Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TAFSIR AYAT EKONOMI

“ AYAT-AYAT TENTANG ASURANSI”


Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi

Dosen Pembimbing :
Dr. Abdul Rahman Sofyan, Lc, MA

Disusun oleh :
KELOMPOK 13

BERLIAN PUSPITA NINGRUM (0501202122)


KHAIRUNNISA NAFA (0501202132)
MUHAMMAD ILZAM HARAHAP (0501202189)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, Puji syukur dan terimakasih banyak kepada Allah SWT.


Tuhan semesta alam, karena atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula untuk mengirimkan shalawat dan salam
kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya,
dan seluruh insan yang dikehendaki-Nya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dari Bapak Dr.
Abdul Rahman Sofyan, Lc, MA. yang berjudul “Ayat-Ayat Tentang Asuransi”.
Dalam makalah ini kami menguraikan definisin Asuransi, Perbedaan asuransi
syariah dan konvensional, Dasar hukumnya dan lain-lain dengan menggunakan
referensi dari literatur/buku rujukan serta jurnal tertentu.
Kami cukup menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.
Karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan
memenuhi harapan berbagai pihak. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Medan, 19 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................3
A. Definisi Asuransi...................................................................................3
B. Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional....................................4
C. Dasar Hukum Asuransi Syariah............................................................6
D. Ayat-Ayat Tentang Asuransi Syariah dan Penafsirannya.....................8
E. Prinsip Dasar Asuransi........................................................................14
F. Akad Dalam Asuransi..........................................................................14
G. Pendapat Ulama Tentang Asuransi.....................................................15
BAB III PENUTUP...........................................................................................18
A. Kesimpulan.........................................................................................18
B. Saran ...................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada hakikatnya, konsep Asuransi adalah konsep klasik yang telah lama
dipakai dalam sejarah tatanan sosial. Konsep ini muncul bersamaan dengan
munculnya konsep tolong-menolong antar individu. Walaupun konsep asuransi
tidak ada nash al-Qur’an atau Hadits Nabi yang menjelaskan tentang teori dan
praktek operasional asuransi yang difahami seperti saat ini, sehingga timbul
wacana tentang asuransi syariah termasuk dalam hukum Islam kontemporer. Pada
zaman awal Islam, yaitu pada zaman Nabi Muhammad Saw dan periode Islam
berikutnya, belum di kenal institusi keuangan asuransi.
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam masalah asuransi syariah adalah
sistem operasional dan akad yang digunakan dalam kegiatan asuransi syariah.
Pada masalah akad banyak ditemukan dalam operasional asuransi syariah yang
tidak didasarkan pada satu akad saja, tetapi lebih banyak menggunakan gabungan
dari beberapa akad. Contohnya, produk asuransi syariah yang memakai dua
rekening, rekening saving dan rekening non saving (tabarru’), mendasarkan
akadnya pada akad tabarru’ dan akad tijarah.1
Kehadiran asuransi pada umumnya memilki peranan penting dalam
mendukung kegiatan perekonomian dan keuangan masyarakat.2 Dan asuransi
terkadang dimasukan ke dalam katagori penjaminan terhadap sesuatu yang
tidak diketahui dengan jelas dan penjaminan sesuatu yang belum positif dan
mengikat.3

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

1
Ibid., hlm. 124
2
Kuat ismanto, Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syariah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016), hlm.134.
3
Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam waAdillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 79.

1
1. Apa definisi Asuransi?
2. Apa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional?
3. Apa dasar hukum asuransi syariah
4. Apa saja ayat-ayat tentang asuransi dan penafsirannya?
5. Apa saja akad asuransi syariah?
6. Apa pendapat ulama tentang asuransi?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :

1. Mengetahui definisi Asuransi


2. Mengetahui perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional
3. Mengetahui dasar hukum asuransi syariah
4. Mengetahui ayat-ayat tentang asuransi dan penafsirannya
5. Mengetahui akad asuransi syariah
6. Mengetahui pendapat ulama tentang asuransi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI ASURANSI

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa
Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai
kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa
disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering(pertanggungan).
Sedangkan asuransi dalam dunia Islam biasa dikenal dengan istilah takaful,
ta’min, atau tadhamun. Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan
dengan kata at-ta’min yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul
khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut
dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun
was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan
atau pertanggungan. 4
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-
ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu
berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa
pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.” Menurut istilah lain,
asuransi juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang nomor 2
tahun 1992 (tentang usaha perasuransian), atau merujuk kepada Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Kepailitan, pada bab
kesembilan Pasal 246, yang mana dalam undang-undang tersebut didefiisikan
sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan, adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan suatu pergantian kepadanya (tertanggung) karena suatu

4
Muhammad Fadhil Junery, “Asuransi dalam perspektif hukum Islam” Jurnal
Iqtishaduna (Ekonomi Kita), Vol.4 No.2, Desember 2015, hlm.124

3
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.”

Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya


tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi.
Menurutnya, asuransi syariah (Ta’min , takaful, tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan atau tabarru‟ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.5

B. PERBEDAAN ASURANSI KONVENSIONAL DAN ASURANSI


SYARIAH

Perbedaan konsep dasar asuransi syariah dengan asuransi konvensional ini


berakibat pada perbedaan prinsip pengelolaan risiko. Prinsip pengelolan risiko
asuransi syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung
bersama sesama peserta asuransi. Hal ini bisa dimaknai dari fatwa DSN MUI
bahwa asuransi syariah adalah kegiatan melindungi dan tolong-menolong di
antara sejumlah orang/pihak yang berarti risiko yang terjadi juga akan dibagi
kepada semua peserta asuransi syariah. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko
asuransi konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko
dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko peserta asuransi ke perusahaan
asuransi. Asuransi konvensional pada dasarnya merupakan konsep pengelolaan
risiko dengan cara mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari peristiwa
tertentu yang tidak diharapkan kepada orang lain yang sanggup mengganti
kerugian yang diderita dengan imbalan premi. 6Perbedaan konsep asuransi syariah
dan asuransi konvensional dirumuskan pula sebagai berikut :7
1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
mengeluarkan fatwa tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi
definisi tentang asuransi syariah. Asuraansi syariah (ta’min,
5
Ibid., hlm.125
6
Sumanto, A.E., E. Priarto., M. Zamachsyari, P. Trihadi, R. Asmuji, R. Maulana, Solusi
Berasuransi : Lebih Indah dengan Syariah. Cetakan Pertama. PT Karya Kita. Bandung, 2009,
Indonesia.
7
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Ibid, hlm 68-69

4
takaful,tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong
diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset
tabarru’ yang memberikan pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu
melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.8
2. Pengertian asuransi konvensional sudah sebagaimana yang diuraikan
sebelumnya. Secara etimologi disebut dengan nama pertanggungan, dalam
bahasa Belanda dikenal dengan istilah verzekering, yang melahirkan
istilah assurantie, assuradeur bagi penanggung dan ge assureeder bagi
tertanggung.9
3. Asuransi syariah mempunyai akad yang di dalamnya dikenal dengan
istilah tabarru’ yang bertujuan kebaikan untuk menolong diantara sesama
manusia, bukan semata-mata untuk komersial dan akad tijarah.
4. Sumber hukum asuransi syariah tentunya berpedoman kepada sumber
hukum Islam seperti alquran, sunnah, ijma’, fatwa sahabat, qiyass, dan
fatwa DSN-MUI. Sementara itu asuransi konvensional mempunyai sumber
hukum yang berasal dari pikiran manusia, falsafah dan kebudayaan.10

Asuransi tidaklah termasuk judi asal dijalankan atas dasar-dasar bisnis.


Perhitungannya di sini atas dasar statistik dalam skala jumlah, sehingga dengan
demikian orang dapat terhindar dari sifat untung-untungan atau adu nasib
sematamata. Yang menjamin asuransi itu membayar premi menurut nisbah
tanggungannya, yang dihitung tepat menurut dasar statistik.11 Asuransi dalam
menghitung premi mengacu pada tabel mortality dan morbidity yang menghitung
secara historis, dengan metode acak. Padahal pada kenyataannya, peluang untuk
meninggal dan sakit bagi setiap manusia itu sama (Q.S: al-Kahfi [18]: 23-24).
8
Fatwa Dewan Syariah Nasional No 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah
9
Selain itu Zainuddin Ali menyaakan bahwa sebenarnya asuransi itu merupakan alat
atau institusi belaka yang bertujuan untuk mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah
unit-unit yang berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang
dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan disistribusikan secara proporsional diantara
semua unit-unit dalam gabungan tersebut. (a device for reducing risk by combining a sufficient
number of exposure unit to make their individual losses collectvely predictable. The
predictable loss is then shared by or distribution proportionately among in combination). Lihat
Zainuddin Ali, Op.Cit, hlm 66
10
Ibid.,
11
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an, (Medan : Gita Pustaka
Media Perintis, 2012) hlm. 77

5
Perbedaan antara ramalan asuransi dan kenyataan di lapangan menghasilkan
banyak munculnya moral hazard yang mencederai asas good faith dalam asuransi.
Menariknya, saat mengkaji asuransi adalah tentang asas good faith yang bertolak
belakang dengan niat transaksi antara pemegang polis dan perusahaan asuransi.
Good faith dalam teorinya sangat sesuai dengan ajaran Islam dalam ha ta’awun
dan takaful, tetapi sistem asuransi yang menganut asas maksimasi keuntungan,
bertolak belakang dari konsep tersebut. Selain itu, dalam hal investasi dana premi,
asuransi yang berkembang sekarang hanya melihat objek investasi yang paling
menguntungkan. Tidak peduli halal atau haram.12

C. DASAR HUKUM ASURANSI SYARIAH

Adapun dasar hukum asuransi syariah dalam hukum Islam sebagai dasar
suatu asuransi berlandaskan syariah yaitu: 13
1. Al-Qur’an
2. Hadits Nabi Muhammad SAW.
3. Ijtihad

Pembahasan:
1. Al-Qur’an
Apabila dilihat sepintas keseluruhan ayat alquran, tidak terdapat satu
ayatpun yang menyebutkan istilah asuransi seperti yang kita kenal pada dewasa
ini seperti At-Ta’min, ataupun At-Takaful. Namun meskipun tidak secara tegas
dijelaskan, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan konsep dan muatan mengenai
asuransi. Seperti Q.S An-Nissa’ (4) ayat 9 . Ayat ini menggambarkan kepada
manusia yang berfikir tentang pentingnya planning atau perencanaan yang matang
dalam mempersiapkan hari depan.14
Ayat lain yang bermuatan nilai-nilai yang ada pada praktik asuransi adalah
Al-Qur’an Surat Al-maidah ayat 2 Ayat ini jelas sekali Allah Swt memerintahkan

12
Azharsyah Ibrahim,dkk. Pengantar Ekonomi Islam, (Jakarta: Departemen Ekonomi
dan Keuangan Syariah-Bank Indonesia,2021), hlm.456-457
13
Wetria Fauzi, Hukum Asuransi Di Indonesia, (Padang : Andalas University Press,
2019), hlm. 98
14
Zainuddin, Op.Cit, hlm 21

6
kepada hamba-Nya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, saling peduli
terhadap sesama, memprmudahkan seseorang yang dalam kesulitan, sesuai
dengan adanya dana tabarru’ yang merupakan dana suka rela dari pemegang
tabarruu’ yang digunakan untuk kepentingan sosial jika terjadi peristiwa tidak
tentu pada salah satu pemegang polis.

2. Hadis Nabi Muhammad


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a berkata:
“berselisih dua orang wanita dari suku Huzail kemudian salah
satu wanita melempar batu ke wanita lain sehingga mengakibatkan
kematian wanita tersebut beserta janin di kandungannya. Maka
ahli waris wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa
tersebut kepada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW
memutuskan ganti rugi dari pembunuh terhadap janin tersebut
berupa pembebasan seorang budak perempuan atau laki-laki, dan
memutuskan ganti rugi atas kematian wanita tersebut dengan uang
darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat orang tua
laki-laki).
Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW bersabda:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang
dan saling cinta mencintai adalah seperti sebatang tubuh salah
satu anggotanya mengadu kesakitan, maka seluruh anggota tubuh
yang lain turut merasakan sakit.
Diriwayatkan dari Amir bi Sa’ad bin Aby Waqasy, Rasulullah SAW
bersabda:
Lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris)
dalam keadaan kaya raya, daripada kamu meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada
manusia lain.
Hadis di atas menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW sangat
memikirkan bagaimana kehidupan di masa yang akan datang dengan

7
mempersiapkan bekal untuk keperluan masa depan ahli waris. Asuransi syariah
terbentuk berdasarkan hadis di atas. 15

3. Ijtihad
Pengaturan asuransi syariah boleh di dasarkan pada Ijtihad. Penetapan
Hukum dengan Ijma (ijtihad) dapat menggunakan beberapa cara, antara lain:16
a. Melakukan interpretasi atau penafsiran hukum secara analogi (qiyas), yaitu
dengan cara mencari perbandingan atau pengibaratannya.
b. Untuk kemaslahatan umum (mashlahah mursalah), yang bertumpu pada
pertimbangan menarik manfaat dan menghindarkan mudharat.
c. Meninggalkan dalil-dalil khusus dan menggunakan dalil-dalil umum yang
dipandang lebih kuat (Istihsan).
d. Dengan melestarikan berlakunya ketentuan asal yang ada kecuali terdapat
dalil yang menentukan laim (Istish-hab)
e. Mengukuhkan berlakunya adat kebiasaan yang tidak berlawanan dengan
ketentuan syariah
Istishsan dalam pandangan ahli ushl fiqh adalah memandang sesuatu itu baik.
Kebaikan dari kebiasaan ‘aqilah di kalangan suku Arab kuno terletak pada
kenyataan bahwa sistem ‘aqilah dapat menggantikan atau menghindari balas
dendam berdarah berkelanjutan.17

D. AYAT-AYAT TENTANG ASURANSI DAN PENAFSIRANNYA


Seperti yang dijelaskan pada pembahasan dasar hukum asuransi syariah
yang berlandaskan Al-Qur’an diatas yaitu tidak tertulis secara eksplisit dalam Al
Quran, namun terdapat 3 dasar hukum asuransi dalam Islam yang terdapat pada
Quran dan Hadis beserta dalilnya, yaitu:
1. Q.S An-Nisa ayat 9
2. Q.S Al-Maidah ayat 2

15
Wetria Fauzi, Hukum Asuransi Di Indonesia, (Padang: Andalas University Press,
2019), hlm. 99
16
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hlm 259
17
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ush Fiqh, Dar Al Kuwaitiyah, Kairo, 1968, hlm 79

8
Q.S An-Nisa ayat 9

‫ض ٰعفًا َخافُوْ ا َعلَ ْي ِه ۖ ْم فَ ْليَتَّقُوا هّٰللا َ َو ْليَقُوْ لُوْ ا‬ ْ ‫ش الَّ ِذ ْينَ لَوْ ت ََر ُكوْ ا ِم ْن‬
ِ ً‫خَلفِ ِه ْم ُذرِّ يَّة‬ َ ‫َو ْليَ ْخ‬
‫قَوْ اًل َس ِد ْيدًا‬

Ada 2 tafsir ulama mengenai ayat ini :


Tafsir pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang orang yang hendak meninggal
dunia, kemudian dia mau menyampaikan wasiat. Karena semangatnya untuk
beramal sangat besar, terkadang si calon mayit akan mewasiatkan seluruh
hartanya, atau sebagian besar hartanya, sehingga mereka tidak memiliki warisan
atau jatah warisannya sangat sedikit. Allah perintahkan, agar yang mendengar
wasiat ini untuk meluruskan isi wasiat. Jangan sampai wasiatnya menyebabkan
ahli warisnya menjadi terlantar, karena tidak mendapat jatah warisan.
Ibnu Abbas memberikan penjelasan tentang ayat ini,

،‫ فيسمعه الرجل يوصي بوصية تَضر بورثته‬،‫هذا في الرجل يَحْ ضُره الموت‬
‫ ولينظر لورثته‬،‫ ويوفقه ويسدده للصواب‬،‫فأمر هللا تعالى الذي يسمعه أن يتقي هللا‬
َ‫ض ْي َعة‬
َّ ‫كما كان يحب أن يصنع بورثته إذا خشي عليهم ال‬

Ayat ini berbicara tentang seseorang yang hendak meninggal, kemudian temannya
mendengar orang ini berwasiat terkait hartanya, yang itu membahayakan ahli
warisnya. Lalu Allah perintahkan agar orang yang mendengarnya bertaqwa
kepada Allah, dengan membimbing si calon mayit dan meluruskkannya agar
wasiatnya benar. dan hendaknya orang yang mendengar ini memperhatikan
keadaan ahli warisnya. Sebagaimana dia juga ingin agar ahli warisnya terjaga,
karena dia juga khawatir mereka akan terlantar. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/222).
Ini sejalan dengan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi
saksi atas wasiatnya Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah
menceritakan pengalaman sakitnya ketika di Mekah, saat haji wada’,

9
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena
sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat
keras sebagaimana yang anda lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup
banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya
sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi,
“Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi,
“Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab,

َ َّ‫ إِنَّكَ أَ ْن تَ َذ َر َو َرثَتَكَ أَ ْغنِيَا َء خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْن تَ َذ َرهُ ْم عَالَةً يَتَ َكفَّفُونَ الن‬، ‫ث َكثِي ٌر‬
‫اس‬ ُ ُ‫َوالثُّل‬

“Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu


meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada
masyarakat.” (HR. Bukhari 4409 dan Muslim 1628)

Sehingga berdasarkan tafsir pertama, makna ayat adalah hendaknya kalian takut
untuk menelantarkan ahli waris, karena harta ortunya habis diwasiatkan. Karena
itu, solusi di akhir ayat yang Allah sebutkan,
“Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar…”
Maksudnya, ucapkan perkataan yang benar dalam berwasiat. Jangan
sembarangan, pikirkan masa depan ahli waris dengan tidak menghabiskan jatah
warisan untuk wasiat.

Tafsir kedua,  bahwa ayat ini berbicara tentang harta anak yatim


Allah perintahkan agar yang merawat anak yatim, jangan sampai dia memakan
harta mereka secara dzalim. Sebagaimana dia sendiri tidak ingin, ketika dia mati,
kemudian harta anaknya yang yatim dimakan orang lain secara dzalim.
Sehingga makna ayat, sebagaimana kamu takut ketika anakmu jadi yatim setelah
kamu meninggal, hartanya dimanfaatkan orang lain secara dzalim, maka
janganlah kamu memanfaatkan harta anak yatim secara dzalim.
Kata Ibnu Jarir, ini merupakan tafsir Ibnu Abbas menurut riwayat al-Aufi.

10
Karena itu, di lanjutan ayat (an-Nisa: 10), Allah memberi ancaman untuk mereka
yang makan harta anak yatim secara dzalim.

ْ َ‫ارًا َو َسي‬££َ‫ونِ ِه ْم ن‬££ُ‫أْ ُكلُونَ فِي بُط‬££َ‫ا ي‬£‫ا إِنَّ َم‬££‫ا َمى ظُ ْل ًم‬££َ‫ال ْاليَت‬
َ‫لَوْ ن‬£‫ص‬ َ £‫أْ ُكلُونَ أَ ْم‬££َ‫إِ َّن الَّ ِذينَ ي‬
َ ‫و‬£
‫َس ِعيرًا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,


sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam neraka.”

HUBUNGAN AYAT INI DENGAN ASURANSI


Jika kita perhatikan untuk tafsir pertama, terkait masalah wasiat, ayat ini
mengajarkan agar orang tua, meninggalkan harta warisan untuk ahli warisnya.
Tapi ayat ini tidak meyuruh seorang muslim untuk memperbanyak warisan. Yang
diperintahkan dalam ayat ini adalah meminta seorang muslim untuk tidak
menghabiskan warisannya dengan cara diwasiatkan semuanya.
Karena itulah, solusi di akhir ayat yang Allah sebutkan,

‫َو ْليَقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬


“Dan berkatalah dengan perkataan yang benar.”
Artinya, perkataan yang benar ketika berwasiat.
Jika maksud ayat adalah memotivasi orang untuk memperbanyak warisan, tentu
solusi yang diberikan bukan “berkatalah yang benar.” namun “perbanyaklah
menabung…” dan Allah tidak memerintahkan demikian.
Kedua, firman Allah tentang wasiat untuk istri

َ £‫وْ ِل َغ ْي‬££‫ا إِلَى ْال َح‬££‫يَّةً أِل َ ْز َوا ِج ِه ْم َمتَا ًع‬£ ‫ص‬
‫ر‬£ ِ ‫ا َو‬££‫ َذرُونَ أَ ْز َوا ًج‬£ َ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َوي‬
ٍ ‫إِ ْخ َر‬
‫اج‬

11
Orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. al-Baqarah:
240).
Ayat ini bercerita, bahwa ketika ada seorang suami yang meninggal, istri punya
hak nafkah dan tempat tinggal selama setahun. Sehingga, ketika suami sudah
mendekati kematian, hendaknya dia berwasiat, agar istrinya diberi hak untuk
tinggal selama setahun untuk menjalani masa iddah.
Kara para ulama, hukum dalam ayat ini telah mansukh (dihapus). Mansukh
dengan ayat tentang penjelasan masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya
selama 4 bulan 10 hari dan ayat tentang warisan, di mana seorang istri mendapat
jatah ¼ atau 1/8.
Ibnu Zubair pernah bertanya kepada Utsman, setelah beliau membuat mushaf.
“Mengapa ayat ini tetap ada dalam mushaf al-Quran, sementara dia sudah
dihapus?”
Kemudian, Utsman  radhiyallahu ‘anhu,

‫يا ابن أخي ال أغير شيئا ً منه من مكانه‬


“Wahai anak saudaraku, sama sekali aku tidak mengubah isi al-Quran
sedikitpun.” (HR. Bukhari 4531)
Ibnu Abbas mengatakan,

{ ‫اج ِه ْم َمتَاعًا إِلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا َو‬
ْ ً‫صيَّة‬
ِ ‫ألز َو‬
ٍ ‫ فنسختها آية } إِ ْخ َر‬،‫فكان للمتوفى عنها زوجها نفقتها وسكناها في الدار سنة‬
‫اج‬
‫المواريث فجعل لهن الربع أو الثمن مما ترك الزوج‬

“Orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan


isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”
Dulu, para wanita yang ditinggal mati suaminya, maka dia berhak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal di rumahnya selama setahun. Kemudian dinasakh

12
dengan ayat warisan, sehingga mereka mendapatkan ¼ atau 1/8 dari harta warisan
suami. (HR. Ibnu Abi Hatim dan disebutkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 1/658).
Karena hukum pada ayat ini telah dimansukh, maka tidak bisa dijadikan sebagai
dalil.
Allahu a’lam

Q.S Al-Maidah ayat 2

‫وتَعاونُوْ ا َعلَى ْالبرِّ والتَّ ْق ٰو ۖى واَل تَعاونُوْ ا َعلَى ااْل ْثم و ْال ُع ْدوان ۖواتَّقُوا هّٰللا ۗا َّن هّٰللا‬
َ ِ َ َ ِ َ َ ِ ِ َ َ َ َ ِ َ َ َ
ِ ‫َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬

artinya: Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan


takwa , dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-nya.

Ayat di atas jelas sekali Allah Swt memerintahkan kepada hamba Nya untuk
saling tolong menolong dalam kebaikan, saling peduli terhadap sesama,
mempermudahkan seseorang yang dalam kesulitan, sesuai dengan adanya dana
tabarru’ yang merupakan dana suka rela dari pemegang polis asuransi syariah
dimana dana ini ada dalam rekening tabarruu’ yang digunakan untuk kepentingan
sosial jika terjadi peristiwa tidak tentu pada salah satu pemegang polis. 18 Semua
ini adalah gambaran tolong-menolong. Dalam asuransi ada gambaran sistem yang
lebih kompleks, yang kelak kita akan bahas dan kupas satu per satu.

E. PRINSIP DASAR ASURANSI SYARIAH

Perusahaan asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa,


memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan
kegiatan asuransi di mana pun berada. Menurut Hasan Ali, dalam

Wetria Fauzi, Hukum Asuransi Di Indonesia, (Padang: Andalas University Press,


18

2019), hlm. 99

13
penyelenggaraan perusahaan asuransi paling tidak harus meliputi 6 unsur prinsip
dasar yang harus terkumpul secara utuh di antaranya :
1. Unsur kepentingan yang dipertanggungkan (insurable interest),
2. Kejujuran sempurna (utmost good faith),
3. Penggantian kerugian (indemnity),
4. Subrogasi (subrogation),
5. Sokongan (contribution), dan
6. Kausa proksimal (proximate cause), yang sudah menjadi rukun bagi
asuransi konvensional.19

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda
dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika Islami secara
komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi
syariah merupakan derivasi (minor) dari konsep ekonomi Islami. Sebagai lembaga
yang Islami, asuransi syariah tetap konsisten pada nilai-nilai normatif Islam,
terlebih pada prinsip dasar pijakannya, mengharuskan menjadi fondasi asuransi
syariah yang kokoh secara konstruksional, di atas bangunan nilai-nilai Islam. Pada
dasarnya asuransi syariah, terbangun atas sepuluh macam prinsip secara Islam,
yaitu: tauhid (unity), keadilan (justice), tolong-menolong (ta’awun), kerja sama
(cooperation), amanah (trustworthy/al-amanah), kerelaan (al-ridha), kebenaran
(al-shidq), larangan riba, larangan judi (maisyir), dan larangan penipuan (gharar).

F. AKAD DALAM ASURANSI SYARIAH

Konsep asuransi yang disyariatkan Islam untuk mewujudkan ta’awun, atau


takaful adalah konsep asuransi yang dilakukan dengan cara dimana di dalamnya
terdapat akad-akad tabarru’. Secara umum akad yang ada dalam konsep syariah
adalah:
a. Akad tijarah yang di pakai adalah akad mudharabah. Dalam akad
tijarah, perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai mudharib yang

Muhammad Fadhil Junery, “Asuransi dalam perspektif hukum Islam” Jurnal


19

Iqtishaduna (Ekonomi Kita), Vol.4 No.2, Desember 2015, hlm.126

14
mengelola dana peserta, sementara peserta bertindak sebagai shahibul
maal.
b. Akad tabarru’ yang digunakan merupakan hibah. Dalam akad tabarru’
peserta asuransi syariah memberikan hibah yang digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah, sementara perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah.20

Akad tabarru“ mendasarkan diri pada fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis


Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa No.21/DSN-MUI /X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi syariah, menyebutkan bahwa asuransi syariah
(ta“min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling tolong diantara sesama orang/
pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru“ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikat) yang
sesuai dengan syariah. Akad tabarru’ merupakan akad hibah dalam bentuk
pemberian iuran tabarru’ untuk tolong menolong diantara para peserta
sebagaimana diatur dalam polis yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan
komersial. Dana tabarru’ merupakan kumpulan iuran tabarru’ yang berasal dari
kontribusi peserta, yang mekanisme penggunannya sesuai dengan akad tabarru’
yang disepakati.21

G. PENDAPAT ULAMA TENTANG ASURANSI


1. Pendapat ulama yang mengharamkan Asuransi
Syekh Muhammad Al –Ghazali, ulama dan tokoh haraki dari Mesir .
Muhammad al Ghazali mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena
mengandung riba. Riba dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi
yang disertai bunga ketika waktu perjanjian habis.159 Dalam kitabnya Al Islam
wal Munaahiji Al-Isytiraakiyah (Islam dan Pokok-Pokok Ajaran Sosialisme)
halaman 29, asuransi itu mengandung unsur riba, karena beberapa hal :

20
Burhanuddin S, Aspek hukum lembaga keuangan syariah, Edisi 1, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010, hlm 121.
21
Pasal 1 Syarat-Syarat Umum Polis unitlink Allianz Syariah

15
1. Apabila waktu perjanjian telah habis, maka uang premi dikembalikan
kepada terjamin dengan disertai bunga dan ini adalah riba. Apabila
jangka waktu di dalam polis belum habis, dan perjanjian diputuskan,
maka uang premi dikembalikan dengan dikurangi biaya-biaya
administrasi, Muamalah semacam itu dilarang oleh hukum agama
(syara’)
2. Ganti kerugian yang diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya
peristiwa yang disebutkan dalam polis, juga tidak dapat diterima oleh
syara. Karena orang-orang yang mengerjakan asuransi bukan syarikat di
dalam untung dan rugi, sedangkan orang-orang lain ikut memberikan
sahamnya dalam uang yang diberikan kepada terjamin.
3. Maskapai asuransi di dalam kebanyakan usahanya, menjalankan
pekerjaan riba (pinjaman berbunga dan lain-lain).
4. Perusahaan asuransi di dalam usahanya mendekati pada usaha lotere,
dimana hanya sebagian kecil dari yang membutuhkan dapat mengambil
manfaat.
5. Asuransi dengan arti ini merupakan salah satu alat untuk berbuat dosa.
Banyak alasan ruang untuk dicari-cari guna mengorek keuntungan
dengan mengharap datangnya peristiwa yang tiba-tiba.

2.Pendapat Ulama Yang menghalalkan Asuransi


A. Syaikh Abdur Rahman Isa Universitas al Azhar Mesir sepakat atas
perbuatan yang mengandung maslahat yang berhubungan apa yang telah
diciptakan Allah swt, bagi kepentingan manusia perbuatan ini diperlukan.22
B. Muhammad Yusuf Musa, Guru besar Universitas Kairo
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya
merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat.
C. Syekh Abdul Wahab Khallaf, Guru besar Hukum Islam Universitas Kairo
Beliau mengatakan bahwa asuransi boleh sebab termasuk akad
mudharabah dalam syariat Islam ialah perjanjian persekutuan dalam

22
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, Cet 1, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm 71

16
keuntungan, dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan
tenaga di pihak lain.

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kajian tentang asuransi merupakan persoalan yang tergolong baru bagi


Islam. walaupun secara konseptual sudah ada semenjak zaman sebelum Masehi.
Asuransi yang ada sekarang adalah terbentuk dalam sebuah lembaga yang
menawarkan produk jasa untuk menanggulangi resiko yang akan terjadi di masa
mendatang dengan membayar sebuah premi atas klaim atau kerugian, Karena
ketidak-sepurnaannya seorang atas musibah yang akan terjadi. Inilah yang
dimaksud dengan permasalahan baru, yang secara hukumnya belum ditemukan
dalil nash al-Quran dan al-hadist. Sehingga menjadi permasalahan yang bersifat
ijtihadi. Aspek-aspek yang menjadi permasalahan ijtihadi dalam asuransi adalah
adanya unsur ekploitasi, manipulasi, dan unsur ribawi. Berbeda dengan maksud
asuransi pada masa zaman dahulu. Karena di dalamnya tidak ada unsur ekploitasi,
manipulasi dan lain-lain. Itu hanyalah sebatas konsep ta‟awuniyah yang sangat
berbeda secara kontekstual dan prosedur operasionalnya. Sehingga ada pendapat
lain yang mengasumsikan bahwa asuransi tidak dikenal pada zaman Nabi.
Hematnya, semua bentuk asuransi syari‟ah, menurut yurisprudensi Islam,
diperbolehkan “kecuali asuransi konvensional”. Karena secara kronologis
kemunculan asuransi syari‟ah adalah sebagai responsibility bagi asuransi
konvensional. Disisi lain asuransi syariah secara konsisten bersikap kukuh
berdasar kepada normatifitas agama (al-Quran dan al-Hadist). Tetapi yang paling
urgen dalam asuransi syari‟ah, selalu melihat dan mengetrapkan tujuan dari pada
al-maqosid asy-syari’ah, yang dalam asuransi syari‟ah tersebut selalu
mengedepankan prinsip ta’awun, antaradhin, lil maslahah dan la tazdlimun wala
tuzdlamun., yang sekaligus sebagai fondasi atas diperbolehkannya praktek
asuransi syari‟ah.

B. SARAN

18
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi kelas Ekonomi Islam 3 C. Kami
sangat sadar bahwa makalah yang kami sajikan ini jauh sekali dari kata sempurna
dan kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat ini, dan kami
sangat berharap kritik dan saran dari para pembaca khususnya Bapak Dosen untuk
kiranya memberikan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah yang
akan kami sajikan berikutnya. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau
penulisan dan terimakasih banyak atas perhatiannya, Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.

19
DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Azhari Akmal. 2012. Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi. Medan : Gita


Pustaka Media Perintis.
Ibrahim, Azharsyah. dkk. 2021. Pengantar Ekonomi Islam. Jakarta :
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah-Bank Indonesia.
Hasan, Nurul Ichsan. 2014. Pengantar Asuransi Syariah. Jakarta : Gaung
Persada Press Group.
Fauzi Wetria. 2019. Hukum Asuransi Di Indonesia. Padang : Andalas
University Press.
Junery, Muhammad Fadhil. 2015. “Asuransi dalam perspektif hukum
Islam”. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 4(2).
Ismanto, Kuat. 2 0 1 6 . Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syariah.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Khalaf, Abdul Wahhab . 1968. Ilmu Ush Fiqh, Kairo : Dar Al Kuwaitiyah.
A.E., Sumanto. dkk. 2009. Berasuransi : Lebih Indah dengan Syariah.
Cetakan Pertama. Bandung : PT Karya Kita.
Sula, Muhammad Syakir . 2004. Asuransi Syariah (Life and General):
Konsep dan Sistem Operasional, Cet 1. Jakarta : Gema Insani.

20

Anda mungkin juga menyukai