Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN TERHADAP


PRAKTIK ASUHAN KEBIDANAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8

NERANDA OGATA 211540127


UMI KHOIRONI 211540138
WINDIYA JANUARITA IMELDA 211540139

TINGKAT 1
JURUSAN D-III KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada tuhan yang maha esa karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah konsep kebidanan ini
dengan judul “ Pernikahan dan Perceraian terhadap Praktik Asuhan Kebidanan”.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu metode
pembelajaran bagi mahasiswa mahasiswi Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang.

Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi guru terbaik dan menjadi suri tauladan bagi
umat islam diseluruh dunia.

Pada kesempatan ini Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu selaku


dosen pengampu mata kuliah Agama dan arahan dalam penulisan makalah ini.
Kami juga berterimakasih kepada rekan rekan mahasiawi yang telah mendukung
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan tentunya sadar akan
segala kekurangan dalam pembuatan makalah ini dan kami akan sangat bangga
apabila makalah yang kami susun ini mendapatkan saran maupun kritik yang
bersifat membangun. Tidak lupa kami haturkan pemohonan maaf apabila
makalah yang kami buat terdapat suatu masalah. Kami berharap makalah ini
dapat memberi manfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Bangka, Agustus 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR............................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 5
1.3 Tujuan............................................................................................................ 6
1.4 Manfaat.......................................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian pernikahan perceraian.............................................................. 8
2.2 Pandangan agama tentang pernikahan dan perceraian............................ 9
2.3 Pernikahan dan percerian dengan praktik asuhan kebidanan.................10
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN............................................................................................. 11
3.2 SARAN.......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kasus pernikahan usia dini bukan hal yang baru di Indonesia. Pernikahan
dini merupakan permasalahan sosial yang terjadi pada remaja, korban paling
banyak dari pernikahan dini adalah remaja perempuan. Secara umum kasus
penikahan usia dini banyak terjadi di pedesaan daripada daerah perkotaan, dan
sering terjadi pada keluarga miskin, berpendidikan rendah dan dropout dari
sekolah. Mulai dekade 1990an menurut united nations children fund (UNICEF)
kejadian pernikahan usia dini mulai bergeser ke daerah perkotaan , hal ini
ditandai dengan peningkatan kasus pernikahan usia dini diperkotaan dari 2%
pada tahun 2015 menjadi 37% pada tahun 2016. Jadi artinya kasus pernikahan
usia dini dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, untuk itu orang tua dan
lingkungan harus membantu anak menikah pada usia yang tepat.
Setiap manusia diciptakan dengan sepasang kekasih yang akan
dipertemukan diwaktu yang tepat. Pernikahan harus memiliki komitmen dan
tanggung jawab yang besar untuk menjalin rumah tangga,karena pernikahan
bukan hanya sekedar mempersatukan sepasang kekasih. Kehadiran seorang buah
hati pasti menjadi impian setiap pasangan suami istri,maka dari itu jika sudah
memutuskan untuk menikah harus memiliki keputusan yang matang. Disetiap
alur cerita dalam pernikahan tidak semuanya berjalan dengan lancar,kadang kala
ada yang harus memutuskan untuk berpisah karena alasan tertentu atau yang
disebut perceraian.
Hukum pernikahan tersebut dikategorikan berdasarkan keadaan dan
kemampuan seseorang untuk menikah. Pernikahan dalam islam diatur dalam
fikih pernikahan dan pernikahan tersebut sah jika sesuai dengan syariat serta
tidak termasuk pernikahan yang dilarang.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari pernikahan?
2. Apa pengertian dari perceraian?
3. Apa hukum nikah?
4. Bagaimana pandangan agama tentang pernikahan dan perceraian?
5. Bagaimana pernikahan dan perceraian dalam praktik asuhan kebidanan?

1.3 TUJUAN
Tujuan dibuat makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Definisi pernikahan
2. Definisi perceraian
3. Hukum nikah
4. Pandangan agama tentang pernikahan dan perkawinan
5. Pernikahan dan perkawinan dalam praktik asuhan kebidanan

1.4 MANFAAT
Untuk mengetahui lebih dalam tentang pernikahan dan perceraian dalam praktik
asuhan kebidanan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN


I. PERNIKAHAN

A. Definisi Pernikahan
Pernikahan merupakan kata dasar dari nikah, kata tersebut berasal dari bahasa Arab
yaitu kata nikkah yang berarti perjanjian perkawinan. Definisi nikah menurut bahasa yaitu
menghimpun atau mengumpulkan. Sedangkan definisi nikah menurut istilah Islam, pengertian
nikah adalah suatu akad yang menghalalkan seorang laki-laki dengan perempuan yang awalnya
bukan mahram untuk bersatu menjadi sepasang suami istri dengan memenuhi syarat dan rukun
nikah sebagai tempat yang sempurna ini diharapkan untuk mendapatkan pahala dan ridho dari
Allah SWT. Diantaranya adalah adanya ijab kabul, wali, saksi serta ketentuan yang disebutkan.
Maka berdasarkan pengertian nikah, bisa ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari pernikahan
adalah mewujudkan rumah tangga yang sakian 3, mawaddah dan warahmah.

B. Hukum Nikah
Dalam islam, Allah telah bersabda bahwa menikah merupakan suatu anjuran bagi umat
Nya. Termaktub dalam Q.S Dzariat ayat 49 bahwa setiap makhluk yang bernyawa dimuka
bumi ini diciptakan secara berpasangan, yakni laki-laki dan perempuan. Dalam ayat lain yakni
Q.S Ar Rum ayat 21 juga di jelaskan bahwa Allah menunjukan kebesaran Nya kepada kaum
yang berfikir melalui pernikahan. Allah ciptakan rasa kasih dan sayang diantara umat yang
berpasangan.
Sesuai dengan hukum dalam syariat Islam, dalam pernikahan juga demikian (memiliki
banyak hukum) sesuai dengan kondisi. Berikut ini adalah hukum nikah dalam syariat Islam.
1. Wajib Hukumnya
Kondisi yang membuat hukum nikah menjadi wajib adalah ketika gairah seksual tinggi
dan berbading lurus dengan kemampuan finansial yang cukup. Karena takut malah akan
terjerumus dalam perzinahan maka nikah dalam kondisi ini wajib hukumnya. Dalam
kondisi ini, nikah menjadi satu benteng pelindung kehormatan seseorang agar tidak
jatuh dalam zina. Finansial yang cukup disini artinya misalkan saja sang laki-laki sudah
memiliki mahar untuk calon mempelai istri, biaya yang cukup untuk prosesi
pernikahannya. Serta bisa dikategorikan sebagai seseorang yang berpenghasilan tetap
dan dirasa akan mampu menafkahi keluarganya nanti.
2. Sunnah Hukumnya
Dasar hukum nikah jika dilihat dari pengertian nikah adalah sunnah muakad. Tetapi
sebenarnya menjadi sunah ketika mengalami kondisi yang demikian ini. seseorang
hukumnya sunnah untuk menikah jika ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina
jika ia tidak menikah. Meskipun demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya
untuk menikah jika sudah memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai
salah satu bentuk ibadah. Seorang laki-laki memiliki keinginan atau niat untuk menikah,
serta diimbangi dengan finansial atau biaya yang dirasa cukup. Maka kondisi inilah
yang membuat nikah menjadi sunnah hukumnya.
3. Makruh Hukumnya
Kondisi yang membuat nikah menjadi makruh hukumnya adalah ketika seseorang
belum memiliki niatan untuk nikah, serta belum memiliki biaya. Keadaan finansial dan
mampu secara mental belum ada dalam dirinya maka nikah menjadi makruh hukumnya.
Pernikahan makruh hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang memiliki cukup
kemampuan atau tanggung jawab untuk berumahtangga serta ia dapat menahan dirinya
dari perbuatan zina sehingga jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir dalam
perbuatan zina. Pernikahan hukumnya makruh karena meskipun ia memiliki keinginan
untuk menikah tetapi tidak memiliki keinginan atau tekad yang kuat untuk memenuhi
kewajiban suami terhadap istri maupun kewajiban istri terhadap suami.
4. Mubbah Hukumnya
Suatu pernikahan hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki
kemampuan untuk menikah namun ia dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak
melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah hanya untuk memenuhi
syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga sesuai syariat islam
namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.
5. Haram Hukumnya
Pernikahan dapat menjadi haram hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang tidak
memiliki kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai suatu kehidupan rumah
tangga dan jika menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan istrinya. Selain itu,
pernikahan dengan maksud untuk menganiaya atau menyakiti seseorang juga haram
hukumnya dalam islam atau bertujuan untuk menghalangi seseorang agar tidak menikah
dengan orang lain namun ia kemudian menelantarkan atau tidak mengurus pasangannya
tersebut.
Beberapa jenis pernikahan juga diharamkan dalam islam misalnya pernikahan dengan
mahram,pernikahan sedarah,atau pernikahan beda agama antara wanita muslim dengan
pria nonmuslim ataupun seorang pria muslim dengan wanita non-muslim selain ahli
kitab.

C. Rukun Nikah
1. Mempelai laki-laki
Rukun menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan dimulai pada saat akad
nikah.
2. Mempelai Perempuan
Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang halal untuk dinikahi.
Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi seperti pertalian
darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.
3. Wali Nikah Perempuan
Rukun menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali merupakan orangtua mempelai
perempuan yakni ayah, kakek, saudara laki-laki kandung (kakak atau adik), saudara
laki-laki seayah, saudara kandung ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari saudara
kandung ayah.
4. Saksi Nikah
Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang bila tidak ada saksi.
Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dua
orang saksi ini diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga, ataupun orang yang dapat
dipercaya untuk menjadi seorang saksi.
5. Mahar (Mas Kawin)
Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang
wanita.Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas
menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan
mahar dalam syari’at Islam,tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan
dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan
mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah
(ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
6. Ijab dan Qabul
Terakhir, rukun nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul adalah janji suci kepada
Allah SWT di hadapan penghulu, wali, dan saksi. Saat kalimat "Saya terima nikahnya",
maka dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk
menjadi sepasang suami istri.

D. Syarat Sah Nikah


1. Beragama Islam
Pengantin pria dan wanita harus beragama Islam. Tidak sah jika seorang muslim
menikahi non muslim dengan menggunakan tata cara ijab dan qabul Islam.
2. Bukan Laki-laki Mahrom bagi Calon Istri
Pernikahan diharamkan jika mempelai perempuan merupakan mahrom mempelai laki-
laki dari pihak ayah. Periksa terlebih dulu riwayat keluarga sebelum dilakukan
pernikahan.
3. Wali Akad Nikah
Wali akad nikah mempelai perempuan yakni ayah. Namun jika ayah dari mempelai
perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam,
terdapat wali hakim yang bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Meski demikian,
penggunaan wali hakim ini juga nggak sembarangan.
4. Tidak Sedang melaksanakan haji
Syarat sah menikah berikutnya yakni tidak sedang berhaji. Seperti dalam hadits Riwayat
Muslim:
"Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan
tidak boleh mengkhitbah." (HR. Muslim no. 3432)
5. Bukan Paksaan
Syarat sah menikah terakhir yakni menikah bukan karena paksaan. Pernikahan karena
keikhlasan dan pilihan kedua mempelai untuk hidup bersama.

E. Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun
hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat
nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan
pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan: “Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita
yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

F. Kewajiban Suami Terhadap Istri


Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam secara tegas menyatakan bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan dalam sebuah keluarga, sehingga ini seolah memposisikan laki-
laki, dalam hal ini suami, pada ‘jabatan’ yang superior. Akan tetapi, ayat lain menjelaskan
bahwa baik suami maupun istri adalah dua komponen yang saling melengkapi, bahwa
suami adalah ‘pakaian’ bagi istri dan begitu juga sebaliknya. Karena itu, meski disebut
pemimpin dalam rumah tangga, suami tidaklah sama layaknya seorang raja yang dapat
memerintah istrinya begitu saja. Suami bahkan memiliki beberapa kewajiban yang harus ia
penuhi terhadap istri. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Membayar Mahar (mas kawin pernikahan)
Seorang suami diwajibkan membayar mas kawin atas istrinya seperti yang disebut
dalam akad nikah sekaligus menjadi syarat sahnya. Adapun bentuk dan jumlah mas
kawin bisa disesuaikan dengan adat yang berlaku, kesepakatan antara suami dan istri
maupun pihak keluarga dengan menjunjung tinggi prinsip untuk tidak memberatkan
pihak suami. Firman Allah SWT:

Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs.
An-Nisa’ : 4)

2. Menafkahi Istri
Meski dalam realita belakangan, istri juga turut adil dalam menghidupi keluarga,
kewajiban memberi nafkah tetap berada di tangan suami. Karena itu, pilihan seorang
istri untuk menjadi ibu rumah tangga dan berkarier di rumah tidak seharusnya dijadikan
alasan untuk memandang rendah sang istri.
Begitu juga, keputusan seorang istri untuk bekerja dan turut menyokong perekonomian
keluarga bukanlah alasan bagi sang suami untuk tidak menafkahi istrinya. Nafkah di
sini meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Dalil yang menunjukan
bahwa suami wajib menafkahi istri:

Artinya:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.”

G. Kewajiban istri terhadap suami


Istri merupakan komponen tak terpisahkan dalam sebuah keluarga yang memiliki peranan
tak kalah penting dari seorang suami. Terlepas dari kontroversi mengenai bagaimana
seharusnya seorang istri menghabiskan waktunya, berkarier di luar atau mengurus rumah
dan keluarga, seorang istri akan menjadi ibu sekaligus sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Singkatnya, selain memiliki beberapa hak yang harus ditunaikan suami, istri juga memiliki
kewajiban terhadap suami yang tak bisa ia abaikan. Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Selalu ta’at pada suami
Istri diwajibkan selalu ta’at pada suami kecuali dalam hal-hal yang melarang aturan
agama dan atau kesusilaan. Ini khususnya berlaku ketika suami menyuruh istri untuk
melaksanakan shalat, melakukan ibadah dan melaksanakan kewajiban lain seperti
memenuhi undangan, menutup aurat dan lain sebagainya.
Adapun dalam hal-hal lain yang sifatnya relatif dan bisa dibincangkan bersama, istri
seharusnya selalu meminta pendapat suami setiap akan membuat keputusan dan langkah
dalam hidupnya, semisal terkait dengan pekerjaan, karier, keluarga, pendidikan anak
dan lain sebagainya.

2. Bermuka manis dan menyenangkan suami


Perintah untuk bermuka manis dan menyenangkan suami ini secara khusus berkaitan
dengan psikologi perempuan yang terkadang tidak stabil baik karena faktor biologis
maupun non-biologis. Untuk itu, seorang istri diwajibkan dapat mengontrol dan
mengelola emosinya sebaik mungkin sehingga apapun yang ia rasakan, ia tetap
bermuka manis dan berusaha menyenangkan suami dengan berbagai cara.

3. Menjaga harta, rumah dan kehormatan suami


Istri diserahi tugas untuk mengelola keuangan keluarga, khususnya istri yang tidak
bekerja dan karenanya tidak memiliki penghasilan tetap.

Menanggapi hal ini, Imam Al-Ghazali, seorang ulama’ besar Islam berkomentar bahwa
“di luar uang untuk kepentingan keluarga, suami juga diwajibkan memberi
uang kepada istri sebagai ‘gaji’ karena telah menjaga rumah dan mengasuh
anak, dalam kasus istri yang tidak bekerja dan memilih untuk tinggal di
rumah.”

Bagi Al-Ghazali, uang untuk keperluan keluarga dengan uang nafkah untuk istri pribadi
harus dibedakan. Point penting dari ajaran ini adalah bahwa istri harus turut serta aktif
menjaga atau mengelola harta yang dimiliki sebuah keluarga. Dengan demikian,
pembagian kerjanya adalah jika suami berupaya mendapatkan harta, maka istri yang
bertugas merawat dan menjaganya, bahkan jika mungkin mengembangkannya.

4. Menghindari Murka dan Mencari Kerelaan Suami


Kerelaan suami disebut-sebut sebagai tiket seorang istri untuk meraih kebahagiaan
akhirat dan mendapat surga. Karena itu, seorang istri harus berusaha sebisa mungkin
untuk mendapatkan kerelaan suami. Ini utamanya terkait juga dengan hal-hal di luar
kewajiban:
- Tindakan-tindakan lain yang disenangi suami dan dapat membahagiakan hatinya
- Membantu suami menyelesaikan pekerjaan
- Mengatasi masalah
- Terampil mengurus rumah
- Peka terhadap kebutuhan suami dan lain-lain.
Akan tetapi, satu hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam upaya mencari kerelaan
suami ini adalah menghindari murka suami karena hal tersebut tidak hanya akan
menggagalkan upaya mendapatkan kerelaan suami, akan tetapi juga mengancam
keutuhan rumah tangga.

II. PERCERAIAN
A. Definisi Perceraian
Perceraian dalam bahasa arab dikenal dengan istilah thalaq. Kata thalaq diambil
dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan atau secara harfiah berarti
membebaskan seekor binatang. Secara istilah umum, perceraian adalah putusnya
hubungan atau ikatan perkawinan antara seorang pria atau wanita (suami-isteri).
Sedangkan dalam syariat Islam peceraian disebut dengan talak, yang mengandung arti
pelepasan atau pembebasan (pelepasan suami terhadap istrinya). Orang yang
perbuatannya dapat diminta pertangungjawaban hukum ini disebut dengan istilah
mukallaf. Suami isteri yang akan cerai harus sudah cukup dewasa sudah terkena beban
hukum/taklif dan tidak ada unsur paksaan/ikrah.

B. Rukun dan Syarat Perceraian


Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat sebagai
berikut:
a. Suami.
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya selain
suami tidak berhak menjatuhkannya.
b. Istri.
Sahnya talak pada istri yang ditalak disyaratkan kedudukan istri yang ditalak itu
harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah dan istri itu masih tetap
berada dalam perlindungan kekuasaan suami Istri yang menjalani masa iddah
talak raj‟i dari suaminya oleh hukum dipandang masih berada dalam
perlindungan kekuasaan suami
c. Sighat talak.
Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang
menunjukkan talak baik yang sarih (jelas) maupun yang kinayah (sindiran) baik
berupa ucapan lisan tulisan dan isyarat bagi suami tuna wicara.
d. Qashdu (sengaja).
Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang
mengucapkannya untuk talak bukan untuk maksud lain.
Islam sungguh telah menetapkan beberapa batasan dan sejumlah syarat untuk talak,
yaitu sebagai berikut:
a. Dari segi individu, ia harus seorang yang baligh, berakal, taat, dan terpilih. Maka
talak tidak terjadi pada anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa, dan orang yang
mabuk.
b. Dari segi ucapan, para ulama fiqih menyatakan bahwa talak tidak terjadi kecuali
menggunakan kata-kata yang jelas dengan talak, seperti “engkau aku talak”.

C. Tujuan Perceraian
Tujuan perceraian sendiri sangat dibenci oleh Allah seiring dalam kehidupan
yang terus dijalani dalam membentuk suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir
bagi kehidupan rumah tangga, dalam keadaan darurat boleh dilakukan. Tujuan
dibolehkannya melakukan perceraian itu adalah karena dinamika kehidupan rumah
tangga kadangkadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan pembentukan
rumah jika sekiranya perceraian menjadi solusi yang terakhir bagi pasangan suami istri,
setelah melalui pertimbangan yang matang dan mantap. Maka hendaklah dilakukan
dengan prinsip ihsan maka dalam persoalan perceraian sangat tidak dianjurkan
melakukan cerai kecuali hanya keadaan darurut. Adapun yang menjadi penyebab
putusnya perceraian menurut hukum Islam adalah disebabkan karena kematian, karena
adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan putus dengan sendirinya.
Dalam hal ini kematian merupakan bentuk putusnya perkawinan dengan sendirinya.
Secara keseluruhan penyebab putusnya perkawinan adalah disebabkan karena thalaq,
khulu‟, fasakh, syiqaq, ila’,zhihar, dan li’an.

Anda mungkin juga menyukai