Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP DASAR PEMETAAN TEMA

Makalah Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Tematik Integrative 1

Dosen Pengampu : Eri Purwanti, M.Pd

Disusun oleh Kelompok 5 :

1. Desi Rahmawati (22020016)

2. Andara Citra Wardani (22020050)

3. Dea Aulia Putri (22020004)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
PRINGSEWU
2023

i
KATA PEGANTAR

Segala puji dan syukur semoga selalu tercurahkan kepada Allah SWT ysng
telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan
malakah mata kuliah Konsep Dasar Pemetaan Tema ini dengan sebaik-baiknya.

Solawat beriring salam semoga selalu tersanjung agungkan kepada Nabi


agung Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya serta telah membawa kita dari
zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang,

Makalah ini dapat diselesaikan atas izin Allah serta bantuan dan dukungan
dosen serta teman-teman yang memberikan semangat dan motivasi kepada kelompok
kami dan kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan kami .

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan


bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan pembelajaran
untuk kami semua. Sekian yang dapat kami sampaikan dan kami mengucapkan
terimakasih.

Pringsewu, 25 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halama
SAMPUL DEPAN/SAMPUL JUDUL........................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemetaan Tema Dalam Pembelajaran Tematik. . . 3
B. Cara Menentuka Tema .......................................................... 8
C. Prinsip Pengembangan dan Pemilihan Tema ........................ 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................. 13
B. Saran ....................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinaan adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dengan
perempuan dalam ikatan suami istri. Dalam perkawinan setiap orang ingin
membentuk keluarga bahagia dan utuh sampai akhir hayat tetapi, kadang ada suatu
permasalahan yang membuat pertengkaran bahkan menngambil jalan perceraian.
Allah paling membenci hal tersebut.
Talak ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan
lafazh yang tertentu, misalnya suami berkata kepada istrinya. Pada dasarnya talak
hukumnya boleh, tetapi sangat dibenci menurut pandangan syara’. Ucapan untuk
mentalak istri ada dua yaitu ucapan sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk
mentalak, dan ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya.
Salah satu jalan untuk kembali yang digunakan seorang suami kepada
mantan istrinya ialah dengan rujuk. Kesempatan itu diberikan kepada setiap manusia
oleh Allah untuk memperbaiki perkawinannya yang sebelumnya kurang baik. Hal
tersebut merupakn salah satu hikmah rujuk.
Rujuk sendiri mempunyai penngertian yang luas yaitu kembalinya seorang
suami kepada istri yang telah ditalak raj’i bukan talak ba’in selama masih dalam masa
iddah. Dari definisi tersebut, terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat
perbuatan rujuk. Seseorang yang ingin melakukuan rujuk harus memperhatikan hal-
hal yang berkaitan mengenai rujuk agar terlaksana dengan baik. Diantara hal-hal yang
berkaitan ialah: tata cara rujuk, hak rujuk, hukum rujuk serta rukun dan syarat dalam
rujuk. Untuk lebih jelas, dimakalah ini akan dibahas mengenai hal-hal terrsebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari nikah?
2. Bagaimana syarat nikah menurut ajaran Islam?
3. Apa saja hal – hal yang dapat membatalkan nikah menurut Islam?
4. Definisi talak
5. Macam-macam, syarat, rukun, dan tatacara talak
6. Definisi rujuk

4
7. Macam-macam, syarat, rukun, hukum, dan tatacara rujuk

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian nikah secara jelas;
2. Untuk mengetahui syarat nikah dalam Islam;
3. Untuk mengetahui bahwa adanya hal – hal yang dapat membatalkan nikah menurut
Islam;
4. Untuk mengetahui pengertian dan penjelasan – penjelasan yang berkaitan dengan
talak;

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
An-nikah secara bahasa artinya “berkumpul” atau “menyatu”, Sedangkan
secara syari’at artinya ”ikatan (akad) yang menghalalkan pria menggauli wanita atau
sebaliknya, yang sebelumnya dilarang”.
Adapun konsekuensi adalah:
1. Diantara mereka tidak ada batas aurat, Suami sebagai pakaian bagi istrinya dan
sebaliknya
2. Timbulnya kewajiban suami terhadap istridan sebaliknya.
Suami memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
papan (At-thalaq/65 ayat 6), memperlakukan istri dengan baik (penuh cinta kasih dan
kelembutan), membimbing istri dan anak-anaknya menuju ridha dan cinta Allah SWT
(At-Tahrim/66 ayat 6). Sedangkan kewajiban istri adalah taat pada perintah suami
yang tidak menyalahi aturan agama, menjaga kehormatan diri, menjaga amanah
berupa anak dan harta dan menjadi penyejuk suami (An-Nissa/4 ayat 34).
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh ulama fiqh tetapi seluruh
definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda.
Ulama mazhab syafi’I mendefinisikan dengan akad yang mengandung kebolehan
dengan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna
dengan itu. Sedangkan ulama mazhab Hanafi mendefinisikan dengan akad yang
memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seseorang lelaki dan
seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.
Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafad yang
dipergunakan akad nikah tersebut, yaitu harus dengan lafal nikah, kawin atau semakna
dengan itu.
Adapun tujuan dari nikah yang dikutip dari salah satu ayat dan dijadikan
sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan nikah dalam Al-Qur’an adalah artinya:

6
“dan di antara tanda – tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri –
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang…” (Q.S 30:21)
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri
yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut yang bersifat
langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan
menyayangi itu sehingga masing – masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga
sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di
atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan
dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah
(assakinah),mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir
menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga
yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan
tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan
muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al -mawadah), sehingga rasa tanggung
jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan
bahwa dari as-sakinah dan almawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan
yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta
dan kasih suami istri dan anak -anak mereka.
B. Syarat dan Rukun-rukun Nikah
Syarat sahnya nikah membutuhkan 4 rukun, yaitu :
1. Wali
Wali yaitu ayah kandung wanita atau penerima wasiat atau kerabat
terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan dari ahli waris wanita tersebut, atau
orang bijak dari keluarga wanita tersebut atau pemimpin setempat, karena
Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (Diriwayatkan semua penulis Sunan dan
di-shahih-kan Al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Umar bin Khatab RA berkata “Wanita tidak boleh dinikahi kecuali
dengan izin walinya atau orang bijak dari keluarga wanita atau pemim
Hukum-hukum bagi wali:

7
a. Layak menjadi wali yaitu, laki-laku, baligh, berakal sempurna
dan orang merdeka (bukan budak).
b. Orang yang hendak menikahi seorang wanita harus meminta
izin kepada walinya.
c. Perwalian wali yang dekat tidak sah dengan keberadaan wali
yang lebih dekat. Jadi tidak sah perwalian saudara seayah
dengan keberadaan saudara kandung.
2. Dua orang saksi
Yang dimaksud dengan dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil
dari kaum Muslimin, karena Allah SW berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian” QS.
Ath-Thalaq: 2.
Hukum-hukum bagi dua orang saksi:
a. Harus 2 orang saksi atau lebih
b. Kedua saksi tersebut harus adil
3. Shigahat Akad Nikah
Shighat akad ialah ucapan calon suami atau wakilnya pada saat akad nikah.
4. Mahar
Mahar ialah sesuatu yang diberikan suami kepada istri untuk menghalalkan
menikmatinya dan hukum mahar adalah wajib berdasarkan firman Allah
SWT:
“Dan berikanlah maskawin(mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS Nisa: 4)
C. Hal – Hal yang Membatalkan Nikah Dalam Islam
Dalam hukum Islam kita menghenal adanya nikah yang dibatalkan
difasidkan. Batal disini berarti perkawinan yang telah dilakukan itu tidak terpenuhi
atau mengalami rusaknya hukum yang ditetapkan. Yaitu berupa rukun perkawinan,
sehingga yang bersangkutan dalam hal ini wajib mengulang kembali dan memeuhi
persyaratan hukumnya agar terlepas dari kewajiban hukum yang berlaku atasnya
serta mendapatkan pahala dari Allah S.W.T., jika hal ini tidak dilaksanakan maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Sedang pengertian fasid disini adalah perkawinan yang telah dilasanakan itu
mengalami kerusakan, tidak sah atau cacat karena tidak terpenuhi syarat dan
rukunnya. Jadi pada prinsipnya antara batal dan fasid substansinya yang terkandung

8
didalamnya adalah sama, yakni tidak sah pernikahannya. Akan tetapi antara batal dan
fasid menurut Abdurrohman al-Jaziry adalah nikah yang tidak terpenuhi salah satu
rukunnya dan nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari
nikah (kurang), sedangkan hukum nikah batal danfasid adalah sama yaitu tidak sah
keduanya.
Terlepas dari pengertian batal atau fasid sebagaimana yang telah dipaparkan
diatas, maka pada dasarnya ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau
batanya perkawinan, dua unsur tersebut adalah syarat dan rukun.
Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan. Hanya
saja salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan
tersebut menjadi tidak sah (batal) demi hukum. Syarat sah nikah adalah dasar dari
sahnya nikah bila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka akad nikah itu diakui
keberadaannya secara hukum dan berlaku segala akibat hukum.Adapun rukun nikah
adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukunnya
maka perkawinan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan. Hal ini berarti jika suatu
perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan,
maka akan batal menurut hukum. Karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat
merupakan pelengkap dari suatu perbuatan hukum. Rukun dan syarat perkawinan
telah ditentukan oleh hukum syar’I dimana seorang mukallaf tidak boleh
mengantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang
dikehendakinya sendiri. Karena itulah perkawinan yang syarat nilai dan tujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahma, perlu
diatur dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan di syari’atkan perkawinan
tercapai
Banyak pernikahan pada zaman sekarang yang mengalami perceraian atau
kandas di tengah perjalanan. Begitu mudahnya, lisan ini untuk mengatakan
perceraian. Padahal hal ini, sangat dibenci Allah SWT.
Hal yang dapat membatalkan pernikahan di antaranya ialah:
1. Jika si istri gila, menderita penyakit kusta atau sopak.
Hal ini seperti yang pernah dikatakan ‘Umar bin Khattab bahwa,
“Siapa pun wanita yang menikah, sedang dirinya tidak waras atau mengidap
penyakit kusta atau penyakit sopak dan suaminya baru mengetahui setelah
berhubungan badan dengannya, maka maharnya tetap menjadi milik si istri atas
hubungan badan yang dilakukan. Adapun wali dari istri harus memberikan

9
mahar (yang serupa) kepada si suami sebagai ganti atas perbuatannya
menipu dan membohonginya.”
2. Jika telah berlangsung akad nikah baru diketahui bahwa wanita yang dinikahi itu
ternyata saudara sepersusuan laki-laki yang menikahinya, maka pernikahannya
tersebut menjadi batal karenannya.
3. Jika yang mengadakan akad nikah bagi calon pengantin masih di bawah umur
(belum dewasa) dan bukan ayah atau kakeknya. Akan tetapi telah dewasa,
maka kedua belah pihak (suami istri) berhak untuk memilih meneruskan
kehidupan perkawinannya maupun mengakhirinya dan inilah yang disebut
dengan khiyarul bulugh.
4. Jika si suami masuk Islam sedangkan istrinya menolak dan tetap menjadi
wanita musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu batal
karenanya.
5. Jika si istri masuk Islam sedangkan suamiya menolak dan tetap menjadi laki-
laki musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu batal karenanya.
6. Jika si suami murtad sedangkan istrinya masih tetap muslimah.
7. Jika si istri murtad sedangkan suaminya masih tetap muslim.
8. Jika si istri disetubuhi olah ayah atau kakeknya karena faktor
ketidaksenghajaan maupun dengan maksud menzinahinya.
9. Jika kedua belah pihak saling berli’an.
10. Jika keduanya sama-sama murtad.
Jika salah satu meninggal dunia. Di mana dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan terdapat pada pasal 22 menegaskan bahwa “ Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak tepenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan”. Selain itu terdapat penegasan pada Pasal 71 tentang suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila terdapat adanya :
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin pengadilan agama
b. Perempuan yangt dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi pria
lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya)
c. Perempunan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 7 undang-undang No.1 Tahun 1974.

10
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
f. Perkawianan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Menurut Sayyid Abu Al Hasan pernikahan dapat dibatalkan, Bahwa untuk
sahnya suatu akad disyaratkan adanya kehendak sendiri pada kedua mempelai,
kalau keduanya atau salah satu diantaranya dipaksa, maka akad itu tidak sah.
Tetapi kalau paksaan itu kemudian diikuti dengan kerelaan dari orang yang di
paksa, maka menurut pendapat yang lebih kuat akad tersebut menjadi sah.
Berdasarkan itu, maka kalau pengantin laki-laki dan perempuan
menyatakan dirinya di paksa tetapi mereka berdua bergaul sebagaimana layaknya
suami istri atau duduk bersanding sebagaiamana mestinya dua orang penganti
baru, atau mahar diterima sikap-sikap lain yang menunjukan kerelaan, maka
pernyataan terpaksa itu ditolak dan ucapan-ucapan mereka tak perlu didebgarkan
juga tak perlu diperhatikan bukti-bukti sesudah adanya petunjuk yang
mengisyaratkan kerelaan tersebut.
D. Definisi Talak – Hukum, Rukun, dan Jenisnya.
1. Definisi Talak
‫إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه‬
‫منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما‬

‫صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت‬

‫بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت‬

Artinya: “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para
pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar
godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’
Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan,
‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah
(talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan
berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim)
Di atas merupakan hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang
sesungguhnya merupakan suatu peringatan tentang buruknya suatu perceraian.
Mengapa? Karena perceraian itu adalah salah satu cita-cita terbesar dari iblis yang
merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling laknat, dimana dengan adanya

11
perceraian akan dapat menimbulkan berbagai dampak seperti terputusnya keturunan
maupun terputusnya tali silaturahmi.
Selain itu, perceraian juga dapat membuka jalan menuju perzinaan yang dapat
menimbulkan kerusakan dan mendatangkan dosa yang begitu besar. Oleh karena itu,
sebelum menikah akan lebih baik jika memilih calon pendamping hidup sesuai
dengan syari’at agama, agar nantinya hal-hal yang dilarang agama tidak terjadi,
seperti perceraian. Terlebih dengan cara yang Allah ridoi, seperti ta’aruf.
Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan sebagai
terlepasnya ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa diartikan terputusnya hubungan
perkawinan antar suami dan istri dalam jangka waktu tertentu atau untuk selama-
lamanya. Mengapa dikatakan dalam jangka waktu tertentu? Karena dalam Islam
diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa catatan seperti firman Allah SWT
berikut ini:

‫الَّطالُق َم َّرَتاِن َفِإْم َزاٌك ِبَم ْعُروٍف َأْو َتْس ِريٌح ِبِإْح َس اٍن َو ال َيِح ُّل َلُك ْم َأْن َتْأُخ ُذ وا ِم َم ا‬

‫آَتْيُتُم وُهَّن َش ْيئًا ِإّالض َأْن َيَخ اَفا َأَّال ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ِهَّللا َفِإْن ِخ ْفُتْم َأَّال ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ِهَّللا‬

‫َفال ُجَناَح َع َلْيِهَم ا ِفيَم ا اْفَتَد ْت ِبِه ِتْلَك ُح ُدوُد ِهَّللا َفال َتْعَتُدوَها َو َم ْن َيَتَع َّد ُح ُد وَد ِهَّللا‬

‫َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن‬

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229)
Allah SWT juga berfirman:
‫َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن َفَأْمِس ُك وُهَّن ِبَم ْعُروٍف َأْو َفاِرُقوُهَّن ِبَم ْعُروٍف َو َأْش ِهُدوا َذ َو ْي‬

‫َع ْد ٍل ِّم نُك ْم َو َأِقيُم وا الَّشَهاَد َة ِهَّلِل َذ ِلُك ْم ُيوَع ُظ ِبِه َم ن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآلِخ ِر‬

‫َو َم ن َيَّتِق َهَّللا َيْج َع ل َّلُه َم ْخ َر ًجا‬

12
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At- Talaq ayat 2)
Kapankan perceraian atau talak itu dapat dilakukan?
Islam telah mengajarkan bahwasannya talak atau cerai tidak bisa dilakukan
kapan saja. Al- Qur’an dan As- Sunnah telah mengajarkan bahwa talak hendaknya
dilakukan secara pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya :
a. Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya pada
saat istrinya sedang dalam masa haid, nifas, atau saat istrinya dalam keadaan suci
akan tetapi ia menggaulinya. Jika suami melakukan hal tersebut maka dianggap
telah melakukan talak yang bid’ah dan diharamkan. Rasulullah Shalallahu Alaihi
wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi
perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima).”
b. Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar, karena
apabila suami mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar seperti ketika sedang
marah, sehingga karena amarah tersebut dapat menutupi kesadarannya hingga ia
bicaa yang tidak diinginkan, maka talak yang ia lakukan adalah tidak sah.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
‫ال طالق وال عتاق في إغالق‬
Artinya “Tidak ada talak dan tidak dianggap kalimat membebaskan budak, ketika
ighlaq.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim)
c. Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya bermaksud untuk benar-
benar mencerai atau berpisah dengan istrinya tersebut, jangan sampai talak yang
diucapkan hanya sekedar menakut-nakuti atau menjadikan talak itu sebagai
sumpah. Hal tersebut tidak dibenarkan dalam islam. Ibnu Abbas pernah
berkata: “Sesungguhnya talak itu harena diperlukan.”
2. Hukum Talak
Pada dasarnya perceraian atau talak adalah sesuatu hal yang harus dihindari
dalam sebuah perkawinan. Mengapa? Karena selain merupakan perbuatan yang
amat disenangi oleh iblis, talak juga nantinya dapat berakibat buruk bagi

13
kehidupan, baik itu bagi pasanagan suami istri yang memutuskan untuk bercerai,
bagi keturunan atau anak-anak mereka, juga bagi anggota keluarga lainnya.
Kita banyak melihat dampak-dampak dari fenomena tersebut, dimana
banyak anak-anak yang terlantar akibat kurangnya pendidikan dan kasih sayang
dari orang tuanya. Dan hal itu tentu saja menjadi peluang bagi iblis untuk
menjadikan anak-anak tersebut sebagai bala tentaranya.
Jadi sebelum memutuskan untuk bercerai, ada baiknya jika pasangan suami
istri lebih memikirkan bagaimana masa depan anak-anak mereka nantinya, jangan
sampai keinginan iblis untuk menjadikan mereka sebagai pendukungnya menjadi
terkabul.
Adapun hukum dari talak atau cerai ada bermacam-macam, yaitu :
a. Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila :
• Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi
• Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak suami
maupun istri untuk perdamaian rumah tangga yang hendak bercerai
• Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa
perceraian/ talak adalah jalan yang terbaik.
Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak diceraikan, maka
suami akan berdosa.
b. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya apabila :
• Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam masa haid
atau nifas
• Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam keadaan suci
yang telah disetubuhi
• Seorang suami yang dalam keadaan sakit lalu ia menceraikan istrinya
dengan tujuan agar sang istri tidak menuntut harta
• Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, atau
juga bisa dengan mengucapkan talak sat akan tetapi pengucapannya
dilakukan secara berulang-ulang sehingga mencapai tiga kali atau bahkan
lebih.
c. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila :
• Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya
• Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya

14
d. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh apabila
seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, memiliki akhlak
yang mulia, serta memiliki pengetahuan agama yang baik.
e. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah hukumnya
apabila suami memiliki keinginan/ nafsu yang lemah atau juga bisa
dikarenakan sang istri belum datang haid atau telah habis masa haidnya.
3. Rukun Perceraian/ Talak
a. Bagi Suami ; Suami yang hendak menceraikan istrinya haruslah :
 Berakal sehat
 Baligh
 Bercerai atas kemauan sendiri atau tanpa adanya paksaan dari pihak lain
b. Bagi Istri ; Seorang istri yang bisa diceraikan haruslah :
 Memiliki akad nikah yang sah dengan suami
 Suami belum pernah menceraikannya dengan mengucapkan talak tiga
c. Lafadz Talak ; Talak dianggap sah apabila dalam lafadznya :
 Terdapat kejelasan ucapan yang menyatakan perceraian
 Disengaja atau tanpa adanya paksaan dari pihak manapun atas pengucapan
talak tersebut.
4. Jenis – Jenis Talak
a. Dilihat dari sighat (ucapan/ lafadz) talak
Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1) Talak Sharih (Talak langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada
istrinya dengan lafadz atau ucapan yang jelas dan terang. Meskipun talak
ini diucapkan tanpa adanya niat ataupun saksi, akan tetapi sang suami
tetap dianggap menjatuhkan talak/ cerai. Hal ini telah ditegaskan
dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah :

‫واتفقوا على أن الصريح يقع به الطالق بغير نية‬

Artinya “Para ulama sepakat bahwa talak dengan lafadz sharih (tegas)
statusnya sah, tanpa melihat niat (pelaku).”
Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih :
 Aku menceraikanmu

15
 Engkau aku ceraikan
 Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.

2) Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)


Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada
istrinya dengan menggunakan kata-kata yang di dalamnya mengandung
makna perceraian akan tetapi tidak secara langsung. Seorang suami yang
apabila menjatuhkan talak dengan lafadz talak kinayah sementara tidak
ada niat untuk menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap tidak
jatuh
E. RUJUK
1. Definisi Rujuk
Rujuk merupakan prioritas utama dalam sistem hukum Islam yang diberikan
Allah SWT untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus
selama-lamanya. Hal ini diperbolehkan kepada orang lain setelah berakhirnya masa
iddah. Rujuk hanya dilakukan pada talak raj’i, yaitu talak pertama atau kedua yang
dijatuhkan suami kepada istri yang telah digauli. Oleh sebab itu, rujuk tidak dapat
diberikan pada peristiwa talak yang ketiga (ba’in). Rujuk dilakukan melalui
perkataan yang jelas, bukan perbuatan. Para ulama berbeda pendapat mengenai
rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Menurut Imam Syafi’i, bahwa rujuk
tersebut tidak sah. Sedangkan menurut ulama lainnya mengatakan sah. Rujuk tidak
mudah untuk dilakukan. Sebab rujuk sendiri mempunyai tata caranya dan ada pasal-
pasal yang mengatur bagaimana cara merujuk. Diantara pasal-pasal tersebut ialah:
pasal 167 KHI, 168 KHI dan 169 KHI. Seseoarang yang melakukan rujuk dengan
tujuan tidak baik, maka hukumnya adalah haram. Sebab hal tersebut merupakan
perbuatan yang dzalim.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam
pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan
istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam
masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum
yang terpuji.
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan
hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk itu:

16
a. kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara keduanya
sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah
berakhir dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali kepada orang lain
dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,
b. Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri
yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau
ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum
dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut
rujuk dan
c. Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk
itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis
mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk,
untuk itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru.
Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam
Mughniyah, berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas hanya
terhadap wanita yang di talak melalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat
sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak tiga. Para
Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan
istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan
kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat
Seorang suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka suami
tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada istrinya, melainkan dengan beberapa
syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan tersebut darinya, perempuan
tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh dengan lelaki yang telah
dikawininya lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa
iddahnya dari lelaki tersebut.
2. Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun
dalam rujuk.
a. Rukun Rujuk
Yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah
dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri, rujuk
dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui

17
perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih
berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau hanya
sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya
sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan
perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan
pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan dengan
dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan sighat
(perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para ulama, rujuk dengan
perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah swt yang
berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak
ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat
tersebut hanya sunnah, bukan wajib.
b. Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk
mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
1) Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu
adalah sebagai berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan
yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-
laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang mampu melaksanakan
pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan
bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa
atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya. Begitu pula bila
rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang
sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang
memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam
menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
2) Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang
dirujuk itu adalah perempuan itu istri yang sah dari laki-laki yang merujuk,
istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang
masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk
talak ba’in, istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih
mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i,
selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama

18
sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri itu telah
digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada istri yang
diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena rujuk hanya berlaku
bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai sebelum
digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan mengatakan
bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:
1) Kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak
rujuk itu adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan
pihak lain,
2) Tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya karena lagi-lagi rujuk
merupakan hak suami, dan
3) Saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan kembali
kepada istrinya.
Akan tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan
sekedar untuk berhati-hati belaka.
3. Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata
cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta
tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
a. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
b. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pencatat Nikah,
c. Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan
merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat,
apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan
yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
d. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk
dan

19
e. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri
tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan
rujuk.
4. Hukum Rujuk
Adapun hukum rujuk, yaitu :
a. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
b. Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
d. Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan,
e. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu
lebih berfaedah bagi keduanya.
5. Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur
berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: “Dan
suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami
itu) menghendaki ishlah (perbaikan)”. Bekas suami yang merujuk bekas istrinya
yang ditalak raj’i mempunyai batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan
untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak
merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah adalah ikatan perkawinan yang suci sesuai syariat islam antara laki-laki
dan perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis sesuai dengan
fitrah manusia, tetapi tujuan yang lebih besar adalah sebagai sarana untuk
mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dari Allah Swt. yang sesuai
tuntunan Al-Quran dan Al-Hadist. Hukum menikah ada yang mewajibkan apabila
sudah siap baik fisik, mental, jiwa, raga, dan hartanya. Hukumnya sunah apabila
memiliki niat memelihara diri dari perbuatan dosa. Rukun nikah terdiri dari wali, dua
orang saksi, shigat akad nikah, dan mahar. Apabila dari salah satu rukun tersebut tidak
terpenuhi, maka nikahnya menjadi batal. Adapun sunah-sunah nikah seperti khutbah,
doa, walimahan, pengumuman nikah, dsb menjadi bagian yang mesti diperhatikan
juga, karena melaksanakan sunah berarti mengikuti Rasulullah Saw.

21
Nikah yang Allah ridhai adalah nikah yang sesuai tuntunan Al-quran dan
Alhadist, tidak lebih atau pun kurang. InsyaAllah, apabila kita mengikuti kedua
sumber tersebut maka dapat dipastikan keluarga yang dibangun menjadi keluarga
yang islami. Terciptanya kasih sayang dalam kehangatan dan keharmonisan dalam
berkeluaga. Tentunya kata Sakinah, Mawaddah, Warahmah tidak menjadi sekedar
kata maupun doa. Tetapi benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan sehari
hari.
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan
kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah. Talak menurut
syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam
pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri
yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa
iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang
terpuji.

22
DAFTAR PUSTAKA

 Abdullah, Abdul Gani. 1994. Komplikasi Hukum Islam dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
 Hakim, Haji Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
 Mughniyah, Muhammad Jawad. 2008. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
 Nuruddin, Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
 Ramulyo, Muhammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
 Subki, A’la. 2010. Pendidikan Agama Islam. Klaten: CV. Gema Nusa.
 Syariffudin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
 jurriyati khaira pohan di 07.12
 Aam Amiruddin & Ayat Priatna Muhlis. 2006. Membingkai Surga Dalam Rumah
Tangga. Khazanah Intelektual.
 Abu Bakar Al Jazairi. 2002. Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Darul Falah.
 Ahmad Rofiq. 2000. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
 Jabir Al jazairy, Syaikh Abu Bakar. 2014. Ummul Qura. Bab Muamalah Pasal ke-6
tentang Nikah, Talak, Ruju’, Khulu’, Li’an, Zhihar, Iddah, Nafkah, dan Hadhanah.
Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim. Jakarta.
Muh. Jawad Mughniya, Fiqih Lima Mazhab. 1996. PT. Lentera Basritama. Jakarta.
 http://yesmuslim.blogspot.co.id/2015/11/apa-saja-hal-yang-dapat-membatalkan.html

23

Anda mungkin juga menyukai