fiqh al-Maliki dari kitab Ahkam al-Suq.
Kitab Ahkam al-Suq yang berasal dari benua Afrika pada abad ke-3 H
ini merupakan kitab pertama dai Dunia Islam yang khusus membahas
hisbah dan berbagai hukum pasar. Salah satu hal yang mempengaruhinya
adalah situasi kota Qairuwan. Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki
institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H dan para penguasanya
sangat memperhatikan keberadaan institusi pasar. Bahkan pada tahun 234
H, kanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat seorang
hakim yang khusus menangani permasalahan-permasalahan pasar. Dengan
demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua
keistimewaan.
Tentang Kitab Ahkam al-Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa
penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh 2 hal, yaitu: pertama, hukum syara’
tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu
wilayah; kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali
akibat pemberlakuan liberasi harga, sehingga tidak dikhawatirkan bagi para
konsumen. Dengan demikian, Kitab Ahkam al-Suq sebenarnya merupakan
penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut. Pembahasan dalam Kitab
Ahkam al-Suq lebih banyak menggunakan metode diskusi atau dialog
daripada metode presentasi dan kategorisasi. Dalam perkembangan
berikutnya, terdapat dua riwayat tentang kitab ini, riwayat al-Qashri yang
sekarang kita pelajari dari riwayat al-Syibli.11
3. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan ketakwaan
seorang Muslim kepada Allah SWT, ketakwaan merupakan asas dalam
perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi
Islam dengan ekonomi konvesional. Dalam melakukan segala aktifitas

11
Ibid., hlm. 283-284.

12
ekonomi, setiap Muslim harus berperan teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah
serta mengikuti seluruh perintah nabi Muhammad SAW.
Fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang
terefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga) yang
merupakan tema sentral dalam Kitab Ahkam al-Suq. Berkaitan dengan hal
ini, yahya bin Umar berpendapat bahwa al- tas’ir (penetapan harga) tidak
boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad
SAW, antara lain:
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Telah melonjak harga (di pasar)
pada masa Rasulullah SAW”. Mereka (para sahabat) berkata: “Wahai
Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab:
“Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang memberi rezeki,
yang memudahkan, dan yang yang menetapkan harga. Aku sunggu
berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku
untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta”.
(Riwayat Abu Dawud)12
Jika kita mencermati konteks hadist tersebut, tampak jelas bahwa Yahya
bin Umar melarang kebijakan penetapan harga (tas’ir) jika kenaikan harga
yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan
yang alami. Dengan kata lain, pemerintah tidak yang mempunyai hak untuk
melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
a. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang sangat
dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan
serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat
mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya
dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan
kemanfaatan umum.
b. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga
(dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta

12
Ibid., hlm.286.

13
dapat pengacaukan stabilitas pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak
memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali
harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka
tidak mau, pemerintah berhak mengusir mereka dari pasar.
Pernyataan Yahya bin Umar ini menjelaskan bahwa hukum asal
intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi baru dapat dilakukan
jika kesejahteraan masyarakat umum terancam. Disamping itu,
pendapatnya yang melarang praktik tas’ir (penetapan harga) tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya bin Umar
mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang terikat oleh syariat
Islam.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga barang
ditentukan olek kekuatan pasar, yaitu kekuatan penawaran (supply) dan
permintaan (demand). Namun, Yahya bin Umar menambahkan bahwa
mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah yaitu
pemerintah berhak melakukan intervensi ketika terjadi tindakan
sewenang-sewenang dalam pasar yang dapat menimbulkan
kemudharatan bagi masyarakat, termasuk ihtikar dan dumping. Tentang
ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnay kemudharatan
terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang.
Dengan demkian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia,
seperti ihtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalah
mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini juga
bahwa dalam ekonomi Islam, undang-undang mempunyai peranan
sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakat yang
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka secara keseluruhan,
bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara
semena-mena.13

13
Ibid., hlm.288-289.

14
4. Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam Al-Suq
adalah mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya, Yahya bin Umar
lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al-ighraq.
a. Ihtikar (Monopoly’s Rent Seeking)
Islam secara tegas melarang ihtikar, yakni mengambil keuntungan
diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang
untuk harga yang lebih tinggi. Salah seorang sahabat yang ternama,
yaitu Abu Dzar al-Ghifari menyatakan bahwa hukum ihtikar adalah
haram, meskipun zakat barang-barang yang telah ditetapkan menjadi
objek ihtikar itu telah ditunaikan.
Bahkan dalam hal ini para ulama berpendapat bahwa illat
pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulakan kemudharatan
bagi manusia. Ihtikar tidak akan hanya merusak mekanisme pasar, tetapi
juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain
serta menghambat proses distribusikekayaan di antara manusia.14
Sebuah aktivitas ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar
jika memenuhi setidaknya 2 syarat berikut, yaitu:
1) Objek penimbunan merupakan bahan-bahan kebutuhan masyarakat.
Yang dimaksudkan disini adalah barang yang ditimbun oleh penjual
merupakan barang-barang yang bisa dikonsumsi bahkan dibutuhkan
oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya
kebutuhan pokok.
2) Tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan diatas
keuntungan normal. Dalam hal ini setiap orang yang berkecimpung
dalam dunia perdagangan, salah satu tujuannya adalah mencari
keuntungan dari barang yang dijual. Tetapi apabila keuntungan yang
didapatkan melebihi keuntungan normal, maka kelebihan dari
keuntungan itu hukumnya haram.

14
M. Aqim Adlan, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam (Diktat), Tulungagung,
STAIN Tulungagung, hlm. 54.

15
Dengan demikian ihtikar tidak identik dengan monopoli. Islam
tidak melarang seseorang melakukan ihtikar bisnis, baik dalam
kondisi dia merupakan satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada
penjual lain selama ia tidak mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal
Dalam sumber lain juga dijelaskan bahwa yang dimaksud ihtikar
adalah membeli barang saat lapang lalu menimbunnya supaya
barang tersebut menjadi langka di pasaran dan harganya menjadi
naik.15
Disamping itu terdapat banyak hadists Rasulallah SAW yang
tidak membenarkan ihtikar, misalnya:
1) “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut
melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam
api neraka di hari kiamat”. (H.R. At-Tabrani dari Ma’qil bin
Yasar)
2) “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan
merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam,
maka ia telah berbuat salah”. (H.R. Ibnu Majah dari Abu
Hurairah)
3) “Dari Ma’mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu`anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “tidak akan menimbun (barang)
kecuali yang berdosa.” (H.R. Muslim)
Berdasarkan hadist-hadist diatas, para ulama sepakat bahwa
Ihtikar tergolong dalam perbuatan yang dialarang dan haram.
Meskipun demikian, terdapat sedikit perbedaan diantara mereka
tentang cara menempatkan hukum tersebut, sesuai dengan sistem
pemahaman hukum yang mereka miliki.16

15
Ibid., hlm. 55.
16
Ibid., hlm. 56.

16
b. Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)
Berbanding terbalik dengan ihtikar, siyasah al-ighraq (dumping)
berjuang meraih keuntungan dengan cara menjual barang paa tingkat
harga yang lebih rendah daripada harga yang berlaku dipasaran. Dalam
suatu pasar persaingan tidak sempurna, suatu perusahaan terkadang
melakukan kebijakan pengenaan harga yang berbeda untuk produk yang
sama di setiap pasar yang berlainan.
Secara umum praktik pengenaan harga yang berbeda terhadap
pembeli yang berbeda disebut diskriminasi harga (price discrimination).
Suatu contoh, suatu perusahaan menjual komputer 1000 unit komputer
didalam negeri dan 10 unit komputer di luar negeri. Harga komputer di
dalam negeri 20 juta, sedangkan di luar negeri 15 juta. Dari data
penjualan itu, timbul kesan bahwa perusahaan akan memperoleh
keuntungan yang lebih besar jika melakukan ekspansi penjualan di
dalam negeri daripada di luar negeri.
Damping merupakan sebuah alat kebijakan perdagangan yang
kontroversional dan secara luas dikenal sebuah prakrtik yang tidak fair
karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusak
mekanisme pasar. Dalam praktik lapangan, dumping dapat dipandang
sebagai kebijakan perdagangan yang sangat menguntungkan bagi
perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu:
1) Industri tersebut bersifat kompetitif tidak sempurna, sehingga
perusahaan dapat bertindak sebagai price maker, bukan sebagai
price taker.
2) Pasar harus bersegmentasi, sehingga penduduk di dalam negeri tidak
dapat dengan mudah mendapatkan barang-barang yang diekspor.

Dengan demikian, kesan tersebut akan berubah apabila biaya


ekspansi penjualan diperhitungkan. Katakan saja bahwa untuk
melakukan ekspansi penjualan sebanyak satu buah unit di pasar
manapun, baik dalam maupun luar negeri, perusahaan memerlukan

17
pengurangan harga sebesar 0,01 juta. Akibat pengurangan harga
domestik sebesar 10 ribu tersebut, penjualan akan meningkat 19,99 juta..
namun, disisi lain mengurangi pendapatan terhadap penjualan 1000 unit
untuk dijual seharga 20 juta sebesar 10 juta. Dengan demikian
pendapatan marjin dari tambahan unit yang dijual adalah 9,99 juta.

Di sisi lain, pengurangan harga juga diterapkan terhadap para


pembeli di luar negeri dan oleh karena itu, perlusan ekspansi sebanyak
satu unit secara langsung akan meningkatkan pendapatan hanya sebesar
14,99 jua. Biaya tidak langsung terhadap pendapatan 100 unit yang
dijual dengan harga 15 juta adalah 10 ribu. Dengan demikian
pendapatan marjin atau penjualan ekspor adalah 13,99 juta. Dari kasus
itu tampak lebih jelas bahwa ekspansi lebih dapat menguntungkan
daripada penjualan di dalam negeri,sekalipun harga yang diterima pada
penjualan ekspor lebih rendah.17

c. Dumping Reciprocal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi
harga (price discrimination) akan dapat emningkatkan perdagangan luar
negeri. Namun bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kesan
tersebut tidak selamanya benar. Sebagai contoh, bisa kita ambil 2
perusahaan monopoli yang masing-masing memproduksi barang yang
sama. Saty di dalam negeri dan satunya di luar negeri. Untuk
menyederhanakan analisis itu, diasumsikan bahwa kedua perusahaan
tersebut memiliki marjina cost yang sama. Anggap juga terdapat
beberapa biaya transportasi antara kedua pasar. Sehingga, jika
perusahaan itu mengenakan harga yang sama, tidak akan ada
perdagangan. Jika kita memasukkan kemungkinan terjadinya praktik
dumping, perdagangan dapat saja tetap terjadi. Setiap perusahaan akan
membatasi jumlah barang yang akan dijual di pasar domestik, karena

17
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT-Indonesia, 2003), Edisi 2,
cet. Ke-2, hlm. 273-277.

18
volume penjualan yang lebih besar akan menurunkan harga uang telah
ada di pasar domestik. Apabila mampu menjual sejumlah kecil di pasar
lain, perusahaan akan menambah keuntungannya sekalipun harganya
lebih rendah daripada yang ada di pasar domestik, karena efek (-)
terhadap harga dari penjualan yang ada akan terkena pada perusahaan
lain, bukan perusahaan itu sendiri.
Apabila kedua perusahaan tersebut melakukan hal ini, yang terjadi
adalah reciprocal dumping, hasilnya akan timbul perdagangan yang
tidak memiliki perbedaan harga suatu barang di kedua pasar, sekalipun
terdapat biaya-biaya transportasi. Bahkan lebih daripada itu, secara
khusus akan terdapat dua jalur perdagangan dalam produk yang sama.18

18
M. Aqim Adlan, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam (Diktat), Tulungagung,
STAIN Tulungagung, hlm. 58.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pandangan Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal menekankan keadilan
sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, menerapkan prinsip ini akan
mengarahkan pada kemakmuran ekonomi dan harmoni sosial. Pada dasarnya,
ia memiliki pendekatan yang seimbang terhadap hak individu, publik dan
negara. Jika kepentingan individu bertentangan dengan kepentingan publik, ia
akan berpihak pada kepentingan publik. Kitab Al-amwal secara komprehensif
membahas sistem keuangan publik Islam, terutama di bidang administrasi
pemerintahan. Kitab Al-Amwal menjelaskan bahwa Abu Ubaid memandang
uang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai standar nilai tukar dan alat tukar.
Fungsi uang menurut Abu Ubaid sampai sekarang masih dapat
diterima/relevan, tetapi fungsi uang berkembang sendiri sesuai dengan zaman.
Konsep pemikiran Yahya bin Umar dalam pemikiran ekonomi secara rinci
dalam karyanya yang berjudul Ahkam al-Suq. Menurut Yahya bin Umar ada
tiga poin penting dalam pemikirannya tersebut: Pertama, struktur pasar. Kedua,
hubungan negara dan pasar, dan. Ketiga, pembentukan harga. Dalam
penjabaran dari ketiga unsur itu, Yahya bin Umar menguikannya dalam lima
faktor, di antaranya: Pertama, transparansi. Kedua, tidak ada monopoli dan
kartel. Ketiga, pencegahan terjadinya penjualan di luar pasar (forestalling).
Keempat, pencegahan persaingan tidak sehat, serta. Kelima, menghindari
kecurangan dan penjualan produk yang haram. Menurutnya, peran Negara
dalam regulasi pasar adalah pengawasan dan pembentukan organ yang
diperlukan untuk mengaudit, sehingga Negara harus memiliki peran yang
sangat kuat dalam kendali pasar agar pasar berfungsi dengan baik. Sedangkan
Pandangannya terhadap pembentukan harga dapat diklasifikasikan kepada dua
jenis: Pertama, pembentukan harga di pasar dengan kualifikasi ideal. Kedua,
pembentukan harga di pasar dengan upaya untuk mengganggu keseimbangan
pasar.

20
B. Saran
Penulis menyadari karena keterbatasan sumber bacaan,serta rujukan,
sehingga berdampak pada penyusunan makalah ini. Kalua di tinjau lebih dalam
lagi makalah ini masih banyak kekurangannya, justru itu untuk kesempurnaan
penyusunan makalah selanjutnya penulis sangat berharap kritik dan saran yang
membangun agar bisa menutupi keterbatasan dan kekurangan makalah tersebut.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adlan, M. Aqim. 2009. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam (Diktat).


Tulungagung: STAIN Tulungaung.
Karim, Adiwarman Azwar. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Edisi
Ketiga. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Karim, Adiwarman Azwar. 2003. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT-Indosesia.
Taufik Hidayat. (2019). Abu Ubaid sebagai Fuqoha’ dan Ekonom. Al Falah:
Journal of Islamic Economic, 4, 5-6.

22

Anda mungkin juga menyukai