Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MENCARI NAFKAH
Di susun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah: FIQIH IBADAH DAN MUAMALAH
Dosen pengampu: Ahmad mahdi, S.Pd.i

Oleh:

1. ISKHAQ JAILANI (2014110005)

2. AHMAD MUZAMMIL ARIANTO (2014110006)

3. RYAN HABIB ALMAHZUM (2014110001)

PRODI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS QOMARODDIN BUNGAH GRESIK
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang

berjudul MENCARI NAFKAHini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas dari dosen pengampuAhmad mahdi, S.Pd.iPada mata kuliah FIQIH IBADAH

DAN MUAMALAHSelain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan tentang haji bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad mahdi,

S.Pd.iselaku dosen matakuliah FIQIH IBADAH DAN MUAMALAHyang telah

memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai

dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi

kesempurnaan makalah ini.

Gresik, 01Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover............................................................................................................... 1

Kata pengantar................................................................................................. 2

Daftar isi.......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4

1.1 Latar belakang...................................................................................... 4

1.2 Rumusan masalah ................................................................................ 5

1.3 Tujuan penulisan .................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 6

1.1 Sebab-sebab wajibnya nafkah............................................................... 6

1.2 Hikmah mencari nafkah ....................................................................... 12

1.3 Metode mencari rizqi ........................................................................... 13

1.4 Manajemen pengelolaan harta .............................................................. 17

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 21

1.1 Kesimpulan .......................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Nafkah diambil dari kata “‫ “االنفاق‬yang artinya mengeluarkan. 1 Nafkah

juga berarti belanja, maksudnya sesuatu yang diberikan oleh seorang suami

kepada isteri, seorang bapak kepada anak, dan kerabat dari miliknya sebagai

keperluan pokok bagi mereka.2

Dalam buku syari’at Islam, kata nafkah mempunyai makna segala biaya

hidup merupakan hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan

tempat kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya, bahkan sekalipun si

isteri itu seorang wanita yang kaya. 3

Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa kewajiban

seseorang untuk mengeluarkan nafkah kepada siapa yang berhak menerimanya,

seperti suami berhak untuk memberi nafkah kepada isterinya, anak-anaknya

bahkan nafkah yang utama diberi itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

pokok kehidupan, yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban

memberi nafkah tersebut diberikan menurut kesanggupannya, hal ini dapat

disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan agar selaras dengan keadaan dan

standar kehidupan mereka. Begitu pula terhadap kaum kerabat yang miskin, dan

anak-anak terlantar.
1
Aliy As’ad, Terjemahan Fat-Hul Mu’in, Jilid 3, Menara Kudus, t.t, hlm. 197
2
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II, Cet,
II, Jakarta: 1984/1985, hlm. 184
3
Abdurrahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Cet, I, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 121.

4
Sebuah keluarga sampai pada taraf atau tingkat tertentu wajib

memberikan nafkah oleh yang bertanggung jawab terhadap keluarga itu. Hal ini

sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Hanafi yang bahwa:

”Setiap keluarga sampai pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk

dinafkahi, seandainya dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau buta dan

melarat”.4

Dasar hukum nafkah. Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap

isteri (sekalipun si isteri orang yang kaya), orang tua terhadap anak-anak,

terhadap orang tuanya serta terhadap orang-orang yang tidak mampu.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang

dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Apa saja sebab-sebab wajibnya nafkah?

2. Apa hikmah dari nafkah?

3. Bagaimana cara / metode mencari rizki?

4. Bagaimana cara mengelolah harta?

1.3 Tujun penulisan

1. Untuk mengetahui sebab-sebab diwajibkan nafkah.

2. Untuk mengetahui hikmah nafkah.

3. Untuk mengetaui cara /metode mencari rizki.

4. Untuk mengetahui cara pengelolaan harta.

4
Ibid.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Sebab-sebab Wajibnya Nafkah

Sebab-sebab wajibnya memberikan nafkah dapat digolongkan kepada

tiga sebab, yaitu:

1. Sebab masih ada hubungan kerabat/keturunan.

Dalam Agama Islam, hubungan nasab atau keturunan merupakan

vertikal yang dapat menguasai, artinya dengan adanya hubungan nasab

seseorang dapat menerima harta seseorang. Karena hubungan keluarga

sangatlah dekat maka timbullah hak kewajiban. Seperti halnya dalam

kewajiban memberikan nafkah, baik kepada isteri maupun kepada suami

kepada anak atau kedua orang tua.

Ahli fiqih menetapkan: “Bahwa hubungan kekeluargaan yang

menyebabkan nafkah adalah keluarga dekat yang membutuhkan

pertolongan”.5 Maksudnya keluarga yang hubungannya langsung ke atas

dan ke bawah, seperti orang tua kepada anak-anaknya, anak kepada orang

tuanya bahkan kakek dan saudara-saudara yang dekat lainnya apabila

mereka tidak mampu untuk sekedar mencukupi keperluan hidupnya.

5
Ibid.

6
Imam Hanafi berpendapat, “Wajib nafkah kepada kaum kerabat oleh

kerabat yang lain hendaknya hubungan kekerabatan antara mereka itu

merupakan hubungan yang menyebabkan keharaman nikah”. 6

Jadi, suatu keluarga yang hubungan vertikal langsung ke atas dan ke

bawah, mewajibkan seseorang memberi nafkah. Hal ini sesuai dengan

pendapat Imam Malik: “Nafkah diberikan oleh ayah kepada anak, kemudian

anak kepada ayah dan ibu”.7

Imam Malik beralasan dengan Firman Allah dalam Surat Al-Isra’ ayat

(23)

‫وقضا ربل اال تعبىا اال اياه وبالىالدين احسنا اما يبلغن عندك النبر احدهما او مالهما فالتقل‬

‫لهما اف وال تنهر هما هما وقل لهما قىال مريما‬

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerrintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu

dengan sebaik-baiknya

Memberikan nafkah kepada karib kerabat merupakan kewajiban bagi

seseorang, apabila mereka cukup mampu dan karib kerabatnya itu benar-

benar memerlukan pertolongan karena miskin dan sebagainya. Kerabat yang

dekat yang lebih berhak disantuni dan dinafkahi dari pada kerabat yang

jauh, meskipun kedua-duanya memerlukan bantuan yang sekiranya harta

yang dinafkahi itu hanya mencukupi buat salah seorang di antara keduanya.

6
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet. I Jakarta: Basrie Press, 1994, hlm. 150
7
Zakaria Ahmad Al-Barry, Ahkamul Auladi Fil Islam, Cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hlm. 74.

7
Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat (26) yang artinya

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada

orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu

menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.

Dari ayat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban

memberi nafkah kepada keluarga-keluarga yang dekat serta kepada orang

miskin.

2. Sebab pemilikan.

Seseorang wajib memberikan nafkah terhadap yang dimilikinnya,

seperti hamba sahaya dan binatang piaraan, harus diberikan makanan dan

minuman yang bisa menopang hidupnya. Bila seorang tidak mau

melaksanakannya, maka hakim boleh memaksa orang tersebut untuk

memberikan nafkah kepada binatang piaraan dan pelayannya.

Malik dan Ahmad berpendapat: “Hakim boleh memaksa orang yang

mempunyai binatang memberikan nafkah-nafkah binatang-binatang, kalau

tidak sanggup menafkahinya, boleh dipaksa menjualnya”. 8

Jadi apabila seseorang memiliki binatang piaraan, diwajibkan memberi

makan dan menjaganya jangan sampai dibebani lebih dari semestinya.

Begitupula kepada hamba sahaya atau pelayan. Berdasarkan sabda

Rasulullah SAW yang artinya “Dari Abi Zar berkata: Bersabda Rasulullah

8
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, t.t hlm.
272.

8
SAW: Allah menjadikan saudaramu di bawah kekuasaanmu, maka

berikanlah makan kepada mereka (budak-budakmu) apa yang kamu makan,

dan beri pakaianlah kepada mereka dari apa yang kamu pakai, dan janganlah

kamu membebankan mereka mengerjakan yang berat-berat yang sukar

dikerjakan, jika engkau membebankan mereka maka bantulah mereka”.

(H.R Ibnu Majah).9

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tidak

dibenarkan seseorang membebankan tugas-tugas berat yang tidak sanggup

dikerjakan terhadap sesuatu yang dimilikinya.

Apabila ada orang yang mengurung binatang-binatang tanpa memberi

makan dan minum, maka orang tersebut akan mendapat siksaan dari Allah

atas perbuatannya itu, karena hal tersebut merupakan suatu penyiksaan

terhadap binatang tersebut.

Oleh karena itu, seseorang yang tidak menjalankan tugas dan kewajiban

sebagaimana mestinya, maka hakim boleh memaksanya untuk memberi

nafkah atau menyuruh untuk menjualnya atau melepaskannya. Bila tetap

tidak mau melakasanakan, hakim boleh bertindak dengan tindakan yang

baik.

9
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Op. Cit., Juz II, hlm. 1216.

9
3. Sebab perkawinan.10

Perkawinan adalah merupakan salah satu kebutuhan naluri manusia

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam melakukan hubungan biologis

dan berkeluarga. Islam sangat menyukai perkawinan, hal ini terlihat dengan

banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang menjelaskan

tentang anjuran untuk kawin, di antaranya sabda Rasulullah SAW yang

artinya “Dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para

pemuda, barang siapa yang telah mampu hendaklah kawin, sebab

perkawinan akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga

kehormatan, kalau belum mampu maka berpuasalah, karena puasa akan

menjadi perisai baginya”. (H.R Muslim). 11

Berdasarkan Hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa perkawinan

merupakan suatu ajaran dalam Islam, karena perkawinan itu dapat

menenteramkan jiwa, menutup pandangan mata dari segala yang dilarang

Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang suami isteri yang dihalalkan

oleh Allah SWT, serta untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesama

mereka.

Terjadinya perkawinan disebabkan timbul rasa kasih sayang, rasa cinta

mencintai yang akhirnya timbul keinginan untuk saling memiliki. Maka

dalam hal ini bila ada seorang pria dan seorang wanita yang berkeinginan

10
Imron Abu Amar, Fathul Qarib, Menara Qudus, t.t, hlm. 96.
11
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. I, Op. Cit., hlm. 543.

10
untuk hidup bersama, mereka terlebih dahulu harus melakukan aqad nikah

yang merupakan hal terpenting dalam suatu perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu sebab wajibnya nafkah, karena

dengan adanya aqad nikah, seorang isteri menjadi terikat dengan suaminya,

mengasuh anak serta mengantur rumah tangga dan lain sebagainya. Maka

semua kebutuhan isteri menjadi tanggungan suaminya. Sabda Rasulullah

SAW yang artinya “Dari Jabir r.a dari Nabi SAW dalam hadits haji yang

panjang. Beliau bersabda: tentang menyebutkan wanita: “Kalian wajib

memberi nafkah kepada mereka dan memberi pakaian dengan cara yang

baik” (Dikeluarkan oleh Muslim). 12

Jadi berdasarkan hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa seorang suami

berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya, memenuhi kebutuhan

hidupnya selama ikatan suami isteri (perkawinan) masih berjalan, si isteri

tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya

nafkah. Begitu pula sebaliknya si isteri wajib mematuhi perintah suaminya

dan taat kepada suaminya, karena dengan adanya aqad nikah menimbulkan

hak dan kewajiban antara mereka.

Kewajiban memberi nafkah tersebut tidak saja dikhususkan untuk

isteri, namun terhadap orang tuanya juga berhak dinafkahi jika orang tuanya

miskin. Bahkan kepada anak-anak yatim dan anak-anak terlantar,

seandainya mampu dan memungkinkan.

12
Al-Hafidh Ibnu hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Beirut: Maktabah At-Tijarah Al-Kubra, t,t, hlm.
250.

11
Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas, seorang suami wajib

memberi nafkah kepada isterinya yaitu mencukupi hidup berumah tangga,

seperti tempat tinggal, nafkah sehari-hari dan lain sebagainya.

1.2 Hikmah mencari nafkah

Hal terpenting yang harus dilakukan seorang suami bagi istrinya sebagai

pemimpin dalam rumah tanggnya adalah memberikan nafkah terhadap keluarga.

Suami yang baik selalu memerhatikan masalah ini. Dia tidak akan menyia-

siakan amanah yang sekaligus menjadi kewajibannya. Maka sudah menjadi

tanggungjawab suami untuk menafkahi istri secara lahir ataupun batin.

Ketika seseorang menunaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada

istri dan anak-anak maka kondisi ibadahnya berbeda dengan orang yang belum

mempunyai tanggungan, karena Allah SWT memberikan pahala sesuai dengan

kadar kesulitannya. Dan di sanalah nilai penghargaan Allah terhadap perjuangan

hamba-hamba-Nya.

Dari Abu Hurairah, r.a, Rasulullah Shalallahu ‘ alaihi wa salam

bersabda; “Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga

dan cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkan dengan

wajah bersinar seperti rembulan di bulan purnama.” (Al-Hadits)

Manfaat nafkah untuk keluarga antara lain sebagai bentuk tanggung

jawab suami, memenuhi kebutuhan keluarga, terhindar dari kemiskinan, serta

jaminan kesehatan dan pendidikan untuk anak-anaknya. Sementara hikmah

nafkah untuk keluarga antara lain: agar keluarga diliputi keberkahan, menjadi

12
Hamba Allah yang baik, agar bisa berbagi dengan yang lain. Kelebihan nafkah

keluarga ketika diinfakkan akan semakin menumbuh suburkan rasa empati

terhadap sesama, bermanfaat bagi yang lain, terjaga muru’ ah (kehormatan) dan

silaturahmi, serta keberkahan.

Nafkah adalah pintu sebuah keberkahan dalam rumah tangga. Dasar

kewajiban suami memberikan nafkah menurut Al Quran ada dalam surat Al

Baqarah : 233, “…Dan, kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut

kadar kesanggupannya.

Selain memiliki tugas dan tanggungjawab dalam bekerja untuk

menafkahi keluarganya, suami juga telah belajar bagaimana mengelola waktu

dengan baik, terutama ketika semuanya itu diniatkan ta’ abudan ilallah, (bentuk

ibadah kepada Rabb sekalian alam). Dalam Keistimewaan Nafkah Suami dan

Kewajiban Istri yang disusun Dr. K.H. Muslih Abdul Karim, MA dipaparkan

aturan dan manfaat nafkah dalam keluarga. Selain itu, dijelaskan pula cara

menempuh keharmonisan rumah tangga dan hikmah ketaatan istri kepada suami.

1.3 Metode mencari rizqi

Rahmat Allah SWT kepada makhluk-Nya, terutama manusia terwujud

dalam rezeki yang bermacam-macam. Tidak mungkin kita mampu

menyebutkannya satu persatu. Jika ada yang mencoba menghitungnya satu per

satu dengan alat secanggih apapun niscaya tidak akan berhasil. Sebab terlalu

banyak nikmat rezeki yang diberikan Allah kepada manusia. Meskipun

13
demikian, secara garis besar rezeki dapat dikelompokkan ke dalam dua macam;

rezeki yang bersifat umum dan khusus.

Mungkin karena sudah terbiasa, kebanyakan manusia sering tidak

menyadari bahwa semua yang dirasakannya merupakan rezeki dari Allah.

Mereka menganggap hal itu merupakan sesuatu yang sudah sewajarnya karena

semua manusia memilikinya. Rezeki yang bersifat umum inilah yang sengaja

diberikan kepada semua makhluk, termasuk mereka yang membangkang dalam

kekafiran.13

Ketika Allah SWT telah menciptakan makhluk, Dia juga telah mengatur

rezeki untuknya. Jatah rezeki tersebut tidak akan habis kecuali telah habis pula

jatah hidupnya. Artinya, tidak akan habis rezeki seseorang sebelum ia

meninggal dunia. Rezeki yang diatur oleh Allah mencakup segala-galanya mulai

dari bentuknya, jumlahnya, asalnya, hingga tempat penyimpanannya. Karena

itu, kewajiban manusia hanyalah ikhtiar mencari, menerima, menyimpan, dan

menggunakannya. Dalam ikhtiar mencari rezeki inilah seseorang seharusnya

bersungguh-sungguh secara lahir dan batin.14

Dalam Al-Qur‟an jaminan rezeki disebutkan dalam surat Al-Ankabut

ayat 60 sebagai berikut:

‫وكايي هي دابة ال تحول رسقها هللا يزسقها واياكن وهى السويع العلين‬

Artinya: Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang

tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi

13
Nur Faizin, Rezeki Alquran...,h.11
14
Nasrudin Abdulrohim, Amalan-Amalan Pembuka Pintu Rezeki, (Jakarta Selatan: Qultummedia ,2017),
hlm. 9.

14
rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

(QS. Al-Ankabut [29]: 60)

Pada ayat ini memberikan keterangan tentang jaminan rezeki dari Allah,

dan penjelasan tentang manusia yang takut jatuh miskin disebabkan berhijrah

untuk meninggalkan pekerjaan atau harta bendanya, hewan melata yang tidak

dapat membawa atau tidak mampu membawa dan mengurus rezekinya dalam

perjalanannya yang tidak tetap, akan tetapi mereka semua bisa makan dan tetap

hidup. Semua itu dikarena Allah yang selalu senantiasa memberikan rezeki

untuk semua makhluk-Nya. Allah memerintahkan kepada makhluk-Nya

terutama kepada manusia untuk selalu berusaha mendapatkan rezeki yang telah

Allah tetapkan. Tidak boleh bermalas-malasan dan terbelenggu untuk menunggu

rezeki itu datang dengan sendirinya, sesungguhnya usaha adalah salah satu cara

untuk menjemput rezeki, manusia harus mencari rezeki sesuai dengan ketentuan

hukum yang telah Allah tetapkan. 15

Jarak antara manusia dan rezeki lebih jauh dari pada jarak binatang

dengan rezekinya, apalagi jarak tumbuhan dan rezekinya. Bukan hanya karena

adanya aturan-aturan hukum dalam cara memperolehnya dan jenis-jenis yang

dibolehkan bagi manusia, tapi juga dikarenakan selera manusia yang lebih tinggi

dibandingkan makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia Allah anugerahi sarana

yang jauh lebih sempurna dengan ilmu, akal, pikiran dan sebagainya, sebagai

bagian akan jaminan rezeki Allah. Tetapi, yang harus diingat adalah jaminan

rezeki yang telah Allah janjikan bukan berarti diberikan tanpa usaha. Jarak

15
Sayyid Qutbh, Tafsir Fī Zhilalil Qur’ān,vol 6, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 194.

15
antara rezeki manusia dewasa dengan rezeki bayi pun berbeda. Jaminan rezeki

Allah berbeda dengan jaminan rezeki dari orang tua kepada bayinya. Seorang

bayi menanti makanan yang sudah siap dan menunggu untuk disuapi. Namun

manusia dewasa tidaklah demikian, Allah telah menyiapkan sarana untuk diolah

oleh manusia tersebut.16

Allah berfirman yang artinya “Dan tidak satupun makhluk bergerak

(bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia

mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis)

dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud [11] : 6)

Ayat di atas menegaskan bahwa semua makhluk diketahui keadaannya

dan dianugrahi rezeki-Nya bukan hanya mereka (Kaum Kafir dan Munafik).

Semua makhluk, binatang melata di permukaan atau di dalam perut bumi atas

kuasa Allah dijamin rezeki dan dihamparkannya rezeki yang layak dan sesuai

dengan lingkungan serta habitatnya. Mereka hanya diperintahkan untuk

bergerak mencari rezeki tersebut.17

Ikhtiar mendapatkan rezeki dibagi menjadi dua yaitu ikhtiar langsung

(ikhtiar lahiriyah) dan ikhtiar tidak langsung (ikhtiar batiniyah). Ikhtiar yang

bersifat langsung atau ikhtiar lahiriyah contohnya adalah bekerja untuk

mendapat uang, membuka usaha, jual beli sewa menyewa dan lain sebagainya.

Sementara ikhtiar yang bersifat tidak langsung atau ikhtiar batiniyah adalah

16
M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan Di Balik Setiap Fenomena, (Tanggerang:
Lentera Hati, 2004), hlm. 388.
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6. (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm.193.

16
meningkatkan ketakwaan, memperbanyak zikir, bersedekah, mendirikan salat

hajat dan lain-lain. 18

1.4 Manajemen pengelolaan harta

Kekayaan/harta benda yang dimiliki setiap orang pada dasarnya adalah

suatu ‛amanah‛ yang harus digunakan atau dinafkahkan sesuai dengan ketentuan

Allah Swt. Sehubungan dengan hal tersebut Nabi Muhammad Saw.

mengajarkan: Pertama, setiap manusia akan ditanya tentang hartanya, dengan

cara apa dia memperolehnya dan bagaimana dia menafkahkannya.

Kedua, harta yang sedikit tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan adalah lebih

baik daripada harta yang banyak tetapi dapat menyesatkan manusia. Ketiga,

manusia yang kuat lebih baik daripada manusia yang lemah, karena bila

diperlukan oleh orang lain akan dapat berguna, dan bila tidak diperlukan oleh

orang lain, setidaknya ia dapat mengurus dirinya sendiri.

Harta kekayaan yang dimiliki harus dikelola sesuai ‛amanah‛ Sang

Pencipta. Islam menjelaskan pelbagai amanah tersebut. Pertama, amanah yang

berhubungan dengan hak orang lain. Di dalam harta yang dimiliki oleh setiap

manusia, terdapat hak-hak orang lain yang dititipkan kepadanya. Hak-

haktertentu yang merupakan bagian dari orang lain yang diberikan melalui

manusia itu harus diserahkan kepada yang berhak. Dengan menafkahkan

sebagian kelebihan kepada orang yang berhak, maka harta yang dikaruniakan

kepadanya telah dibersihkan dari bagian yang bukan haknya. Melalui zakat,

18
Nasrudin Abdulrohim, Amalan-Amalan Pembuka Pintu Rezeki, hlm.10

17
infak, dan sedekah kita dapat mendistribusikan apa yang menjadi hak bagi orang

lain.

‫وفي اهىالهن حق للسال والوحزوم‬

Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin

yang memintadan orang miskin yang tidak mendapat bagian/tidak meminta.”

(Q.s. alDzâriyât [51]: 19).

Kedua, amanah yang berhubungan hak hidup masa kini. Setelah

membersihkan kekayaan kita dari hak orang lain dengan mengeluarkan zakat,

infak, dan sedekah, maka bagian kedua adalah hak hidup masa kini. Setiap kita

memiliki hak untuk menikmati kekayaan yang dimiliki untuk memperoleh

kesenangan duniawi secara wajar dan tidak berlebihan.

Ketiga, amanah yang berhubungan dengan hak masa sulit. Dalam

kehidupan manusia selalu terdapat masa senang dan masa sulit, karena itulah

Allah Swt. menyatakan bahwa manusia yang baik adalah mereka yang dalam

menafkahkan hartanya tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak kikir. Allah

Swt. akan memberikan rahmat kepada manusia yang membelanjakan harta

dengan hemat, serta menyisihkan kelebihan untuk menghadapi hari kefakiran.

‫اى الوبذريي كاًىا اخىاى الشيطيي وكاى الشيطاى لزبهه كفىرا‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara-

saudara setan,(artinya berjalan pada jalan setan) dan setan itu adalah sangat

ingkar kepadaTuhannya.” (Q.s. al-Isrâ [17]: 27)

18
Keempat, amanah yang berhubungan dengan hak masa depan. Ayat di

bawah menjelaskan bahwa Allah telah memberi pelajaran mengenai

menghadapi masa depan melalui kisah mimpi Nabi Yusuf. Ia bermimpi tentang

tujuh ekor sapi yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-

kurus, dalam mimpi itu Nabi Yusuf juga memegang tujuh bulir gandum yang

hijau dan tujuh bulir gandum yang kering.

Mimpi tersebut ditafsirkan oleh Nabi Yusuf sebagai perintah untuk

menyimpan kelebihan dari tujuh masa panen yang sangat baik untuk digunakan

pada tujuh masa sulit. Nabi Saw. juga bersabda bahwa lebih baik meninggalkan

keturunanmu dalam keadaan sehat dan kaya daripada meninggalkannya dalam

keadaan miskin sehingga harus meminta-minta.

Di jelaskan dalam surat yusuf ayat 46-48 yang artinya “Yusuf, hai orang

amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tentang tujuh ekor sapi betina

yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekorsapi betina yang kurus-kurus,

dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku

kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya. Yusuf berkata,

‛Supaya kamu bertanam tujuh tahun (la-manya) sebagaimana biasanya, maka

yang akan kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk

kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit,

yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit),

kecuali sedikit dari bibit gandum yang kamu simpan

Kelima, amanah yang berhubungan dengan hak masyarakat. Di dalam

rezeki yang dilimpahkan kepada manusia, terdapat hak orang lain yang

19
dititipkan, hak dirinya, dan hak keturunannya, serta masa depannya, dan juga

hak untuk masyarakat. Karena itu, kelebihan rezeki dan harta harus digunakan

untuk kegiatan produktif, sehingga dapat menyebarluaskan kemaslahatan

kepada masyarakat, di sinilah akan muncul kerjasama. Dalam menjalankan

usaha manusia dianjurkan untuk bekerjasama dengan orang lain, baik dalam

bentuk perserikatan maupun dengan mempekerjakan orang lain.

Habit ataukebiasaan adalah suatu perilaku yang dilakukan secara

terusmenerus dan berulang-ulang yang akhirnya menjadi otomatis dan tidak

membutuhkan pemikiran si pelaku, sehingga si pelaku dapat memikirkan hal-hal

lain yang lebih menarik ketika ia sedang berperilaku yang merupakan kebiasaan

tersebut.

20
BAB III

PENUTUP

1.1 kesimpulan

Nafkah mempunyai makna segala biaya hidup merupakan hak isteri dan

anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan tempat kediaman serta beberapa

kebutuhan pokok lainnya sebab- sebab wajibnya nafkah ada 3 yakni .Sebab

masih ada hubungan kerabat/keturunan, .Sebab pemilikan Seseorang wajib

memberikan nafkah terhadap yang dimilikinnya, seperti hamba sahaya dan

binatang piaraan, harus diberikan makanan dan minuman yang bisa menopang

hidupnya sebab pernikahan Perkawinan merupakan salah satu sebab wajibnya

nafkah, karena dengan adanya aqad nikah, seorang isteri menjadi terikat dengan

suaminya, mengasuh anak serta mengantur rumah tangga dan lain sebagainya

Hikmah nafkah untuk keluarga antara lain: agar keluarga diliputi

keberkahan, menjadi Hamba Allah yang baik, agar bisa berbagi dengan yang

lain. Kelebihan nafkah keluarga ketika diinfakkan akan semakin menumbuh

suburkan rasa empati terhadap sesama, bermanfaat bagi yang lain, terjaga

muru’ ah (kehormatan) dan silaturahmi, serta keberkahan.

Harta kekayaan yang dimiliki harus dikelola sesuai ‛amanah‛ Sang

Pencipta. Islam menjelaskan pelbagai amanah tersebut. Pertama, amanah yang

berhubungan dengan hak orang lain. Di dalam harta yang dimiliki oleh setiap

manusia, terdapat hak-hak orang lain yang dititipkan kepadanya. Hak-

21
haktertentu yang merupakan bagian dari orang lain yang diberikan melalui

manusia itu harus diserahkan kepada yang berhak. Dengan menafkahkan

sebagian kelebihan kepada orang yang berhak, maka harta yang dikaruniakan

kepadanya telah dibersihkan dari bagian yang bukan haknya. Melalui zakat,

infak, dan sedekah kita dapat mendistribusikan apa yang menjadi hak bagi orang

lain.

22
DAFTAR PUSTAKA

 https://qultummedia.com/manfaat-dan-hikmah-nafkah-untuk-keluarga/ (di

akses 22/11/2021)

 Aliy As’ad, Terjemahan Fat-Hul Mu’in, Jilid 3, Menara Kudus, t.t, hlm. 197

 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen

Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II, Cet, II, Jakarta: 1984/1985, hlm. 184

 Abdurrahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Cet, I, Jakarta: Rineka Cipta,

1992, hlm. 121.

 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet. I Jakarta: Basrie

Press, 1994, hlm. 150

 Zakaria Ahmad Al-Barry, Ahkamul Auladi Fil Islam, Cet. I Jakarta: Bulan

Bintang, 1977, hlm. 74.

 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Cet. IV,

Jakarta: Bulan Bintang, t.t hlm. 272

 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Op. Cit., Juz II, hlm. 1216.

 Imron Abu Amar, Fathul Qarib, Menara Qudus, t.t, hlm. 96.

 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. I, Op. Cit., hlm. 543.

 Al-Hafidh Ibnu hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Beirut: Maktabah At-

Tijarah Al-Kubra, t,t, hlm. 250.

 Nasrudin Abdulrohim, Amalan-Amalan Pembuka Pintu Rezeki, (Jakarta

Selatan: Qultummedia ,2017), hlm. 9.

23
 Sayyid Qutbh, Tafsir Fī Zhilalil Qur’ān,vol 6, (Jakarta: Gema Insani, 2003),

hlm. 194.

 M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan Di Balik Setiap

Fenomena, (Tanggerang: Lentera Hati, 2004), hlm. 388.

 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6. (Jakarta: Lentera Hati, 2005),

hlm.193.

 Nasrudin Abdulrohim, Amalan-Amalan Pembuka Pintu Rezeki, hlm.10

24

Anda mungkin juga menyukai