Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PERNIKAHAN
Dosen Pengangampu: Lalu Asriadi, M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 7
1. Kiki Amanda (220106160)
2. Dian Mekhrani (220106173)
3. Nurul Aini Rusdiana (220106177)

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2024

1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, puji syukut kehadiran AllahSWT,
yang telah memberikan kesehatan, kenikmatan hidup sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk kami ataupun teman-teman sebagai salah satu acuan ataupun
refrensi untuk diskusi.

Harapan kami semoga ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini, agar
kedepannya lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 15 April 2024

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
C. Tujuan ................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian pernikahan........................................................................................... 6
B. Syarat dan rukun nikah ......................................................................................... 7
C. Tujuan pernikahan dalam islam ............................................................................ 9
D. Talak..................................................................................................................... 10
E. Rujuk.................................................................................................................... 16
F. Iddah .................................................................................................................... 17
G. Ila ......................................................................................................................... 17
H. Zihar ..................................................................................................................... 19

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah suatu akad yang memiliki peran penting dalam membangun
keluarga dan menjadi salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia. Sebagian ahli
fiqih mengatakan bahwa pernikahan adalah ikatan antara dua jenis insan yang berbeda
jenis kelamin untuk memperoleh hak atau status kehalalan disertai syarat dan rukun yang
telah diatur oleh islam. Pernikahan bukan hanya sekadar ikatan antara dua orang, tetapi
juga merupakan pintu gerbang bagi terbentuknya sebuah rumah tangga yang harmonis dan
bahagia. Salah satu tujuan utama dari perkawinan adalah agar suami dan istri dapat hidup
bersama dengan penuh cinta kasih dan rahmat dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah
dalam Al Qur'an suarat Ar Rum ayat 21 yang artinya:

"Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia
menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir".

Dari pernikahan inilah timbul sebuah ikatan yang sebelumnya belum pernah ada
antara satu orang dengan yang lainnya. Yang mana dari ikatan tersebut setiap individu di
dalamnya memiliki hak dan kewajiabannya tersendiri, ikatan inilah yang selama ini
dikenal dengan istilah keluarga.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata hak memiliki
pengertian arti milik dan kepunyaan, sedangkan kata kewajiban memiliki pengertian
sesuatu yang harus dilakukan dan merupakan suatu keharusan. Sedangkan yang dimaksud
dengan hak disini adalah hal-hal yang diterima seseorang dari orang lain. sedangkan
kewajiban yang dimaksud disini adalah apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap
orang lain. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah kemaslahatan yang
boleh dimiliki secar syar'i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa. hak adalah suatu keistimewaan
yang dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan atau sebuah beban (taklif).

Sedangkan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang
lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu
pula istri mempunyai hak dan dari situlah mempunyai beberapa kewajiban, dengan

4
diaturnya hak dan kewajiban suami istri maka dambaan suami istri dalam bahtera rumah
tanggannya akan dapat terwujud, karena didasari rasa cinta dan kasih saying.

Hak dan kewajiban sebagai suami dan istri pada dasarnya sama. Adapun kewajiban
dapat dikerjakan oleh siapapun di antara mereka, sedangkan hak ialah apapun yang dapat
diterima oleh siapapun dari mereka. Pengertian ini memberikan arti bahwa dalam
perkawinan terdapat kandungan untuk saling mendapatkan hak dan kewajiban, serta
bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi saling tolong menolong, artinya hak bagi
istri menjadi kewajiban bagi suami. Begitu pula, kewajiban suami menjadi hak bagi istri.1

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan?


2. Bagaimana yarat dan rukun nikah?
3. Apa saja tujuan pernikahan dalam islam?
4. Apa yang dimaksud dengan talak?
5. Apa yang dimaksud dengan rujuk?
6. Apa yang dimaksud dengan iddah?
7. Apa yang dimaksud dengan Ila?
8. Apa yang dimaksud dengan Zihar?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan


2. Untuk mengetahui syarat dan rukun nikah
3. Untuk mengetahui tujuan pernikahan dalam islam
4. Untuk mengetahui apa itu talak
5. Untuk mengetahui apa itu rujuk
6. Untuk mengetahui apa itu iddah
7. Untuk mengetahui apa itu Ila
8. Untuk mengetahui apa itu Zihar

1
Asman, Hani Sholihah. (2023). “Pengantar Hukum Perkawinan Islam Indonesia”. Jambi: PT. Sonpedia
Publishing Indonesia. Hlm, 88-89

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan

Pernikahan merupakan suatu ibadah, ibadah itu membutuhkan yang namanya niat di
dalam melakukan suatu ibadah tersebut. Kita bayangkan saja, kita menikah lalu pernikahan
kita tidak melakukan sebuah keniatan sama sekali atau untuk tujuan yang tidak baik yaitu
niat yang salah. Kalau kita tidak ada niat sama sekali di pernikahan kita, kita tidak tau apa
tujuan kita. Kalau kita menikah dengan niat yang salah terus belum terpenuhi kita amat
sangat kecewa, seandainya saja terpenuhi kita akan bahagia untuk diri kita pribadi dan
menyengsarakan pasangan kita.

Pernikahan menurut orang Jawa itu merupakan perbuatan yang sakral, tidak untuk
main-main karena di dalamnya terdapat ibadah yang paling lama bahkan sampai
menjemput. Niat yang salah dalam suatu pernikahan akan menjadikan malapetaka bagi
kehidupan rumah tangga, dan pada akhirnya semuanya berujung pada perceraian.
Na'udzubillahi min dzalik.

Kita sebagai kaum muslimin yang mengerti akan Agama Islam seharusnya untuk
memulai kehidupan baru yaitu pernikahan, yang paling utama adalah niat kita yang baik.
Karena ibadah itu sebuah kebaikan, jangan sampai diniatkan dengan kejelekan. Beberapa
contoh niat yang salah dalam sebuah pernikahan:

1. Menikah ingin menguasai harta pasangan kita

2. Menikah agar menjauh dari keluarga sendiri

3. Menikah untuk membalas dendam, dan lain sebagainya.

Sesuatu hal yang salah pasti akan berujung pada penyesalan, dan sesuatu hal yang
benar pasti akan berujung pada kebaikan.2

2
Shanti Nurani. (2019). “Pernikahan Adalah Sebuah Penyesalan”. Jawa Timur: Penerbit Uwais Inspirasi
Indonesia. Hlm, 2-4

6
Sedangkan secara istilah fiqih, para ulama dari masing-masing mazhab empat yang
muktamad memberikan definisi yang berbeda di antara mereka:Mazhab Al-Hanafiyah:3

a) Mazhab Al-Hanafiyah mendefinisikan nikah adalah:


Akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual
dengan seorang wanita yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara syar'i.
b) Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah mendefinisikan nikah adalah: Sebuah akad yang
menghalalkan hubungan seksual dengan wanita yang bukan mahram, bukan majusi,
bukan budak ahli kitab dengan shighah.
c) Mazhab Al-Syafi'iyah
Sedangkan Mazhab Al-Syafi'iyah mempunyai definisi yang berbeda tentang istilah
nikah daripada definisi-definisi lainnya, yaitu; Akad yang mencakup pembolehan
melakukan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz yang
maknanya sama.
d) Mazhab Al-Hanabilah
Definisi yang disebutkan dalam Mazhab Al- Hanabilah agak sedikit mirip dengan
definisi sebelumnya, yaitu: Akad perkawinan atau akad yang diakui di dalamnya
lafadz nikah, tazwij dan lafadz yang punya makna sepadan bertujuan
untukmembolehkan hubungan intim antara suami- istri.

B. Syarat dan Rukun Nikah

Berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan ini, kedua hal tersebut menentukan
suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam hal suatu acara
perkawinan umpamanya rukun dan syarat perkawinan tidak boleh tertinggal, dalam arti
perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Syarat perkawinan
adalah sesuatu yang harus ada dan menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, tetapi
sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian perkawinan tersebut.

3
Muhammad Ridho. (2021). “Pernak-Pernik Pernikahan”. Guepedia. Hlm, 10-12

7
Sedangkan rukun perkawinan adalah perkara yang menyebabkan sah atau tidaknya
suatu perkawinan. Dengan demikian rukun perkawinan itu wajib terpenuhi ketika
diadakan akad perkawinan, sebab tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi rukunnya. Berikut
Rukun Menikah menurut Islam:

1. Mempelai laki-laki syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan
dimulai pada saat akad nikah.
2. Mempelai perempuan sahnya menikah yakni ada mempelai perempuan yang halal
untuk dinikahi. Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk
dinikahi seperti pertalian darah, hubungan persusuan kemertuaan. atau hubungan

3. Wali nikah perempuan syarat sah menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali
merupakan orang tua mempelai perempuan yakni ayah, kakek, saudara laki-laki
kandung (kakak atau adik), saudara laki-laki seayah, saudara kandung ayah
(pakde atau om), anak laki-laki dari saudara kandung ayah.

4. Saksi nikah menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang bila
tidak ada saksi. Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam, baligh, berakal, merdeka,
lelaki, dan adil. Dua orang saksi ini diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga
ataupun orang yang dapat dipercaya untuk menjadi seorang saksi. Ijab dan kabul
terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah janji suci
kepada Allah Swt. di hadapan penghulu, wali, dan saksi. Saat kalimat "Saya
terima nikahnya"

5. Maka dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk
menjadi sepasang suami istri.

Selain rukun, dalam Islam ada syarat sah nikah yang wajib dipenuhi:

a. Beragama Islam. Pengantin pria dan wanita harus beragama Islam. Tidak sah jika
seorang muslim menikahi nonmuslim dengan menggunakan tata cara ijab dan
kabul Islam.
b. Bukan Laki-Laki Mahram bagi Calon Istri. Pernikahan diharamkan jika
mempelai perempuan merupakan mahram mempelai laki-laki dari pihak ayah.
Periksa terlebih dulu riwayat keluarga sebelum dilakukan pernikahan.
c. Wali Akad Nikah. Wali akad nikah mempelai perempuan yakni ayah. Namun jika
ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh kakeknya.

8
Pada syariat Islam, terdapat wali hakim yang bisa menjadi wali dalam sebuah
pernikahan. Meski demikian, penggunaan wali hakim ini juga tidak sembarangan.
d. Tidak Sedang Melaksanakan Haji. Syarat sah menikah berikutnya yakni tidak
sedang berhaji. Seperti dalam hadis Riwayat Muslim: "Seorang yang sedang
berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh
mengkhitbah."4

C. Tujuan Pernikahan dalam Islam

Adapun tujuan disyari'atkannya pernikahan terhadap umat Islam, di antaranya adalah:

1) Mempunyai Anak Keturunan yang Baik dan Sah.


Dengan pernikahan, dapat memelihara keturunan (‫ )حِ ْفظ النَّسْل‬sehingga mempunyai
nasab yang jelas dan terpelihara dengan baik. Nasabnya tidak kacau/promiskuitas,
karena silsilah orang tuanya baik dan dapat diketahui dengan jelas. Hal ini sangat
penting bagi kesinambungan generasi Islam di masa mendatang, agar mereka bisa
mensyiarkan ajaran agama Islam di muka bumi. Hal ini sejalan dengan Surat An-Nisa',
ayat 1:
‫سا ًء‬ ً ‫ث مِ ْنه َما ِرج‬
ً ‫َال َكث‬
َ ِ‫ِيرا َون‬ َ َ‫يَأَيُّهَا النَّاس اتَّق ْوا َربَّكم الَّذِي َخلَقَك ْم مِ ْن نَ ْفس َواحِ دَة َو َخل‬
َّ َ‫ق مِ ْنهَا َز ْو َجهَا َوب‬
)1( ‫علَيْك ْم َرقِيبًا‬ َ َّ َّ‫سا َءل ْونَ ِب ِه َو ْاْل َ ْرحَا َم إِن‬
َ َ‫ّللا كَان‬ َ َ ‫ّللا الَّذِي ت‬
َ َّ ‫َواتَّقوا‬
Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kalian dari satu jiwa, lalu Allah menciptakan dari jiwa itu pasangannya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (menyebut) nama-Nya kamu saling meminta,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah maha mengawasi
kamu. [QS. An-Nisa': 1].
Oleh karena itu, maka hendaklah memilih calon pasangan hidup yang berasal dari
keluarga yang mukmin, dan shalihah, serta memiliki kesuburan rahim, agar nantinya
bisa memiliki keturunan yang berakhlaq mulia sebagai penerus Islam di masa
mendatang.

4
Budi Sunarso. (2022). “Merajuk Kebahagian Keluarga (Perspektif Sosial Agama) Jilid 1”. Yogyakarta:
Deepublish Publishr. Hlm, 115-116

9
2) Membina Rumah Tangga yang Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Agar dapat membina
rumah tangga yang penuh dengan ketenangan, dan kasih sayang, serta diridlai oleh
Allah Ta'ala, termaktub dalam Surat Ar-Rum, ayat 21:

‫سكنوا إِلَ ْيهَا َو َجعَ َل بَ ْينَك ْم َم َو َّدةً َو َر ْح َمةً إِنَّ فِي ذَا ِلكَ ََليَات ِلقَ ْوم‬
ْ َ ‫ق لَك ْم مِ ْن أ َ ْنفسِك ْم أ َ ْز َوا ًجا ِلت‬
َ َ‫َومِ ْن آيَاتِ ِه أ َ ْن َخل‬
)۲۱( َ‫يَتَفَكَّر ْون‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antara kamu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. Ar-Rum: 21].
Pernikahan bisa memperlihatkan sisi romantisme kehidupan dua orang yang
bercinta, bagaimana romantisnya seorang suami dalam menyayangi istrinya, begitu
juga sebaliknya, sehingga nampak kasih di antara mereka.
Hal ini sejalan dengan hadits berikut:
‫ َح َّدثَنَا م َح َّمد بن‬: َ‫سعِيد بْن سلَ ْي َمان‬
َ ‫ َح َّدثَنَا‬:‫َح َّدثَنَا م َح َّمد بْن يَحْ َي‬
ِ َّ ‫ َقا َل َرس ْول‬:‫عبَّاس َقا َل‬
‫ لَ ْم ت َ َر ي َر‬: ‫ّللا عَه‬ َ ‫ ع َِن اب ِْن‬،‫طاوس‬ َ ‫ َح َّدثَنَا إِب َْراهِيم بْن َم ْي‬:‫سلِم‬
َ ‫ ع َْن‬:َ‫س َرة‬ ْ ‫م‬
َ‫ ( َر َواه ابْن َماجَة‬.‫َاح‬
ِ ‫ِل ْلمتَحَابَّي ِْن مِ ْثل النِك‬

Artinya: Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami: Sa'id bin Sulaiman
telah menceritakan kepada kami: Muhammad bin Muslim telah menceritakan kepada
kami: Ibrahim bin Maisarah telah menceritakan kepada kami: Dari Thawus, dari
Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Kami
belum pernah melihat dua orang yang memadu cinta sebagaimana orang yang
menikah. [HR. Ibnu Majah, no. 1847].5

D. Talak

a). Pengertian Talak

Term talak merupakan istilah serapan dari bahasa Arab, yaitu al-ṭalāq “‫”الطالق‬,
dengan penambahan huruf alif “‫“ ا‬di depan huruf lam “‫“ ل‬diambil dari kata dasar “ َ‫طلَق‬
َ
َ ‫ َو‬-‫ط ْلقَا‬
‫ط َالقًا‬ َ , secara bahasa berarti memberikan, lepas dari ikatannya, berpisah, atau
bercerai.Al-Jazīrī dan al-Zuḥailī menyebutkan makna talak secara bahasa yakni
memudarkan ikatan, melepas ikatan, atau memisahkan ikatan, baik bersifat fisik seperti

5
Ali Manshur .(2017). “Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam”. Malang: Tim UB Press. Hlm, 50-52

10
ikatan kuda dan ikatan tawanan, maupun bersifat maknawi seperti ikatan pernikahan.
Misalnya dengan sebutan, “ṭalāq al-naqah” atau “nāqatun ṭāliqun”, artinya
memudarkan ikatan unta dan melepaskannya, atau unta yang terlepas.

Mengacu pada makna bahasa tersebut, dipahami bahwa kata talak (ṭalāq: Arab)
mengandung makna umum, meliputi semua bentuk pelepasan suatu ikatan, baik secara
zahir maupun secara maknawi. Secara zahir maksudnya melepaskan ikatan sesuatu
yang tampak ada tali pengikatnya, sementara secara maknawi maksudnya suatu ikatan
yang secara makna memiliki ikatan, seperti ikatan keluarga, ikatan nasab, ikatan
pernikahan, ikatan suadara, ikatan suku dan budaya, dan lainnya.

Adapun menurut terminologi/istilah, rumusan makna talak cenderung diarahkan


dan dikhususkan hanya pada makna pelepasan ikatan pernikahan, atau perceraian antara
suami-isteri. Menurut al-Zuḥailī, talak secara istilah berarti melepas ikatan pernikahan
dengan kata talak (cerai) atau yang sejenisnya. Definisi yang serupa juga disebutkan
oleh Sayyid Salim. Menurutnya, talak secara syariat adalah melepaskan ikatan
pernikahan atau memutuskan hubungan pernikahan saat itu juga atau dikemudian waktu
dengan lafaz tertentu. Dua definisi tersebut memiliki maksud yang sama, bahwa talak
merupakan perceraian atau putusanya ikatan pernikahan suami-isteri yang terjadi sesaat
setelah suami mengucapkan lafaz talak, atau lafaz sejenisnya. Lafaz yang sejenisnya
bermaksud semua bentuk lafaz yang memberi indikasi kuat bahwa ucapan suami
tersebut ditujukan untuk bercerai, misalnya dengan kata, “saya ceraikan kamu”, “saya
tidak mau lagi hidup berumah tangga dengan kamu”, dan kalimat lain yang senada
dengan itu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, rumusan talak setidaknya memiliki poin-


poin yaitu proses memutuskan ikatan pernikahan, dilakukan oleh suami terhadap isteri,
akibatnya mengurangi hak talak suami, dilakukan dengan ucapan talak atau lainnya.
Dengan demikian, talak adalah perceraian antara suami dengan isteri atas inisiatif
suami, sehingga dengan inisiatif tersebut mengurangi jumlah hak talak suami yang
dilakukan melalui ucapan talak atau lafaz lainnya yang memiliki indikasi yang sama
dengan makna talak.

11
b). Dasar Hukum Talak dan Bentuk-Bentuk Talak

Perspektif Islam tentang talak hadir oleh karena adanya petunjuk dasar
pembolehannya dalam Alquran maupun hadis, bahkan ulama sepakat bahwa talak
dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibolehkan bagi seorang suami yang ingin
menceraikan isteri. Tidak hanya itu, petunjuk dan dasar pensyariatan talak secara
langsung difirmankan kepada Rasulullah saw. Hal ini mengacu pada ketentuan QS. al-
Ṭalāq ayat 1 artinya:

“ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu


ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya
dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.

Imām al-Suyūṭī menyebutkan ayat ini turun berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas,
“suatu ketika Abdu Zaid (Abu Rukanah)” menalak isterinya Ummu Rukanah. Ia
kemudian menikahi wanita lain dari Mazinah.Ummu Rukanah Lantas mendatangi
Rasulullah saw., dan berkata, “alangkah malangnya saya. Hubungan suami saya dan
saya hanyalah laksana sehelai rambut ini (begitu rapuhnya)”. Tidak lama kemudian
turunlah ayat tersebut. Dalam riwayat lain, Imām al-Suyūṭī juga menyebutkan bahwa
hadis tersebut turun berkenaan dengan salah satu riwayat dari Qatadah dari Anas bin
Malik yang berkata, “suatu ketika Rasulullah saw., menalak Hafsah. Ia kemudian
kembali ke keluarganya”, Allah kemudian menurunkan ayat tersebut”.

Riwayat tersebut secara hukum mengandung informasi bahwa Rasulullah saw.,


sendiri telah melakukan talak kepada isterinya dan tentunya diperkenankan, bahkan ada
penegasan secara khusus dalam QS. al-Ṭalāq ayat 1, yaitu jikapun terpaksa untuk
melakukan talak, maka prosesnya harus dilakukan ketika isteri mudah melaksanakan
masa idah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam melegalkan talak dengan tata cara
tertentu sebagaimana maksud ayat tersebut.

Menurut para ulama, cara talak agar isteri menjalankan masa idah secara wajar
sebagaimana maksud QS. al-Ṭalāq ayat 1 sebelumnya adalah hanya dilakukan apabila

12
isteri dalam keadaan suci dari haid atau belum digauli. Sebab, menalak isteri dalam
keadaan haid akan memperlama idah isteri sebab ia akan menghitungnya setelah suci.
Sementara larangan menalak isteri sesaat setelah dilakukannya jimak karena ada
kemungkinan benih janin di dalam rahim isteri sehingga juga akan memperlama isteri
dalam melaksanakan idah. Selain alasan itu, para ulama juga memandang bahwa
biasanya suami cenderung akan menahan untuk menalak isteri dan amaranya akan
terkendali pada saat setelah isterinya telah suci. Yūsuf al-Qaraḍāwī dan al-Barūdī
menyebutkan yang pada intinya boleh jadi pihak suami terhalang untuk menyalurkan
naluri seksual pada saat haid, maka ia mentalak suami. Karena ada larangan tersebut,
maka anjuran menceraikan isteri pada saat suci sangat mungkin tidak terealisasi sebab
suami sudah bisa kembali menggaulinya. Selain itu, amarah suami pada saat isteri haid
boleh jadi akan kembali turun ketika sesaat setelah isterinya telah mengalami masa suci,
sehingga suami tidak lagi menceraikannya.

Poin inti yang dapat dipahami dari ketentuan dalil di atas adalah talak disyariatkan
dalam Islam namun harus dilakukan dengan cara dan waktu tertentu seperti
menceraikan isteri pada saat isteri suci atau pada saat isteri belum digauli sebelumnya.

Bentuk-bentuk talak

a. Talak dilihat dari lafaz yang digunakan


Dilihat dari lafaz, maka talak dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu talak dengan
ungkapan ṣarīḥ dan talak dengan ungkapan kināyah. Ibn Rusyd menyatakan kedua
ungkapan tersebut merupakan pendapat jumhur ulama. Talak ṣarīḥ yaitu talak
dengan ungkapan yang jelas dan tegas dan tidak membutuhkan adanya niat di
dalamnya, seperti kata ṭalāq (talak), firāq (cerai), sarāḥ (lepas). Dikatakan talak
ṣarīḥ karena ketiga kata tersebut terdapat di dalam syariat dan disebutkan secara
berulang-ulang dalam Alquran. Lafaz al-ṭalāq (talak) disebutkan dalam QS. Ṭalāq
ayat 1, lafaz firāq (cerai) disebutkan dalam QS. Ṭalāq ayat 2, dan lafaz sarāḥ (lepas)
ditemukan dalam QS. al-Aḥzāb ayat 28. Selain alasan tersebut, dikatakan talak
ṣarīḥ juga karena tidak ada kemungkinan adanya keraguan tentang makna lafaz
tersebut kecuali hanya dimaknai keinginan suami untuk berpisah atau bercerai.
Rizem Aizid menyebutkan talak ṣarīḥ atau talak dengan menggunakan lafaz yang
eksplisit merupakan setiap kata yang bisa langsung dipahami makna talak ketika
diucapkan. Dengan demikian, ulama telah membatasi tiga kata tersebut dalam

13
cakupan ṭalāq, firāq, atau sarāḥ. Ungkapannya dapat dibuat pemisalannya seperti
suami menyatakan kepada isteri, “saya talak kamu”, “saya ingin cerai (firāq)”, atau
“saya melepaskan (sarāḥ) kamu”.
Adapun talak kināyah yaitu talak kiasan yang membutuhkan penegasan niat
dari pihak suami. Dalam pengertian lain, talak kināyah yaitu talak yang dilakukan
dengan menggunakan lafaz yang implisit, namun lafaz yang digunakan mirip
pengertiannya dengan lafaz talak. Misalnya, dengan menggunakan kalimat,
“Pulangkah kamu ke rumah orang tuamu!”. Dalam konteks ini, jika suami
meniatkannya sebagai talak, maka jatuh talak. Sementara jika suami tidak
meniatkannya sebagai talak, maka talak tidak jatuh. Intinya, lafaz sindiran atau
kināyah masih memerlukan kejelasan maksud suami. Dalam hal ini, isteri tentu
boleh menanyakan maksud perkataan tersebut, atau ia mengadukan kepada
keluarganya dan keluarganya kemudian menanyakan secara langsung apakah
maksud lafaz kināyah tersebut ditujukan untuk talak atau bukan.

b. Dilihat dari segi konsekuensi hukum talak

Dilihat dari segi konsekuensi atau akibat hukum talak, maka talak dibedakan
menjadi dua macam, yaitu talak bā‟in dan talak raj‟ī. "Talak Raj'i adalah talak
kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk kembali isteri dalam masa iddah".
6
Sedangkan Talak bā‟in merupakan talak yang berakibat pada suami tidak halal
lagi terhadap isterinya dan tidak ada hak rujuk baginya kecuali dengan akad nikah
dan mahar yang baru. Misalnya, talak kesatu atau kedua yang suami pada saat itu
belum merujuknya hingga akhir masa idah. Keadaan habisnya masa idah isteri
sementara mereka belum bersatu kembali maka kondisi ini disebut dengan talak
bā‟in ṣughrā. Dalam contoh yang lain misalnya perceraian dengan khulu‟. Artinya,
jika isteri ingin bercerai dan ada pembayaran ganti rugi di dalamnya maka status
adalah talak bā‟in.

6
Putri, S. A., Julita, F. F., Fitri, D. Y. A., Sari, R. R., & Wismanto, W. (2024). Mendulang Nilai-nilai Pendidikan
pada Kasus Putusnya Perkawinan. MARAS: Jurnal Penelitian Multidisiplin, 2(1), 177–186.
https://doi.org/10.60126/maras.v2i1.166

14
Dalil yang biasa digunanakan dalam khulu‟ yaitu QS. Al-Baqarah ayat 229 yang
sebelumnya telah dikutip, adapun bagian ayat yang berhubungan khulu’ adalah:

ِ َّ ‫علَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَدَتْ بِ ِه ِت ْلكَ حدود‬


‫ّللا َف َل ت َ ْعتَدو َها َو َمن يَت َ َع َّد‬ ِ َّ ‫… َف ِإ ْن خِ ْفت ْم أ َ َّل يقِي َما حدو َد‬
َ ‫ّللا َف َل جنَا‬
َ ‫ح‬

َّ ‫ّللا َفأ ْولَ ِئكَ هم ال‬


َ‫ظلِمون‬ ِ َّ ‫حدو َد‬

"...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat


menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim".

Talak ba 'in dibedakan menjadi dua, yaitu bā'in şughra dan bā'in kubra. Talak
ba 'in şughrā telah disebutkan sebelumnya, sementara talak bā'in kubrä merupakan
talak tiga yang dilakukan secara bertahap atau sekaligus menurut jumhur ulama
dengan konsekuensi isteri tidak halal lagi untuk digauli kecuali mantan isteri telah
menikah dan berjimak dengan suami barunya dan mereka telah bercerai secara
wajar. Dalil yang relevan dengan kasus ini mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah
ayat 230 yang artinya:

"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka


perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui".

Dengan demikian, talak bā'in kubrä berpengaruh terhadap kehalalan isteri,


sementara dalam kasus bā'in şughrä tidak menghilangkan kehalalan isteri tetapi
dengan syarat harus melakukan akad nikah dan mahar yang baru. Dilihat dari
kesesuaian penjatuhan talak dengan pensyariatannya. Adapun talak dilihat dari
kesesuaian penjatuhan talak dengan dalil pensyariatannya juga dibedakan menjadi
dua bentuk, yaitu talak sunni dan talak bid'ī. Talak sunni adalah talak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Alquran dan sunnah, sementara talak bid'i

15
merupakan talak yang dijatuhkan menyalahi ketentuan Alquran dan sunnah.Al-
Tuwaijiri menyebutkan talak sunni (sunnah) yaitu suami menalak isterinya dalam
keadaan suci dan belum digauli sebelumnya. sementara talak bid'ī (bid'ah) adalah
talak yang menyalahi sunnah. 7

E. Rujuk

Kata rujuk, diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata raja'a- yarji'u-raj'an, artinya
kembali atau mengembalikan.8 Dalam Bahasa Indonesia, rujuk diartikan sebagai
kembalinya suami kapada isterinya yang ditalak, talak satu atau talak dua, ketika isteri
masih dalam masa 'iddah, atau kembali bersatu (bersahabat dan sebagainya).9 Dalam
hukum perkawinan Islam, istilah rujuk sering didefenisikan sebagai keadaan seorang
suami kembali dan hidup bersama dengan isteri setelah terjadinya perceraian. Menurut
istilah, kata rujuk memiliki beragam rumusan dibuat oleh para ulama. Di antaranya,
menurut mazhab Hanafi, rujuk sebagai pelestarian kembali perkawinan dalam masa 'iddah
talak raj 'i.10 Menurut mazhab Syafi'i, rujuk adalah mengembalikan status hukum
perkawinan sebagai suami isteri di tengah-tengah 'iddah setelah terjadinya talak raj'i.
Sementara itu, menurut al-Mahalli sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin
menyebutkan rujuk merupakan kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang
bukan ba'in, selama dalam masa 'iddah.11

Amiur Nuruddin menyebutkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak


mengatur masalah rujuk begitu juga dalam peraturan pelaksana undang-undang ini.12
Demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga tidak ditemukan rumusan yang
tegas tentang rujuk.

Mengenai hukumnya, bahwa ulama sepakat suami boleh merujuk isteri yang telah
diceraikan. Hal ini berdasarkan beberapa ketentuan al-Quran, salah satunya dalam surat
al-Baqarah ayat 228- 229. Surat al-Baqarah ayat 228-229 merupakan dasar hukum

7
Jamhuri, Zuhra. “Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu dan Jumlah Penjatuhan
Talak”. Media Syari’ah. Vol. 20, No. 1, 2018. Hlm, 98-103
8
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 285.
9
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahas Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009), hlm. 521.
10
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat..., hlm. 286.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia; antara Figh Munakahat dan Undang-Undang
perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2009), hlm. 337.
12
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hlm. 268-269.

16
dibolehkannya suami merujuk isteri dalam masa iddah. Terkait dengan hal ini, ulama
sepakat bahwa iddah wanita yang ditalak dapat dirujuk kembali dengan cara yang ma'ruf,
artinya dirujuk dengan baik-baik.13

F. Iddah

Kata 'iddah belum diserap dalam Kamus Bahasa Indonesia. Secara bahasa, kata
'iddah ini berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-'ādad, artinya bilangan. Kata al-'ādad
sama artinya dengan istilah al-'işā', yaitu hitungan, maksudnya hari-hari dalam masa haid
yang dihitung oleh seorang wanita. Kata 'iddah juga berarti hari-hari haid atau hari-hari
suci pada wanita." Dengan demikian, 'iddah secara bahasa bermakna hari-hari yang
dihitung oleh perempuan.

Menurut istilah, terdapat beberapa rumusan, di antaranya menurut Sayyid Sabiq.


Beliau menyebutkan bahwa 'iddah merupakan masa tunggu seorang wanita yang
menunjukkan masa penantian dan penolakan untuk menikah lagi setelah ditinggal mati
suami, atau diceraikannya. Rumusan yang sama juga diberikan oleh Wahbah Zuhaili.
Beliau menyebutkan 'iddah sebagai suatu masa yang telah ditetapkan oleh Allah setelah
terjadi perpisahan yang harus dijalani oleh si isteri dengan tanpa melakukan perkawinan
sampai masa 'iddah-nya.

Rumusan yang lebih luas dapat dipahami dari pandangan Syaikh Hasan Ayyub, di
mana 'iddah diartikan sebagai masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan
suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati, dimana 'iddah ini bisa dengan cara
menunggu kelahiran anak yang dikandung, atau melalui quru' atau menurut hitungan
bulan. Beliau menambahkan bahwa pada saat tersebut sang isteri tidak diperbolehkan
menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.

G. Ila

Ila adalah sumpah suami kepada istri untuk tidak mencampurinya lagi. Secara
bahasa ila berarti mencegah dengan sumpah. Secara istilah adalah bersumpah untuk tidak
menyetubuhi istri untuk waktu tertentu. Definisi yang lain menyebutkan secara rinci waktu
ila yaitu "sumpah suami kepada istri untuk tidak menyetubuhi istri secara mutlak atau
empat bulan lebih".

13
Arifin Abdullah, Delia Ulfa. “Kedudukan Izin Rujuk Suami dalam Masa Iddah (Analisis Perspektif Hukum
Islam)”. Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam. Vol 2 No. 2. Juli-Desember 2018. Hlm, 419-420

17
Ila adalah kebiasaan orang-orang jahiliyah. Sering kali para suami pada zaman
jahiliyah ini mengucapkan ila kepada istrinya dalam rangka menghukum istrinya. Waktu
yang ditetapkan oleh suami untuk tidak menggauli isrtinya sering kali mereka perpanjang
dari ketetapan sebelumnya, biasanya setahun atau lebih, sehingga keadaan istri terkatung-
katung tidak jelas. Ia tidak dicerai agar tidak kawin lagi dengan pria lain, disisi lain ia juga
tidak mendapat haknya secara penuh sebagai istri.

Konsep Ila dalam Hukum Islam

Ila adalah sumpah suami kepada istri untuk tidak mencampurinya lagi. Menurut
bahasa, ila berarti mencegah dengan menggunakan sumpah. Secara istilah, ila adalah
bersumpah untuk tidak menyetubuhi istri untuk waktu tertentu. Definisi yang lain
menyebutkan secara rinci waktu ila yaitu "sumpah suami kepada istri untuk tidak
menyetubuhi istri secara mutlak atau empat bulan lebih".14

Ila adalah kebiasaan orang-orang jahiliyah. Sering kali para suami pada zaman
jahiliyah ini mengucapkan ila kepada istrinya dalam rangka menghukum istrinya. Waktu
yang ditetapkan oleh suami untuk tidak menggauli isrtinya sering kali mereka perpanjang
dari ketetapan sebelumnya, biasanya setahun atau lebih, sehingga keadaan istri terkatung-
katung tidak jelas. Ia sengaja tidak dicerai supaya tidak kawin lagi dengan pria lain, disisi
lain ia juga tidak mendapat haknya secara penuh sebagai istri.15 Sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 226-227:

"Kepada orang-orang yang meng-ila isterinya diberi tangguh empat bulan.


Kemudian jika mereka kembali (kepada istri mereka) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Jika mereka berketatapan hati
untuk talak/bercerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui".

Dengan diturunkannya ayat ini, Allah memberikan batasan waktu terhadap ila.
Yang dulu suami meng-ila, bersumpah tidak mencampuri/menggauli istri selama satu
tahun atau lebih, bahkan diperpanjang lagi, Allah memberikan batasan waktu yaitu empat
bulan saja. Waktu empat bulan yang ditetapkan oleh Allah dijadikan sebagai masa

14
Iffah Muzammil, Fiqh Munakabat, (Tanggerang: Tira Smart, 2019), 176.

18
penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, apakah ia akan
membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau menjatuhkan talak.16

H. Zihar

Zihar, kata yang dikutip dari bahasa Arab yakni kata ‫( ظهر‬Zhahr) yang memiliki
arti "punggung" atau bagian belakang, maka jika didalam bentuk kalimat berupa (berkata
suami pada Isterinya, "dirimu seperti punggung ibuku", berarti isteri nya itu haram
baginya) yang demikian suami berkata kepada istri dengan kalimat itu merupakan thalak
(perceraian), yang sering terjadi saat zaman Jahiliyah. Jargon Yuzahiruna adalah fi'il mudai
dari zahara-yuzahiru-muzahratan-ziharan. Diambil dari kata Az-zahr, artinya punggung.
Artikulasi zahrun-nisa' menandakan memunggungi pasangan, memalingkan punggung,
membuangnya.

Shara berpendapat, Jihar mengacu pada sikap seorang laki-laki dalam tradisi
Jahiliyah Arab yang kehilangan minat terhadap istrinya, mungkin karena usianya yang
semakin tua atau karena kulitnya yang sudah tidak mulus lagi. Jika seorang suami, yang
berusaha menjauhi istrinya karena dia pergi, bahkan mengatakan bahwa dia terlihat seperti
orang tua dan sangat mirip dengan ibu kandungnya, sifat seperti itu disebut Jihar dalam
hukum Islam. Tentu saja itu menghancurkan hatinya.

Dapat disimpulkan bahwa Jihar adalah istilah yang dipakai untuk


menggambarkaseorang wanita dengan ibunya. Peristiwa di zaman Jahiliyah ini berarti
perceraian. Jika dengan asumsi suami mengatakan anda mirip dengan ibunya, dia melarang
istrinya melakukannya. Karena wanita disamakan dengan mahram, suami tidak boleh
mengganggu istrinya sampai dia membayar tebusan. Dari sudut pandanag terminologi,
Karena Jihar mirip dengan istri ibunya, maka istrinya tidak sah. Sang suami berkata kepada
istrinya, "Kamu seperti ibuku," membelakangiku. Jika dia mengatakan demikian dan tidak
bercerai, dia wajib membayar tebusan, dan dilarang berhubungan seks dengan istrinya
sebelum membayar Kafarat atau tebusan yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an.

16
Yeni Novitasari, Revanda Yunianti. ”Ila dan Zhihar Perspektif Tafsir Ayat Gender”. Vol 2. No, 3 Juni 2021.
Hlm, 298-299

19
Didalam Al-Qur'an diterangkan dengan jelas dalam Q.S Mujaadilah ayat 3:

َّ ‫سا ِب ِه ْم ث َّم َي ْعودونَ ِل َما َقالوا َفتَح ِْرير َر َق َبة مِ ْن َق ْب ِل أ َ ْن يتَ َماسا ً ذَلِك ْم توعَظ ْونَ ِبة َو‬
‫ّللا‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ ي ْظ ِهر ْونَ مِ ْن ِن‬
‫بِ َما ت َ ْع َمل ْونَ َخبِير‬

"Dan mereka yang menzibar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka
ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mabateliti terhadap
apa yang kamu kerjakan."

Pada ayat ini disebutkan bahwa Zihar adalah sesuatu yang dikenai kafarat jika
melakukan nya, hal ini menggambarkan suatu perbuatan tercela yang dimurkai Allah SWT
sehingga dikenai kafarat dan diwajibkan untuk dibayar sebelum suami istri bercampur
Kembali dalam bentukhubungan intim yanmg dibalut hubungan perkawinan.17

17
Syaddan Dintara Lubis.” Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Oleh Zihar Terhadap Perkawinan Ditinjau Dari
Undang-Undang Dan Kompilasi Hukum Islam”. Jurnal Hukum Tata Negara Dan Politik Islam.Vol X,
No. I. Hlm, 62-63

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan merupakan suatu ibadah, ibadah itu membutuhkan yang namanya niat di
dalam melakukan suatu ibadah tersebut. Kita bayangkan saja, kita menikah lalu pernikahan
kita tidak melakukan sebuah keniatan sama sekali atau untuk tujuan yang tidak baik yaitu
niat yang salah. Kalau kita tidak ada niat sama sekali di pernikahan kita, kita tidak tau apa
tujuan kita. Kalau kita menikah dengan niat yang salah terus belum terpenuhi kita amat
sangat kecewa, seandainya saja terpenuhi kita akan bahagia untuk diri kita pribadi dan
menyengsarakan pasangan kita.

Rukun menikah yaitu 1).Mempelai laki-laki syarat sah menikah adalah ada
mempelai laki-laki,2)Mempelai perempuan sahnya menikah yakni ada mempelai
perempuan yang halal untuk dinikahi, 3)Wali nikah perempuan syarat sah menikah
berikutnya adanya wali nikah.,4)Saksi nikah menikah sah bila ada saksi nikah, 5)Maka
dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk menjadi
sepasang suami istri.

Syarat sah nikah yaitu 1)Beragama Islam, 2)Bukan Laki-Laki Mahram bagi Calon
Istri.3)Wali Akad Nikah, 4)Tidak sedang melaksanakan haji.Tujuan pernikahan islam yaitu
1)Mempunyai Anak Keturunan yang Baik dan Sah, 2)Membina Rumah Tangga yang
Sakinah, Mawaddah, Warahmah.

Makna talak cenderung diarahkan dan dikhususkan hanya pada makna pelepasan
ikatan pernikahan, atau perceraian antara suami-isteri.Menurut mazhab Syafi'i, rujuk
adalah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami isteri di tengah-tengah
'iddah setelah terjadinya talak raj'i. Menurut Sayyid Sabiq, Beliau menyebutkan bahwa
'iddah merupakan masa tunggu seorang wanita yang menunjukkan masa penantian dan
penolakan untuk menikah lagi setelah ditinggal mati suami, atau diceraikannya.

Ila adalah kebiasaan orang-orang jahiliyah. Sering kali para suami pada zaman
jahiliyah ini mengucapkan ila kepada istrinya dalam rangka menghukum istrinya. Shara
berpendapat, Jihar mengacu pada sikap seorang laki-laki dalam tradisi Jahiliyah Arab yang
kehilangan minat terhadap istrinya, mungkin karena usianya yang semakin tua atau karena
kulitnya yang sudah tidak mulus lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012).
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat..., hlm.
Ali Manshur .(2017). “Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam”. Malang: Tim UB Press.
Amir Syarifuddin, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia; antara Figh Munakahat dan Undang-
Undang perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2009),
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, cet. 4, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012).
Arifin Abdullah, Delia Ulfa. “Kedudukan Izin Rujuk Suami dalam Masa Iddah (Analisis
Perspektif Hukum Islam)”. Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam. Vol 2 No. 2.
Juli-Desember 2018.
Asman, Hani Sholihah. (2023). “Pengantar Hukum Perkawinan Islam Indonesia”. Jambi: PT.
Sonpedia Publishing Indonesia.
Budi Sunarso. (2022). “Merajuk Kebahagian Keluarga (Perspektif Sosial Agama) Jilid 1”.
Yogyakarta: Deepublish Publishr.
Iffah Muzammil, Fiqh Munakabat, (Tanggerang: Tira Smart, 2019).
Jamhuri, Zuhra. “Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu dan
Jumlah Penjatuhan Talak”. Media Syari’ah. Vol. 20, No. 1, 2018.
Muhammad Ridho. (2021). “Pernak-Pernik Pernikahan”. Guepedia.
Putri, S. A., Julita, F. F., Fitri, D. Y. A., Sari, R. R., & Wismanto, W. (2024). Mendulang Nilai-
nilai Pendidikan pada Kasus Putusnya Perkawinan. MARAS: Jurnal Penelitian
Multidisiplin, 2(1),. https://doi.org/10.60126/maras.v2i1.166
Shanti Nurani. (2019). “Pernikahan Adalah Sebuah Penyesalan”. Jawa Timur: Penerbit Uwais
Inspirasi Indonesia.
Syaddan Dintara Lubis.” Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Oleh Zihar Terhadap Perkawinan
Ditinjau Dari Undang-Undang Dan Kompilasi Hukum Islam”. Jurnal Hukum Tata
Negara Dan Politik Islam.Vol X, No. I.
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahas Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009).
Yeni Novitasari, Revanda Yunianti. ”Ila dan Zhihar Perspektif Tafsir Ayat Gender”. Vol 2. No,
3 Juni 2021.

22

Anda mungkin juga menyukai