Anda di halaman 1dari 9

BIRULWALIDAIN

DAN
HAK KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Tugas Mata Kuliah : Akhlak dan Tasawuf

Dosen :

Bapak Faisal Romdonih S.Sos.i., M.Si

Disusun oleh :

Syahrizal Maulana Irsyad 231012100021


KELAS MPIP001

FAKULTAS MANEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


UNIVERSITAS PAMULANG

Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang-Tangerang Selatan


KATA PEGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat taufiq, hidayah
serta pertolongan-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan dan dapat selesai tepat pada
waktunya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya serta tabi’it-tabi’inya.
Dalam makalah ini kami membahas Etika Muslim Terhadap Orang Tua.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari jauh dari kesempurnaan baik dalam
penempatan kata, ejaan, maupun cara penyusunannya. Untuk itu, penyusun sangat mengharap
kritik dan saran untuk perbaikan pada kesempatan yang akan datang.
Semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat memberikan ilmu, informasi,
pengetahuan, dan wawasan baru yang bermanfaat, guna untuk mengembangkan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
D. Manfaat Penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN 5
A. Birrul Walidain 5
B. Hak dan Kewajiban serta Kasih Sayang Suami Istri 7
C. Kasih Sayang dan Tanggung Jawab Orang Tua Kepada Anak 9
D. Silaturahmi kepada Karib dan Kerabat 13

BAB III PENUTUP 15


A. Kesimpulan 15
B. Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam telah mengajarkan kepada kita agar berbakti kepada orang tua, mengingat
banyak dan besarnya pengorbanan serta kebaikan orang tua terhadap anak, yaitu memelihara
dan mendidik kita sejak kecil tanpa perhitungan biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak
mengharapkan balasan sedikit pun dari anak, meskipun anak sudah mandiri dan bercukupan
tetapi orang tua tetap memperlihatkan kasih sayangnya, oleh karena itu seorang anak
memiliki macam-macam kewajiban terhadap orang tuanya menempati urutan kedua setelah
Allah Swt. Berbakti kepada orang tua tidak hanya sebatas pada saat keduanya masih hidup,
melainkan harus terus dilakukan setelah keduanya meninggal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari birrul walidain dan dasar hukumnya ?
2. Apa saja keutamaan dari birrul walidain ?
3. Apa saja bentul-bentuk birrul walidain ?
4. Bagaimana pahala berbakti kepada Orang Tua ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum birrul walidain
2. Untuk mengetahui keutamaan dari birrul walidain
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk birrul walidain
4. Unruk mengetahui pahala berbaktu kepada orang tua
BAB II
LANDASAN TEORI
Islam memandang, berbakti kepada kedua orang tua adalah ibadah yang sangat besar
pahalanya. Sebab merekalah yang mengasuh, membesarkan, mendidik, dan menghidupi
anak-anaknya. Bahkan dalam salah satu riwayat Rasulullah menegaskan : “ Keridhaan Allah
tergantung pada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan
keduanya .” Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Berkata kepada keduanya
dengan perkataan yang lemah lembut. Tawadlu ( rendah diri ). Tidak boleh Kibir ( sombong )
bila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia.
Firman Allah SWT dalam Al Quran:
‫ۡل‬ ‫ۡل َٰت‬ ‫َو ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َو اَل ُتۡش ِر ُك وْا ِبِهۦ َش ٗٔ‍ۡي ۖا َو ِبٱۡل َٰو ِلَد ۡي ِن ِإۡح َٰس ٗن ا َو ِبِذي ٱۡل ُقۡر َب ٰى‬
‫َو ٱ َي َم ٰى َو ٱ َم َٰس ِكيِن‬
‫ۡل‬ ‫ۡل‬ ‫ۡل‬ ‫ۡل‬ ‫ۡل‬
‫ٱلَّس ِبيِل َو َم ا َم َلَك ۡت‬ ‫َو ٱ َج اِر ِذي ٱ ُق ۡر َب ٰى َو ٱ َج اِر ٱ ُج ُنِب َو ٱلَّص اِحِب ِب ٱ َج ۢن ِب َو ٱۡب ِن‬
٣٦ ‫َأۡي َٰم ُنُك ۗۡم ِإَّن ٱَهَّلل اَل ُيِحُّب َم ن َك اَن ُم ۡخ َت ااٗل َفُخ وًر ا‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri”.(An Nisa: 4/ 36)

‫َو َقَض ٰى َر ُّب َك َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإٓاَّل ِإَّياُه َو ِبٱۡل َٰو ِلَد ۡي ِن ِإۡح َٰس ًن ۚا ِإَّما َي ۡب ُلَغ َّن ِع نَد َك ٱۡل ِكَب َر َأَح ُد ُه َم ٓا َأۡو‬
‫ َو ٱۡخ ِفۡض َلُهَم ا‬٢٣ ‫ِك اَل ُه َم ا َف اَل َت ُقل َّلُهَم ٓا ُأّٖف َو اَل َت ۡن َه ۡر ُه َم ا َو ُق ل َّلُهَم ا َق ۡو اٗل َك ِر يٗم ا‬
٢٤ ‫َج َن اَح ٱلُّذ ِّل ِمَن ٱلَّر ۡح َمِة َو ُقل َّر ِّب ٱۡر َح ۡم ُهَم ا َك َم ا َر َّب َي اِني َص ِغ يٗر ا‬
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya
kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-
kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau
membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya
Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah menyayangiku pada waktu
kecil.’” (QS : Al-Isro: 17/ 23-24)
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Birrul Walidain


 Bir: kebaikan, berdasarkan sabda Rosulullah SAW, “al-birr adalah baiknya akhlak”.
(H.R.Muslim)
 Al-birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada
engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan AL-‘uquuq dan menjauhi mereka dan
tidak berbuat baik kepadanya.
 Birrul walidain: kebaikan-kebaikan yang dipersembahkan oleh seorang anak kepada kedua
orang tuanya. Lawannya adalah durhaka kepada kedua orang tua, berbuat kejelekan dan
menyianyiakan hak.
 Hukum birrul walidain

 Birrul walidain hukumnya adalah wajib kecuali dalam hal yang haram.
 Dasarnya adalah al-qur’an, sunnah dan ijma’.

 Kedudukan birrul walidain


Syari’at islam meletakkan kewajiban birrul walidain menempati rangking kedua setelah
beribadah kepada Allah SWT dengan mengesakan-Nya. Birrul Walidain mempunyai
kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Allah dan Rasul-Nya menempatkan orang tua
pada posisi yang sangat istimewa, sehingga berbuat baik pada keduanya juga menempati
posisi yang sangat mulia, dan sebaliknya durhaka kepada keduanya menempati posisi yang
sangat hina. Karena mengingat jasa ibu bapak yang sangat besar sekali dalam proses
reproduksi dan regenerasi umat manusia.
Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu
dalam mengandung, menyusui, merawat dan mendidik anaknya. Kemudian bapak,
sekalipun tidak ikut mengandung tapi dia berperan besar dalam mencari nafkah,
membimbing, melindungi, membesarkan dan mendidik anaknya, sehingga mampu berdiri
bahkan sampai waktu yang sangat tidak terbatas.
Berdasarkan semuanya itu, tentu sangat wajar dan logis saja, kalau si anak dituntut untuk
berbuat kebaikan kepada orang tuanya dan dilarang untuk mendurhakainya.

B. Keutamaan birrul walidain


1. Hadis Abdullah ibnu Umar tentang ridho Allah terletak pada ridho orang tua.
:‫َع ْن َع ْبُد هللا بن َع ْم ٍر و رضي هللا عنهما قال قال رس>>وُل هللا ص>>لى هللا علي>>ه وس>>لم‬
‫ِرَض ى ُهللا فى ِرَض ى الَو اِلَد ْيِن و َس َخ ُط هللا فى َس َخ ُط الَو اِلَد ْيِن‬
)‫( اخرجه الترمذي وصححه ابن حبان والحاكم‬
Artinya: dari Abdullah bin ‘Amrin bin Ash r.a. ia berkata, Nabi SAW telah bersabda: “
Keridhoaan Allah itu terletak pada keridhoan orang tua, dan murka Allah itu terletak pada
murka orang tua”. ( H.R.A t-Tirmidzi. Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-
Hakim)[3]
C. Bentuk-bentuk birrul walidain

Berbuat baik kepada orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Sehingga kita
berkewajiban melaksanakan apa yang telah diperintahkan dalam Al Quran dan As Sunnah,
yaitu :
 Saat orang tua masih hidup :
 Mentaati perintah orang tua selama tidak bertentangan dengan syariat dan akidah.
 Berbakti dan merendah diri (tawadhu’) dihadapan orang tua.
 Tidak sombong dihadapan orang tua
 Mendahulukan berbakti kepada Ibu dari pada ayah.
 Berbicara dengan lembut dihadapan mereka.
 Menyediakan makanan untuk mereka.
 Meminta izin kepada orang tua sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya.
 Memberi harta kepada orang tua menurut jumlah yang mereka inginkan, karena pada
hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu
kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.
 Membuat keduanya Ridho dengan berbuat baik kepada orang orang yang dicintai mereka.

D. Bentuk-bentuk durhaka terhadap orang tua


1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau
pun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.
2. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
3. Membentak atau menghardik orang tua.
4. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebihmementingkan yang lain
daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan.
Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
5. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua,
mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.
6. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM SYARIAT ISLAM

A. Perkawinan dalam Syariat Islam

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah suatu cara yang ditentukan Allah sebagai jalan manusia untuk
melestarikan keturunannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Alloh tidak ingin menjadikan manusia itu
seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara
jantan dan betina secara anarki, dan tidak ada aturan. Demi menjaga kehormatan dan
martabat kemuliaan manusia, Allah menetapkan hukum sesuai dengan martabat manusia.

Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling ridha meridhai, dengan ijab kabul dan dengan dihadiri para 30 saksi yang
menyaksikan kalau keduanya telah saling terikat.Nikah (kawin) menurut arti asli ialah
hubungan seksual tetapi menurut arti majazi (methaporic) atau arti hukum ialah akad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria
dan seorang wanita.

Nikah artinya perkawinan sedangkan akad artinya perjanjian. Jadi akad nikah berarti
perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dan seorang
pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi). Kata suci di sini mempunyai unsur
agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian suci kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.

Sedangkan menurut Imam Syafi’i, pengertian nikah adalah suatu akad yang
dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dan wanita sedangkan menurut arti
majazi (methaporic) nikah itu artinya hubungan seksual.

Dalam kaitan ini, Muammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas,

yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat

“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga


(suami istri) antara pria dan wanita dan, mengadakan tolong menolong dan memberi batas
hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.”

Dalam pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan


perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban. Serta bertujuan mengadakan hubungan
pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksana agama,
maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah swt.
2. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia
dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta
kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.

Pernikahan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh


manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para Sarjana Ilmu Alam
mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. Misalnya, air yang
kita minum (terdiri dari Oksigen dan Hidrogen), listrik, ada positif dan negatifnya dan
sebagainya. Apa yang telah dinyatakan oleh para sarjana ilmu alam tersebut adalah sesuai
dengan pernyataan Allah dalam Al_Qur‟an QS. Az-Zariyat/51: 49:

‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْق َنا َز ْو َج ْي ِن َل َع َّلُك ْم َت َذَّك ُر و َن‬

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.”( QS. Az-Zariyat/51: 49)

Perkawinan, yang merupakan sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung


pada tingkat kemaslahatannya. Oleh karena itu, Imam Izzudin Abdussalam, membagi
maslahat menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hamba-Nya. Maslahat wajib
bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), Afdal (paling utama) dan mutawassith
(tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung
kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan
kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan ini wajib dikerjakan.

b. Maslahat yang disunnahkan oleh syari’ kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya,
tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah.
Dalam tingkatan kebawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang ringan
yang mendekati maslahat mubah.

c. Maslahat Mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai
maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata: “Maslahat mubah dapat
dirasakan secara langsung. Sebagian diantaranya lebih bermamfaat dan lebih besar
kemaslahatannya dari sebahagian yang lain. Maslahat mubah ini tidak berpahala.

Anda mungkin juga menyukai