Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Wasiat

    

Wasiat atau testament ialah suatu pernyataan yang berisikan tentang kehendak terakhir seseorang
setelah ia meninggal dunia. Sedangkan pengertian wasiat menurut Pasal 875 BW adalah suatu
akta yang isinya tentang pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah meninggal 
Rukun dan Syarat Wasiat
a.      Rukun Wasiat
1.  Ada orang yang bewasiat, hendakklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebakan
serta  kehendaknya sendiri.
2.   Ada yang menerima wasiat (mausilah). Keadaannya hendaklah dengan jalan yang bukann
maksiat, baik pada kemaslahatan umum, seperti membangun mesjid, sekolah, atau lail-lainnya.
Tetapi kalau kepada yang tertentu, hendaklah ditambah syarat yang bersifat seseorang yang
boleh memiliki.
3.   Sesuatu yang dimaksiatkan,disyaratkan dapat berpindah mlik dari seorang kepada orang lain.
4.   Lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.[4]
b.      Syarat Wasiat
1)      Syarat orang yang berwasiat
Adapun syarat dari orang yang berwasiat, ialah :
a)      Baligh
b)      Berakal sehat
c)      Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Menurut Sayyid Sabiq disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli
kebaikan. Yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
orang tidak boleh menerima wasiat
Orang yang boleh menerima wasiat adalah orang-orang yang tidak menjadi ahli waris.
Jadi, intinya orang yang telah menjadi ahli waris tidak berhak untuk menerima wasiat karena
wasiat itu hanya diperuntukkan kepada selain orang yang menjadi ahli waris.
b.      Batalnya wasiat
Dari beberapa hal yang mengakibatkan batalnya wasiat ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)         Wasiat tidak mengikat kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap
dalam wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum meninggal.
Bila si pemberi wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2)         Gila dan rusak akal menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat
yang pernah dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit
gila, wasiatnya menjadi batal.
3)         Bila orang yang berwasiat pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat
dilakukan setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan
seluruh harta kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi batal.
4)         Bila penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka wasiat
tersebut menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5)         Bila penerima wasiat membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.

i
6)         Penerima wasiat mempunyai hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam
melaksanakan wasiat.
7)         Wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat
yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
1)            Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pada
kematian.
2)            Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.
3)            Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh yang diberi wasiat.
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang
yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak
berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu
lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal
jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima
wasiat.

Karena keterangan dalam  testament adalah suatu pernyataan yang keluar dari sepihak
saja maka testament setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Suatu wasiat
atau testament mengandung juga suatu syarat atau pembatasan, yaitu isi pernyataan itu tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang. Pembatasan yang penting yaitu tentang pasal-pasal
tentang legitieme portie , yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahliwaris
dalam garis lencang dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan 
dunia, dan dapat ditarik kembali olehnya1Wasiat tersebut disyari’atkan Allah dalam
rangka membina kekuatan ekonomi keluarga yang mungkin tidak terjangkau oleh norma
kewarisan. Dengan adanya norma wasiat, semua yang berhak atas harta yang akan ditinggalkan
seseorang, terjangkau semuanya sehingga tidak akan ada yang terabaikan, dan kehidupan
keluarga serta yang ditinggalkannya itu tetap dalam keadaan baik.
Wasiat tersebut disyari’atkan dalam Islam menyertai norma pembagian harta waris,
karena akibat ketatnya sistem pembagian warits, seseorang yang semula akan memperolah hak
warits, bisa terhalang oleh warits yang lain, padahal secara ril dia atau mereka jauh lebuh layak
dan mesti menerima pembagian warits tersebut. Seperti, seorang anak yatim ditinggal mati
ayahnya, sebelum kakeknya meninggal.

HIBAH
1.       Pengertian Hibah

i
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah
yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan
dilakukan secara sukarela”.[6] Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad
yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup,
tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk
dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut
disebuti’aarah (pinjaman).[7]
Pembarian tersebut dilakukan atas dasar kasih sayang serta dilatar belakangi oleh
perasaan iba atau rasa kasihan untuk pengembangan ekonomi dari yang diberi pemberian hibah
tersebut. Umpamanya hibah seorang ayah terhadap anaknya untuk pengembangan usaha
kehidupan, atau hibah seorang kakek terhadap cucunya.

2.       Hukum Hibah
Hukum hibah adalah mubah (boleh). Adapun dengan hal ini, diperbolehkan memberikan
sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan
mendapat pahala dari Allah SWT.
Pendapat lain Hukum hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala
dan jika ditinggalkan tidak berdosa [8] Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta
kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi : “Tidak halal bagi
seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik
kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya”.(HR.Abu Daud).[9]

3.      Dasar Hukum Hibah


a.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 177 :
)١٧٧: ‫ (البقرة‬.‫السآئِلِ ْي َن‬ َّ ‫ال َعلَى ُحبِّ ِه ذَ ِوىالْ ُق ْربَى َوالْيَتَ َمى َوال َْم َساكِ ْي َن َوابْ َن‬
َّ ‫السبِْي ِل َو‬ َ ‫َواَتَى ال َْم‬
Artinya :
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-
Baqarah : 177)
b.      Hadits
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut :
ٍ ‫ ِمن غَي ِر إِ ْشر‬،‫وف‬
‫ فَِإنَّ َما ُه َو ِر ْز ٌق َساقَهُ اهللُ إِل َْي ِه‬،ُ‫ َفلَْي ْقَبلْهُ َواَل َي ُردَّه‬،‫اف َواَل َم ْسأَل ٍَة‬ ِ ِ ِ ‫من ج‬
َ ْ ْ ٌ ‫اءهُ م ْن أَخيه َم ْع ُر‬
َ َ َْ
Artinya :
“Dari Khalid bin ‘Adi sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda ‘Barangsiapa yang diberi
kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka
hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki
yang diberikan oleh Allah kepadanya’.” (HR. Ahmad)

i
4.      Rukun Hibah
Rukun hibah ada empat macam sebagai berikut :
 a.      Pemberi hibah
Syaratnya ialah :
1)      Orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan.
2)      Baligh, berakal, dan cerdas. Maka anak kecil, orang gila, dan yang menyia-nyiakan harta
tidak sah memberikan harta benda mereka kepada yang lain, begitu juga wali terhadap harta
benda yang diserahkan kepadanya.
3)      Tidak memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan/pemboros.
b.      Penerima hibah
Yakni ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki. Tidak sah memberi kepada anak
yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan pada binatang, karena keduanya tidak dapat
memiliki.
c.       Barang yang dihibahkan
Yakni ada barang yang diberikan, syaratnya hendaknya barang itu dapat dijual, kecuali :
1)      Barang-barang yang kecil. Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi sah
diberikan.
2)      Barang yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
3)      Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
d.      Penyerahan
Yakni adanya ijab dan kabul, misalnya orang yang memberi berkata, “Saya berikan ini
kepada engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.” Kecuali sesuatu yang menurut kebiasaan
memang tidak perlu mengucapkan ijab dan kabul, misalnya seorang istri menghibahkan
gilirannya kepada madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada anaknya yang masih kecil.
Tetapi apabila suami memberikan perhiasan kepada istrinya, tidaklah menjadi milik istrinya
selain dengan ijab dan kabul. Perbedaan antara pemberian bapak kepada anak dengan pemberian
suami kepada istri ialah: bapak adalah wali anaknya, sedangkan suami bukanlah wali terhadap
istrinya. Pemberian pada waktu perayaan mengkhitan anak hendaklah dilakukan menurut adat
yang berlaku di tiap-tiap tempat tentang perayaan itu.

5.      Ketentuan Hibah
Ketentuan hibah antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Hibah dapat dianggap sah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika
hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk
hibah.
b.      Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh
meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orangtuanya sendiri (ayah/ibu) kepada
anaknya. Misalnya, hibah yang diberikan seorang ayah terhadap anaknya, yang dia lakukan

i
untuk pembinaan dan pengembangan kehidupannya. Jika ayahnya itu melihat bahwa dengan
hibah tersebut, anaknya justru menjadi lebih nakal dan semakin tidak teratur, maka dia boleh
menarik kembali hibahnya itu. Selain hibah ayah terhadap anaknya itu, pemberi hibah tidak
boleh menarik hibahnya kembali.
 Sebagaimana dikemukakan dalam salah satu hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
ً‫ب ِهبَة‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫صلَّى اللّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم الَ يَح ُّل ل َر ُج ٍل اَ ْن ُي ْعط َي َعطيَّةً اَ ْو يَ ِه‬
ِ
َ ‫ال َر ُس ْو َل اللّه‬ َ َ‫ض َى اللّهُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫اس ر‬
َ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
‫بَ َع‬9‫ِإذَا َش‬9َ‫ل ف‬9
ُ ‫ْب يَاْ ُك‬ ِ ‫ل الْ َكل‬9ِ 9َ‫ َك َمث‬9‫ ا‬9‫َفَي ْر ِج ُع فِ ْي َها اِالَّال َْوالِ َد فِ ْي َما ُي ْع ِطى َولَ َدهُ َو َمثَ ُل الَّ ِذ ْي ُي ْع ِطى ال َْع ِطيَّةَ ثُ َّم َي ْر ِج ُع فِ ْي َه‬
ْ
)‫ (رواه ابو داود‬. ‫اد فِ ْي قَ ْي ِء ِه‬ َ ‫اء ثُ َّم َع‬ َ َ‫ق‬
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, seseorang tidak boleh
memberi sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, kecuali pemberian ayah terhadap
anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan sesuatu kemudian menarik kembali
pemberiannya itu, seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Abu Dawud)

6.      Syarat-syarat Barang yang Dihibahkan


Disyaratkan barang yang akan dihibahkan sebagai berikut :
a.       Harus ada waktu hibah
b.      Harus berupa harta yang bermanfaat
c.       Milik sendiri
d.      Barang yang dihibahkan telah diterima oleh penerima
e.       Penerima menerima hibah atas izin pemberi hibah
Adapun syarat-syarat bagi penghibah disyaratkan sebagai berikut :
a.       Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
b.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
c.       Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya
d.      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab akad yang mensyaratkan
e.       Keridhaan dalam keabsahannya

7.      Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Hibah barang, yaitu memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi
dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun.
Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.      Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau
barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi
hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna
atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah

i
seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena
setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

Anda mungkin juga menyukai