Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunitas lansia adalah salah satu masalah penting dalam masyakarat, di mana
dari awal menjadi pengalaman bagi negara-negara maju, dan akhir-akhir ini di negara-
negara berkembang juga tampak jelas. Di masa mendatang dimungkinkan semua
negara dunia akan menghadapi masalah tersebut.
Penuaan masyarakat dunia terjadi akibat berbagai macam faktor, termasuk
berkurangnya tingkat kelahiran, kemajuan ilmu medis, naiknya tingkat kesehatan, dan
pendidikan, yang pada akhirnya meningkatkan harapan hidup di tingkat dunia. Hal ini
sangat jelas dan alami sejalan dengan transformasi masyarakat dan tidak dapat
dihentikan, namun dapat dikontrol dengan kebijakan yang benar.
Sebenarnya, penuaan masyarakat adalah dampak positif dari kemajuan. Namun
jika kita tidak siap untuk menghadapinya, terutama di dunia yang semakin maju ini,
hal itu akan menimbulkan berbagai macam konsekuensi yang negatif dan masalah
yang serius bagi ekonomi, sosial dan kesehatan, di mana untuk menghadapinya
diperlukan perubahan dalam struktur yang berkaitan dengan hal tersebut.

Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas.
Terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok
yakni :
a. Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki
lansia.
b. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
c. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masalah-masalah fiqih yang terkait dengan kewajiban anak kepada
orang tua?
2. Apa saja kewajiban dan rukhsah yang dimiliki para lansia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui masalah-masalah fiqih yang terkait dengan kewajiban anak
kepada orang tua
2. Untuk mengetahui kewajiban dan rukhsah yang dimiliki para lansia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masalah-Masalah Fiqih yang Terkait dengan Kewajiban Anak Kepada Orang


Tua
Pada hakekatnya, hubungan anak dengan orang tua adalah hubungan dunia dan
akhirat, yakni hubungan yang terus berjalan semasa hidup sampai wafatnya. Kasih
sayang dan simpati orang tua bersifat khas. Ini mencerminkan hubungan luar biasa
yang tidak dimiliki oleh mahluk lain dan hanya terdapat dalam lingkungan keluarga.
Di samping itu, Islam mengajarkan kepada umatnya supaya beribadah dan mengabdi
kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dengan beribadah kepada Allah secara
baik, akan mengarahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.1

Islam telah mengajarkan kepada semua manusia yang berakal bahwa segala
kebaikan terletak pada keridhoan Allah, sedangkan keburukan terletak pada
kemurkaan-Nya. Pada dasarnya keridhoan dan kemurkaan Allah terletak pada
interaksi manusia dengan sesama makhluk, dengan kata lain (ihsan) salah satunya
adalahberbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua.2

Perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib atas
seorang muslim dan salah satu bentuk ketaatan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam kaitannya hubungan antara anak dan orangtua, terdapat
peraturan dan panduan-panduan khusus yang dibuat Allah SWT. Di dalam alquran,
Allah menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh
orangtua, demikian pula sebaliknya, selain hal-hal tersebut ditujukan kepada orangtua,
anak-anak juga mendapatkan hal yang sama, meskipun konteksnya berbeda.
Agar terwujud dan terpelihara kualitas keluarga secara sempurna maka hukum
islam mengatur orang tua dan anak, dan hubungan hukum itu berupa hak-hak dan
kewajiban yang dapat dibedakan yang bersifat materiil dan yang bersifat immaterial. 3
Dalam alquran disebutkan tentang perintah untuk seorang anak berperilaku dan
1
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Tafsir Al-Ghazali, Tafsir Tematik Al-Qurán 30 juz, (Yogyakarta: Islamika,2004),
h. 441.
2
Muhammad Al-Fahham, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), h. 77.
3
Zahri Hamid, Pokok-pokok Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 1
(Yogyakarta: Binacipta,1978), h.69.

3
mengasuh orang tua dengan baik dan berbakti kepada orangtua. Misalnya dalam (Q.S
Al-Isra’: 23):

ْ‫ك اَاَّل تَ ْعبُد ُْٓوا آِاَّل اِيَّاهُ َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ ٰسنً ۗا اِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِع ْندَكَ ْال ِكبَ َر اَ َح ُدهُ َمٓا اَوْ ِك ٰلهُ َما فَاَل تَقُل‬ ٰ َ‫َوق‬
َ ُّ‫ َرب‬h‫ضى‬
‫ َوقُلْ لَّهُ َما قَوْ اًل َك ِر ْي ًما‬h‫لَّهُ َمٓا اُفٍّ َّواَل تَ ْنهَرْ هُ َما‬
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‚ah‛ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.‛ (Al-Isra’:23).4
Ayat tersebut menunjukan bahwa anak harus berbuat baik dengan sebaik-
baiknya terhadap orang tua. Sikap taat terhadap perintah harus tertanam dalam diri
anak, akan tetapi ketaatan disini bukan bersifat mutlak, karena apabila orang tua
menyuruh anak untuk berbuat maksiat maka tidak ada kewajiban untuk mentaati
orang tua. Dengan hilangnya ketaatan tersebut bukan berarti membebaskan anak
bersikap semena-mena melainkan harus tetap hormat dan sayang terhadap orang tua,
termasuk didalamnya memberikan nafkah dan mendoakan.

Firman ini menyatakan bahwa tak ada sesuatu nikmat yang diterima oleh
manusia yang lebih banyak daripada nikmat Allah dan sesudahnya nikmat yang
dicurahkan oleh ibu bapak. Karenalah dimulai dengan mensyukuri nikmat Allah,
kemudian mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh ibu bapak. Apabila ibu bapak
atau salah seorang dari keduanya telah sampai kepada keadaan lemah dan berada di
sisi pada akhir hayatnya, maka wajiblah kamu mencurahkan belas kasih dan perhatian
mu kepada keduanya, dan memperlakukan keduanya sebagai seorang yang
mensyukuri orang yang telah memberikan nikmat kepadamu.

Ketika usia semakin tua, bisa jadi kepekaan seseorang bertambah, bisa jadi
mudah tersinggung, lebih mudah melampiaskan amarah, lebih mudah tersentuh
hatinya oleh kata-kata atau ucapan. Oleh sebab itu, alquran memberikan bimbingan
yang demikian santun, agar seorang anak membiasakan diri berbicara dan bersikap
secara mulia dan terpuji terhadap kedua orang tuanya.

4
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Bandung:Syaamil Cipta Media,2005),h. 284.

4
Bahkan, Rasulullah SAW menegaskan sangat hina dan merugilah anak-anak
yang masih bertemu dengan orang tuanya ketika mereka memasuki usia tua, namun
dia tidak bisa memanfaatkannya untuk masuk surga dengan berbakti kepada
keduanya.
Kewajiban anak terhadap orang tua merupakan hak orang tua dari anak, yaitu
setiap anak wajib hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya dan anak yang telah
dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarganya menurut garis lurus ke atas yang
dalam keadaan tidak mampu.5

Kewajiban anak untuk memelihara orang tuanya dan keluarga garis lurus ke atas
ini timbul apabila:
1. Anak itu sudah dewasa
2. Memang ia mampu membantunya
3. Dan orang tua serta keluarga dalam garis lurus ke atas memang memerlukan
bantuan.
Seperti yang diungkapkan M. Quraish Shihab dalam hal kewajiban anak
terhadap orang tua bahwa bakti yang diperintahkan agama Islam, adalah bersikap
sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan
masyarakat, sehingga mereka merasa yang sah dan wajar sesuai dengan kemampuan
kita sebagai anak.6
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 46
menyebutkan: “ia anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuannya”.7

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 46 Undang-undang perkawinan ini, bahwa


setiap anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan mentaati segala perintah
dan larangan yang diberikan oleh mereka pada saatnya setelah dewasa jika orang tua
dan keluarga dalam garis lurus ke atas memerlukan bantuannya menurut kadar
kemampuannya.8

5
C.S.T Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1989), h. 217.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an , (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
438-439
7
Presiden RI, Undang undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI, No:1 Tahun
1974, 2 Januari 1974,h. 8.
8
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta:Sinar
Grafika,2006),h.360.

5
Dalam hal nafkah orang tua mempunyai hak yang lebih banyak untuk menerima
penghasilan anak, walaupun mereka tidak membutuhkan bantuan tersebut, anak harus
menawarkan sebagian pendapatannya kepada orang tua sebagai perwujudan rasa
hormat. Imam Ja’far As-Sadiq menyatakan bahwa ‚kamu harus memenuhi kebutuhan
orang tua walaupun kenyataannya orang tua tidak memerlukan bantuanmu.9

Selanjutnya, Pada Bab XIV Pasal 321 KUHP menyebutkan: Tiap-tiap anak
berwajib memberi nafkah kepada kedua orang tuanya dan para keluarga sedarah
dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaaan miskin. Dalam KUHP tersebut
mensyaratkan bahwa wajibnya nafkah anak kepada orang tua adalah jika orang tua
dalam keadaan miskin.10

Imam Al-Ghazali menjelaskan,‛Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat


kepada orang tua wajib, termasuk dalam hal-hal yang masih syubhat, namun tidak
boleh dilakukan dalam dalam hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya merasa
tidak nyaman bila makan sendirian, kita harus makan bersama mereka. Karena
menghindari syubhat termasuk perbuatan wara’ yang bersifat keutamaan, sementara
mentaati kedua orang tua adalah wajib.11

B. Kewajiban dan Rukhsah yang Dimiliki Lansia


Ketika berpuasa orang yang tidak mampu berpuasa, ia diharuskan membayar
fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin untuk mengganti puasa yang
ditinggalkannya. Dan untuk orang tua dengan usia lanjut, maka ia boleh
meninggalkan puasa tetapi membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin
untuk setiap harinya dan tidak wajib mengqada’.
Ketika shalat diberikan beberapa keringanan bagi orang yang tidak mampu
melaksanakannya dengan berdiri misalnya bagi orang yang sudah lanjut usia. Jika
tidak mampu shalat dengan berdiri, maka dia boleh mengerjakannya dengan duduk.
Jika tidak mampu dengan duduk, maka dia boleh shalat dengan berbaring seraya
memberi isyarat ketika ruku’ dan sujud.

9
Said Athar Radhawi, Mengarugi Sanudra Kebahagiaan: Tata Cara Berkeluarga Menurut Islam, Alih Bahasa :
Alawiyah. Cet 1 (Bandung: Al Bayan, 1998), h.63.
10
Subekti, Kitab Undang undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya Paramita,1999), h. 88
11
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddien, alih bahasa Moh Zuhri, (Semarang, As-Syifa,1993), h. 97-98

6
Rukhshah atau keringanan ini tidak bisa diambil secara sembarang. Ada kondisi-
kondisi khusus yang menyebabkan rukhshah diperbolehkan. Seperti safar, sakit,
terpaksa, lupa, kebodohan, tidak mampu, dan kesulitan umum.

Setelah mengetahui apa saja sebab dibolehkannya rukhshah, Anda juga perlu
mengetahui apa saja bentuk rukshah yang ada dalam Islam. Berikut ini adalah 7
bentuk rukshah yang ada dalam Islam:

1. Keringanan dalam bentuk pengguguran


Dalam beberapa kondisi, seorang muslim bisa mendapatkan rukshah dalam bentuk
pengguguran. Artinya, dalam kondisi tertentu, suatu kewajiban bisa menjadi
gugur. Misalnya, ketika seorang laki-laki mengalami udzur syar’i dan tidak dapat
menunaikan shalat jumat, maka kewajiban shalat jumat tersebut gugur dan dia
tidak wajib melakukan shalat jumat.

2. Keringanan dalam bentuk pengurangan


Selain itu, ada pula keringanan atau rukshah yang diberikan dalam bentuk
pengurangan. Contoh kasus dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang
melaksanakan safar dan berada dalam perjalanan. Orang tersebut mendapatkan
rukshah dan diperbolehkan untuk meng-qashar shalat empat rakaat menjadi dua
rakaat.
3. Keringanan dalam bentuk penggantian
Keringanan dalam bentuk penggantian adalah mengganti satu ibadah dengan
ibadah lain yang memiliki fungsi sama. Misalnya saat seseorang kesulitan untuk
menemukan air untuk bersuci, maka dia bisa berwudhu atau mandi janabah
dengan cara tayammum. Hal yang sama juga bisa diterapkan pada saat seseorang
sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk terkena air. Maka dia bisa bersuci
dengan cara tayammum.
4. Keringanan untuk mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya
Keringanan bentuk ini umumnya dilakukan dalam perkara shalat, yaitu dengan
memajukan waktu shalat yang belum datang. Misalnya pada saat melakukan
sholat jama’ taqdim dzuhur dengan ashar di waktu dzuhur. Atau shalat jama’
taqdim maghrib dengan isya di waktu maghrib.
5. Keringanan untuk mengakhirkan sesuatu yang telah datang waktunya

7
Berbeda dengan poin sebelumnya, rukshah dalam bentuk ini adalah dengan
mengakhirkan sesuatu. Misalnya dengan melakukan sholat jama’ ta’khir dzuhur
dengan ashar di waktu ashar. Atau shalat jama’ ta’khir maghrib dengan isya di
waktu isya.
6. Keringanan dalam bentuk kemurahan
Dalam kondisi tertentu, Allah juga memberikan keringanan dalam bentuk
kemurahan. Rukshah ini umumnya diterapkan dalam kondisi terpaksa atau
pengobatan. Dimana dalam kondisi tersebut, seseorang diperbolehkan untuk
memakan suatu makanan atau obat yang berasal dari sesuatu yang haram atau
najis. Namun, begitu keluar dari kondisi tersebut, maka hukum keharaman
makanan dan obat tersebut akan kembali kepada asalnya.
7. Keringanan dalam bentuk perubahan
Bentuk rukshah terakhir adalah rukshah dalam bentuk perubahan. Misalnya,
seseorang diperbolehkan untuk mengubah arah kiblat karena merasa takut akan
suatu ancaman. Dalam kondisi ini, orang tersebut boleh shalat tanpa menghadap
kiblat.

Itulah 7 bentuk rukhshah yang diberikan oleh Allah untuk orang – orang
muslim. Setiap keringanan ini dapat diambil tergantung dengan kasus dan kondisi
yang dihadapi. Misalnya, keringanan yang diberikan kepada musafir hanyalah untuk
mengganti puasa yang dilakukan, namun tidak menggugurkan kewajiban puasa itu
sendiri.12

BAB III

PENUTUP

12
https://ponpes.alhasanah.sch.id. Diakses pada tanggal 30-12-2022 pukul 20.46 WIB

8
A. Kesimpulan
1. Pada hakekatnya, hubungan anak dengan orang tua adalah hubungan dunia dan
akhirat, yakni hubungan yang terus berjalan semasa hidup sampai wafatnya. Kasih
sayang dan simpati orang tua bersifat khas. Ini mencerminkan hubungan luar biasa
yang tidak dimiliki oleh mahluk lain dan hanya terdapat dalam lingkungan
keluarga. Di samping itu, Islam mengajarkan kepada umatnya supaya beribadah
dan mengabdi kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dengan beribadah
kepada Allah secara baik, akan mengarahkan kita untuk berbuat baik kepada
kedua orang tua.
2. Bentuk Rukhshah dalam Islam ada 7 macam:
1) Keringanan dalam bentuk pengguguran
2) Keringanan dalam bentuk pengurangan
3) Keringanan dalam bentuk penggantian
4) Keringanan untuk mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya
5) Keringanan untuk mengakhirkan sesuatu yang telah datang waktunya
6) Keringanan dalam bentuk kemurahan
7) Keringanan dalam bentuk perubahan

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan dan kami susun semoga
bermanfaat bagi kita, ini bukan proses akhir sehingga kami masih memerlukan
tanggapan, saran dan kritik yang dapat kami sempurnakan pada makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Syekh Muhammad Al-Ghazali, 2004. Tafsir Al-Ghazali, Tafsir Tematik Al-Qurán 30


juz. Yogyakarta: Islamika

9
Muhammad Al-Fahham, 2006. Berbakti Kepada Kedua Orang Tua. Bandung: Irsyad
Baitus Salam

Zahri Hamid, 1978. Pokok-pokok Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan


Islam di Indonesia. Yogyakarta: Binacipta

Departemen Agama RI, 2005. Al Quran dan Terjemahannya. Bandung:Syaamil Cipta


Media

C.S.T Kansil, 1989 Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka

M. Quraish Shihab, 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati

Presiden RI, Undang undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Instruksi
Presiden RI, No:1 Tahun 1974

Rachmadi Usman, 2006. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika

Said Athar Radhawi, 1998 Mengarugi Sanudra Kebahagiaan: Tata Cara Berkeluarga
Menurut Islam, Alih Bahasa: Alawiyah. Cet 1 Bandung: Al Bayan

Subekti, 1999. Kitab Undang undang Hukum Perdata, Jakarta:Pradnya Paramita

Imam Al-Ghazali, 1993. Ihya Ulumiddien, alih bahasa Moh Zuhri, Semarang, As-Syifa
https://ponpes.alhasanah.sch.id

10

Anda mungkin juga menyukai