Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH QAWAI’D FIQHIYAH FIL MUNAKAHAT

‫باب حضانة الو لد‬

Dosen Pembimbing :
Dr. M. Amar Adly Lc, MA

Disusun Oleh :
Ainun Mardiah 0201171016
Raja Pamungkas Rambe 0201171017
Alfian Lubis 0201171018

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang masih memberikan kasih sayang Nya
kepada kita semua, dan begitu juga rahmat dan hidayah Nya yang tak pernah berhenti
dilimpahkan kepada kita semua, sehingga dengan rahmat Nyalah makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat beserta salam kita ucapkan kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya.
Adapun makalah yang kami susun ini berjudul tentang “‫ ”باب حضانة الو لد‬dan dalam
penyusunan makalah ini,tidaklah sedikit hambatan yang kami hadapi. Masih banyak terdapat
kekurangan dari berbagai aspek. Kami juga sangat berterima kasih kepada bapak dosen Mata
Kuliah Qawa’id Fiqhiyah Fil Munakahat yang telah memberikan tugas, petujuk dan cara
penyelesaian makalah ini, sehingga kami termotivasi dalam menyelesaikan tugas ini.
Dan kepada pihak yang ikut serta atas pembuatan makalah ini kami ucapkan terimakasih,
semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan orang lain (Audien) sekalian,
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Amin ya Rabal’alamin.

Medan, 18 Mei 2020

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
A. Makna Kaedah........................................................................................................2
BAB III PENUTUP.........................................................................................................12
A. Kesimpulan............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap pasangan suami istri yang sudah menikah pasti berkeinginan untuk memiliki
keturunan, yang secara fitrahnya anak-anak keturunan mereka tersebut merupakan amanah
dari Allah SWT. Bagi setiap orang tua anak-anak keturunan mereka tersebut diharapkan
kelak dapat menjadi anak-anak yang bermanfaat dan membanggakan untuk agama, nusa dan
bangsa, serta dapat mengangkat derajat dan martabat kedua orantua kelak apabila anak-anak
tersebut menjadi dewasa. Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit perkawinan
yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut rumah tangga yang
menghantamnya. Ikatan perkawinan yang dibangun dalam mahligai cinta dan kasih sayang
dapat terputus karena tidak adanya kecocokan antara suami dan isteri seiring berjalannya
waktu. Putusnya perkawinan akibat perceraian dapat terjadi karena kehendak suami atau istri
atau kehendak keduanya, hal ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, misalkan tidak
terpenuhinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri, pergaulan antara
suami dan istri yang tidak saling menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-masing,
kehendak rumah tangga yang tidak aman dan tenteram, serta saling terjadi silang sengketa
atau pertentangan pendapat yang sangat prinsip.
Salah satu akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah timbulnya sengketa
perebutan hak asuh anak antara suami dan isteri. Ikatan yang terjalin antara suami dan isteri
dapat terputus karena adanya perceraian, namun ikatan anak dengan ibu dan bapak
kandungnya tidak akan terputus sampai kapan pun. Oleh karena itu, antara bapak dan ibu
sama-sama memiliki hak dalam pengasuhan anak khususnya anak di bawah umur atau di
bawah 12 tahun. Setiap orang tua yang bercerai pasti masing-masing dari mereka
menginginkan buah hatinya ada dalam penguasaannya, dimana akan timbul perbedaan
keinginan dan menimbulkan berbagai masalah hukum dalam pengasuhan anak. Masalah-
masalah tersebut antara lain , siapa yang harus memelihara anak-anak mereka? hak-hak apa
saja yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya? Majelis Hakim wajib
memeriksa dan mengadili setiap bagian dalam gugatan para pihak, termasuk juga tuntutan
hak penguasaan anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna dari Kaedah ‫ مبنى ال َحضانة على ال َّشفقة‬: ‫ الضا بط أالول‬Dan ‫ ِواليةُ الَضانة‬: ‫لضابط الثاني‬
‫ ُمستفا دةٌ من قِبَل أُالمهات‬.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kaedah
.‫ مبنى ال َحضانة على ال َّشفقة‬: ‫الضا بط أالول‬
Ketetapan hadhonah atas dasar simpati/rasa kasih sayang.
َ ‫) اِحْ ت‬
Hadhanah berasal dari bahasa Arab, dengan asal kata, hadhanah hadinatun), َ‫ن‬b‫َض‬
ihtadhana), ‫)حضْ نًا‬
َ hadnan ), ‫ )یَحْ ضُن‬yahdun), ‫ض ن‬َ ‫ ) َح‬anak memeluk, anak mengasuh artinya
yang), ‫ضن‬ َ hawadin), ٌ‫ضنَة‬
ِ ‫)ج َوا‬ ِ ‫ ) َحا‬ataupun pengasuh anak .
Dalam buku Subul as-Salam hadhanah berasal dari kata ‫احضن‬dengan kasrah huruf “ha”
adalah masdar dari kata ‫ حضن‬hadhanah syabiyyah yang artinya dia mengasuh atau
memelihara bayi. Masdarnya hadhanan wa hidhanah yaitu asuhan atau pemeliharaan, ‫الحضن‬
dengan kasrah huruf “ha” juga berarti bagian badan mulai dari bagian bawah ketiak hingga
bagian antara pusat dan pertengahan punggung diatas panggul paha, termasuk dada atau dua
lengan atas dan bagian antara keduanya .
Pada dasarnya anak itu dalam keadaan fitrah dan orang tuanya lah yang berperan di
dalam pertumbuhan anak tersebut dalam memberikan pendidikan dan kasih sayang.
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Mengenai
kewajiban terhadap anak yang terdapat dalam pasal 45 yaitu:
a. Kedua orang tua wajib memelihara anak-anak mereka sebaik-baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang disebut dalam pasal (1) berlaku sampai anak kawin atau
dapat berdiri sendiri, kewajiban yang mana berlaku meskipun perkawinan kedua
orang tuanya telah putus.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa hadhanah (pemeliharaan anak)
merupakan kewajiban, tuntutan secara sadar bagaimana pentingnya pengasuhan anak
semenjak dari kecil. Bahkan hadhanah merupakan syari’at agama yang harus dipenuhi orang
tua.
Rukun dan Syarat-syarat Hadhanah
Rukun Hadhanah Dalam buku Amir Syaripuddin Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
menyebutkan rukun hadhanah ada 2 yaitu:
a. Orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin.
b. Anak yang diasuh disebut mahdhun.

2
Syarat-syarat Hadhanah
Tujuan dari pemeliharaan anak yang begitu luhur dan mulia sebagaimana penjelasan pada
pembahasan sebelumnya, tentunya akan sulit tercapai bila pelaksanaannya dilakukan secara
sembarangan oleh pihak yang kurang layak. Oleh karenanya persyaratan tertentu sebagai
standar dalam menentukan pemegang hak pemeliharaan anak. Supaya pemeliharaan dapat
berhasil dan berjalan dengan baikmaka diperlukan syarat-syarat bagi hadhinin (bapak asuh)
atau hadhinan (ibu asuh). Jika syarat hadhanah itu tidak terpenuhi, maka gugurlah hak
hadhanah.
Syarat dari yang mengasuh Mengenai syarat-syarat bagi si pengasuh baik orang tua (ayah
dan ibu). mengemukakan beberapa pendapat para fuqaha’ yaitu:
Abdul Azis Dahlan dalam buku Ensiklopedi hukum Islam, menyebutkan syarat umum bagi
wanita dan pria yaitu:
a. Balig
b. Berakal
c. Memiliki kemampuan dalam mengasuh, merawat dan mendidik anak.
d. Dapat dipercaya memegang amanakh dan berakhlak baik.
e. Harus beragama Islam.
Wahbah Zuhaily, dalam bukunya Fiqh Islam Wa Adillatuhu, ia menyebutkan pengasuh anak
yaitu:
Syarat khusus untuk pengasuh wanita atau ibu adalah:
1. Wanita itu tidak menikah kembali dengan laki-laki lain. Hal ini lebih engkau” ‫ق‬ ُّ ‫ت َأ َح‬
ِ ‫َأ ْن‬
‫ ”بِ ِھ َما لَ ْم تَ ْن ِك ِحى‬.rasul hadits dengan sejalan berhak mengasuhnya selama engkau belum
menikah dengan lakilaki lain”.
2. Wanita itu harus memiliki hubungan mahram dengan anak yang dipeliharanya
3. Wanita itu tidak pernah berhenti meskipun tidak diberi upah.
4. Wanita tidak dapat mengasuh anak-anak dengan sikap yang tidak baik, seperti
pemarah, orang yang dibenci oleh anak tersebut atau membenci anak-anak .

Syarat-syarat khusus untuk pengasuh pria, dalam buku Wahbah Al- Zuhaili, Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu yaitu:
1. Pengasuh harus mahram dari anak tersebut, dikwatirkan apabila anak itu wanita cantik
dan berusia 7 tahun, ditakutkan akan menimbulkan fitnah antara pengasuh dengan
anak yang diasuh.

3
2. Pengasuh harus didampingi oleh wanita lain dalam mengasuh anak tesebut seperti ibu,
bibi, atau istri dari laki-laki tersebut, alasannya.
Mengenai syarat bagi pemegang hak hadhanah ini bahkan ada yang mensyaratkan harus
mempunyai kafa‟ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan si anak. Maksudnya agar
pengasuh dapat memberikan pendidikan yang layak bagi si anak agar keadaan anak itu
bertambah baik dari segi jiwa dan raga si anak. Persyaratan yang dikemukakan tentang
pemeliharaan anak memang hanya berkisar pada hal tersebut diatas, karena hal tersebut
merupakan hal pokok, misalnya seperti seorang pengasuh harus berakal. Jelas bagi orang
yang tidak berakal atau gila tentunya tidak akan mampu mendidik anak karena mereka saja
tidak dapat mengurus keperluan dirinya sendiri, oleh karena itu berakal sehat merupakan
syarat utama.
Sehat jasmani dan rohani merupakan faktor penting bagi pengasuh, sehingga dengan
jasmani yang sehat (bebas dari penyakit menular atau penakit yang menahun sehingga
manjadi hambatan dalam pelaksanaan hadhanah) dan rohani yang sehat seperti mempunyai
budi pekerti yang baik, akan mempermudah dalam pelaksanaan hadhanah. Jadi bagaimana
mungkin orang yang sakit dapat merawat orang yang sehat? Hal ini sesui dengan hadits nabi
yang menyatakan, “Yang sakit tidak boleh merawat orang yang sehat.” (HR. Imam Muslim).
Maksudnya tidak semua penyakit dapat menjadi penghalang pengasuhan, hanya saja yang
tidak diperkenankan adalah penyakit yang dapat membahayakan anak asuh atau menjadi sulit
untuk melakukan pengasuhan disebabkan penyakit yang diteritanya. Kriteria dewasa dengan
pengasuh dalam pemeliharaan anak memang sangat diharuskan karena orang dewasa dapat
mengurus dirinya sendiri, bisa bekerja dan menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk
keperluan anak yang dipeliharanya.
Anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang dapat
mengurus urusannya dan mengasuhnya, karena itu anak kecil tidak boleh menangani orang
lain. Selain dewasa yang juga menjadi bahan pertimbangan bagi seorang yang menjadi
pengasuh adalah seorang yang mempunyai sifat amanah, artinya ia dapat dipercaya dan
bertanggung jawab atas tugas asuhnya. Maka di antara tuntutan jiwa yang amanah ialah
dengan menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak halal dan tidak terpuji. Karena orang
yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh.
Dengan demikian jika seorang tidak memiliki amanah maka dia tidak memiliki hak untuk
mengasuh dan mendidiknya.

4
Mampu mendidik bagi pengasuh merupakan hal penting yang harus dimiliki kecakapan
dalam mendidik terutama hal penting dalam bidang agama tentunya akan sangat membantu
dalam mengasuh anak dan misi untuk menjadikan jiwa anak yang sehat, kuat, dan dapat
membedakan mana yang hak dan bathil, tentunya tidak akan terlalu sulit untuk diwujudkan.
Dengan kemampuan mendidik si anak akan terjamin masa depannya, dan juga harus
diperhatikan adanya kasih sayang terhadap si anak, karena dengan kasih sayang si anak akan
dapat di didik dengan baik dan yang harus diperhatikan juga bahwa pengasuh bukan orang
yang licik dan suka berbuat curang karena mungkin akan mempengaruhi terhadap jiwa si
anak. Mengenai syarat ibu belum menikah lagi dimaksudkan agar si anak tidak kehilangan
kasih sayang dari ibunya karena menikah dengan laki-laki lain hilangnya kasih sayang
tersebut adalah karena dipengaruhi oleh suami baru si ibu. Akan tetapi hak hadhanah tidak
menjadi gugur jika si ibu menikah dengan kerabat dekat si anak yang memperlihatkan kasih
sayang dan tanggung jawabnya.

Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah Menurut Hukum Islam


Sebuah rumah tangga, idealnya diramaikan oleh anak-anak sebagai buah cinta kasih
sepasang suami istri. Buah hati yang menyenangkan itu sudah menjadi kewajiban suami isteri
untuk memeliharanya dengan baik, diberikan pendidikan yang berkualitas baik yang
menyangkut “imtak” maupun “iptek” sehingga ada keseimbangan dalam antara intelektual
quotient dan spiiritualquotient dalam diri si anak, dan memang begitulah seharusnya orang
tua, dan dari hati mereka kebapaan dan keibuan tumbuh pada jiwa kedua orang tua, dan dari
hati mereka terpancar sumber sensitifitas, dan pelak dalam sensitifitas tersebut terdapat
pengaruh mulia dan hasil-hasil positif dalam memelihara anak-anak dan kesejahteraan
mereka serta bergerak menuju kehidupan tenang dan tentram dan masa depan yang mulia dan
luhur. Ilustrasi dari sebuah rumah tangga diatas jelas didambakan oleh banyak pasangan dan
itu merupakan perwujudan dari kataatan kepada Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur‟an dalam surah At-Tahrim: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikatmalaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S.
At-Tahrim:6) Ayat tersebut memerintahkan agar semua kaum muslimin mengasuh dan
mendidik anaknya.
Dalam pelaksanaan hadhanah ini tidak hanya kewajiban yang harus dilaksanakan, namun
juga diperhatikan adalah urutan orang yang lebih berhak dalam melakukan hadhanah. Dalam

5
kitab Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga disebutkan, “Jika pasangan suami istri bercerai,
sedangkan di antara mereka terdapat anak yang masih kecil, maka ibunya yang paling berhak
memelihara dan merawat anaknya hingga dewasa, karena ibulah yang lebih telaten dan lebih
sabar. Hendaklah si anak tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan laki-
laki lain. Meskipun demikian bapaknya tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anak
tersebut. Al-Qur’an tidak menerangkan dengan jelas tentang urutan orang-orang yang berhak
melakukan pengasuhan anak.
T. M Hasby ash-Shiddieqy mengemukakan, orang yang lebih berhak melakukan
hadhanah ini adalah ibu, kemudian ibu dari ibu, kemudian saudara perempuan kandung,
kemudian saudara-sauadara seibu,kemudian saudara-saudara seayah, kemudian saudara ayah
dari ibu, kemudian saudara-saudara ibu dari ayah, kemudian saudara- saudara perempuan
ayah .
Syaikh Hasan Ayyub didalam kitabnya fiqh keluarga menjelaskan tentang susunan dari
keluarga yang berhak dalam mengasuh anak setelah terjadi perceraian antara suami istri.
Sebagaimana hak mengasuh pertama diberikan kepada ibu, maka para ahli fiqh
menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak dari pada keluarga
bapaknya. Jadi urutan orang yang berhak mengasuh anak adalah:
a. Ibu anak tersebut
b. Nenek dari ibu dan terus ke atas
c. Nenek dari pihak ayah
d. Saudara kandung anak
e. Saudara perempuan seibu
f. Saudara perempuan seayah
g. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung
h. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
i. Saudara perempuan seibu dan sekandung dengannya
j. Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi)
k. Saudara perempuan ibu dan seayah dengannya (bibi)
l. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
m. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung
n. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu
o. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah
p. Bibi yang sekandung dengan ayah
q. Bibi yang seibu dengan ayah

6
Dalam pemeliharaan itu ada beberapa tahap, yaitu:
1. Ketika anak itu masih kecil, maka yang lebih berhak untuk memeliharanya adalah
ibunya, kecuali bila ia tidak bersedia karena ibu kandung dari anak tersebut akan
menikah dengan orang lain.
2. Ketika anak itu sudah berumur tamyiz (tujuh tahun), maka pemeliharaannya terserah
kepada siapa yang dikehendaki anak baik ibu maupun bapaknya.
3. Ketika anak sudah bisa merangkak, kemudian salah seorang dari ibu bapaknya pindah
Agama lain (selain Islam), maka anak itu dilepas agar ia memilih ikut yang mana ia
sukai.
4. Ketika anak perempuan direbut oleh orang lain yang bukan ibunya atau ayahnya,
maka sebaiknya anak itu diserahkan kepada saudara perempuan dari ibunya dari pada
saudara bapak.
Jika tidak ada yang melakukan hadhanah pada tingkat perempuan, maka yang melakukan
hadhanah ialah pihak laki-laki yang urutannya sesuai dengan urutan perempuan di atas. Jika
pihak laki-laki juga tidak bisa atau tidak ada, maka kewajiban melakukan hadhanah itu
merupakan kewajiban pemerintah.

7
‫ ِواليةُ الَضانة ُمستفا دةٌ من قِبَل أُالمهات‬: ‫لضابط الثاني‬
Pemeliharaan hadhonah itu adalah mengambil manfaat dari kekuatan yg dimiliki ibu (yg
menyusui itu)
Seorang ibu lebih berhak mendidik anaknya daripada seorang bapak. Karena, ia lebih
berpengalaman dan lebih sabar dalam hal tersebut. Dalil yang melandasinya adalah hadits
yang diriwayatkan dari Abdallah bin Amr ra., dimana ada seorang wanita berkata: “Wahai
Rasulallah, sesungguhnya ini adalah anakku, dimana perutkulah yang telah mengandungnya,
haribaankulah yang telah melindunginya dan air susuku pula yang telah menjadi
minumannya. Akan tetapi, saat ini bapaknya memisahkan ia dariku. Lalu beliau berkata:
“Kamulah yang lebih berhak atas anak itu, selagi kamu belum menikah (dengan orang lain).”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim).
.................................................................Para ulama telah sepakat, bahwa seorang ibu lebih berhak atas an
daripada bapaknya. Diceritakan oleh Ibnu Mundzir, bahwa hak seorang ibu di dalam
mendidik anaknya akan hilang apabila ia menikah lagi dengan laki-laki lain. Diriwayatkan
dari Utsman bin Affan ra., bahwa hak istri tersebut tidak hilang apabila ia menikah dengan
laki-laki lain. Hal ini juga menjadi pendapat Hasan Bashri dan Ibnu Hazm. Mereka
menggunakan hujjah dengan tetap puteranya Ummu Salamah berada di bawah asuhannya
setelah ia menikah dengan Rasulullah. Di dalam kitab al-Raudhah disebutkan: “Bahwa hujjah
mengenai tetapnya putera Ummu Salamah ra., berada di bawah asuhannya tidak dapat
dijadikan sebagai landasan hukum, karena pada saat itu tidak terdapat ibu lain yang mampu
merawatnya.”
dalam Al-Qur’an tidak dijumpai ayat-ayat yang menerangkan dengan tegas tentang batas
masa hadhanah namun hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan tentang
permasalahan tersebut. Allah berfirman dalam surat Al- Baqarah ayat 233:
‫قـه َُّن َو ِكس َْو ُتـه َُّن‬ ُ ‫هُ ِر ْز‬bbَ‫و ِد ل‬bbُ‫ا َعةَ ۚ◌ َو َعلَى ْال َموْ ل‬bb‫َّض‬َ ‫ين ۖ◌ لِ َم ْن َأ َرا َد َأ ْن يُتِ َّم الر‬ ِْ َ‫ وْ ل‬bb‫ض ْعنَ َأوْ الَ َده َُّن َح‬
ِْ َ‫ا ِمل‬bb‫ين َك‬ ُ ‫د‬bbِ‫َو ْال َوال‬
ِ ْ‫َات ُيـر‬
‫ث ِم ْث ُل ٰ َذلِكَ ۗ◌ فَِإ ْن َأ َرادَا‬ ِ ‫ار‬ِ ‫ض ا َّر َوالِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َوالَ َموْ لُو ٌد لَهُ بِ َولَ ِد ِه ۚ◌ َو َعلَى ْال َو‬
َ ُ‫ُوف ۚ◌ الَ تُ َكلَّفُ نـ َ ْفسٌ ِإالَّ ُو ْس َعهَا ۚ◌ الَ ت‬ ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬
‫ا‬bb‫لَّ ْمتُ ْم َم‬b‫ َل ْي ُك ْم ِإ َذا َس‬b‫ا َح َع‬bbَ‫ضعُوا َأوْ الَ َد ُك ْم فَالَ ُجن‬ ِ ْ‫ْتـر‬ َ ‫َاح َعلَ ْي ِه َما ۗ◌ وَِإ ْن َأ َر ْدت ْ ُم َأ ْن تَس‬
َ ‫اض ِمنـْهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَالَ ُجن‬ ٍ ‫صاالً ع َْن تـ َ َر‬َ ِ‫ف‬
ِ َ‫ُوف ۗ◌ َواتـَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأ َّن هَّللا َ ب َِما تـ َ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ ِ ‫آتـ َ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعر‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak

8
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Selain itu juga terdapat dalam hadits:
‫ه‬bb‫ري ل‬bb‫قاء وحج‬bb‫ وثديي له س‬,‫ يا رسول اهللا إن ابني هذا كان بطني له وعاء‬:‫عن عبد اهللا بن عمرو بن العاصأن امرأةقالت‬
‫ (رواە‬.‫ا لم تنكحي‬bb‫ه م‬bb‫ق ب‬bb‫ أنت أح‬:‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫ فقال لها رسول اهللا صلى اهللا علي‬،‫ وإن أباه طلقني وأراد أن ينتزعه مني‬,‫حواء‬
(‫ابوداود‬
Artinya: “Dari Abdullah bin Amru ibn Ash bahwa seorang perempuan berkata kepada
Rasulullah, “Ya Rasulullah, Sesungguhnya anak ini, Perutku pernah menjadi tempatnya, air
susuku pernah menjadi minumannya, dan pangkuanku menjadi pelipurya. Dan sesungguhnya
ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku,”Rasulullah kemudian
bersabda,“Engkau lebih berhak dari pada ayahnya, selama kamu belum menikah lagi”.(HR.
Abu Dawud)
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di tentukan bahwa
batas masa hadhanah seorang anak berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus (Pasal
45 ayat (2)).
Seperti halnya Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur
tentang batas masa hadhanah yang dimiliki seorang anak, dalam Pasal 98 ayat (1)
menjelaskan bahwa batas masa hadhanah seorang anak berlaku sampai ia mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Masa Pemeliharaan Anak
1. Menurut Hukum Islam
Pemeliharaan anak hadhanah bertujuan untuk membantu anak memenuhi kebutuhannya
karena belum mampu melayani kebutuhannya sendiri. Bila si anak tersebut sudah tidak lagi
memerlukan pelayanan, lagi telah dewasa, serta telah mampu untuk mengurus diri sendiri
kebutuhan pokoknya seperti makan, minum, berpakaian maka masa hadhanah telah selesai,
akan tetapi dalam hal ini tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya karena tidak
terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menerangkan dengan tegas tentang masa
hadhanah, hanya terdapat isyarat yang menerangkan hal tersebut. Para ahli fiqih sepakat
bahwa hak pemeliharaan anak adalah mulai bayi ketika baru dilahirkan sampai batas usia
tamyiz, namun para ahli fiqih berbeda pendapat mengenal kapan masa usia tamyiz tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, hak pemeliharaan baik untuk ibu dan yang lainnya adalah sampai si

9
anak dapat mengerjakan sendiri kebutuhannya sehari-hari, batas usia hadhanah untuk laki-
laki adalah tujuh tahun atau menurut sebagian lagi sembilan tahun.
Sedang masa hadhanah untuk wanita berarkhir ketika anak itu mencapai umur sembilan
tahun, atau menurut sebagian lagi sebalas tahun, karena pada waktu umur-umur itu tentu saja
urusan-urusan anak, sang ibu lebih mempu dan cakap. Tetapi jika anak wanita itu sampai
pada usia dewasa, ketika daya seksualnya telah nampak, maka ayah lebih pantas untuk
membimbing dan memeliharanya. Sedangkan menurut mazhab Maliki batas usia masa
pemeliharaan anak bagi lakilaki adalah sejak dilahirkan dan berakhir dengan ihtilam
(mimpi)/baligh, sedangkan untuk perempuan berakhir dengan samapai ia pada umur
menikah. Mereka mengambil dasar dalil-dalil seperti yang keluarkan oleh imam ahmad:
Ya Rasulallah, sesunggunya anakku ini perutku tempatnya susuku menjadi minumannya
pangkuanku menjadi tempat pemeliharaanya, dan sesungguhnya ayahnya telah mentalak saya
dan ia hendak mengambilnya dari saya, maka Rasulullah berkata engkau lebih berhak atasnya
selama engkau belum menikah. Menurut mazhab Syafi’i tidak ada batasan tertentu bagi
pemeliharaan atau asuhan terhadap anak. Anak tetap tinggal bersama ibunya samapi ia dapat
menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, kalau si anak sudah sampai
pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah tinggal bersama Ibu atau ayahnya, kalau seorang
anak laki-laki memilih untuk tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya
pada malam hari dan dengan ayahnya di siang harinya agar si ayah bisa mendidiknya,
sedangkan bila si anak adalah anak perempauan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka
dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam tetapi bila si anak memilih tinggal
bersama ibu dan ayahnya maka dilakukan undian, bila si anak diam (tidak memberikan
pilihan), dan ikut bersama ibunya.
Hal ini berdasarkan dalil-dalil seperti: Hadits Abu Hurairah ra bahwa ada seorang wanita
yang datang kepada Nabi Muhammad saw seraya berkata, sesungguhnyasuamiku ingin
membawa anakku. “Nabi Muhammad saw bersabda “ini ayahmu dan ini ibumu. Maka
peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki. Ternyata anak itu mengambil tangan ibunya.
Jadi terlihat dari hadis diatas, dapat dipahami bahwa anak mempunyai hak pilih untuk ikut ke
ayah atau tetap pada ibunya jika ia teleh samapai pada masa balig/dewasa. Menurut mazhab
Hambali batas pemeliharaan atau pengasuhan baik anak laki-laki maupun perempuan adalah
tujuan tahun. Jika anak tersebut telah mencapai usia tersebut dan ia seorang laki-laki, maka ia
dipersilahkan untuk memilih di antara kedua orang tuanya, tetapi jika ia seorang wanita,
maka ayahnya lebih berhak dengannya, dan tidak ada hak memilih baginya
.

10
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam kompilasi Hukum Islam
masa pemeliharaan anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri.
Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
sebagaimana bunyi dari pasal 156 poin d. Semua biaya hahanah dan nafkah anak menjadi
tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya, sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Mengenai hal ini sebenarnya telah
dijelaskan dalam pasal sebelumnya, yaitu pasal 98 ayat (1) yang berbunyi : “Batas usia anak
yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan Jadi menurut
Kompilasi Hukum Islam batas usia anak dalam hadhanah adalah 21 tahun, pada usia tersebut
anak dianggap telah dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri sepanjang anak tersebut tidak
cacat fisik maupun mental, selain itu anak yang telah melangsungkan perkawinan dianggap
telah dewasa, dan pada masa tersebut orang tua tidak mempunyai kewajiban lagi memelihara
atau mengasuh kepada anak. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada
pasal 105 bahwa: “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
a. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;” Kemudian pada
pasal berikutnya dari Kompilasi Hukum Islam yaitu dalam pasal 156, poin Anak yang
belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya
telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari pihak anak yang bersangkutan.
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Dengan demikian ibu merupakan prioritas utama, dan apabila terhalang untuk memelihara
atau meninggal dunia, hak pemeliharaan diprioritaskan kepada kerabat perempuan meskipun
dari pihak laki-laki. Bahwa wanita lebih baik dalam melaksanakan hadhanah dibandingkan
laki-laki bila dilihat dari segi kewanitaan yang sabar, ulet, dan penyayang

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
.‫ مبنى ال َحضانة على ال َّشفقة‬: ‫الضا بط أالول‬
Ketetapan hadhonah atas dasar simpati/rasa kasih sayang.
Rukun dan Syarat-syarat Hadhanah
Rukun Hadhanah Dalam buku Amir Syaripuddin Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
menyebutkan rukun hadhanah ada 2 yaitu:
a. Orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin.
b. Anak yang diasuh disebut mahdhun
Syarat-syarat Hadhanah
Tujuan dari pemeliharaan anak yang begitu luhur dan mulia sebagaimana penjelasan pada
pembahasan sebelumnya, tentunya akan sulit tercapai bila pelaksanaannya dilakukan secara
sembarangan oleh pihak yang kurang layak. Oleh karenanya persyaratan tertentu sebagai
standar dalam menentukan pemegang hak pemeliharaan Oleh karenanya persyaratan tertentu
sebagai standar dalam menentukan pemegang hak pemeliharaan anak. Supaya pemeliharaan
dapat berhasil dan berjalan dengan baikmaka diperlukan syarat-syarat bagi hadhinin (bapak
asuh) atau hadhinan (ibu asuh). Jika syarat hadhanah itu tidak terpenuhi, maka gugurlah hak
hadhanah.

‫ ِواليةُ الَضانة ُمستفا دةٌ من قِبَل أُالمهات‬: ‫لضابط الثاني‬


Pemeliharaan hadhonah itu adalah mengambil manfaat dari kekuatan yg dimiliki ibu (yg
menyusui itu)
Masa Pemeliharaan Anak
1. Menurut Hukum Islam
Pemeliharaan anak hadhanah bertujuan untuk membantu anak memenuhi kebutuhannya
karena belum mampu melayani kebutuhannya sendiri. Bila si anak tersebut sudah tidak lagi
memerlukan pelayanan, lagi telah dewasa, serta telah mampu untuk mengurus diri sendiri
kebutuhan pokoknya seperti makan, minum, berpakaian maka masa hadhanah telah selesai,
akan tetapi dalam hal ini tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya karena tidak
terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menerangkan dengan tegas tentang masa
hadhanah, hanya terdapat isyarat yang menerangkan hal tersebut.
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam kompilasi Hukum Islam

12
masa pemeliharaan anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri.
Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
sebagaimana bunyi dari pasal 156 poin d. Semua biaya hahanah dan nafkah anak menjadi
tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya, sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Mengenai hal ini sebenarnya telah
dijelaskan dalam pasal sebelumnya, yaitu pasal 98 ayat (1) yang berbunyi : “Batas usia anak
yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan Jadi menurut
Kompilasi Hukum Islam batas usia anak dalam hadhanah adalah 21 tahun, pada usia tersebut
anak dianggap telah dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri sepanjang anak tersebut tidak
cacat fisik maupun mental, selain itu anak yang telah melangsungkan perkawinan dianggap
telah dewasa, dan pada masa tersebut orang tua tidak mempunyai kewajiban lagi memelihara
atau mengasuh kepada anak.

13
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Muhajir HADHANAH DALAM ISLAM (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah) Program Studi Pend. Bahasa Inggris, Universitas Indraprasta PGRI
prints.walisongo.ac.id/
oleh S Wahjuli - 2015 Hadhanah menurut Hukum Islam (UIN-SUSKA RIAU)

Anda mungkin juga menyukai